"Jadi sorenya Satrya langsung datang ke rumah lu?" seru Debby semangat.
Patty mengangguk kemudian memasukkan 1 buah klepon ke mulutnya. Ya ampun, ini kedua kalinya Patty ikut gathering QS dan kedua kalinya Patty makan klepon di rumah Lexa tapi benar-benar deh klepon di sini selalu berhasil membuat Patty terhanyut.
"Terus…" kata Patty setelah tersadar dari hanyutan klepon di lidahnya. Patty menelan klepon di mulutnya kemudian melanjutkan ceritanya pada seluruh anggota QS yang berkumpul di gazebo di halaman rumah Lexa. "Dia beliin gua… INI!" Patty memperlihatkan foto di ponselnya. Foto boneka beruang yang sangat besar berwarna coklat muda sedang memeluk buket bunga mawar merah besar.
"Oh my God!" seru Lexa yang duduk di sebelah Patty. "Gua nggak pernah lihat Bang Satrya se-royal ini ke siapa pun."
"He must love you so much (Dia pasti sayang banget sama lu), Pat." ujar Listy sambil tersenyum manis.
"Iya, ya?" tanya Patty dengan perasaan tersipu. Semua di meja itu sibuk berkomentar tentang bagaimana Satrya sangat menyukai Patty. Di hati Patty, ia merasa sangat senang dan juga bangga. Seorang pangeran suka padanya! Bukan hanya suka, tapi tergila-gila!
Patty tidak begitu mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Ia hanya menanggapi semua yang terjadi dengan senyuman dan tanggapan singkat. Pikirannya masih terbang membayangkan betapa beruntungnya dirinya. Apalagi setelah Satrya memberitahu bahwa ia akan menjemput Patty hari itu dari rumah Lexa. Patty ingin tertawa rasanya karena rumah Lexa dan rumah Patty yang baru kan hanya berjarak beberapa blok saja.
Semua anggota QS bersorak meledek Patty saat mereka keluar rumah Lexa dan melihat mobil Satrya di sana. Satrya, dengan senyum lebarnya, turun dari mobil dan melambai-lambai pada mereka sampai Patty malu rasanya.
"Elah, cuman jarak tiga blok juga sampai dijemput segala. Nggak akan diculik kok!" canda Lexa saat Patty sudah berada di sebelah Satrya.
"Kapan ya gua juga dijemput sama pacar sehabis gathering?" canda Sharon sambil cemberut.
"Tuh pacar lu datang!" goda Debby sambil tertawa menunjuk mobil Kijang Tua milik Sharon yang datang menjemput Sharon.
Supir Sharon yang masih berusia sekitar 20 tahunan membuka kaca jendelanya dan dengan bercanda melambaikan tangan pada teman-teman Sharon. Ya, memang begitulah. Supir Sharon, Ugun, memang terkenal di kalangan QS karena tampan dan memiliki badan yang kekar meskipun tidak tinggi. Rambutnya yang digunting dengan model seperti tentara dan alisnya dengan sedikit guratan membuatnya terlihat gagah. Ya, meskipun Sharon sangat kaya tapi kedua orang tuanya sangat memegang teguh prinsip ekonomi sehingga tidak heran bila mobilnya hanya kijang tua dan ponselnya hanya ipone tua.
"Ugun sayang~!" seru Debby berlari menghampiri mobil Sharon. Semua anggota QS tertawa terbahak-bahak melihatnya, termasuk Patty yang kini berada dalam rangkulan Satrya.
"Jalan, yuk!" kata Satrya.
Patty mengangguk dan berseru pada teman-temannya. "Duluan ya, guys!". Patty kemudian berjalan ke pintu mobil yang sudah dibukakan oleh Satrya. Semua orang berseru menggoda Patty sampai Patty ingin kabur rasanya. Tapi setengah dari dirinya juga bangga dengan semua itu.
Di depan rumah Patty, seperti biasa Satrya membukakan pintu Patty. Patty tersenyum manis pada Satrya seraya berkata "Thank you!"
