Dear Diary
Yogyakarta, 1 Februari 2010
Ini adalah kali pertamaku menulis diary. Diary ini adalah hadiah dari Ayah untuk Ibu. Mulai hari ini, kau adalah sahabatku. Diary, apa kau tahu? Ibuku menguap terkena ledakan, sedangkan Ayah juga lenyap. Keduanya menghilang meninggalkanku sendirian.
Seikha.
***
Jakarta, 11 Juni 2012
Seikha yang berusia 12 tahun kecewa harus meninggalkan kota belahan jiwanya, tempat favorit orang tuanya, Yogyakarta. Kendati banyak kenangan buruk menghampiri, Seikha rela menanti, sebab yakin ayahnya belum mati.
Setiap hari Seikha berusaha tegar dan kokoh di depan semua mata, menahan kesedihan dan kesepian yang teramat sangat. Seikha menjadi penyendiri, bahkan jarang berbicara dengan teman-temannya lagi.
Bangunan-bangunan pencakar langit, jalan layang, deretan kendaraan yang terkena kemacetan, jarang Seikha temui di Yogyakarta. Sekarang dan entah sampai kapan, Seikha harus memaklumi semua ketidaknyamanan.
Terbiasa hidup di kota yang tenang, Jakarta terlihat sibuk bagi Seikha. Namun mau bagaimana, keluarga yang Seikha miliki hanya Kento saja. Perusahaan dan karyawan juga pasti membutuhkan jasanya. Seikha sudah berpikir jauh di usianya yang masih remaja.
Pohon-pohon besar dan rindang, jalanan yang luas, menyapa Seikha dalam perjalanan. Pagar tinggi secara otomatis terbuka saat mereka memasuki halaman rumah. Kusno dan Seikha tiba di rumah yang akan mereka tinggali di Jakarta. Kediaman megah yang disiapkan oleh Kusno jika sewaktu-waktu keluarganya singgah.
Rumah yang telah lama tidak ditinggali pemiliknya, terlihat rapi dan bersih karena dirawat oleh Mbok Jum sapaan akrab Jumiati. Ia dan putrinya tinggal di rumah Jakarta guna membersihkan serta menjaga rumah tersebut.
Bahkan anak Mbok Jum yang bernama Rini, disekolahkan oleh Kusno dan Yumi. Maka begitu mendengar kabar duka yang menerpa Keluarga Kusno, Mbok Jum terpukul serta berempati.
Rini yang lemah lembut serta santun membuat Seikha sedikit melupakan kesendiriannya. Berada di rumah besar nan sepi, belum lagi suasana baru yang harus dihadapi. Rini kerap membantu Seikha saat mengalami kesulitan dalam beradaptasi.
Hingga tiba saatnya Seikha harus berpisah dengan Rini yang diterima berkuliah di Univeritas Negeri Yogyakarta. Terhitung hanya beberapa bulan Seikha merasa ditemani. Pada akhirnya, Seikha kembali sendiri.
***
Jakarta, 1 Januari 2020.
Kriing ... Kriiing .... Kriiing
Suara alarm jam yang terus berbunyi nyaring. Seikha bergegas membuang selimut saat melihat jam yang menunjukan pukul 07.06. Jam masuk kuliah Seikha pukul 07.30, sedangkan ritualnya masih sangat panjang. Mandi, dandan, memilih pakaian, sarapan, belum lagi waktu perjalanan.
"Menyebalkan. Kepalaku pusing. Efek clubbing sampai pagi. " Seikha menggerutu.
Seikha bergegas, tidak perlu sarapan, yang penting wajah pucatnya sudah terhias dengan make up. Sesampainya di kampus, waktu menunjukan pukul 08.15, ia terlambat memasuki kelas pertama dan seperti biasa dosen menegurnya.
Terlambat sudah menjadi kebiasaan Seikha setidaknya tiga kali dalam seminggu. Seikha yang terlambat terpaksa duduk di barisan paling depan. Matanya terlihat terus menerus terlelap, tidak dapar menyembunyikan rasa kantuknya.
"Sekian materi hari ini, jangan lupa evaluasinya dikerjakan ya," ujar salah satu dosen Ilmu Komunikasi sembari melangkah pergi keluar kelas.
Kakinya yang jenjang dan indah, ditambah paras cantik blasteran Jepang-Indonesianya, membuat Seikha semakin mempesona. Perawakannya yang berisi dan percaya diri membuat sosoknya terlihat tangguh. Setiap Seikha berjalan, semua mata tertuju padanya. Seperti biasa, Seikha berjalan angkuh tidak perduli akan lingkungan sekitarnya.
"Sei ... Seikha! Suara nyaring sedikit berteriak memanggil Seikha yang sedang berjalan menuju kelas berikutnya.
