Hujan deras sekali, suara gemuruh petir terasa hingga menembus dinding rumah. Juna masih berada di kamar Seikha untuk mengganti perban kaki Seikha. Sedangkan Ali dan Dayu sedang menonton TV di ruang keluarga bersama Mbak Rara dan Rian. Malam ini Rian dipaksa menginap oleh Ali untuk menemaninya main kartu.
"Sei, apa maksudnya hidupmu kelam? Jika memang tidak ingin berbagi denganku, tidak apa-apa." Juna memberanikan diri bertanya, sembari duduk di samping Seikha yang sedang berbaring di kamar.
Seikha diam berpikir sejenak, ia teringat akan pesan dokter Samuel padanya. Bercerita pada orang yang dipercayai, akan membantu di saat-saat sulit. Seikha menarik nafas panjang, lalu menatap Juna tajam, berpikir akan memberitahunya.
"Mengapa membawa banyak sekali barang di ransel?" Juna bertanya sambil memberikan Seikha ranselnya, lalu ditaruh di bawah ranjang tidurnya.
"Dibuka?" Seikha bertanya sambil sedikit menghardik.
"Oh iya maaf, karena tadi sempat istirahat, mencari~...." Belum selesai Juna berbicara.
"LANCANG! Apa sudah biasa bagimu membuka privasi orang lain, hah?!" Seikha berdiri dari ranjang, nafasnya kembali tidak beraturan.
"Sungguh, aku tidak bermaksud...." Juna bingung, serba salah menenangkan Seikha yang mendadak tersulut emosi.
"Pergi! Pergi sana!" Seikha membentak Juna.
Juna menatap Seikha sebentar, "Sei, aku jelaskan dulu..."
"Pergi! Mau aku lempar ini?" Sambil mengangkat vase kaca di samping tempat tidurnya, mengancam Juna.
"Oke, aku keluar." Juna pergi untuk menghentikan amarah spontan Seikha.
Seikha menenangkan diri. Bukan hal mudah membagikan kesulitan hidup, kendati dengan orang yang paling dipercaya sekalipun. Kesalahan sedikit saja bisa membuat hatinya lebih kecewa dan akhirnya terluka. Seikha memutuskan, tetap menyimpan semua teka-teki untuk dirinya.
Seikha membuka laptopnya lagi, walau perjalanan ke air terjun tidak berhasil, Seikha tidak menyerah. Seikha terus menyimak semua informasi yang didapatnya, pada peristiwa yang diabadikan oleh orangtua dan pamannya.
Seikha mencari korelasi antar tanggal serta kejadian. Ada yang aneh saat Seikha menganalisis kembali foto-foto yang disimpan di berkas itu. Total ada 5 foto, 2 diantarnya diambil sebelum Seikha lahir, sisanya setelah kelahiran Seikha.
1. Foto pertama : Yumi (sedang mengandung) bersama Kusno di ayunan Taman Dandelion mereka (tertulis 11 Agustus 1999).
"Ibu sedang mengandungku, dilihat dari tanggal usia kandungannya saat itu sekitar 5 bulan. Tidak ada yang aneh dengan foto ini. Hanya saja pada tanggal yang tertera setelah aku search saat itu sedang terjadi gerhana matahari." Seikha merumuskannya dan mencatatnya dalam laptopnya.
Pada 11 Agustus 1999 terjadi fenomena alam yang langka yaitu gerhana matahari total dengan magnitude gerhana 1.029. Peristiwa ini bisa dinikmati di wilayah Eropa dan sebagian Asia dan menjadi gerhana matahari total terakhir di abad ke-19. Begitu yang tertera pada penelusuran Seikha di google.
2. Foto kedua : Kusno, Yumi dan Kento sedang berfoto bersama di depan Air Terjun Wringin (tertulis Tahun 9 Maret 1997)
"Kemarin saat aku pergi ke air terjun, tidak ada keanehan dalam perjalanan ke sana. Selain letaknya yang memang di dalam hutan. Tunggu dulu, saat aku beristirahat, aku melihat banyak bunga dandelion yang tumbuh. Tapi itu biasa, tidak ada korelasi di dalamnya," ucap Seikha sambil memainkan mouse.
Seikha mencari tanggal yang tertera, lalu mengecak pada google kembali. Ternyata tepat di tanggal tersebut terjadi gerhana matahari lainnya. Seikha menyadari keanehan ini.
3. Foto ketiga : Kusno yang berada di depan Pantai Parangtritis (tertulis 26 Mei 2006)
"Tidak ada gerhana matahari yang tercatat pada tanggal ini. Kenapa berbeda? Atau aku salah?" Seikha mulai mempertanyakan kesimpulannya sendiri.