"Oh ya, Pat. Dua minggu lagi kan ujian akhir, kayanya aku nggak bisa sering-sering antar-jemput kamu. Kita harus belajar, 'kan?" Satrya menatap Patty dengan mata yang sedih.
Ah iya juga. "Oh iya ya…" kata Patty murung sambil menatap tanah. Yah dia tidak dapat bermain-main dan dijemput Satrya lagi, dong.
Satrya tertawa kemudian menepuk pundak Patty. "Tenang saja. Kan setelah itu kita libur."
Patty mengangkat kepalanya dengan bersemangat tetapi kemudian ia sadar sesuatu. Keluarga Satrya terkenal selalu berjalan-jalan ke luar negeri setiap libur. Sama saja dong. "Ah, abang kan jalan-jalan!"
"Tenang saja, libur kali ini aku minta nggak ikut ke Norway sama bokap nyokap, kok." kata Satrya sambil mengacak rambut Patty dengan gemas.
Patty tersenyum. Hatinya senang sekali kalau Satrya sampai rela tidak ikut ke Norwegia demi Patty. Memikirkan akan menghabiskan libur dengan Satrya saja sudah membuat Patty sangat bersemangat.
Patty tetap bersemangat meskipun tidak lagi pergi bersama Satrya, setidaknya mereka masih bertemu di foodcourt dan Satrya, seperti biasa, merangkul dan bercanda dengan Patty. Namun, setiap pulang sekolah Satrya langsung menghilang.
"Sorry loh Nick! Tumben banget mobil gua rusak." kata Patty sambil berjalan di sebelah Nick menuju gedung parkir. "Lexa juga nggak masuk sekolah lagi. Nggak tahu anak itu kemana. Padahal sebentar lagi ujian."
Nick tertawa kemudian berkata. "Iya nih tumben banget lady Patty nggak ada dayangnya."
"Gua kali yang dayangnya Lexa. Sejak kapan Lexa jadi dayang gua?" kata Patty sambil tertawa dan memukul-mukul pundak Nick.
"Sejak SD kelihatannya seperti lu yang memimpin Olive dan Lexa, loh!"
Patty menggeleng dan tersenyum. Kangen juga ya dengan masa-masa SD. "Itu karena mereka sering diganggu cowok-cowok. Gua cuman berusaha supaya mereka nggak diganggu. Toh cowok-cowok itu nggak pernah berani ganggu gua." Patty melirik Nick sambil tersenyum manis. "Soalnya ada lu!"
Nick tersenyum mengingat semua itu. Mereka berjalan sampai ke sebelah Dukatih hitam milik Nick. Nick memundurkan motornya kemudian ia menepuk dahinya dengan keras membuat Patty terloncat kaget.
"Napa lu?!"
"Gua nggak ada 2 helm Pat!" katanya, "Mana jalan ke rumah lu lewat jalan raya semua pula!"
Patty tertawa dan menepuk pundak Nick dengan geli. "Duh mas kemana saja sih? Gua sudah nggak tinggal di kompleks dulu. Kompleks gua yang sekarang ada jalan tembusnya, kok!"
"Lu pindah rumah?!" seru Nick tidak percaya. Pantas saja waktu ia ke rumah Olive waktu itu yang ia lihat malah gadis yang tidak dikenalinya. "Parah banget lu nggak ngasih tahu gua!"
Patty tertawa dan berusaha naik ke motor Nick ketika Nick tiba-tiba menahan pundak Patty.
"Sebentar dulu, dong! Nggak sabar banget sih bu." katanya sambil tertawa. Nick turun dari motornya dan membuka bagasi tambahan yang cukup besar berwarna hitam yang dipasang di belakang jok dan mengeluarkan helm hitam fullface dan jaket kulit hitamnya kemudian menyodorkan jaketnya pada Patty.
Patty menerimanya dengan bingung sambil menatap Nick. "Buat apa?"
"Buat lu dong! Pakai saja. Lagian hari ini panas banget. Masa gua pakai jaket?"