Seikha menoleh dengan wajah galaknya, "ya" jawabnya singkat.
"Telat?sudah sarapan?," tanya pria itu lembut seraya tersenyum hangat.
"Belum," jawab Seikha singkat seperti biasanya.
"Ini, Ibu masak banyak, dimakan ya ... " mengeluarkan box kecil dari ranselnya.
"Oke, thankyou," Seikha mengambilnya dengan dingin.
Seikha memasuki kelas dan duduk di meja paling belakang. Pria itu mengikutinya, duduk tepat di sampingnya. Alis tebal dengan rambut semi gondrong, hidung mancung dengan mata yang tajam, dia adalah pria yang populer akan ketampanan dan kepintarannya, Arjunara Elangkasa (Juna).
"Sei, kenapa terlambat? Kenapa tidak kabari, aku bisa jemput." Juna selalu berbicara lembut meskipun Seikha bersikap acuh tak acuh.
"Berisik, ini sudah mau mulai." Seikha hanya menengok dan menjawab dengan ketus.
Juna pun langsung terdiam, namun tetap tersenyum menatap Seikha dengan hangat. Tidak perduli sikap random Seikha, Juna selalu sabar menghadapi. Bahkan membuat teman-temannya heran padanya. Juna merupakan teman pertama Seikha saat SMP, sejak Seikha pindah ke Jakarta.
Juna rela memasuki kampus yang sama, meskipun bermimpi menjadi seorang tentara. Meskipun Seikha terlihat bersikap dingin padanya, namun Seikha selalu bersyukur dengan kehadiran Juna. Terlebih Ibu Juna, Marni, sangat menyayangi Seikha seperti anaknya sendiri.
"Sei, pulang kuliah ke rumah yuk. Main bareng Ibu. Jangan clubbing kayak kemarin. Berbahaya," bisik Juna pada Seikha.
Seikha meliriknya, dengan tegas mengatakan, "No. Thankyou".
Selepas pelajaran selesai, saat Seikha hendak memasukkan buku-buku ke dalam tasnya, seorang pria kekar dengan bola basket di tangannya datang memanggil Seikha.
"Sayang, gimana kepalanya masih pusing? Kenapa aku selalu tidak boleh masuk ke rumah kamu sih? Kemarin juga," ujarnya sambil bermanja-manja memeluk Seikha.
"Ih lepas, risih!" Seikha menyingkirkan lengan yang melingkar padanya.
Juna melihatnya dengan sinis dan bergegas pergi dari kelas. Seikha yang menyadari kepergian Juna, berpura-pura tidak melihatnya.
Seikha memiliki kekasih yang bernama Roy. Ia mengejar-ngejar Seikha sejak awal perkenalan kampus. Pada semester satu, Roy menyatakan perasaannya di aula. Masih pada semester satu, Roy juga memberikan surat dan puisi buatannya pada Seikha di taman kala semua mata memandang.
Hingga semester dua, Roy menyatakan perasaannya untuk ketiga kali di mana kelas sedang berlangsung. Entah apa yang ada di benak Seikha, dia menerimanya.
Saat ini sudah lebih satu bulan mereka berpacaran dan terhitung hanya dua kali jalan berdua. Pertama, saat Seikha meminta Roy menemaninya ke mall (untuk membeli Jaket hadiah ulang tahun Juna) dan kemarin, saat Seikha bosan dan memutuskan untuk pergi clubbing.
Perawakan Roy tinggi dan maskulin dengan rambut cepak. Badan kekar ditambah wajah tampan, membuatnya menjadi pria mainly idaman wanita di kampus.
Seikha yang berjalan cepat terus dibuntuti oleh Roy. Seikha pun membentak, matanya terbelalak, "Hei, berhenti!"
"Sei, kenapa kamu gak pernah bersikap seperti pacarku? Semua orang tahu kita pacaran." Roy memberanikan diri mengungkapkan isi hatinya. Berusaha memegang tangan Seikha namun langsung ditepis Seikha saat itu juga.
Seikha mendekatkan wajah dan menaruh jari lentiknya pada pundak Roy sembari menatapnya tajam lalu berbisik. "Mengapa kamu tidak juga sadar? Bahkan caramu bernafas membuatku muak. Aku hanya kasihan, sekarang sudah bosan. Paham? Pergi ke neraka dimana tempatmu seharusnya berada." Seikha tersenyum tipis dan berlalu meninggalkannya.
Roy berdiri terpaku, bulu kuduknya merinding melihat mata dan suara Seikha yang mengintimidasi. Ia masih mematung, memandangi Seikha yang berjalan memunggunginya.
Tampak dari kejauhan, Juna yang sedang bersama teman-temannya di taman kampus melihat mereka.
