Terhitung sudah dua hari sejak Seikha berada di Yogyakarta dengan segala teka-teki yang menyesakkan dada. Kepala Seikha terasa berat, mungkin karena otaknya terlalu banyak bekerja. Rian pun sudah menunggunya sedari pagi guna mengantarkan Seikha kesana kemari.
Pada pemberhentian pertama, Seikha menyempatkan diri pergi ke Alun-Alun Kidul, membawa bunga sebagai tanda kasih Yumi. Ia ingin sedikit demi sedikit menghilangkan ingatan ledakan yang membuatnya trauma. Tragedi yang merenggut nyawa ibunda tercinta. Memberanikan diri pergi ke Alun-Alun untuk pertama kalinya sejak peristiwa, bukan sesuatu yang mudah dihadapinya.
Bukan sebuah makam, hanya nisan kosong yang di pajang di sana. Jasad Yumi yang hancur lebur tak bersisa, entah hilang karena leburan ledakan atau memang tidak pernah ada. Seikha belum satu kali pun melihatnya, karena rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Kusno biasanya hanya menaruh bunga sebagai bentuk penghormatan. Setibanya di sana, Seikha pergi ke parkir Alun-Alun, meletakkan bouquet dandelion dan cokelat favorit Yumi, tidak lupa Seikha juga mendoakannya. Seikha pun mengingat bahwa ada orang yang dikenalnya, rumahnya tidak jauh dari Alun-Alun, yang mungkin dapar membantu menyingkap tabir misteri.
Lambaian daun pisang yang ditiup angin kencang, hamparan rumput dan dedaunan semakin membuat hijau pekarangan. Rumah yang terasa sejuk bahkan dari halaman depan. Seikha membunyikan bel yang berbentuk lonceng di depannya. Seorang pria tua dari balik pintu membukanya. Ia adalah mantan supir keluarga Kusno sejak lama, Pak Jono.
"Mbak Seikha?" Pria itu terkejut karena wajah Seikha yang sama sekali tidak berubah dari kecil, sungguh langsung dikenali.
"Pak Jono? Maaf mengganggu selarut ini,"
"Bagaimana kabarnya Mbak? Kok masih ingat rumah Bapak? Pak Jono terlihat haru.
"Tentu saja ingat. Dulu Ayah sering mengajak Sei kesini." Seikha ramah menyapanya.
"Iya betul. Pak Kusno yang baik hatinya. Semoga dimanapun dia selalu sehat. Masuk, masuk, Mbak Seikha, duduk sini," ucap Pak Jono sembari mempersilahkan Seikha untuk masuk dan duduk di ruang tamu.
"Pak, Apa bapak ingat bagaimana Ibu dulu?" Seikha perlahan langsung menanyakan informasi terkait Yumi."
"Pak Jono, apa Bapak tahu kalau Ibu pernah sakit? Lanjut Seikha yang penasaran.
Pak Jono tergagap mendengar pertanyaan Seikha yang tiba-tiba. Ia sempat terdiam dan bingung harus berkata apa. Semua hal yang dilaluinya dulu, sudah dikubur rapat-rapat. Matanya terlihat tidak bisa menahan kegugupan. Pak Jono hanya ingin hidup dengan damai di masa tuanya.
"Pak?" Seikha memanggil karena pak Jono nampak diam.
"Kenapa tiba-tiba Mbak Seikha ingin tahu?" Pak Jono bertanya hati-hati.
"Karena Sei baru menyadari banyak kejanggalan. Terlebih setelah kembali ke kota ini, ternyata banyak rahasia yang disembunyikan. Tolong. Jujurlah." Seikha tampak mengintimidasi pak Jono, tatapan ramahnya seketika menghilang berganti tajam.
"Baik. Tapi, berjanjilah Mbak, setelah Bapak ceritakan, yang lalu biarlah berlalu. Lagipula semua sudah tenang di sisi Tuhan." Pak Jono menjelaskan dengan tenang.
****
Flashback (Ingatan Pak Jono)
Malam itu kira-kira sehari setelah pesta syukuran kantor baru yang terletak di Solo, Kusno dan Yumi terlibat pertengkaran hebat sebelum masuk ke dalam mobil. Pak Jono yang jarang melihat mereka berselisih sebelumnya dibuat bingung. Terlebih mereka berdebat menggunakan bahasa inggris, hingga Pak Jono hanya diam, serba salah di balik kemudi.
Sesampainya di rumah, mereka tidur di kamar terpisah. Yumi menuju kamar Seikha untuk tidur bersama putrinya, meninggalkan Kusno sendiri. Pak Jono pun pergi ke kamarnya, begitu pula dengan para asisten rumah tangga yang sudah beristirahat. Saat itu semua yang bekerja di rumah Kusno menginap di sana. Tepatnya di pavilliun lantai satu, persis di samping Taman Dandelion.
