Seikha terbangun di kamar orang tuanya. Tangannya erat memegang berkas amplop coklat yang sama. Perlahan ia membuka lembar demi lembar satu bundel jurnal kedua yang lumayan tebal. Ada beberapa kata ditandai dengan stabilo berwarna kuning.
"Pasti orang ini yang mengumpulkan semua berkas dan foto ini," pikir Seikha dalam hati.
"Apa mungkin ini berkas Kento, dia juga mencari-cari? Makanya seringkali Kento menyuruhku ke rumah Yogyakarta," Seikha bergumam menyimpulkan sembari membaca setiap kalimat pada beberapa jurnal ilmiah itu.
Seikha mencari beberapa kata yang tidak ia pahami di internet, lalu mengcapture dan menyimpannya. Ternyata itu adalah kajian ilmiah terjadinya gempa dangkal dashyat yang terjadi beberapa tahun silam.
Setelah itu Seikha urutkan foto-foto sesuai dengan tanggal yang tertera di bawahnya, agar lebih mudah bagi Seikha mengartikan maknanya. Seikha juga menemukan peta tua dari kota Yogyakarta lengkap dengan nama jalan dan pahlawan. Sejarah yang menjadi ketertarikan orangtuanya.
Kebingungan Seikha semakin menjadi-jadi. Tidak mengerti dengan semua keterkaitan ini. Ia kumpulkan kembali berkas-berkas itu, dan memasukkannya ke dalam laci yang tepat berada di sebelah ranjang. Seikha yang lapar berjalan menuju dapur. Ia pun bertemu dengan Mbak Rara yang memang bertugas untuk melayaninya selama di Jogja.
"Perkenalkan Mbak Seikha, nama saya Rara. Biasanya saya membersihkan rumah ini juga tapi tidak menginap, hanya pulang pergi. Hari ini Mbak Rini meminta saya untuk menemani Mbak Seikha," ucap Rara dengan melipat tangannya santun.
"Oh iya terimakasih. Ini dimakan ya, Mbak," ujar Seikha langsung melahap tempe mendoan yang baru saja selesai di goreng itu.
"Ini saya buatkan sayur sop dan ayam goreng, mbak. Tadi mau dibelikan Gudeg tapi sebelumnya di wanti-wanti sama Mbak Rini kalau Mbak Seikha ndak suka," jelas Rara memberitahu Seikha.
"Iya kurang suka memang. Makasih ya," ucap Seikha segera duduk di kursi ruang makan dan menyantap makanan yang disiapkan. Ia juga langsung meminum obatnya yang ditaruh di kantong celana.
"Mbak Rara, nanti Seikha biar tidur di kamar ayah dan ibu saja." Seikha memberitahu Rara sambil menenggak air putih.
Setelah itu Seikha kembali berkeliling melihat rumah yang sudah sangat lama tidak dikunjunginya. Kamarnya dulu, ruang keluarga favoritnya dan ruangan Yumi menyalurkan hobi melukisnya.
Seikha mengingat dengan jelas, ibunya sangat suka menggambar. Yumi seringkali menyendiri di ruangannya. Seikha kecil selalu memperhatikan, Yumi yang melukis dengan anggun menggoreskan tinta pada canvas putih yang besar.
Sebelum pergi ke ruangan hobi yang biasa digunakan Yumi, dengan langkah berat Seikha memasuki kamar masa kecilnya. Kamar bernuansa merah muda dengan berbagai ornamen dan boneka. Ada pula meja perjamuan teh yang dulu sering digunakan Seikha bersama ibunya bermain pesta minum teh.
Tangan lembutnya menyentuh setiap benda kenangannya, foto-foto metamorfosa Seikha semenjak bayi dan saat bersama keluarga kecilnya. Seikha dapat merasakan kerinduan akan kehangatan yang pernah diterimanya dulu.
Hal yang selalu ingin dilakukannya semenjak pindah ke Jakarta adalah mengecek keberadaan surat yang pernah Seikha tinggalkan sebelum pergi. Perlahan Seikha membuka laci meja belajar di kamarnya, nampak amplop putih yang ternyata masih ada di sana. Seikha mengambilnya, ingin membacanya kembali.
Dalam lubuk hati terdalam, Seikha ingin surat itu menghilang, berarti tanda Kusno telah mengambilnya. Keraguan Seikha akan sosok Kusno di ruangan bawah tanah itu, berharap semua memang fantasinya saja.
Seikha mengingat dengan jelas, ia memberikan tulisan nama dan emot hati pada cop surat itu. Seikha membalik amplopnya, betapa terkejutnya bahwa itu bukan amplop yang sama. Badan Seikha merinding, ia heran tetapi ketakutan. Seikha menarik nafasnya untuk membuatnya tenang, ia buka amplop putih itu.