Salah satu teman Juna yang berwajah Arab, Ali, menegurnya, "Juna, Seikha lagi? Ane masih heran, kenapa?"
Tiba-tiba seorang gadis manis berkacamata menghampiri mereka. "Li, cukur itu jenggot, mau sepanjang apa?"
"Ibu sekretaris sudah datang, siap Ibu Dayu!"Ali menjawabnya dengan tertawa menggelikan.
Ali dan Dayu adalah teman Juna. Mereka berteman sejak SMP dan sudah berorganisasi bersama sejak saat itu. Ali dan Dayu juga satu sekolah dengan Seikha, berteman dekat sebelum Seikha menjauhi mereka. Hanya Juna yang tetap kuat akan tingkah laku Seikha sejak lama, membuat Ali dan Dayu kagum akan kesabaran Juna.
Juna tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya pada Seikha. Menurut Juna, dengan berada disampingnya dan melindunginya, Juna sudah cukup tenang dan senang.
Dayu menanyakan kepada Juna tentang perubahan sikap Seikha yang terkadang membuat mereka geleng-geleng kepala. Ada saatnya Seikha menyapa mereka dengan santai sembari tersenyum, tetapi seringkali Seikha menatap mereka dengan sinis.
"Juna, Seikha "abstrak" lagi?" tanya Dayu sambil merapikan kacamatanya. Kata abstrak sengaja mereka gunakan karena tidak tahu lagi menggambarkan kepribadian seorang Seikha.
"Iya Seikha memang abstrak, makanya indah kan, kayak lukisan" Juna menjawabnya dengan senyum.
Dayu dan Ali yang mendengar jawaban itu, hanya bisa keheranan dan terdiam. Mereka tidak ingin melukai perasaan Juna, sang sahabat.
"Sudah ya, pergi dulu." Juna meninggalkan Dayu dan Ali guna mengejar Seikha yang terlihat akan memasuki mobilnya.
"Sei, mau pulang? Aku boleh nebeng?" ucap Juna terengah-engah karena berlarian.
"Kemana motor?" tanya Seikha singkat.
"Di bengkel," jawab Juna dengan senyum tipis mempesona.
Seikha mempersilahkan Juna dengan gayanya yang cuek untuk memasuki mobilnya. Padahal saat itu motor Juna terparkir di halaman belakang kampus. Juna hanya memberikan alasan agar bisa pulang bersama Seikha.
"Bagaimana kabar Paman Kento?" tanya Juna yang memang mengenal Kento karena sering berkunjung ke rumah Seikha di Jakarta.
"Entahlah, sudah lama tidak pulang." Seikha menjawabnya.
"Kenapa tadi sama Roy?" Juna bertanya dengan ragu-ragu.
Seikha melirik dari balik kemudinya, "Nothing. Mau ke rumah?" Seikha menawarkan Juna untuk pergi ke rumahnya.
"Okey, siap. Aku masak ya!" seru Juna.
Sesampainya di rumah, Seikha langsung menuju ke kamarnya untuk berganti baju. Sementara Juna yang hafal akan rumah Seikha, langsung menuju dapur.
Tanpa canggung Juna membuka kulkas, melihat-lihat bahan untuk masakannya. Kemudian ia melihat udang beku yang sudah di kupas dan beberapa bahan pendukung. Tidak membuang waktu, Juna lantas mulai memasak.
Seikha turun dari lantai dua, tidak sengaja memandang siluet punggung Juna. Lalu dengan cepat melempar kaos ke meja makan seenaknya, "Ini ganti baju".
Juna yang sibuk memotong berhenti sejenak, mencuci tangan, lalu segera mengambil kaos yang ditaruh Seikha di meja makan.
"Thankyou, Sei," sambil menatap Seikha dan membuka baju tepat dihadapannya.
Seikha yang terkejut langsung membuang muka dan berjalan ke ruang televisi. Juna tersenyum geli dan kembali menyelesaikan masakannya.
Juna sangat terampil dalam memasak, sebab Marni selalu berkreasi di hadapannya. Masakan Indonesia, Western, Italia bahkan Jepang dikuasai olehnya. Namun jika disuruh memilih, sudah pasti hidangan Italia yang simple dan cepat juaranya.
"Sei, sudah jadi nih, Shrimp Fettuccine Cream tara... " memperlihatkan masakannya pada Seikha yang sedang menonton TV.
"Hm, Enak...." pujian singkat Seikha yang membuat Juna tersipu malu.
"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday dear Seikha.. happy birthday to you..." Juna bernyanyi sambil membawa muffin yang dia buat dalam sekejap.
Sembari membuat pasta, Juna diam-diam membuat muffin kecil. Saat Seikha turun, surprise tersebut sedang di oven. Juna sudah membawa lilin kecil di tasnya sebagai alternatif jika Seikha enggan ke rumahnya.
