Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 5 - Bab 5. Debaran Roman Picisan

Chapter 5 - Bab 5. Debaran Roman Picisan

Kamar tidur nuansa jingga itu semakin terang dengan terbukanya tirai otomatis dari remote yang di pegang Mbok Jum. Sinar mentari pagi yang menghangatkan jelas terasa, walau AC selalu menyala.

Betapa kagetnya Mbok Jum saat melihat Seikha yang ternyata sudah membuka matanya, bahkan sepertinya belum menutup mata semalaman. Seikha masih berbaring dengan mata yang terbuka. Mbok Jum yang kaget melihatnya sempat tersentak efek terkejut.

"Astagfirullah Non Seikha mengagetkan saja" seru Mbok Jum sambil memegang dadanya. "Apa Non Seikha tidak tidur semalaman?" Lanjut Mbok Jum bertanya.

"Iya, tidak bisa tidur," dengan mata sayunya Seikha menjawab.

Seikha merasakan keanehan yang dirasakan oleh hati dan tubuhnya. Ia masih tidak percaya bahwa kemarin Juna menciumnya. Semakin Seikha ingin melupakan, semakin jelas ia mengingat. Seikha yang masih ragu, belum juga membalas pesan Juna. Ini adalah kali pertama Seikha merasakan perasaan yang tidak enak dan serba salah.

Juna selalu bersamanya setiap saat, nemun kemarin terasa berbeda. Padahal Seikha hanya ingin melampiaskan amarahnya saja. Memeluk Juna membuat pikirannya dingin, terkadang Seikha menjadi lupa akan luka dan pikiran gilanya. Seikha ragu-ragu untuk mengambil ponselnya, dilihatnya pesan dari Juna yang belum terbaca.

"Sei, sudah makan?maaf membuat Seikha terkejut.."

"Sei, marah ya?"

"Sei, maaf.."

"Sei.."

Pesan Juna menumpuk, tujuh kali panggilan tidak terjawab. Sebenarnya Seikha ingin kembali menelponnya. Ia mengetiknya, lalu dihapusnya kembali. Ia mengetik ulang, tetapi tidak jadi. Akhirnya Seikha hanya memandangi teleponnya saja. Seikha salah tingkah, tetapi ia tidak ingin Juna tahu perasaannya.

Dear Diary,

31 Januari 2020

Hati itu laksana kertas ujian. Semua terhubung ke otak. Semakin kamu memahami, semakin penuh isinya. Semakin kamu tidak belajar, semakin kosong kertasnya. Atau mungkin hanya diisi jawaban yang asal-asalan. Toh pada akhirnya semua hanya melihat berapa nilainya. Padahal jawaban yang benar mungkin hanya karena keberuntungan tebakan. Bukan karena benar mengerti dan memahami maksudnya.

***

Terdengar suara mobil datang di tengah derasnya hujan. Langkah sepatu berat mendekat masuk ke dalam rumah. Ya, Kento baru saja tiba dari perjalanan kerjanya. Seikha yang tengah berada di ruang keluarga bergegas untuk naik ke kamarnya di lantai dua.

"Aneh sekali, kenapa dia basah kuyup padahal pakai mobil?" Seikha bergumam dalam hati.

"Sei, sudah makan?haduh paman kehujanan," sambil tertawa Kento berkelakar pada Seikha.

Kento yang basah kuyup sedikit berlari pergi ke kamarnya.

"Mbok, Mbok Jum.... Tolong lap lantai yang basah ya," seru Kento saat akan masuk ke kamarnya.

Mbok Jum yang mendengarnya bergegas mengambil electric mop pel dan membersihkan cipratan air dari baju yang basah kuyup itu.

"Kok ya aneh to Non, itu Pak Kento pakai mobil kok ya basah kuyup," celoteh Mbok Jum yang penasaran sambil mengepel jejak Kento.

Seikha tidak menanggapi dan berlalu ke kamarnya. Juna telah mengalihkan pikirannya. Seikha tampak memandangi buku diary tempat dirinya biasa "curhat". Sebenarnya buku diary itu hadiah Kusno untuk Yumi, tetapi Yumi tidak pernah menulis apapun.

Seikha hanya memandangi buku unik itu, memutar-mutar jarum jam ditengahnya, disentuhnya ukiran unik namanya. Buku yang aneh, baru kali ini melihat buku dengan cover seperti ini, pikirnya.

Seikha merasakan getaran berulang dari balik kantong celananya, ternyata ponselnya berbunyi sedari tadi. Seikha hanya mengaktifkan mode getar, ia tidak suka suara bising dari nada terima apalagi nada dering lagu saat menelepon. Kegelisahan tampak pada wajah Seikha, namun ia tetap menjawab teleponnya.

