Prolog
Yogyakarta, aku rindu. Suasana tradisional bangunanmu, ramah tamah wargamu. Makanan khas saat aku kecil dulu. Masih terasa lezat terpatri di lidahku. Tapi ukiran kenangan saat itu, terlalu pahit dan pilu.
***
Tidak biasanya Kento absen bekerja. Mbok Jum terlihat mondar-mandir di lantai satu. Kento yang pandai menjaga tubuhnya, ternyata bisa sakit juga. Kento terkulai lemas di tempat tidurnya. Ia menolak di rawat di rumah sakit dan memilih istirahat di rumah. Seikha yang baru pulang dari kampus, langsung menuju meja makan. Mbok Jum yang sedang membuat bubur memberitahu Seikha.
"Non, Pak Kento sakit. Itu ada di kamarnya," ucap Mbok Jum sambil melihat Seikha menyuap ayam goreng yang sudah disiapkan.
"Oh," singkat Seikha menimpali.
Diluar dari keyakinan dan ingatannya, Kento memperlakukan Seikha dengan penuh kasih sayang. Ia bekerja keras di perusahaan, yang sedang sulit karena pandemi Covid-19. Sudah dua cabang tutup karena demand yang menurun, bahkan 1/4 karyawan di rumahkan karena penurunan income.
Seikha mendengarnya dari supir pribadinya, Pak Jo. Tingkah Seikha yang random membuat Kento seringkali mengganti supir pribadinya. Terkadang Seikha juga membawa mobilnya sendiri, tergantung suasana hatinya saja.
Seikha yang dibalut rasa penasaran, melihat dari lantai dua kamar Kento yang terbuka. Mood Seikha sudah lebih terkontrol, mungkin karena obat yang diberikan dokter Samuel. Seikha pun menyadari terkadang ia mengalami perubahan emosi mendadak, bahkan tidak bisa mengendalikan diri. Alih-alih tidur siang, Seikha merebahkan diri di kasurnya sambil mendengarkan musik.
Setelah itu Seikha terbangun, perlahan masuk ke dalam kamar Kento. Matanya menghardik tajam, Kento yang tertidur tampak tak berdaya. Seikha menduduki sofa yang berada tepat di samping tempat tidur. Kento yang terbangun pun terkejut dibuatnya.
"Sei, sudah pulang?Paman tidak apa-apa, hanya kelelahan," ucap Kento sambil merapikan selimut di dadanya.
Seikha hanya diam seribu bahasa. Kemudian ia berdiri, hendak berjalan keluar dari kamar itu. Namun saat tangannya menyentuh gagang pintu, Seikha berbalik kembali, perlahan mendekati Kento yang sedang meminum air.
"Kenapa ruangan bawah tanah itu menghilang? Apa yang sebenarnya Paman sembunyikan?" Seikha mengintimidasi, mendekatkan wajahnya pada Kento, hingga Kento tersedak.
"Sei, sudah berapa kali Paman bilang, ruangan itu sama sekali tidak ada. Sungguh...." ujar Kento menatap yakin pada Seikha yang mencurigainya.
"Jadi maksud Paman, Seikha hanya mengarangnya? Ayah, di mana dia? Paman tahu segalanya tapi hanya diam. Ada apa sebenarnya? Kalian semua menipu Seikha, membuat seolah-olah akulah yang sakit jiwa. Padahal jelas kalian yang membunuh Ibu!" Bentak Seikha sembari menatap Kento tajam, masih berdiri tepat di hadapannya.
"Sei, percayalah. Paman sangat menyayangi Seikha, seperti anak sendiri. Paman bahkan belum menikah, tidak memikirkan itu hanya demi mengurus perusahaan agar Seikha dapat tetap hidup nyaman," seru Kento dengan mata berkaca-kaca.
"Satu hal lagi Paman tekankan. Tidak mungkin Paman berada di basement atau apalah itu yang Seikha sebutkan. Karena hari itu Paman di Melbourne. Sungguh Sei .... " Kento berusaha meyakinkan Seikha.