Yumi terlihat berbeda dan nampak seperti menahan depresi. Ia berdiam diri, lebih sering murung dan hanya menjaga putrinya di rumah. Yumi yang sebelumnya sangat anggun dan lembut, menjadi sering berteriak pada asisten rumah tangga hanya karena hal-hal remeh.
Pernah beberapa kali Yumi terlihat seharian di kamar dan tidak keluar, bahkan tidak makan atau minum. Saat itu, Seikha diasuh oleh baby sitter yang bernama Sari. Yumi yang baru keluar dari kamar hobinya, memindahkan Seikha ke pelukannya, lalu menidurkannya sendiri. Setelah itu Yumi kembali mengurung diri.
Pak Jono mengingat dengan jelas kejadian di tengah malam. Saat ia mendengar suara ribut dari balik kamarnya. Suara yang cukup keras, sehingga ia terbangun dari tidurnya. Pak Jono memeriksa ke dalam rumah, tapi hanya melihat sekilas. Setelah diperhatikan seksama, ternyata ada Kento yang keluar dari kamar bersama orang tua Seikha. Yumi terlihat menampar Kusno, berteriak-teriak tidak terkontrol.
"Jahanam, Jahanam!" Sembari memukul Kusno berkali-kali. Kento terlihat menghalangi dan melerai mereka. Namun Yumi semakin menjadi, sepertinya ia marah sekali, hingga akhirnya lelah dan pingsan sendiri. Setelahnya Pak Jono melihat Sari mengendap-endap keluar dari kamar Kusno, hanya dengan mengenakan handuk. Pak Jono yang melihat kejadian itu, menarik kesimpulan bahwa Kusno berselingkuh dengan Sari, sehingga amarah Yumi menggila.
Keesokan harinya, Kento datang pagi-pagi sekali. Ia menuju kamar kakaknya, namun di depan pintu langsung diludahi oleh Yumi. Spontan Pak Jono yang sedang menyiram tanaman, kaget bukan kepalang. Yumi yang lemah lembut sungguh terlihat menakutkan. Sari pun sejak malam itu, tidak lagi terlihat. Sedangkan Kusno pagi-pagi sekali sudah berolahraga seorang diri dan belum kembali.
Pak Jono hanya tahu bahwa Yumi seringkali bersikap impulsif sehingga Kusno dan Kento terpaksa harus berkonsultasi dengan psikolog, bahkan membawa Yumi ke psikiater. Tidak ada kemajuan yang berarti, Yumi semakin berada di dunianya sendiri. Tetapi anehnya, ia sangat telaten saat sedang bersama Seikha. Tidak seperti orang yang memiliki gangguan jiwa, Yumi ibu yang perhatian. Hanya jika bersama Seikha, Yumi terlihat normal seperti sebelumnya.
Yumi seringkali berdiam diri di kamar hobinya dan melukis. Setiap hari pada saat itu, Seikha sudah sekolah di playgroup, diantar oleh suster yang baru dari yayasan yang sama dengan Sari. Sampai suatu saat, suster Seikha berhenti dan tidak kembali lagi. Begitu seterusnya, seperti tidak ada yang betah saat menjadi suster Seikha, yang harus bekerjasama dengan Yumi.
Suatu waktu, Pak Jono pulang ke rumah mengambil barang Kusno yang tertinggal. Ia menyaksikan hal yang tidak mungkin dilupakan seumur hidupnya. Pak Jono mendengar suara hentakan dari kamar hobi Yumi. Tok, tok, tok, dan semakin keras suara itu. Pak Jono mendekati kamar hobi Yumi, dan memanggilnya.
"Ibu? Ibu Yumi apa ada di dalam?" Panggil Pak Jono saat itu dibalik pintu kamar.
Tidak terdengar suara Yumi, tetapi suara hentakan itu semakin keras lagi. Pak Jono hendak membuka kamar hobi Yumi, namun pintunya sedikit terbuka. Perlahan Pak Jono menarik tuas pintu dan membukanya. Matanya langsung tertuju pada kaki Yumi yang terpasung dengan rantai.
Pak Jono terdiam sejenak, matanya membelalak, ia tidak percaya melihat kekejian itu di hadapannya. Yumi hanya diam, melihat ke arahnya, dengan rambut berantakan. Tangannya yang tercorat-coret bekas cat, lemas terkulai. Badannya menyender di lemari dekat canvas lukisannya.