"Sei, maaf ganggu. Besok kuliah aku jemput ya?" Juna memberanikan diri untuk menghubungi Seikha terlebih dulu.

"Oke," Seikha menerima dengan gayanya yang seakan biasa saja, tetapi sungguh hatinya berdebar-debar.

Seikha bersiap untuk tidur, dilihatnya obat yang berada tepat di sampingnya dengan air putih yang telah disiapkan Mbok Jum. "Hari ini aku tidak ingin meminumnya juga" ucap Seikha dalam hati. Sejak kemarin Seikha enggan mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter Samuel. Psikiater paruh baya yang ditemui Seikha saat memasuki kelas 1 SMA.

Seharusnya esok adalah jadwal rutin konsultasi dan therapy dokter Samuel, tetapi Seikha berniat melewatkannya saja. Seikha merasa dirinya tidak perlu menemui psikiater sementara, karena sudah dapat mengontrol hati, pikiran dan sikapnya.

Biasanya Seikha menemui dokter Samuel sendirian, membayar dengan kartu unlimited dari perusahaan. Meskipun begitu, Kento tidak mengetahui perihal Seikha yang memeriksakan diri ke psikiater kembali. Kento pun tidak pernah mengecek rincian biaya pengeluaran kartu Seikha, hanya sekretaris yang mengurus. Karena Seikha membelanjakan cukup banyak dalam satu bulan, sepertinya biaya dokter tertutup dan terlewat begitu saja.

Kento hanya tahu Seikha mengkonsumsi vitamin atau obat untuk kesehatan kulit dan kecantikan dari Mbok Jum, yang menyiapkannya setiap hari. Kento yang merupakan wali Seikha, diwariskan uang perusahaan Kusno tanpa harus bekerja keras. Seikha berpikir wajar jika Kento memberinya materi yang berlimpah, karena Seikha adalah penerus satu-satunya.

Hari ini Juna datang pagi-pagi sekali menjemput Seikha. Dengan jaket denim dan sneaker-nya, Juna terlihat sporty. Tidak lupa ia menyempotkan parfume dan mengoleskan gel di rambutnya. Hatinya berdebar untuk menemui Seikha setelah kejadian malam itu. Juna menekan bel, seperti biasa ia pun menunggu di ruang keluarga.

Tidak lama tercium wangi semerbak di ruangan, Juna pun berbalik badan. Turun dengan gaun putih gading simple selutut, rambut yang digerai indah. Olesan eyeliner tipis membuat matanya semakin tajam. Blush on dan lipgloss berwarna peach menjadikan wajahnya lebih berkilau.

Seikha menyembunyikan kegugupannya, lalu menyapa Juna yang berdiri di depannya. Juna sungguh terpukau akan kecantikan Seikha.

"Cantik sekali, " pikir Juna dalam hati. Juna yang melihat pakaian Seikha baru menyadari bahwa Seikha mengenakan dress.

"Sei, apa sebaiknya ganti celana panjang? Aku kan pakai motor," dengan hati-hati ucap Juna pada Seikha takut menyinggungnya.

"Lihat" Seikha menyuruh Juna untuk melihat ke bawah, ke bagian lututnya.

Tiba-tiba Seikha menyibak dan mengangkat tinggi dress putih itu, membuat Juna tersentak. Walaupun Seikha mengenakan celana pendek di dalamnya, Juna dapat dengan jelas melihat perut rata di kulit pucat Seikha. Juna tersipu malu dan segera memalingkan muka.

Mereka pun bersiap untuk menaiki motor klasik Juna, Suzuki TS 125 Tahun 1993 milik mendiang ayahnya. Motor khas zaman dulu yang sering digunakan oleh para TNI atau Polri. Tampak helm berwarna pink sudah disiapkan Juna untuk Seikha. Ini adalah kali pertama Seikha menaiki sepeda motor, karenanya Juna ingin memastikan Seikha aman dan nyaman.

"Ehm Sei, biar tidak terjatuh pegang pinggangku saja. Eh, jangan bahu saja. Pegang helm juga boleh," Juna tampak mengernyitkan dahi dari balik helmnya, menyesali rancauannya. Ragu-ragu Juna memegang tangan Seikha dan menuntunnya duduk. Baru saja menaiki motor bersama, tapi Juna sudah salah tingkah.

Udara pagi hari yang menyegarkan, semilir angin sejuk, ditambah perasaan keduanya yang sedang berbunga-bunga membuat suasana menjadi menyenangkan. Mereka pun pergi menaiki motor Juna untuk berangkat ke kampus.