"Sei, pernahkah kamu memberanikan diri pergi ke rumah lama kalian di Yogyakarta? Mungkin di sana Seikha bisa menemukan petunjuk. Paman beberapa kali ke sana. Tenang saja rumah dan taman selalu dibersihkan. Ada yang bertugas menjaganya selama ini, Rini, anak Mbok Jum. Sambil bekerja, Rini mengawasi para pegawai di rumah dan memastikannya terjaga dengan baik," Kento menjelaskan pada Seikha.
Seikha hanya terdiam, melihat pamannya bersikeras. Seikha diambang ambigu, ia pun bergegas keluar dari kamar Kento. Pikirannya lelah, langkah kakinya terasa lebih berat. Perlahan Seikha berjalan menuju ke kamarnya di lantai dua, ia menaiki tangga, lalu tidak lama menengok ke lantai satu karena suara yang dikenalnya.
"Ibu.." suara tipis namun manis terdengar dari tempat Seikha berdiri.
"MasyaAllah... Rini anak Ibu..." Mbok Jum berlarian mendengar suara anaknya. Mereka saling berpelukan. Mbok Jum tidak bisa menahan keharuan, Rini tumbuh menjadi wanita yang cantik dan mandiri. Walaupun belum lama Mbok Jum menemuinya di Yogyakarta, tetap saja kerinduan selalu ada. Terlebih karena mereka tidak bisa selalu bersama.
Seikha memandangnya sekilas dan langsung masuk ke kamar. Ia sengaja tidak pernah meluangkan waktu ke Yogyakarta, kota kenangan keluarga kecilnya. Seikha takut, menghadapi kejadian buruk yang serupa. Kasus Yumi saja sampai saat ini belum terungkap, Kusno yang juga menghilang tanpa jejak. Keanehan demi keanehan yang ada membuat Seikha semakin muak, membangkitkan naluri kecurigaannya.
Seikha mulai memutar otak berpikir keras. Saat tragedi Yumi, Seikha tidak dapat mengingat persis karena baru berusia lima tahun. Tetapi saat Kusno menghilang, Seikha mengingat jelas setiap detail yang terjadi. "Darah, darah siapa yang ada saat itu?" pikir Seikha dalam hati.
"Jika aku ingin tahu, aku harus menyelidikinya. Tapi mengingatnya saja sudah cukup buruk bagiku." Seikha berceloteh sendirian sambil mondar-mandir. Seikha memutuskan keluar dari kamarnya, menuju ruang makan bertemu dengan Mbok Jum dan Rini yang sedang asyik mengobrol.
"Seikha.. Apa kabarnya? Alhamdulillah kalau Seikha baik-baik saja. Lama sekali kita tidak berjumpa," ucap Rini begitu melihat Seikha berjalan ke arahnya.
"Iya baik. Kak Rini tinggal di rumah kami di Jogja?" Seikha bertanya sembari duduk di kursi meja makan.
"Iya betul semenjak selesai kuliah. Pak Kento meminta tolong agar sekalian merawat Rumah Seikha di Jogja. Kebetulan kantor saya juga di sana," jawab Rini sembari merapikan jilbabnya yang berantakan.
"Bagaimana keadaan di sana?" Seikha bertanya pada Rini yang sedang meminum teh.
"Baik sekali, rumahnya selalu bersih, taman juga kita rawat dengan baik," ujar Rini menjelaskan pada Seikha sambil tersenyum hangat.
"Mbok Jum, besok Seikha akan ke Jogja. Tolong siapkan baju dan perlengkapan" ujar Seikha sambil berlalu menuju kamarnya.
Mbok Jum dan Rini bingung seraya bertatapan. Pemikiran dadakan dan sifat Seikha yang unpredictable seolah menjadi hal yang mainstream bagi Mbok Jum. "Meskipun begitu, untuk mengunjungi kota yang membuatnya trauma, pasti butuh keberanian." Mbok Jum bergumam dalam hati. "Ehm, Non, Mohon maaf, apa perlu di temani oleh Mbok atau Rini?" tanya Mbok Jum yang khawatir.
"Sendiri saja Mbok. Seikha ingin sendirian. Backpacker. Pas sekali besok sudah libur kuliah," jawab Seikha sedikit berteriak dari tangga.