"Tidak apa, jika ternyata aku memang sakit jiwa. Itu lebih baik, jika semua yang kulihat hanya delusi. Karena ayah adalah jagoan di hidupku. Aku tidak ingin menodai semua kenangan itu." Seikha mengucap lirih, matanya berlinang, bibirnya gemetar, Seikha menahan tangis kesakitan.
Untuk Anakku, Seikha.
Maafkan Ayah yang tidak bisa menjagamu dengan baik. Ayah sudah berusaha semampu Ayah. Tapi sungguh kamu tidak akan mengerti ini. Keadaan yang sulit dijelaskan hanya dengan kata-kata. Ayah hanya tidak punya pilihan.
Percayalah padaku, Sei. Kelak Seikha akan mengerti bahwa semua yang Ayah lakukan hanya untuk Seikha. Apapun yang terjadi, Ayah adalah Ayah, yang tulus menyayangi dan melindungi Seikha.
Ayah.
Seikha terpaku, tertegak, terdiam membaca surat dari Kusno untuknya. Air matanya menetes, terus menetes, hingga tidak berhenti mengalir. Seikha sudah lama tidak pernah menangis. Seikha tidak percaya dengan semua ini. Hatinya hancur dan sakit. Entah kapan Kusno memasukan surat itu ke dalam laci. Kenapa ayahnya tega meninggalkannya, fakta bahwa ayahnya masih hidup membuatnya semakin sakit hati.
"Apakah ada alasan kuat seorang ayah meninggalkan anaknya dengan kondisi seperti ini? Jiwa dan ragaku yang terluka bahkan tidak bisa sembuh dengan ini." Seikha meremas surat dari ayahnya itu.
Seikha menenangkan dirinya. Ia tertegun sementara di kursi mini samping kasur kamarnya. Teka teki ini sungguh menyesakkan dada, membuat sakit kepala. Seikha masih merenung tidak berhenti menangis sesenggukan.
Seikha menguatkan dirinya sendiri, ia tidak boleh kalah dengan situasi ini. Perlahan Seikha bangkit, ia berdiri, menghapus semua air matanya dan melangkah keluar dari kamar, sembari memegang surat Kusno yang menggetarkan hatinya.
Setelah itu Seikha menuju "Kamar Hobi Yumi". Seikha membukanya dengan hati-hati, terdengar suara berkerat dari pintu yang sudah usang. Walaupun ruangan terlihat gelap tetapi masih bersih dan layak. Seikha pun duduk di sofa kamar itu.
Sejenak Seikha terdiam, mengingat kenangan demi kenangan dengan ibunda tercinta. Yumi selalu tersenyum untuknya. Terkadang Yumi terlihat murung dan hanya diam. Meskipun begitu Yumi menjadi berbeda jika bersama Seikha, ia sangat riang. Setahun sebelum kematiannya, hubungan Kento dan Yumi memang tidak seromantis biasa, tapi Seikha selalu kagum dengan hubungan mereka berdua.
Beberapa lukisan sengaja dibiarkan disana, goresan dan tinta yang tidak hilang masih membekas. Berada di ujung kamar hobi Yumi, terlihat satu lukisan yang ditutup dengan tirai putih, sementara lukisan lainnya dibiarkan terbuka. Seikha mendekatinya dan membukanya perlahan.
Seikha terkejut dengan gambar didalamnya, Kusno yang sedang tersenyum namun dilumuri tinta merah darah pada bagian wajahnya. Seikha yang semakin penasaran membuka kembali lemari, juga laci demi laci. Seikha terdiam sejenak saat melihat sesuatu di laci paling bawah. Pasung kayu berwarna hitam lengkap dengan rantai.
Baru pertama kali Seikha melihat bentuk pasung, apalagi dengan ukiran unik seperti itu. Seikha bertanya dalam hati, untuk apa dan untuk siapa alat pasung yang ia temukan ini. Seikha berjalan kembali mengamati lukisan-lukisan Yumi.
Seikha tetap tidak bisa mengalihkan pandangan dari lukisan wajah Kusno yang Yumi buat. Seikha mengangkat lukisan itu, membaliknya, ternyata di belakang sela stand canvas lukis Yumi ada sepucuk surat dalam amplop putih. Tentu saja Seikha langsung membukanya.
Kepada : Yumi.
Apa kabarmu, nak? Ini Ibu. Sudah lama tidak berjumpa. Aku merindukanmu. Apakah Seikha berusia 3 tahun sekarang? Dia pasti sangat cantik seperti Yumi. Jaga Seika dengan baik. Jangan pikirkan kami di sini.
