Chereads / Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller) / Chapter 1 - Bab 1. Dandelionku, Seikha.

Seikha Sahl (Psycological Romance Thriller)

🇮🇩Nory_Putri
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 18.3k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Bab 1. Dandelionku, Seikha.

Yogyakarta, 15 Januari 2010

Suara dentuman jam gantung vintage terdengar pada sebuah rumah tua yang sepi di pinggiran kota Yogyakarta. Tamannya yang luas dan unik menarik perhatian hati. Gazebo yang kurang singkron berdiri tepat di tengahnya dengan ukiran kayu jati khas Pati. Konsep Zen Garden jelas terlihat sebagai simbol ketenangan diri.

Kilauan jingga matahari sore dan bunga dandelion yang bermekaran, menambah keindahan suasana sore di rumah klasik khas Belanda ini. Angin berhembus menyegarkan kala seorang gadis kecil berlarian. Rambut hitam bergelombang indah tergerai. Sinar di bola mata coklatnya semakin terang kala matahari tenggelam. Warna kulit pucatnya merona karena asyik bermain dan lelah. Gadis berusia sepuluh tahun blasteran Indonesia-Jepang itu tiada henti berlarian menikmati Taman Dandelionnya, tempatnya berkeluh kesah.

Tidak lama suara berat dan serak seraya memanggilnya. "Seikha, tidak perlu lari-lari sayang, nanti terjatuh. Pelan-pelan saja," ucapnya sembari tersenyum dan melambaikan tangan.

"Baik Ayah, lima menit lagi ya!" Gadis kecil itu menjawab dengan riang sambil mendudukkan diri di ayunan kayu berwarna merah muda. Tidak pernah dibayangkan olehnya, bahwa hari itu ialah kali terakhir baginya melihat dan mendengar suara manusia yang paling dikaguminya.

Sambil melompat-lompat dan bernyanyi Seikha dengan gembira berjalan ke dalam rumah. Saat menginjakan kaki di depan pintu, ia seketika terdiam. Seikha menyadari pecahan vase bunga Dandelion favoritnya di depan pintu masuk yang jatuh berserakan. Percikan darah terlihat di lantai dan dinding ruangan. Dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang. Bola matanya bergerak ke kiri dan kanan. Seikha merasakan gemetar yang tidak terbendung di sekujur tubuhnya.

"A-Ayah .... !" Seikha meneriakkan nama ayahnya sembari berlarian mencari. Badan kurusnya terlihat ringkih, pandangan matanya ketakutan. Dua orang asisten rumah tangga datang pagi hari pukul 09.00 WIB dan pulang sore hari pukul 16.00 WIB, sedangkan saat ini jam menunjukan pukul 17.00 WIB. Tidak ada pilihan, Seikha memberanikan diri mencari bantuan.

Tangan kecilnya perlahan merogoh bagian dalam laci lemari ruang tamu dan didapatnya buku telepon usang milik ayahnya. Refleks gadis itu membukanya dengan tergesa-gesa, ia pun menemukan nomer telepon pamannya, Kento.

"Pa-man, Paman! Sei takut sekali, Ayah tidak ada, Sei sudah cari kemana-mana. Paman tolong, Paman tolong.... !" Seru gadis itu berbicara dengan cepat.

Suaranya yang kurang jelas membuat Kento menyuruhnya mengulang kembali, "Sei, pelan-pelan.. tarik nafas.. ada apa?Ayah kenapa?Sei?Tut-tut-tut...." Tiba-tiba suara telepon terhenti.

Kento yang panik langsung bergegas dari tempat kerjanya di Solo menuju kediaman keponakannya. Di sisi lain, Seikha menyadari listrik padam. Ia resah dan bersembunyi di belakang sofa ruang tamu rumahnya. Cuaca sore itu cukup dingin, namun dandelion yang berguguran membuat gradasi cahaya tampak hangat.

Sambil meringkuk di belakang sofa, Seikha menatap ke taman. Serbuk bunga dandelion yang jatuh terlihat dramatis di pikirannya. Semakin Seikha menatapnya, semakin menenangkan kekalutan hatinya. Terlebih di waktu sebelumnya, sekitar pukul 15.20 WIB, mereka menikmati gerhana matahari yang jarang terjadi. Sontak saja, Seikha masih sangat jelas mengingat kata demi kata yang Kusno ucapkan.

"Mataharinya terlihat seperti cincin ya?Fenomena yang Seikha saksikan adalah gerhana matahari cincin. Seikha juga pernah melihatnya dulu bersama Ibu." Kusno tersenyum hangat. "Oiya, apa Seikha tahu mengapa ayah dan ibu sangat menyukai dandelion hingga membuat taman ini?" Seikha mengingat wajah lembut sang Ayah yang bertanya padanya sembari menatap kagum tanaman dandelionnya.

"Dandelion adalah simbol harapan, kebahagiaan, juga penyembuhan. Satu-satunya bunga yang mewakili 3 benda di langit yaitu matahari, bulan dan bintang. Di manapun angin membawa benih dandelion berhenti, di sanalah ia akan tumbuh. Ayah berharap Seikha yang pemberani seperti namanya, dapat hidup seperti dandelion," kenang Seikha.