4. Foto keempat : Foto Kusno di depan gazebo miliknya (tertulis 8 April 2005)
"Binggo!!! Tanggal saat gerhana matahari juga!Intinya sebagian besar foto diambil saat gerhana matahari terjadi." Ucap Seikha yakin.
Gerhana matahari yang terjadi pada tanggal 8 April 2005 merupakan Gerhana Matahari Solar Eclipse. Gerhana matahari yang tampak seperti gerhana total untuk sebagian wilayah, jika dilihat seperti cincin.
Selain itu, Seikha menemukan bahwa kejadian ini terjadi tepat 5 bulan sebelum peristiwa ledakan yang menewaskan Yumi.
5. Foto terakhir : Kento yang berdiri depan Tugu Prasasti (tertulis 26 Juni 2017).
"Tidak ada gerhana matahari saat tanggal ini. Saat aku mencari di google, peristiwa yang terjadi adalah hari raya Idul Fitri 1438 Hijriah. Tapi, kenapa?" Seikha masih kebingungan.
"Apa yang menjadikan Gerhana Matahari begitu istimewa sehingga beberapa foto berkaitan dengannya? Atau memang hanya kebetulan saja?" Seikha terus berbicara, mengetik setiap informasi yang ia dapatkan.
"Jadi aku harus mencari kesesuaian peristiwa gerhana dengan gempa. Interelasi semua itu dengan keluargaku. Bukankah semua ini terasa sangat aneh?" Seikha menggelengkan kepalanya yang berat karena berpikir.
"Tok... Tok.. Tok.." bunyi pintu kamar Seikha terdengar.
"Jun, aku mau sendiri!" Bentak Seikha hingga suaranya menembus pintu yang terbuat dari jati itu.
"Ini Paman, Sei." Terdengar suara Kento yang tiba-tiba datang ke Yogyakarta.
"Kento?" Untuk apa dia kesini?" Seikha berbicara pelan, mengeluh dan mendengus kesal.
"Ya," jawab Seikha singkat mempersilahkan Pamannya masuk.
Kento perlahan masuk dan langsung melihat luka pada tumit Seikha. Ia menunjukan sikap khawatir dan perduli. Seikha yang tidak nyaman segera memindahkan tangan Kento dari tumitnya yang terluka.
"Kemarin Paman diberitahu Rian. Sebenarnya dari awal, Paman bingung kenapa Seikha ingin pergi ke air terjun. Jauh, apalagi dengan sifat pemalas itu. Sungguh aneh," Kento berbicara sambil berkeliling kamar mendiang kakak beserta kakak iparnya itu.
Kento berbalik, lalu membuka cover piano dan memainkannya. Lalu dengan lirikannya pada Seikha yang berbaring, Kento menanyakan, "Apa sudah menemukan berkas-berkas yang ada di balik lid piano ini, Sei?"
Mata Seikha membesar, "Kento yang menaruh semua ini? Dia sengaja melakukannya?" Pikir Seikha dalam hati.
"Pasti kamu sedang mencari kebenaran bukan? Seikha, tahun depan akan berusia 21 tahun. Angka yang sudah dibilang mature. Maka akan Paman ceritakan semua yang Paman tahu tentang Kakak Yumi dan Mas Kusno."
Seikha yang mendengarnya tidak merespon, ia hanya diam sambil mencerna kata demi kata yang keluar dari mulut Kento. Berharap misteri dan rahasia dalam keluarga ini akan terungkap.
"Pasti Seikha sudah menyadari bukan? Semua foto yang tertera memiliki tanggal dimana peristiwa gerhana matahari terjadi. Karena Seikha anak yang cerdas, tidak sulit mencari korelasi yang mudah seperti itu." Kusno menebak secara akurat pemikiran Seikha.
"Kamu tahu apa alasannya? Hmm.. Itu karena Paman dan Yumi menyembah Dewa Matahari (Takama No Hara). Kami biasa melakukan Seikerei. Itu adalah bentuk adat istiadat dari nenek moyang keluarga Paman," ucap Kento menjelaskan pada Seikha.
"Seikerei merupakan bentuk penghormatan pada Dewa dengan membungkukkan badan mengarah pada matahari terbit," tambah Kento lagi.
"Bukankah itu dilakukan saat masa penjajahan Jepang?" Seikha yang penasaran bertanya.
"Ya, betul sekali. Seikha sungguh pintar rupanya." Jawab Kento dengan senyum yang sedikit berbeda dari biasa. Tersenyum getir, terlihat sedikit palsu bagi Seikha.
"Lalu?" Seikha kembali bertanya.
