Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 11 - Bab 11. Elusif Berbagi Rasa.

Chapter 11 - Bab 11. Elusif Berbagi Rasa.

Prolog

Jika pada akhirnya selalu sendirian, untuk apa sebelumnya bersama-sama? Jika pada akhirnya saling menyakiti, untuk apa sebelumnya saling menyayangi? Kita tidak pernah tahu kemana takdir akan menuju. Itulah misteri dan metamorfosa hidup.

***

Langit sudah gelap, hawa dingin terasa menusuk kulit. Seikha tidak lagi berjalan, kakinya sudah lelah. Untung saja Seikha mengenakan sweater yang sedikit tebal dengan celana panjang lengkap beserta sepatu bots hangatnya. Baterei di handphonenya masih sedikit tersisa, tetapi percuma, karena masih tidak bersinyal.

Seikha duduk di belakang pohon besar, menjulurkan kaki dan tangannya, menunggu jika ada bantuan yang datang. Seikha menengadah ke atas, melihat kilauan ribuan bintang-bintang di langit malam. Seikha merenungkan diri, mencari alasan datang ke tempat ini.

"Jika tidak ada yang menemukanku, bagaimana?" Seikha berbicara sendiri.

Kriik.. krikkk.. suara terdengar keras di malam hari yang sepi. Seikha melihat-lihat ke sekeliling, memaksakan diri untuk berdiri mewaspadai. "Tidak mungkin ada binatang buas bukan, ini hutan yang dekat pemukiman," pikir Seikha.

Seikha memberanikan diri berjalan di tengah gelapnya hutan, hanya kilauan bintang yang menyinari. Hingga Seikha terpeleset kayu di depannya dan terjatuh kesakitan.

"Aduh, Ah..." Seikha baru menyadari darah keluar dari tumit kakinya, terkena patahan kayu yang runcing.

Sambil menahan sakit, Seikha melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga yang dimiliki. Melawan rasa takut, Seikha mengambil sebongkah kayu panjang yang ia pegang ditangan kanannya. Ia juga mengantongi bongkahan batu kecil yang disimpan di kantong sweaternya.

Seikha terus berjalan lurus, mengikuti rasi bintang yang paling terang menemani langkahnya. Sedikit terdengar suara dari balik bebatuan dan pohon yang Seikha akan lewati.

"Apa itu suara air?" Seikha merasa air terjun sudah didekatnya tapi sedari tadi hanya memutar saja.

Tangannya yang dingin seketika terasa lebih hangat, seperti ada yang sedang menggandengnya. Bayangan putih dengan senyuman datang menghampirinya, dekat sekali.

Jantung Seikha berdebar, ia merinding. Seikha menoleh ke samping kirinya, sosok makhluk semu berdiri tepat di sana. Memegangnya erat, menuntunnya berjalan selangkah demi selangkah, sambil terus tersenyum padanya. Hingga sampailah pada tujuan Seikha sebenarnya.

Air terjun yang tetap indah meski di malam gelap, genangan air dengan pantulan sinar bulan. Seikha sampai di Air Terjun Wringin yang sudah ia nantikan. Seikha menghela nafasnya lega.

"Terimakasih Ibu," ucap Seikha pada bayangan yang menuntunnya itu.

Seikha percaya bahwa Ibunya yang menunjukan jalan hingga ia sampai. Seikha menghirup udara bersih yang menyegarkan. Sinar rembulan yang indah seperti menyapanya. Hawa dingin membuat Seikha menepi dan duduk berselonjor, lalu ia terlelap sebentar karena lelah.

Seikha terbangun kembali, melihat seksama air terjun di malam hari. Memikirkan apa yang begitu spesial darinya. Apa yang menjadi rahasia dibalik kedatangan keluarganya ke air terjun ini. Terus Seikha pandangi air terjun itu, terpedaya suara percikan air yang jatuh ke genangan.

"Tidak ada apa-apa di sini. Apa mereka hanya murni berwisata saja lalu berfoto bersama? Mungkin imajinasiku yang berlebihan." Seikha berbicara menyakinkan dirinya sendiri. Kembali memejamkan matanya sejenak, merasakan hawa dingin yang terasa sampai balik pakaiannya.

***

"Seikha?" Terdengar suara berat yang memanggilnya hangat.

Seikha perlahan membuka matanya, "Hah?!" Seikha terkejut bukan kepalang.

"Kenapa kamu ada di sini?" Tanya pria itu, sembari memberikan air minumnya pada Seikha.