Beberapa jam kemudian, Kento yang datang segera mencari Seikha. "Sei, Seikha ... di mana? Ini Paman. Tidak perlu takut." Mendengar suara Pamannya, Seikha berlari dan langsung memeluknya. Kento menyadari bahwa Kusno yang merupakan kakak iparnya menghilang. Seikha pun menyadari, bahwa ia seorang diri.

Seikha kembali mengingat kejadian menyakitkan saat ibunya tidak kembali. Hatinya sesak, rasa amarahnya perlahan memuncak. Seikha kecil telah memiliki luka pada hatinya, sekarang luka itu semakin dalam. Seikha merasa kehidupannya tidak pernah akan sama lagi.

*****

Waktu akan menyingkap rahasia yang terjadi. Tetapi kini sudah dua tahun berlalu tanpa arti. Seikha remaja berusia dua belas tahun, dipenuhi banyak tanda tanya. Ia merasa seperti hilang asa. Satu hari terasa lama untuk Seikha, satu detik bahkan lambat untuknya. Setelah kejadian itu, Seikha diasuh oleh Kento.

Seikha yang akan memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP), terpaksa harus pindah ke Jakarta. Mengikuti Kento yang sibuk mengurus perusahaan pasca orangtuanya tiada. "Ayah, kenapa meninggalkan Sei? Tidak tahukah, bahwa Sei sangat takut?cepat kembali. Sei yakin Ayah pasti kembali. Secepatnya. " Seikha menuliskan surat di kertas dan melipatnya, tidak lupa ia menyertakan tanda hati dan namanya.

Seikha meletakkannya di dalam laci meja belajar, berharap sang Ayah datang dan membacanya kelak. Ia pun pergi bersama Kento untuk menuju masa depan barunya.

***

Latar Belakang

Kusnodihardjo (Kusno) merupakan salah satu cucu pejuang kemerdekaan Indonesia yang dilimpahkan kekayaan berlimpah oleh orang tuanya. Tidak semua keluarga veteran beruntung sepertinya. Pada tahun 1998, Kusno menikah dengan gadis cantik keturunan Jepang, Ayumi (Yumi) yang berusia 22 tahun. Kusno yang berusia 25 tahun saat itu sedang menempuh pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Keluarga Yumi adalah salah satu warga Jepang asli pro-kemerdekaan, bahkan menyediakan tempat rapat saat perang gerilya dalam Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Pada tanggal 1 Januari 2000, Yumi melahirkan anak perempuan cantik yang diberi nama, Seikha Sahl (Seikha). Yumi sangat menyukai makanan dan hal yang berbau Timur Tengah saat mengandung Seikha.

Kusno merupakan anak tunggal, sementara Yumi memiliki adik laki-laki yang berbeda dua tahun dengannya, Kento. Kusno sangat dekat dengan adik ipar yang berbeda enam tahun dengannya tersebut. Kusno pula yang memberikan rekomendasi pada Kento, agar melanjutkan pendidikannya di UGM. Yumi dan Kento memiliki paras mempesona. Mereka tinggi, berhidung mancung dengan senyum yang menawan. Kusno pun terkenal akan parasnya bak aktor, perawakannya jangkung dan atletis karena kegemarannya berolahraga.

Meskipun Kusno tercatat sebagai salah satu lulusan terbaik ilmu teknik di UGM, ia memilih meneruskan bisnis keluarga. Kusno memiliki perusahaan mebel dengan 10 cabang di pelosok negeri. Perusahaan yang memang telah ada sejak ia lahir. Sebagian besar perabotan dan mebel antik yang berada di rumahnya merupakan hasil karya orang tua dan Kusno sendiri. Sedangkan Yumi menjadi ibu rumah tangga semenjak menikahi Kusno. Secara kasatmata mereka tampak rukun dan saling menjaga. Kehadiran Seikha menambah kebahagiaan dan keceriaan keluarga kecil itu.

****

Flashback

Yogyakarta, 3 Oktober 2005

Saat Seikha berusia lima tahun, Yumi pergi dengannya untuk membeli peralatan sekolah. Lantaran Seikha akan memasuki Taman Kanak-Kanak. Yumi diizinkan Kusno mengendarai mobilnya, Suzuki Baleno Tahun 2004. Ia pun mengajak Seikha berjalan-jalan ke Alun-Alun Kidul kota Yogyakarta.

Sore itu tepatnya pukul 17.30 WIB, Yumi dan Seikha melihat suasana temaram yang hangat. Lautan langit tampak lebih gelap, seperti mendung. Barulah sesampainya di alun-alun, Yumi diberitahu oleh masyarakat yang berkerumun bahwa sedang terjadi gerhana matahari yang langka terjadi. Walaupun tidak dapat melihat secara kasat mata, Yumi merasakan keindahannya.

