Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 3 - Bab 3. Skizofrenia?!

Chapter 3 - Bab 3. Skizofrenia?!

Prolog

Bayangan kelam diselimuti awan mengambil semua kebahagiaan. Rasanya tidak ada motivasi kehidupan. Seperti lelah karena berlarian, padahal aku hanya diam. Apa lagi yang bisa kubanggakan? Ibu, haruskah aku lanjutkan?

Dear Diary

6 Januari 2020.

Hari ini Kento datang. Seperti biasa ia melihatku dengan matanya yang penuh kepalsuan. Tidak tahukah dia bahwa aku sangat membencinya? Sampah.

Dia hanya sampah yang ingin aku buang. Andai saja saat itu aku tidak menghubunginya. Saat dia ada, dadaku terasa panas, jantungku berdetak lebih cepat. Aku sungguh tidak bisa menahannya.

****

"Sei, Sei.. Paman tiba," teriak Kento dengan keras segera setelah masuk ke dalam rumah.

Kendati Seikha yang berada di lantai dua dapat mendengarnya dengan jelas, ia tidak perduli. Diam, enggan beranjak dari kamarnya.

"Tok..tok..tok.." suara ketukan pintu kamar Seikha. Ia tidak ingin membukanya.

"Seikha sayang, maaf melewatkan sepekan ulang tahun Seikha. Paman tidak bisa pulang, Seikha tahu kan kenapa?" Terdengar suara Kento dari balik pintu kamar Seikha.

"Seikha marah? Paman belikan hadiah ulang tahun, ada di depan rumah, ayo lihat." Kento menambahkan.

"Terimakasih," jawab Seikha singkat dan dingin sembari mengernyitkan dahi.

"Sei, lihat dulu yuk bersama Paman" Kento menimpali.

"Nanti saja," jawab Seikha.

"Oke Sei, istirahat kalau begitu," ujar Kento menyerah, namun mengatakannya dengan penuh kehangatan. Kento kecewa karena melewatkan ulang tahun keponakan kesayangannya. Ia berlalu menuju kamar pribadinya.

Seikha tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Dilemanya, pikiran buruknya, kegugupannya, bahkan amarahnya. Seikha mengambil obat dari dalam laci kamarnya dan meminumnya tergesa-gesa. Perlahan bayangan dan pikiran buruknya mulai hilang.

Seikha berhalusinasi, ia berada di air terjun yang di sekelilingnya terdapat bunga-bunga bermekaran. Tampak dari kejauhan seorang wanita dengan gaun putih nan cantik datang mendekat lalu memeluknya. Seikha tertidur di pangkuannya, merasakan kehangatan yang dirindukan.

"Cantiknya anak Ibu, Seikha sayang... " Suara lembut mendengung sembari membelai rambut hitam Seikha.

"Ibu.. " Seikha berbicara pelan sambil memejamkan mata merasakan pelukan yang ia dambakan.

Perlahan awan menyerupai asap putih mengelilinginya, sayup-sayup Seikha mendengar suara seorang pria dibalik awan, "Seikha.." suara yang tampak familier baginya.

Seikha perlahan mengalihkan pandangannya, namun genggaman tangan Yumi semakin lama menghilang. Seikha terbangun dari fantasi mimpi indahnya. Jam dindingnya menunjukan waktu pukul 03.47 WIB.

Sudah lama sejak Seikha tidak bisa tidur dengan nyenyak, ia selalu terbangun dengan rentang waktu maksimal lima jam saja. Kepalanya pusing, badannya merinding, jantungnya berdebar kencang.

Seikha selalu ingin berteriak setiap kali bermimpi, meluapkan luka dalam hatinya, namun selalu berhasil menahannya. Seikha tidak ingin Kento mengira dirinya tidak baik-baik saja.

Seikha tidak ingin orang lain tahu akan trauma masa kecil yang masih membekas di hatinya. Seikha selalu menahan apapun, sejak saat itu. Sejak Seikha tahu bahwa ia memiliki gejala yang sama seperti Yumi, ibunya.