"Biar Pak Jo temani ya Non? Biar pak Kento tidak khawatir" bujuk Mbok Jum sembari sedikit berlari mendekati Seikha.
"Gampang, Seikha bisa naik bus, rumah Jogja kan pinggir jalan. Seikha sudah bilang backpacker Mbok. Sudah waktunya travelling untuk menjernihkan pikiran. Paman pasti setuju, karena dia yang menyarankan," ucap Seikha menenangkan Mbok Jum yang terlihat cemas.
***
Cuaca panas dan kering Seikha rasakan saat menginjakan kaki di Yogyakarta. Perjalanan ini adalah pertama kalinya ia bepergian sendirian. Seikha yang hendak menaiki bis dari Yogyakarta International Airport harus mengurungkan niatnya. Pasalnya sudah ada pegawai perusahaan yang menunggu di sana. Sambil menuliskan nama Seikha di kertas HVS, pegawai itu tampak malu-malu menghampiri.
"Mbak Seikha? Saya Rian, yang akan mengantar ke rumah," ucap Rian memperkenalkan diri pada Seikha.
"Oke. Padahal mau backpacker-an. Mau naik bis," ujar Seikha sedikit ketus sembari berjalan ke mobil.
"Maaf, Mbak. Mungkin Pak Kento-nya khawatir," jelas Rian sambil menuntun Seikha menuju mobil yang dikendarai supir perusahaan.
Pepohonan rindang seolah menyapa Seikha dalam perjalanan. Akhirnya Seikha tiba di rumah kenangan, tanah kelahirannya. Rindu adalah kata pertama yang bisa menggambarkan perasaannya. Seikha memasuki ruangan demi ruangan, membangkitkan nostalgia. Taman dandelion yang kurang lebih sama. Banyak ilalang mengitari gazebo tempatnya bermain dulu.
Seikha berjalan menuju kamar orang tuanya, Yumi dan Kusno. Piano klasik yang sengaja dibiarkan di ujung koridor, menambah kesan elegan di kamar utama mereka. Dulu saat Seikha memasuki kamar itu, ia merasa ruangannya sangat besar dan luas. Mungkin karena saat ini Seikha telah dewasa, semuanya terlihat normal saja.
"Mbak Seikha, mohon maaf, saya pergi ke kantor dulu ya. Di dapur ada Mbak Rara yang menyiapkan makanan, nanti saya ke sini lagi," ujar Rian dengan santun.
"Oke. Thanks," jawab Seikha.
Seikha membuka laci-laci kamar, tidak ada apapun di dalamnya. Lalu duduk di atas ranjang kayu jati, yang membuat Seikha rindu akan Yumi. Seikha mencoba memainkan piano yang sudah lama tertutup, pelan-pelan ia membuka lid dan lid prop agar berdiri. Ternyata Seikha menemukan map coklat di bagian dalamnya yang berisi kumpulan koran, jurnal dan beberapa foto keluarganya.
Foto pertama : Yumi (sedang mengandung) bersama Kusno di ayunan Taman Dandelion mereka (tertulis 11 Agustus 1999).
Foto kedua : Kusno, Yumi dan Kento sedang berfoto bersama di depan Air Terjun Wringin (tertulis Tahun 9 Maret 1997)
Foto ketiga : Kusno yang berada di depan Pantai Parangtritis (tertulis 26 Mei 2006)
Foto keempat : Foto Kusno di depan gazebo miliknya (tertulis 8 April 2005)
Foto terakhir : Kento yang berdiri depan Tugu Prasasti (tertulis 26 Juni 2017).
"Jika mereka semua ada dalam satu frame foto, lekas siapa yang memotretnya? Mungkin saja pengunjung di sana. Pasti banyak yang mengunjungi air terjun ini. Tapi apa hubungannya dengan gempa tahun 2006? Lalu kenapa Paman datang ke prasasti itu?" Seikha mengernyitkan dahi sambil mengamati foto-foto itu, banyak pertanyaan muncul di benaknya.
