Badannya menggigil, tubuhnya basah berkeringat dingin, bedcover tebalnya tidak terasa. Seikha meringkuk dibalik selimut, tidak bisa tidur. Padahal kemarin hatinya senang bukan kepalang. Suhu ruangan kamar Seikha menunjukan 17 derajat celcius, namun rasanya jauh lebih dingin dari biasa. Nafas Seikha tidak beraturan, nyeri kepalanya tidak berhenti. Seikha bangun dari tempat tidur, menaikkan suhu pada AC-nya.
Seikha mencuci tangan dengan air hangat di westafel kamar mandi, ia bahkan memenuhi bathup dengan air panas. Tak henti Seikha mencuci tangannya, menggosoknya dengan keras, membersihkan di setiap selah jari. Seikha yang seperti mati rasa menekan kembali tombol air panasnya.
Seikha mencoba memegang air dalam bathup yang tampak beruap menandakan panasnya suhu air, tetapi hanya rasa hangat biasa yang Seikha rasakan. Sesaat Seikha menyadari uap pada tangannya. Jari dan lengannya memerah, sedikit iritasi, untung tidak melepuh, pikirnya.
Seikha melihat uap di sekeliling kamar mandi. Kaca yang mengitari di dinding, pantulan bayangannya, cermin dirinya dalam kaca. Seikha bercermin cukup lama, menarik nafasnya, mencoba bernegosiasi dengan yang terjadi. Bayangan wanita lain hadir di cermin, tepat berada di belakangnya.
Samar-samar mata wanita itu melirik tajam pada Seikha, mendekatinya, perlahan menghilang. "Ibu?" Seikha berucap lalu berlalu begitu pula dengan bayangan sang ibu. Seikha buru-buru mencuci mukanya. Setelah keluar dari kamar mandi, Seikha baru merasakan nyeri di tangannya.
Seikha melewatkan konsultasi dengan psikiaternya, dokter Samuel. Dia juga tidak meminum obatnya selama sepekan terakhir. Seikha memutuskan untuk menemui dokter Samuel siang nanti dan tidak masuk kuliah hari ini. Pagi itu Mbok Jum yang sedang memanggang kue, bertanya pada Seikha yang sedang bermalas-malasan sambil menonton tv sendirian.
"Non, mau ditambahkan selai coklat, strawberry atau madu?" Mbok Jum bertanya tentang olesan carrot cake yang sedang dibuatnya.
"Madu," jawab Seikha sambil mengotak-atik remote di tangannya.
"Non, Minggu depan Rini akan datang ke sini untuk menengok Mbok, apakah diperbolehkan?" Mbok Jum bertanya dengan hati-hati pada Seikha.
"Kenapa harus nanya Mbok? Ini rumah Kak Rini juga," jawab Seikha.
Mbok Jum memberikan potongan cake pada Seikha sambil bernyanyi campur cari favoritnya. Seikha yang melihatnya hanya bisa tersenyum geli. Mbok Jum memang terkadang menjadi mood maker baginya di rumah. Seikha melahap kue buatan Mbok Jum, dikunyah perlahan, tiba-tiba Seikha memuntahkannya.
"Pahit .... !" Teriak Seikha pada Mbok Jum yang sedang merapikan meja makan.
"Kenapa Non? Tidak enak?" Mbok Jum terkejut melihat Seikha memuntahkan carrot cake itu.
"Kenapa rasanya seperti ini. Uweek," dengan mata melotot Seikha menghardik Mbok Jum yang sedang berdiri mematung.
Tangan Mbok Jum berkeringat, dia belum pernah melihat tatapan Seikha seperti itu terhadapnya. "Ma... af... maaf Non, nanti Mbok buatkan lagi yang baru. Maaf .... " Mbok Jum terkejut sambil membersihkan bekas makanan Seikha yang berserakan di meja ruang keluarga.
Seketika Seikha menyadari bahwa dirinya membentak Mbok Jum yang telah merawatnya selama ini. "Mbok maaf, benar-benar maaf, Sei tidak sengaja," sambil memegang lengan Mbok Jum.
"Tidak apa-apa Non tenang saja, Mbok yang salah" dengan lembut Mbok Jum memegang tangan Seikha dan tersenyum.
"Carrot cake itu mengingatkan Seikha pada Ibu. Dia selalu membuatkan Sei karena tidak suka wortel," jelas Seikha pada Mbok Jum agar tidak salah paham. Padahal sebelumnya Seikha selalu menyuruh Mbok Jum membuatkannya sebagai pelepas rindu pada Yumi. Tetapi hari ini, rasanya seperti wortel yang Seikha benci.
"Mengapa hari ini rasanya benar2 seperti wortel? Mbok Jum membuat menggunakan resep yang sama?" Tanya Seikha pada Mbok Jum.
"Maaf non Mbok tidak tahu kalau ada kenangan Ibu Yumi, tetapi resep yang Mbok buat sama seperti biasa ...." Mbok Jum menjelaskan pada Seikha.