Jono yang saat itu kaget dan panik, mencoba membuka rantai Yumi yang terkunci, namun selalu gagal. Yumi menggelengkan kepalanya seperti menyuruh Pak Jono keluar.
"Bapak, pergi saja. Jangan beritahukan pada siapapun. Saya mohon." Yumi menatap Pak Jono, memelas padanya.
"Ibu, Ya Allah Ibu... Bagaimana bisa saya tinggalkan? Saya akan cari kuncinya. Tunggu Ibu.... " Pak Jono panik sambil melihat-lihat mencari kunci di sekitarnya.
"Bapak! Saya bilang keluar! Ingat, anggap semua tidak terjadi! Jangan bilang suami saya kalau Bapak melihat ini. Saya adalah pasien sakit jiwa! Pak Jono cepatlah pergi! Yumi memelototi Pak Jono tetapi matanya berkaca-kaca, air matanya berlinang.
Pak Jono dapat merasakan kesakitan Yumi. Sepertinya Yumi memang menginginkannya berpura-pura tidak melihat semua ini. Kusno menelepon Pak Jono yang tidak kunjung kembali memberikan benda tertinggal yang ia cari. Akhirnya pak Jono dengan berat hati meninggalkan Yumi sendiri.
*****
Seikha kaget mendengar semua cerita yang dikisahkan oleh supir kepercayaan Kusno itu. Pak Jono bukan pembohong yang dapat mengarang cerita. Hatinya sungguh sakit menerima kenyataan bahwa Yumi sungguh menderita di masa hidupnya. Seikha memijit kepalanya sejenak, meminum teh yang sudah dingin di hadapannya. Matanya kosong, tangannya gemetar.
"Mbak Seikha, tidak apa-apa? Pak Jono sungguh menyesal menceritakan kisah Yumi pada Seikha. Tetapi cepat atau lambat semua harus diketahuinya.
"Ada lagi, Pak? Yang mencurigakan selain itu? Pasti masih ada, tolong ceritakan semuanya." Seikha sungguh bersikeras pada Pak Jono yang sudah renta.
"Itu semua yang Bapak tahu. Saat itu, Bapak sering sakit, hingga memutuskan untuk mengundurkan diri, Mbak. Tapi yang sejujurnya, semenjak kematian Ibu Yumi dalam tragedi ledakan itu, Pak Kusno nampak merasa bersalah."
"Setiap hari kadang Pak Kusno memandangi lukisan demi lukisan istrinya. Beliau juga makin dekat dengan Kento, Paman Mbak Seikha. Mereka pergi bersama dan membangun perusahaan yang sedang sulit saat itu." Pak Jono menjelaskan situasi yang terjadi setelah kematian Yumi.
"Tetapi sekitar dua tahun setelah tewasnya Ibu, Pak Kusno menjadi sangat berbeda. Bapak yang biasanya lembut, menjadi lebih tegas dan agamis. Semua orang di kantor membicarakannya. Ia bahkan setiap Jumat pergi untuk sholat Jumat, yang tidak pernah dilakukan sebelumnya."
"Saya ingat perubahan sikapnya terjadi setelah gempa yang besar dulu. Mungkin musibah membuatnya semakin dekat dengan Tuhan. Dia juga menyuruh saya lebih sering ke gereja." Pak Jono masih mengingat momen itu.
"Terimakasih Pak, atas semua informasi ini. Bapak tidak tahu betapa berartinya apa yang Bapak ceritakan untukku." Seikha menarik tangan Pak Jono dengan lembut, memegangnya erat.
Seikha yang masih shock, memanggil Rian agar mengantarnya pulang. Sesampainya di rumah, Mbak Rara yang sedari tadi menunggu, sudah menyiapkan makan malam. Namun Seikha menolak, ia menyuruh Rian dan Mbak Rara saja yang memakan seluruhnya. Seikha yang belum mengisi perutnya seharian, sungguh tidak nafsu makan.
Seikha sibuk mengotak-atik laptopnya, serta mengisi buku hariannya. Tidak seperti biasa, kali ini air mata itu tumpah membasahi buku diary-nya, tempatnya berkeluh kesah.
Dear Diary,
12 Februari 2020
Hari ini aku bertemu Pak Jono, supir kepercayaan Ayah dan Ibu. Dia menceritakan kisah pahit, kehidupan yang harus dijalani oleh Ibu. Tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya, ternyata Ibu begitu menderita.
Bahkan menggunakan pasung? Ya Tuhan, sungguh sejujurnya aku sangat lemah. Mendengarmu melewati semua itu, aku tidak sanggup. Seikha yakin Ibu tidak sakit jiwa, mengapa hidupmu begitu tidak adil?.... Maaf karena kau harus menghadapi kejamnya dunia sendirian.
Seikha.