***

Flashback

Ingatan versi Seikha (20 Juni, 2014)

Sepulang sekolah setelah bermain dengan teman-temannya, Seikha tidak sengaja mendengar Kento yang sedang menelepon seseorang. Wajah Kento terlihat serius, ia terkejut saat Seikha lewat di hadapannya. Seikha merasakan ketegangan dan kejanggalan.

"Seikha baik-baik saja, tunggulah sebentar lagi. Kami akan segera datang." Kento mengatakannya dengan senyum di bibirnya.

Seikha yang sedikit mendengar percakapan itu, menyakini Kento berbicara dengan orang yang tampak dekat dengan mereka, padahal mereka tidak punya kerabat atau siapapun lagi di Indonesia. Sejak saat itu Seikha memperhatikan gerak-gerik Kento, entah mengapa Seikha meyakini ada yang Kento sembunyikan darinya.

Malam itu Kento terlihat tidak ada di rumah, mobilnya tidak tampak terparkir, ia juga tidak ikut makan malam. Mbok Jum yang diinterogasi Seikha juga mengaku tidak tahu keberadaan pamannya. Seikha diam-diam pergi ke kamar Kento, mengendap-ngendap.

Rasa penasaran terlalu besar menyelimutinya. Gadis empat belas tahun itu ingin tahu apa yang terjadi di belakangnya, mengikuti kata hatinya. Seikha membuka laci-laci di lemari kamar Kento, di bawah tempat tidurnya, di bawah lampu, di semua tempat. Namun tidak ada yang berhasil ditemukan.

Seikha pun menyerah, mungkin semua hanya kecurigaannya belaka. Saat hendak kembali ke kamarnya, Seikha terjatuh karena tersandung lantai kayu yang tidak rata. Seikha menyadari lantai kamar Kento tidak sama dengannya. Selama ini ia memang tidak pernah memasuki kamar pamannya itu.

Tidak seperti lantai kamarnya yang keseluruhan terbuat dari marmer, sebagian lantai di kamar Kento ada yang terbuat dari kayu agathis, terutama di bagian bawah lemari pakaiannya. Design selang-seling yang aneh, pikir Seikha saat itu.

Bagian lantai bawah lemarinya tampak miring jika dilihat dari dekat, Seikha yang penuh keingintahuan, mencoba menekan, menggeser, membuka paksa, seperti di film yang kerap ia tonton. Namun sayangnya semua cara tidak berhasil, Seikha mulai mengganggap dirinya terlalu terobsesi dan termakan pikiran buruknya sendiri.

Seikha mendengus lelah, ia duduk menyender di lemari kayu besar itu sambil meluruskan kakinya di lantai. Seikha yang bosan iseng membuka lemari pamannya, karena posisi Seikha yang menyender, ia dapat melihat bagian bawah lemari yang ditutup dengan solatip hitam. Seikha membuka solatip itu, betapa terkejutnya Seikha, karena menemukan tombol kotak berbentuk bunga Dandelion yang terukir diatasnya.

Seikha mencoba menekannya, tiba-tiba ruang bawah tanah di bawahnya terbuka bahkan tanpa suara. Tidak terdengar suara gesekan, pintu ruangan itu terbuka dengan mudahnya. Terdapat tangga kecil yang terlihat dari atas, gelap, dan sempit. Perlahan Seikha memberanikan diri menuruni tangga yang ada di bawahnya. Bulu kuduk Seikha berdiri, lorong tangga itu bahkan sempit untuknya.

Begitu memasuki lorong, Seikha menyadari ruangan di bawahnya tampak berbeda. Telihat seperti basemant besar yang didominasi dinding batu-bata merah. Samar-samar Seikha melihat Kento dari kejauhan dengan sosok laki-laki dihadapannya.

Seikha ingin mendekat dan memanggil pamannya, tetapi sesuatu yang didengarnya membuatnya terdiam. Seikha tidak dapat melihat dengan jelas karena cahaya yang gelap, tetapi Seikha yakin dapat mendengar percakapan mereka dengan baik.