"Ya, maka pada saat itu, kami sedang menghormati Roh Matahari, Amaterasu. Kita sengaja mengabdikan momen langka saat Dewa menunjukkan kekuatannya." Kento menjelaskan masih duduk di bangku piano.
"Foto selanjutnya pada saat kami di air terjun, itu adalah permintaan dari Yumi. Saat masih dekat dengan Mas Kusno, belum berpacaran. Kami berempat menyukai alam. Yumi secara khusus saat itu meminta Dewa Matahari menjodohkannya dengan Mas Kusno." Kento lanjut menjelaskan.
"Berempat?" Tanya Seikha.
"Ya, ada satu orang lagi, perempuan. Dia sahabat Yumi. Entah kemana sekarang." Jawab Kento.
"Lalu, foto sebelum gempa dan prasasti?" Seikha yang penasaran masih belum mendapatkan jawabannya.
"Itu tidak terlalu penting. Tapi kalau Seikha bersikeras, mau bagaimana, carilah sendiri." Jawab Kento sembari berdiri dari bangku, lalu berjalan ke arah Seikha.
"Kenapa Seikha tidak lupakan saja semuanya? Bukankah kita ini keluarga? Paman pamit kembali ke hotel," ucap Kento sambil menepuk punggung Seikha dan keluar dari kamar.
Kento tidak menginap di rumah klasik itu. Mungkin tidak nyaman karena ada teman-teman Seikha. Mengenai pertemuannya dengan Pak Jono, Seikha sengaja menyembunyikannya dari Kento. Seikha juga menyuruh Rian untuk tutup mulut.
"Ternyata Kento menaruhnya dengan sengaja. Mungkinkah ada alasan dibalik ini semua? Mengapa dia repot-repot membuatku berpikir dan mencari tahu?" Seikha hanya bisa berbicara pada dirinya sendiri.
Kento sedang menyapa teman-teman Seikha yang berada di ruang keluarga. Seperti biasa, ia ramah pada semua. Kharismanya yang kuat sungguh membuat Kento disegani. Tidak hanya di kantor, namun di manapun ia berada. Itulah pesona Kento yang tak terelakkan.
"Oke, Om pergi dulu ya semua. Kalau masih betah stay aja, bye! Jun, tolong kabari ya kalau ada apa-apa sama Seikha," pinta Kento pada Juna, yang dibalas dengan anggukan dan senyuman Juna padanya.
****
"Sialan." Kento berbicara sendiri saat memasuki mobil.
Matanya sungguh berubah, tidak lagi hangat. Ia mengeluarkan rokok, menyulutnya dan membuka kaca jendela mobil. Kento menyetir sembari berpikir.
"Hmmh, mengapa dia mirip sekali dengan si gila Yumi? Merepotkan saja!" Kento mendengus kesal sambil menghirup rokok di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya memegang kemudi mobil.
"Besok tidak perlu masuk. Saya ingin mengendarai sendiri." Kento menelepon supir pribadinya.
"Apa yang harus aku lakukan terhadap anak ini? Sudah lama aku bersabar. Beberapa bulan lagi. Aku harus bersabar sampai saat itu tiba. Sungguh memuakkan!" Kento terus berbicara dengan pandangan yang menyeramkan.
Sampailah Kento pada sebuah bangunan tua nan cantik yang berada di balik hutan, dekat Air Terjun Wringin. Langit gelap tidak menutup keindahan rumah itu. Kento membukanya, disambut pelukan wanita muda cantik dengan rambut panjangnya.
"Mas, sudah lama. Aku sudah menunggumu." Sembari mencium Kento dan memeluknya.
"Maaf ya," ucap Kento sambil membalas ciuman wanita muda itu.
Kento meletakkan tangannya pada pinggang wanita itu, memeluknya. Berbisik kearahnya, mendekatkan bibirnya dengan telinga wanita itu, sembari berkata, "Bersabarlah sedikit lagi."
Wanita itu lalu menatapnya, memegang tangan Kento, "Kapan pun aku akan menunggumu, Mas." Mereka pun melampiaskan kerinduannya sejenak, bercumbu mesra.
"Tinggalah untuk sementara di sini. Nanti setelah apartement di Jakarta selesai renovasi, akan aku jemput lagi. Bagaimana, sayang?" Kento bertanya sambil bermanja padanya.
Wanita itu tersenyum, sosoknya sangat familiar. Rambut hitam dan panjang, wajahnya yang ayu menambah kecantikan wanita muda itu. Ia adalah Rini, anak dari Mbok Jum, yang sedang tidak mengenakkan kerudung. Rini dan Kento sudah berhubungan semenjak Rini pergi dari rumah Seikha di Jakarta. Rini sudah menjadi bayangan Kento sejak saat itu.