"Maaf Mbok, mungkin lidah Sei yang bermasalah." Seikha meminum air putih dan segera pergi ke kamarnya.
Seikha merasa bersalah telah membentak Mbok Jum hanya karena hal sepele. Seikha mengeluarkan buku diary yang sudah sepekan belum diisi. Akhir-akhir ini, jika melihat gambar dandelion dan jam pasir di cover-nya, mata Seikha terlihat kalut. Debaran jantungnya sungguh terasa, Seikha melihat berbagai kilasan-kilasan di ingatannya.
Suara ledakan, darah yang bercecer di dinding dan lantai saat ayahnya menghilang. Momen Juna yang membonceng dan menciumnya pudar digantikan percakapan Kento dan Kusno di ruangan bawah tanah. Seikha menggelengkan kepalanya, memejamkan matanya.
Ia menarik nafasnya pelan, tercium wangi serbuk dandelion yang biasa diciumnya saat masih di Yogyakarta. Bayangan taman dandelion yang indah, suara indah Yumi dan Kusno yang sedang menaiki ayunan bersama. Tarikan nafas Seikha menjadi tidak beraturan.
"Sesak. Mengapa sesak sekali?" Seikha mengambil air putih di meja dan menenggaknya. Seikha berusaha menenangkan dirinya. Matanya kosong, pikirannya merancau, badannya lemas, Seikha perlahan tertidur. Bayangan dan pikiran aneh berkecambuk di otaknya. Seikha seperti sedang berperang, melawan pikiran dan hati yang tidak sejalan.
***
Ruangan Dokter Samuel
"Tok tok tok" Suara pintu terdengar.
"Masuk Seikha ...." Suara berat nan lembut mempersilahkan Seikha masuk ke ruangannya.
"Dok, Maaf, Seikha melewatkan pertemuan," sambil berjalan dan langsung duduk tanpa dipersilahkan sembari menyenderkan diri di sofa.
"Tenang saja, biasa, namanya juga anak muda. Haha.... " Dokter Samuel berkelakar, pria paruh baya itu berdiri dari mejanya dan ikut duduk di kursi tamu berhadapan dengan Seikha.
"Mau minum teh? Kopi? Jus? Milkshake?" ucap dokter Samuel sambil bercanda pada Seikha yang tampak tegang.
"Air putih saja. Dok, sejujurnya sudah sepekan lebih aku tidak minum obat. Aku merasa baik-baik saja. Tapi kemarin..." Seikha berhenti dan memperlihatkan tangannya yang memerah karena mencuci tangan dengan air yang terlalu panas.
"Kenapa itu?" Dokter Samuel mengambil kacamata yang ditaruh di kepalanya dan memasangnya dengan benar.
"Sei mengigil, rasanya dingin sekali dok, benar-benar dingin. Jadi Seikha mencuci tangan dengan air hangat yang ternyata air panas. Baru menyadari setelah selesai...." Perlahan Seikha menceritakan kegundahan hatinya akan kejadian itu.
Dokter Samuel pun tersenyum, memegang tangannya, memeriksa lukanya. Pria paruh baya itu terlihat sedang berpikir dalam. Lalu melihat Seikha sambil tersenyum kembali.
"Tidak apa-apa. Ayo obati dulu lukamu, nanti iritasi," ucap dokter Samuel sembari pergi ke lemari dan mengeluarkan kotak P3K untuk Seikha.
Handphone Seikha bergetar, pamannya menelpon. Seikha yang melihatnya, tidak teralihkan. Tidak lama berselang Juna juga menelponnya, mungkin karena Seikha hari ini tidak masuk kuliah. Bahkan Seikha membatalkan janji untuk kembali ke kampus bersama dan mengaku tidak enak badan pada Juna. Seikha pun melirik pesan yang masuk.
"Sei, sakit apa? Aku boleh ke rumah?" Notifikasi whatsapp Juna terlihat di layar.
Sebenarnya Seikha ingin bercerita pada Juna mengenai kegelisahan atau fakta bahwa dirinya menemui psikiater. Alih-alih melakukannya, Seikha menutupinya. Kekhawatiran akan Juna melihat sisi kelamnya lalu menjauh, Seikha enggan.
"Bagaimana kamu dapat memahamiku, jika aku sendiri tidak mampu," gumam Seikha dalam hati.
"Kenapa tidak dijawab atau dibalas?" Ujar dokter Samuel menutup kotak P3K yang sudah selesai digunakan.
"Hmm... Tidak apa dok, aku tidak ingin mereka tahu." Seikha menjelaskan sambil memegang tangannya yang sedikit perih akibat olesan salep.
"Kalau memang lebih nyaman tidak diberitahu, ya tidak apa-apa. Tetapi alangkah baiknya, ada yang menemani Seikha di saat-saat yang sulit," ucap dokter Samuel pada Seikha.
Seikha yang mendengarnya hanya bisa terdiam, tidak ingin salah langkah. Seikha meragukan ingatan, pikiran, sikap dan perubahan emosinya. Ia takut bahwa semua adalah imajinasi semata.