Seikha pun menyadari tanggal Kusno berfoto di depan Pantai Parangtritis, yang tertulis pada tanggal 26 Mei 2016. Satu hari sebelum gempa dahsyat terjadi. Gempa satu menit yang meluluhlantahkan banyak bangunan dan korban jiwa. Seikha memperhatikan setiap lembar berkas-berkas itu. Ia membaca salah satu timeline koran lokal:
Pada 27 Mei 2006, gempa bumi besar berkekuatan 5,9 skala Richter mengakibatkan kerusakan yang besar terhadap daerah ini dan kematian sedikitnya 3.000 penduduk Bantul. Daerah yang terkena dampak terparah dari gempa tersebut adalah Pundong dan Imogiri.
Ada pula beberapa jurnal, salah satunya tentang tugu prasasti peringatan Gempa 27 Mei 2006 silam, dimana Kento berfoto pada tahun 2017. Itu berarti saat Seikha berusia 17 tahun atau kelas 3 SMA. Tulisan dalam foto prasasti yang terdapat di Desa Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul, Yogyakarta :
Tugu prasasti ini merupakan pusat episentrum gempa bumi, 27 Mei 2006. Tugu ini sebagai saksi sejarah untuk selalu diingat bahwa pada 27 Mei 2006, pukul 05.59 WIB, terjadi gempa bumi dengan kekuatan 5,9 SR, hanya 59 detik, namun menyebabkan banyak kerusakan dan korban jiwa.
Gempa Bantul memang selalu diceritakan Kusno, karena bukan hanya menimbulkan kerugian harta, benda dan nyawa. Tetapi juga mengubah tatanan kehidupan dan sosial mereka.
"Apapun bisa terjadi di dunia sementara yang kita tinggali, jadi yang kita lakukan adalah selalu bersiap," pesan Kusno pada Seikha setiap menceritakan pengalamannya.
Seikha berusaha mengingat kembali kejadian pada hari itu. Waktu yang bersamaan saat akan terjadi Gempa di kawasan selatan Yogyakarta. Sehari sebelum gempa bumi terjadi, Kusno mengajak Seikha dan Kento pergi ke daerah utara, tepatnya di Kecamatan Sleman, dan menginap di Hotel Royal Ambarukmo.
Jika di urutkan kembali, Kusno seperti sudah memprediksi. Anomali yang terjadi, saat Seikha melihat foto Kusno di Pantai Parangtritis. Di bawahnya tertulis tanggal sehari sebelum gempa terjadi, dimana saat itu Kusno sedang mengantar mereka ke hotel.
"Bagaimana Ayah bisa berada dalam dua tempat sekaligus? Kalau memang benar yang di foto ini adalah Ayah. Apa aku mulai berdelusi?" Seikha berpikir sangat dalam, mengira bahwa semua hanya abnormalitas dirinya.
Seikha yang masih berusia enam tahun saat itu, tidak ingat persis. Seikha terbangun karena suara Kento yang panik menelepon ke sana ke sini. Apalagi Kusno sedang kembali ke rumah mereka yang tidak jauh dari pusat gempa.
Kusno mengambil keperluan rapat yang tertinggal pada pukul tiga dini hari. Untung saja beberapa jam kemudian, tepatnya pukul satu siang Kusno kembali dalam keadaan baik-baik saja.
Seikha menjadi semakin bingung, matanya sudah panas dan lelah. Sembari berbaring, Seikha melihat ponselnya. Ia langsung menelepon Juna, yang ternyata berkali-kali menghubunginya.
"Iya, Kenapa?" Seikha langsung bertanya menanggapi enam panggilan tak terjawab dari Juna.
"Sei, ada di rumah? Aku ke sana ya mumpung libur," ucap Juna yang penasaran karena Seikha enggan menerima teleponnya.
"Sorry ga bisa, lagi di Jogja," ujar Seikha sambil mengambil bantal di sampingnya.
"Jogja?Yogyakarta?" tanya Juna terkejut dengan nada sedikit tinggi.
"Yes" jawab Seikha singkat dan langsung menutup teleponnya. Lalu perlahan tertidur karena kelelahan.