Padahal Marni menyiapkan birthday dinner untuk mereka. Seikha pun terkejut bahwa Juna selalu memberi hal istimewa di setiap tahun ulang tahunnya.
"Sei, selamat ulang tahun, kadonya dibukanya nanti saat aku tidak ada ya. Aku malu," wajah Juna memerah sambil memberikan kado kecil yang dibungkus dengan manis.
"Thankyou, Juna.... " ucap Seikha dengan mata yang hangat, tatapan yang sudah langka terlihat.
Sebenarnya Juna selalu diperlakukan seolah-olah ia tidak ada jika di samping Seikha. Meskipun begitu, Juna selalu tidak sampai hati menjauhi Seikha. Kento yang sibuk mengurus perusahaan, seringkali pergi keluar kota, keluar negeri, meninggalkan Seikha sendirian.
Seikha juga terlihat tidak dekat bahkan kurang menyukai pamannya itu. Juna tidak tahu apa yang terjadi, tetapi jelas ia mengingat sebelumnya hubungan Seikha dan Kento sangat dekat seperti orang tua dan anak.
Sedangkan Mbok Jum sedang izin pulang kampung ke Yogyakarta selama satu minggu, sehingga Seikha hanya sendiri di momen ulang tahunnya ini. Seikha seringkali jenuh dan kemarin ia mengisinya dengan clubbing.
Biasanya jika bosan, Seikha pergi ke perpustakaan dan membaca. Kemarin adalah kali pertamanya Seikha mencoba gemerlap malam, tetapi tidak menyukainya.
"Mbok Jum besok pulang kan? Bagaimana anaknya sudah sehat?" tanya Juna pada Seikha.
"Gak tahu," Seikha menjawab Juna sambil pergi ke dapur dan menaruh piring kotornya begitu saja.
"Bagaimana rasanya clubbing Sei? Suka? Kamu tidak dijahili atau ada orang jahat kan? Bilang ke aku kalau Roy macam-macam. Sei, harusnya kemarin kamu telepon aku, tapi kenapa Roy? Sejujurnya aku kesal.... " Juna tiba-tiba meluapkan perasaannya dan bicara panjang lebar karena khawatir dengan Seikha.
"Ssst ....." Seikha menjejalkan keripik yang sedang ia pegang ke mulut Juna agar diam.
Seikha menyadari bahwa mereka hanya berdua saja di rumah, Seikha ingin menutupi kegugupannya. Namun seperti biasa hanya balasan ketus yang keluar dari mulutnya.
Setelah membersihkan makanannya, mereka menonton film kesukaan Seikha, Harry Potter and The Goblet Of Fire. Seikha selalu waspada pada orang-orang yang ia sayangi, karena melabeli dirinya sendiri sebagai pembawa sial.
Bahkan Seikha seringkali berbuat hal buruk agar Juna menjauhinya, tak disangka Juna tetap berada disampingnya. Seikha mulai bersyukur dan berharap.
Juna memandang hangat Seikha yang sibuk menonton sambil memakan keripik di pangkuannya. Melihat pemandangan itu, ia teringat Seikha yang sama, saat SMP silam.
"Sei..." Juna ingin berkata sesuatu namun saat matanya bertautan dengan Seikha, Juna gugup kehilangan kata.
"Ya?" tanya Seikha dengan mulut penuh keripik.
Tiba-tiba Juna memeluk Seikha, selama beberapa detik mereka mematung dan keadaan menjadi canggung. Juna yang salah tingkah, mengambil ponselnya dan melompati kursi. "Sei, sudah larut. Aku pulang dulu ya, takut Ibu khawatir!"
Seikha tersenyum tipis, ia terlihat tenang. Meskipun jantungnya seperti roller coaster. Sebelum bersiap tidur, Seikha perlahan membuka kado pemberian Juna. Terlihat kalung perak dengan liontin berbentuk dandelion yang cantik.
Ada sebuah kartu ucapan diatasnya. "Selamat ulang tahun, Seikha Sahl. Kali ini aku memberikan kado ulang tahun yang bagus bukan? Aku menabung, bahkan bekerja partime. Lumayan kan? Dandelionku Seikha, semoga kita selalu bersama. Hehe." Seikha berkaca-kaca, merasa ditemani, tidak sendiri.
Dear Diary,
1 Januari 2020.
Hari ini, Juna membuatkan pasta yang sangat lezat. Kami juga menonton Harry Potter bersama. Aku sangat gugup. Juna memberikanku Kalung Dandelion. Ia bahkan bekerja dan menabung untukku. Juna, bersamamu lebih lama membuat dadaku semakin sesak. Ini adalah keputusasaanku. Tetaplah di sampingku.
Seikha.