"Jika semuanya hanya khayalanku, bagaimana? Semua yang terjadi dokter, apa hanya delusi saja?" Seikha yang ragu bertanya pada dokter Samuel.
"Jika keyakinanmu itu membuatmu lebih baik, maka percayalah. Jika apa yang kamu percayai membuatmu buruk, maka anggaplah sebagai khayalan. Hidup ini jangan terlalu serius," pesan dokter senior yang memang terkenal akan jiwa nyelenehnya di kalangan psychiatrist.
"Dokter akan berikan antipsikotik berupa pil. Seikha, semua manusia memiliki jiwa dan raga. Jiwa menggerakkan raga, maka raga harus patuh. Hati adalah satelit dari jiwa itu sendiri. Yang bisa menguasai hati adalah diri kita sendiri. Seikha adalah gadis yang cerdas. Berdamailah dengan hati dan pikiranmu, tidak perlu buru-buru. Pelan-pelan saja. Jika tidak bisa? Ya tidak masalah. Tidak usah terlalu dipusingkan," jelas dokter Samuel bijak pada Seikha yang terlihat lebih murung dari biasanya.
"Obatnya diminum boleh, tidak juga tidak apa-apa. Haha...." dokter Samuel yang jenaka tertawa sendiri. Membuat Seikha sedikit tersenyum dan heran melihat tingkahnya.
"Oh iya, mengenai pertanyaan Seikha di pertemuan sebelumnya, seseorang yang memiliki orangtua dengan skizofrenia memang betul dapat meningkatkan persentase resiko dari 1% menjadi 10%."
"Sedangkan seseorang yang memiliki kembaran identik pengidap skizofrenia akan meningkatkan resiko sekitar 50%. Tapi Seikha tahu? Sepertinya Seikha tidak termasuk dalam presentase itu, Seikha juga tidak punya saudara kembar." Dokter Samuel menjelaskan sambil tersenyum sambil meminum tehnya yang sudah dingin.
Perbincangan dengan dokter Samuel membuat Seikha selalu lebih tenang. Dokter Samuel yang telah lama mengenal Seikha, mengganggap Seikha sebagai pasien yang spesial. Bagaimana tidak, seorang gadis berusia lima belas tahun datang kepadanya, sendirian.
Seikha terlihat lebih dewasa dari usianya dan menyadari dirinya berbeda. Dokter Samuel memperlakukan Seikha seperti anaknya sendiri, lagipula usia Seikha hanya berbeda dua tahun dari anak sulungnya.
Setelah selesai menemui dokter Samuel, Seikha bergegas pergi ke apotik rumah sakit untuk mengambil obatnya. Seikha menunduk sibuk mencari catatan dokter yang diberikan padanya, hingga ia menabrak seseorang. Catatan dokter dan resepnya jatuh ke lantai. Refleks Seikha meminta maaf.
Seikha berjongkok untuk mengambil kertas yang ia jatuhkan. Pria yang ditabraknya ternyata membantu merapikan dan memberikan kembali pada Seikha. Perlahan Seikha mengangkat wajahnya dan bertemu pandang dengan pria itu.
"Sekali lagi maaf, dan terimakasih," ujar Seikha sambil mencoba berdiri.
"It's okay, saya yang minta maaf," jawab pria dengan kemeja putih itu.
Seikha pun lanjut berjalan menuju loket apotik dan memberikan resepnya. Pria yang tadi menabraknya masih memandang Seikha dari belakang, pria itu terus menatapnya. Tidak lama Seikha membalikkan badan dan melihatnya. Tiba-tiba pria itu tersenyum pada Seikha, lalu melambaikan tangannya.
"Sampai jumpa lagi, Seikha!" Pria muda itu berseru di tengah lobby rumah sakit dan berlalu begitu saja.
Seikha yang mendengarnya tampak terkejut, ia bahkan tidak mengenal pria itu. Mungkin hanya orang iseng yang melihat nama pada rincian resep, pikirnya.
Seikha merasa pikirannya kembali jernih, sepertinya ia hanya ingin teman bicara, yang dapat melihat kejujuran di matanya. Mempercayai setiap kata yang terucap dari bibir indahnya. Menemani dan memberinya pengobatan saat hatinya terluka.
Dokter Samuel laksana oasis di Dry Valleys, tempat paling kering di bumi. Membantu membasahi jiwa dan batin yang tersakiti.
***
Dear Diary,
01 Februari 2020
Aku sudah lama memimpikan mimpi yang sama. Berada di surga, dengan sekeliling air terjun dengan hamparan taman bunga menakjubkan. Sungai-sungai jernih yang mengalir indah. Tapi kali ini, aku bermimpi berada di neraka.
Api-api menyembur membakar semua orang. Mereka kesakitan, berteriak-teriak kepanasan. Begitu juga aku, yang hangus terbakar. Sudah saatnya aku menghentikan ketidakpastian ini. Walau jiwaku rapuh, aku akan tetap terlihat angkuh dan tangguh. Ibu, akan aku berikan keadilan untukmu. Sabarlah menunggu.
Seikha.