Lupakan semuanya. Hidup dalam kedamaian. Berbahagialah.
Dari :
Seorang ibu yang selalu mencintaimu.
Seikha terkejut dengan surat berbahasa Jepang yang ditemukannya di kamar hobi Yumi. Dilihatnya kembali alat pasung yang entah untuk apa berada di sana. Seikha hanya mengetahui bahwa ia tidak memiliki kerabat lain. Hanya Kusno, Yumi dan Kento-lah keluarganya selama ini. Kusno dan Yumi selalu mengatakan pada Seikha bahwa mereka yatim piatu. Orang tua keduanya telah meninggal dunia.
"Ternyata banyak sekali rahasia di keluarga ini," pikir Seikha dalam hati.
"Mulai saat ini aku akan fokus untuk mencari tahu semuanya. Aku tidak akan acuh lagi. Aku harus memecahkan misteri ini. " Seikha bertekad sambil melangkah keluar dari kamar hobi Yumi.
Kring..Kring..Kring
Telepon rumah tiba-tiba berdering. Mbak Rara berlari kecil untuk mengangkatnya.
"Mbak Seikha ini dari temannya," sedikit berteriak Rara memberitahu Seikha yang sedang duduk di ruang keluarga.
'Ya, halo?" Jawab Seikha yang tidak menyangka ada yang menelponnya ke rumah Yogyakarta.
"Sei, ini aku Juna. Aku, Ali dan Dayu rencananya akan berwisata ke Yogyakarta. Nanti kita mampir ke sana boleh kan? Liburan masih lama, kita bareng-bareng biar seru. Gimana?" Juna bersemangat sekali.
"Haduh, ga usah, aku sibuk." Seikha yang risih tampak menjawab ketus. Sikap yang sangat berbeda dari sebelumnya, dimana Juna dan Seikha melewatkan momen yang indah bersama.
"Kita pokoknya tetap ke sana ya. Aku juga sudah izin Om Kento, ia bahkan menawari transportasi dan hotel agar bisa menemani kamu Sei." Juna tetap bersikeras akan pergi menyusul Seikha ke Yogyakarta.
Seikha yang sedang pusing dan dilema akan teka-teki yang ditemukannya, langsung menutup telepon begitu saja.
"Merepotkan saja," ucap Seikha sembari berlalu ke kamar orangtuanya.
Seikha bukannya tidak mau Juna menyusulnya, ia hanya tidak ingin mereka mengetahui masa lalunya. Seikha mulai membuka laptopnya kembali, mencatat berkas-berkas dan menuliskan informasi demi informasi yang di dapatnya.
Jika Juna dan teman-temannya datang, Seikha akan kesulitan untuk menyelidiki semua ini. Tetapi jika mereka tidak datang, Kento pasti akan menyuruhnya pulang kembali ke Jakarta.
"Tidak perlu lama-lama di Jogja, Sei. Cukup beberapa hari saja, disana tidak ada siapa-siapa" pesan Kento sebelum Seikha berangkat ke bandara.
Sedangkan untuk memecahkan puzzle yang memusingkan ini, tidak mungkin hanya dalam waktu beberapa hari, Seikha butuh waktu lebih lama. Belum lagi Seikha ingin mengunjungi tempat yang tertera pada foto agar mengetahui dengan pasti. Seikha memikirkannya berulang, memutar otak yang sudah cukup panas itu.
"Baiklah. Mereka akan aku jadikan alasan untuk tinggal lebih lama di Jogja." ucap Seikha sambil terus mengamati laptop di hadapannya.
Seikha tidak luput membawa buku hariannya. Seikha melihat kembali tulisannya yang berbeda-beda. Perasaannya sungguh aneh saat membaca diary-nya sendiri. Seikha bisa melihat jelas, mood swingnya sungguh terasa. Kehidupannya sungguh berbeda dengan anak lain seusia dirinya. Seikha merasakan kelamnya hidup yang sudah ia jalani.
Dear Diary,
10 Februari 2020
Kekuatanku semakin rapuh, terombang-ambing mencari hal yang tak pasti. Seperti mencari jarum di lautan gurun pasir. Aku tahu semua orang memiliki rahasianya sendiri. Sepertiku, yang sangat membenci kehidupan ini.
Gulungan hitam berombak semakin mendekat ke bumi. Terbang melayang melintasi lapisan-lapisan langit. Khayalanku semakin tak tentu. Aku berada di dimensi kehidupan yang berbeda. Hidupku sungguh semu.