"Siapa?" Seikha tidak merasa mengenalnya.

"Kita pernah bertemu di lobby rumah sakit. Ingat? Waktu itu bertabrakan hingga resepmu terjatuh." Pria itu menjelaskan sambil memasukan kembali minuman ke ranselnya.

Seikha berhasil mengingatnya, "Kok bisa ada di sini?"

"Saya lagi main bersama teman-teman pecinta alam, tuh mereka," dengan santai menunjuk beberapa orang yang sedang duduk dari kejauhan.

Seikha lega bahwa ia tidak sendiri. Namun tubuh lemahnya tidak mampu ditahan lagi, rasa perih di tumit kaki menguasai. Seikha meringis kesakitan, hingga matanya sedikit demi sedikit tertutup.

"Oke, sudah tidak apa-apa. Tolong berikan antiseptiknya." Sayup-sayup terdengar beberapa orang sedang mengobatinya.

"Seikha, biar saya gendong saja. Ayo kita berangkat,"

Seikha perlahan membuka matanya, ternyata ia sedang digendong pria yang menolongnya, yang bertemunya di lobby rumah sakit.

"Sudah sadar?" Ucap pria itu yang menyadari Seikha bangun.

"Maaf saya terpaksa gendong, karena kondisi kamu lemah sekali." Pria itu menambahkan.

"Terimakasih," ucap Seikha kepadanya.

"Tidak, tidak perlu berterimakasih. Saya yang terimakasih, jadi bisa berolahraga. " Pria itu bercanda agar Seikha nyaman bersamanya.

"Oh iya, nama saya Maxime. Saya anak dari dokter Samuel," ucapnya sambil terus berjalan tanpa merasa keberatan akan tubuh Seikha.

"Hah? Anak dokter Samuel?" Seikha kaget hingga meninggikan suaranya.

"Haduh, iya. Jangan kaget-kaget takutnya nanti makin berat. Hehe...." ucap Maxime kembali.

"Saya sedang bersama teman-teman kuliah saya. Kami di tahun terakhir, kebetulan berwisata sebelum menjadi coas," Maxim menjelaskan pada Seikha tanpa diminta.

"Oh, dokter juga." Seikha merespon Maxime karena merasa berterimakasih.

"Sebenarnya, saya sering lihat kamu dari zaman kamu pake seragam SMA." Maxime memberitahu Seikha yang tampak diam.

Seikha ternyata kembali tertidur. Syukurlah Maxime yang terbiasa fitnes, bahunya bidang, sehingga bisa menggendomg Seikha tanpa kesulitan.

Sampai mereka pada pemberhentian awal, tampak dari kejauhan Dayu melihat Maxime yang menggendong Seikha. Dayu segera berlari sambil berteriak, "Itu Seikha! Itu Seikha!".

Juna dan Ali yang mendengarnya spontan mengikuti Dayu. Padahal Tim SAR dan kepolisian sudah bersiap untuk memulai pencarian. Dengan adanya kabar itu, mereka pun bersama menghampiri.

"Sei, ya ampun kita khawatir sekali," ucap Dayu sembari mengelus lengan Seikha yang tertidur.

"Seikha tidak apa-apa, dia terjatuh dan tumitnya terluka. Tapi sudah di obati tadi." Ucap Maxime yang masih menggendong Seikha di punggungnya.

Juna yang melihat itu, langsung menarik Seikha dari tubuh Maxime lalu membopongnya. "Terimakasih banyak Mas, biar saya pindahkan ke ambulance," ucap Juna sambil berjalan menuju ambulance yang sudah disiapkan.

"Mas, maaf dengan siapa? Sejak tadi menggendong Seikha?" Tanya Ali yang penasaran.

"Saya Maxime. Iya betul, tadi Seikha tampak lemah sekali, dari air terjun." Maxime memberitahu dengan senyumnya yang menawan.

Dayu tidak berkedip dibuatnya. Perawakan Maxime yang tinggi besar dengan kacamata, membuatnya terkesan pintar dan sexy. Dayu pun terpaku dibuatnya. Ali yang menyadari itu, segera membangunkan Dayu dari khayalannya.

"Woi! Ayo lihat Seikha, bengong aje!" Ali mengganggu Dayu yang sedang memandang Maxime.

Maxime pun menghampiri Juna dan Seikha yang sedang berada di ambulance. Di susul oleh Ali dan Dayu dibelakangnya.

"Saya Maxime. Just call me Max. " Maxime memperkenalkan diri pada Juna.