Seikha kecil berlarian sembari memandang para pejalan kaki. Hingga Yumi menyadari tas keperluan Seikha tertinggal di mobil. Sambil menggandeng Seikha berjalan ke mobilnya, Yumi menyadari hal buruk akan terjadi. Mata Yumi seketika berlinang, degup jantungnya cepat sekali, nafasnya terengah-engah. Tangannya dengan gesit melempar Seikha ke arah lain sejauh mungkin, dalam sekejap terdengar gemuruh suara ledakan. Gumpalan asap dan api masih menyala, masyarakat yang melihat kaget bukan kepalang.

Seikha yang dilempar oleh Yumi terkena benturan dan pecahan kaca. Gadis itu menangis, kemudian pingsan tak berdaya. Para pejalan kaki berhamburan tidak karuan. Ada yang berteriak, ada yang menangis, ada yang mematung dan bingung. Untungnya seorang Kakek yang melihat Seikha, dengan sigap menggendongnya dan menjauhkan gadis malang itu dari bekas ledakan. Seikha menyaksikan di usianya yang baru lima tahun, saat ibunya melemparnya dan meregang nyawa. Gadis itu berkaca-kaca, sesak, seakan menyadari bahwa ibunya tidak akan kembali memeluknya.

Kusno berlarian ke sudut rumah sakit sambil meneriakan nama anaknya, "Sei—Seikha, ya Tuhan. Sei!" Lalu salah satu perawat datang menghampirinya, "Bapak, orangtua dari pasien ledakan alun-alun? Mohon maaf sebelah sini Bapak," dengan santun sambil menunjuk ruangan UGD di sampingnya.

Kusno melihat putri cantiknya terbaring lesu. Mata kosong, kepala di perban, badan gemetar, baju kotor, tangan penuh luka serta kaki yang memar. Seikha terlihat linglung, tenang, namun tidak menangis.

"Seikha! Sayang, kau tidak apa-apa?Sei, Ayah takut sekali, Ayah di sini," Kusno berusaha menenangkan Seikha. Tidak terasa air mata mengalir di pipinya. Semakin Kusno melihat Seikha, lintasan kenangan Yumi menghantamnya. Bahkan dengan hati yang hancur dan kesedihan mendalam, Kusno berusaha tegar di depan putri sematawayangnya.

"Seikha tidak apa-apa, Ayah. Ini tidak sakit. Ayah, jangan menangis... " ujar Seikha sembari mengusap air mata di pipi Kusno. Kusno yang melihat anaknya begitu tegar bahkan menghiburnya, memeluknya dengan erat. Air matanya terus mengalir bahkan saat ia menahannya sekuat tenaga.

Kento yang menempuh perjalanan dari Solo akhirnya tiba di rumah sakit. Histeris akan tewasnya Yumi, keluarga satu-satunya dari Jepang yang ia miliki di Indonesia. Semenjak lulus kuliah, Kento dipercaya memegang salah satu cabang perusahaan milik Kusno di Solo. Kento dan Kusno berpautan sambil meratapi tragedi ledakan Yumi. Seikha yang sedang tertidur di sampingnya, tertegak. Kento tidak kuasa menahan kesedihannya. Dengan diam tak bertutur, Kento hanya menangis sembari memeluk Seikha.

****

Kepolisian masih menyelidiki ledakan yang terjadi di parkir Alun-Alun Kidul. Ledakan yang cukup besar, memporak-porandakan sebuah mobil bahkan menelan korban jiwa. Tiga hari selepas kejadian, Kusno ditanyai beberapa pertanyaan oleh penyidik. Diketahui mobil tersebut belum lama dibeli oleh Kusno sebagai hadiah ulang tahun Yumi.

Penyidik terheran-heran karena tidak ada jejak jenazah Yumi, bahkan tidak ditemukan alat peledak atau sejenisnya di mobil yang hancur. Semuanya seperti lenyap tak bersisa. Selain itu, tidak ada sidik jari selain Yumi pada kemudi. Tidak ada rekaman CCTV, blackbox atau perekam lain yang beroperasi. Bahkan listrik di sekitar alun-alun sempat mati saat kejadian tersebut terjadi. Mobil yang hancur, kurangnya bukti dan alibi para saksi, membuat penyidik kesulitan mengungkap kasus ini.

Dua minggu sejak peristiwa ledakan, polisi menggelar Olah Tempat Kejadian Perkara. Ketua tim yang bernama AKP Syarif mulai menyelidiki satu-persatu kejanggalan. Syarif yang terkenal akan keterampilan penyelidikannya menjadi sangat frustasi, Kasus Yumi merupakan kasus yang sulit ia gali.

Bulan berganti bulan, tidak terasa satu tahun telah berlalu. Penyidik yang menginvestigasi masih belum memecahkan kasus Yumi. Setiap pekan, Kento datang ke kantor polisi tapi tidak menemukan hasil yang pasti. Sementara Kusno yang harus merawat Seikha seorang diri, lebih mementingkan keamanan dan kesehatan mental putrinya. Kusno tidak pernah mendatangi Kantor Polisi kecuali saat dimintai keterangan. Ia sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Yumi.