"Seikha pasti trauma, semua karena kakakmu, Yumi. Dia hanya mementingkan dirinya. Untunglah, semua sesuai rencana kita" suara berat dan serak yang sangat dikenalinya. Jantung Seikha terasa berhenti. Suara itu adalah suara ayah yang di kaguminya, juara di hatinya, Kusno. Mereka berbicara seolah tidak menyadari adanya Seikha.

Diam-diam Seikha naik perlahan kembali ke atasnya, menutup lantai kayu dengan rapat dan kembali ke kamarnya. Seikha berkeringat, terengah-engah. Ia berpikir, melamun, mengingat, berusaha mencerna dan mempercayai apa yang ia dengar. Seikha yakin bahwa Kento dan Kusno yang menjadi alasan Yumi tiada.

Tiga hari kemudian saat pamannya tidak ada di rumah, Seikha memberanikan diri untuk pergi kembali ke ruangan bawah tanah dengan keyakinannya mencari Kusno. Diam-diam sambil memperhatikan sekelilingnya, Seikha masuk ke kamar pamannya itu.

Semuanya sudah hilang seperti tidak pernah ada. Tidak ada lantai kayu yang kemarin dilihatnya, tidak ada jejak ruangan di bawahnya, Seikha sempat meragukan dirinya. Namun Seikha akhirnya meyakini, bahwa yang disaksikannya bulan imajinasi semata.

****

Jakarta, 14 Juli 2014

"Sepertinya trauma masa lalunya sangat dalam, maka terkadang Seikha mempercayai imajinasinya adalah kenyataan yang terjadi. Perlahan sebaiknya Seikha mendapatkan perawatan," ucapan dokter yang ditemui Kento.

Seikha yang diam-diam mendengar dari depan ruangan dokter semakin terkejut saat pamannya mulai berkisah. "Yumi, ibunda Seikha semasa hidup berjuang dengan skizofrenia, dokter. Dia berada di dunia yang dia percayai saja. Bahkan kami mencurigai, dia membunuh dirinya sendiri dan membahayakan nyawa Seikha saat itu. Tolong Seikha agar bisa hidup dengan normal. Saya sangat khawatir." Kento menunjukan ratapannya pada psikiater yang diketahui bernama dokter Vena.

"Semenjak memiliki Seikha, Yumi sering berhalusinasi, bahkan terakhir dia mencurigai dan menuduh suaminya sendiri. Karena itu mereka tinggal di tempat yang jauh dari pemukiman, karena Yumi tidak menyukai bertemu dengan orang-orang. Dia sering mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal, ia juga...." Kento menceritakan lebih panjang riwayat Yumi yang dikhawatirkan diturunkan ke Seikha, lalu suara pot pecah terdengar di depan ruangan dokter Vena.

Seikha yang tidak sengaja mendengar perkataan Kento, langsung pergi ke ruangan therapy tempat ia akan diperiksa. Pikirannya menolak percaya dengan apa yang didengarnya. Seikha perlahan meneteskan air matanya, mengetahui betapa menderita Yumi semasa hidupnya.

Sudah kedua kalinya Seikha diperiksa, setelah sebelumnya Kento mengajaknya ke rumah sakit karena Seikha seringkali berteriak, memaki dan menyerang Kento di rumah. Seikha mengatakan hal yang menurut Kento tidak masuk akal dan tidak pernah terjadi. Meskipun begitu, Kento dengan sabar menghadapi Seikha. Memperlakukan Seikha seolah sangat menyayanginya. Seikha sendiri meragukan ketulusan pamannya.

"Dokter, aku tidak berbohong. Ayah masih hidup aku melihatnya bersama paman. Mereka membunuh Ibu," cerita Seikha pada dokter Vena. Ia sungguh bersumpah melihat Kento dan sang Ayah, Kusno, saat mereka membicarakan kematian Yumi.

"Seikha sayang, dokter percaya. Sekarang Seikha ceritakan pada dokter apa yang Seikha rasakan. Cobalah untuk bernafas lebih dalam ...." dokter Vena dengan lembut menuntun Seikha setengah berbaring di kursi therapynya.