Perjalanan semakin menegangkan saat Seikha tiba-tiba memeluk Juna dari belakang. Dari balik helm yang menutupinya, Juna tersenyum tapi juga menahan debaran kencang di dadanya. Juna mengendarai motornya dengan pelan, ia tidak ingin buru-buru sampai, Juna hanya ingin dipeluk Seikha lebih lama lagi.

"Jantung tolong dikondisikan, akan memalukan kalau Seikha tahu. Tarik nafas, keluarkan. Tenang Arjunara. Tenang..." Juna bergumam dalam hati.

Ali dan Dayu yang sedang berjalan dari depan kampus tidak sengaja melihat Juna dan Seikha menaiki motor bersama. Mereka saling bertatapan dan tersenyum penasaran.

"Sei, sudah sampai.... Kelas pagi kita beda ya?" Ucap Juna memberitahu Seikha.

Hening, Seikha tidak menanggapi, tetapi masih memeluk Juna dari belakang. "Sei.. ?" Juna mencoba memanggil ulang gadis pujaannya itu.

Perlahan Juna menengok ke belakang, ternyata Seikha tertidur di punggungnya. Pelan-pelan Juna membangunkannya, dengan lembut tangannya membelai pipi Seikha. Mata Seikha yang baru saja terbuka langsung bertatapan dengan Juna. Seikha tampak terkejut, dan langsung menuruni motor.

"Aku ada kelas beda, duluan. Makasih Jun." Seikha langsung bergegas pergi dengan helm pink di kepalanya.

Juna pun turun dari motornya, lalu mengejar Seikha. "Sei, ini helmnya dilepas dulu," ujar Juna tertawa kecil sambil membuka helm di kepala Seikha. Tidak lupa Juna juga merapikan rambut Seikha yang sedikit berantakan.

Seikha tidak bisa menyembunyikan kegugupannya, ia langsung berlari menuju kelasnya tanpa mengucapkan terimakasih pada Juna.

"Sei, nanti pulang aku antar lagi ya," Juna sedikit berteriak pada Seikha yang berlalu begitu saja. Juna melihat sisi lain Seikha sekali lagi, tampak menggemaskan baginya.

Dari kejauhan, Roy bertolakpinggang melihat semuanya. Dia meruncingkan matanya, seolah membenci Juna. Sejak awal Roy memang tidak suka pada Juna yang seperti bayangan Seikha.

Roy tampak memanggil teman-teman geng di jurusannya. Amarahnya jelas memuncak, otot jelas terlihat di kepalan tangannya, mata Roy tidak berkedip melihat Juna yang sedang berjalan. Bahkan nafasnya terlihat panas, api cemburu membakar otaknya.

"Tidak ada yang bisa mengambil apapun yang sudah menjadi milikku" ucap Roy dengan penuh amarah sambil berlalu menuju kelas.

Sore hari saat mereka telah menyelesaikan kelasnya masing-masing, Juna menunggu Seikha di parkiran motor kampus. Tidak lama Seikha muncul dari kejauhan, tersenyum ramah dan melambaikan tangan pada pria jangkung yang sedang menunggunya.

"Hah... Seikha tersenyum kepadaku?" pikir Juna tertegun dalam hati.

"Nunggu lama?" Tanya Seikha pada Juna.

"Tidak kok, baru saja," jawab Juna dengan hangat sambil memandang Seikha.

Juna belum pernah melihat Seikha tersenyum seperti itu. Sepanjang perjalanan, mereka menyadari kenyamanan yang tak bisa digambarkan dengan kata. Seikha dan Juna memutuskan untuk singgah makan di salah satu kafe langganan tempat mereka belajar bersama. Seikha terus memandangi dengan seksama pria tampan itu.

"Kenapa aku tidak pernah menyadari Juna begitu tampan dan menarik?" Seikha bertanya-tanya dalam hati. "Jun, terimakasih. Kalau besok bareng lagi boleh?" Seikha tersenyum tipis bertanya pada Juna yang sedang memandangnya.

Juna yang kaget serta merta mengiyakan ajakan Seikha. "Apa ini artinya berkencan? Pacaran? Juna berujar dalam hati. Juna ragu ingin bertanya pada Seikha, tetapi ia takut salah menafsirkan.

"Semoga semua ini bukan roman picisan semata, melainkan kisah cinta yang nyata. Seikha aku sungguh berharap. Kumohon tetaplah seperti Seikha yang hari ini aku temui." Juna bergumam sambil menaiki motornya dan pulang.