"Saya Arjunara, panggil saja Juna." Juna meraih jabatan tangan Maxime.

"Untung saja ada Mas Maxime, terimakasih banyak," ucap Juna.

"Tidak begitu. Semua pasti akan melakukan hal yang sama. Apalagi saya mengenal Seikha, untunglah dia baik-baik saja." Maxime menjelaskan pada Juna.

"Sudah mengenal Seikha? Bukankah teman Seikha hanya Juna, Ali dan Dayu saja?" Juna berpikir dalam hati.

"Kenal Seikha di mana, Mas?" Juna yang penasaran langsung bertanya pada Maxime yang sedang mendudukan diri di ambulance, di samping Seikha.

"Rahasia. Hehe...." Maxime ternyata merahasiakan pertemuannya dengan Seikha pada mereka.

Ali dan Dayu masih diam mematung dan serba salah, mereka tidak percaya Seikha memiliki teman pria. Sedangkan Juna hanya bisa diam dan tersenyum getir merespon jawaban Maxime. Seikha yang sudah terbangun, segera duduk dari tandu ambulance.

"Sei, istirahat dulu. Jangan langsung duduk gitu," ucap Juna yang khawatir dengan Seikha.

"Gak apa-apa." Seikha bersikeras.

"Yaudah bangun aja, nanti kalau sakit juga tidur lagi. Ya kan Sei?" Maxime ikut nimbrung dengan obrolan Seikha dan Juna.

Awalnya Seikha melihat Maxime dengan sinis. Namun ia menyadari, Maxime lah yang menyelamatkannya.

"Sekali lagi, terimakasih," ucap Seikha sambil menundukan kepalanya pada Maxime.

"It's Okay. Aku balik ke kostan dulu. Istirahat ya...." Maxime mengelus rambut kepala Seikha dan berpamitan dengan melambaikan tangannya.

Ali dan Dayu melotot dibuatnya. Juna pun salah tingkah di samping Seikha yang juga kaget dengan sentuhan Maxime. Suasana sedikit canggung.

"Sei, nemu di mana? Kok ganteng amat? Aku ngefans..." Ucap Dayu sambil berbinar-binar.

Seikha melihat ke arah Juna, ada perasaan aneh diantara keduanya yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Ali yang melihat itu segera mencairkan suasana.

"Ya Allah, Ya Karim, Seikha Sahl, akhirnya ketemu juga. Juna khawatir banget noh,"

Ucap Ali sambil menepuk punggung Juna.

"Maaf sudah membuat khawatir." Seikha mengucapkannya sambil kembali berbaring. Ia merasa tak nyaman dengan situasi ini. Sejujurnya Seikha merasa bersalah pada mereka yang menemaninya. Tapi ia tidak bisa menyampaikannya.

Akhirnya mereka pulang menuju rumah Seikha di Yogyakarta. Ali dan Dayu diantarkan oleh Rian menggunakan mobil, sedangkan Juna dan Seikha tetap berada di ambulance. Handphone Seikha terus bergetar tapi ia tidak mengangkat atau melihatnya.

Juna yang sedari tadi hanya memandang gadis pujaannya itu, tidak bisa berhenti melihat tumit Seikha yang diperban. Juna menyentuhnya, mengelus kaki Seikha yang terluka. Seikha yang menyadarinya menatap Juna dengan dalam, ia mengetahui betapa Juna mengkhawatirkannya.

"Juna," lirih Seikha.

"Iya?" Jawab Juna sambil tersenyum menatap hangat Seikha.

"Tahukah apa yang paling aku syukuri di hidupku yang kelam ini?" Tanya Seikha pada Juna. Seikha yang selalu menutupi segala hal di hidupnya, ingin berbagi rasa pada orang yang dia percaya.

"Hidup yang kelam?" Juna berusaha memahami arti dari kata-kata Seikha.

"Juna. Kamulah yang memberiku segalanya. Saat aku sendiri, kamu menemani. Saat aku tidak punya teman, kamu memberikan aku teman-temanmu. Saat semua menjauh, kamu selalu ada untukku. Saat punggungku berat, kamu mengambilnya dan berbagi denganku. Terimakasih."

Seikha perlahan duduk. Menarik tangan Juna yang sedang memegang tumitnya. Menggenggam jari jemari Juna dengan tangannya, lantas tersenyum dan memeluk Juna yang berada di sampingnya.

"Kamu tidak akan pernah tahu, betapa aku begitu bergantung padamu." Ucap Seikha dalam hati.