"Dokter, sungguh, mereka merencanakannya, Ayah dan Paman. Seikha tidak berhalusinasi, ini sungguhan." Seikha berusaha menyakinkan psikiaternya itu.

"Baiklah Seikha, ceritakan semuanya. Dokter akan dengarkan semua, agar bisa membantu Seikha," dokter Vena berusaha menenangkan dan meyakinkan Seikha.

Seikha akhirnya menceritakan apa yang dilihat dan didengarnya. Ayahnya yang ia kagumi selama ini, menurutnya adalah dalang dibalik kematian Yumi. Bersama Kento, mereka merencanakan semuanya. Kusno dan Kento adalah manusia yang menipunya. Mereka menipu Seikha agar dapat menyingkirkan Yumi. Itulah kesimpulan yang diyakini Seikha.

Dokter Vena mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan oleh Seikha. Namun, kalimat yang dilontarkan dokter Vena, "Apa Seikha yakin semuanya bukan halusinasi atau bayangan Seikha saja?" Membuat Seikha meragukan dirinya sendiri.

Dokter Vena memberikan resep obat antidepresan. Seikha yang memiliki idealismenya sendiri, merasa bahwa tidak seharusnya percaya. Baik dokter atau siapapun di dunia. Terlebih, ternyata, beberapa saat kemudian Kento membawa dokter Vena ke rumah dan memperkenalkan sebagai pacarnya.

***

Jakarta, 10 Januari 2020

Setiap hari tanpa terlewat sedetik pun, Seikha masih dengan jelas mengingat perkataan dokter Vena dan semua peristiwa. Seikha tidak yakin pada dirinya, pada kejadian yang dilihat dan didengarnya. Akibat terombang-ambing kegelisahan yang dibuat oleh dirinya sendiri.

"Ibu bunuh diri? Membahayakanku? Omong kosong. Ibu adalah orang yang paling perduli terhadapku. Kalian lah yang menipuku." Seikha berbicara sendiri sambil melangkahkan kaki keluar dari kamarnya. Seikha kembali mengingat momen itu, yang selalu terngiang di benaknya. Saat ia tidak dipercaya dan dianggap memiliki gangguan jiwa.

Seikha dengan sengaja menuju ke lukisan dandelion di dinding tangga rumahnya. Ia merasakan gejolak kemarahan yang tak terbendung dan merobeknya tanpa ampun. Saat Seikha disetir oleh pikiran negatifnya, sifatnya menjadi impulsif. Kadang ia merusak barang-barang, walaupun akhirnya Seikha membeli lagi barang yang sama agar Kento tidak mengetahuinya.

Tetapi saat ini, ia bahkan tidak perduli dampaknya, ia hanya ingin melampiaskan segalanya. Seikha menuju taman depan rumahnya, pandangannya tertuju pada dandelion yang terlihat dimana-mana. Lalu Seikha mencabutnya dengan asal, membuangnya ke tanah, menginjak-injak tanaman yang tidak bersalah itu.

"Hama menjijikan! Kalian hanya gulma diantara bunga yang berwarna. Indah bagi sebagian kaummu saja. Bukankah hanya tinggal tunggu layu dan busuknya? Ya, semua ada gilirannya. Menderita, kesepian, tersiksa, dan mati."

"Kalian tidak perlu bersedih, aku hanya membantu kalian untuk mati lebih cepat. Berterimakasihlah". Tiada henti Seikha berbicara dipenuhi rasa amarah, nafasnya cepat, pandangannya tajam seperti ingin menerkam apa saja yang ada di depannya.

"Kalian yang menipuku. Semua yang menyakitiku. Akan aku hancurkan, dengan tanganku. Tunggu dan lihat saja. Pembalasanku". Seikha tidak lagi bisa menahannya, ia bergerak mengikuti insting liarnya. Seikha mencengkram tanaman itu bersama pecahan kaca yang ia temukan di halaman. Perlahan darah menetes jatuh ke tanah.