Patty tertawa kecil. Apa sih Nick? Biasa juga Nick selalu pakai jaket walau udara sangat panas sekali pun. "Thanks." kata Patty sambil memakai jaket itu. Besar sekali sampai ke pahanya. Tangan Patty juga sampai tidak terlihat.
Nick tertawa melihatnya. "Lu kecil banget sih! Nih!" katanya sambil menyerahkan helmnya pada Patty.
Patty menerimanya dengan ekspresi yang lebih bingung. "Gua pakai? Lu nggak pakai dong?"
Nick mengangguk sambil tersenyum. "Kata lu ada jalan tembus, kan? Ayo cepat!" kata Nick kemudian naik ke atas motornya.
Patty jadi tersenyum sendiri. Ia memakai helm Nick yang terlalu besar itu kemudian mendekati motor Nick.
"Sini." kata Nick sambil mengulurkan tangannya dan memiringkan motornya. Patty memegang tangan Nick dan berusaha naik ke atas motor Nick. Tinggi sekali.
***
"Ayo masuk dulu!" kata Patty sambil melepas helm Nick.
"Nggak apa-apa?" tanya Nick sambil merapikan rambut Patty. Kenapa sih Nick ini? Membuat Patty berdebar saja.
Patty mengangguk kemudian membuka pagar rumahnya. Nick langsung turun dari motornya dan membantu Patty mendorong pagarnya agar motor Nick bisa masuk.
Selesai memarkir motornya di dekat serambi Patty, Nick mengikuti Patty naik ke serambi berwarna kuning gading dengan lampu gantung antik berwarna coklat tua dan beberapa kursi dan meja dari kayu cendana yang cantik.
Patty mendorong pintu besar berwarna coklat dari kayu cendana dan membuka sepatunya, meletakannya di dalam rak sepatu di balik pintu. Nick mengikuti Patty dan masuk ke ruang tamu yang cukup luas dengan lantai dari ubin berwarna coklat tanah. Sofa-sofa di sana berwarna coklat muda dengan ukiran-ukiran jepara yang cantik dengan karpet marun di bawahnya. Nick mengikuti Patty masuk melalui lubang di dinding berwarna kuding gading.
Rumah Patty yang baru benar-benar berbeda dengan yang lama. Nick kaget juga melihat ruang keluarga Patty yang luas berisikan smart TV besar dengan sofa berwarna marun dan lampu besar tergantung dari lantai 2. Nick dapat melihat beberapa pintu kamar di lantai 2 dari tempatnya berdiri.
Nick mengikuti Patty yang berbelok ke kanan dan menaiki sedikit undakan ke ruang makannya. Patty menarik kursi meja makannya dan menghempaskan badannya di sana. Kemudian ia menoleh pada Nick yang masih berdiri. "Duduk, Nick!" katanya.
Nick duduk di samping Patty, meletakan tasnya di lantai. Ia merenggangkan tangan dan kakinya kemudian benar-benar duduk bersantai di sana. "Wah, rumah lu beda banget Pat dengan yang dulu."
Patty mengangguk. "Iya, ini semua berkat bokap lu, Nick. Sebelum lu ke Korea, papah gua dan bokap lu kerja sama membangun pabrik tenun, lu ingat kan? Tapi waktu gua kelas 6… em…"
Nick menatap Patty, melanjutkan kata-kata yang tidak sanggup Patty katakan, "Sekarang pabriknya dipegang bokap lu setelah bokap gua nikah lagi kan?"
Patty tersenyum serba salah. Iya juga ya. Akhirnya ayah Nick kembali memegang 1 pabrik saja, pabrik kain yang sejak dulu dijalaninya sebelum menikah. Selain itu, ayah Nick akhirnya tetap meneruskan usaha rumah makannya di Dago meskipun proyek perhotelan dengan ayah Lexa gagal, lagi-lagi karena istri baru ayah Nick yang melarang.
"Nick, kalau gua boleh tahu…." Patty menggigit bibir bawahnya. Haruskah ia bertanya? Tapi bagaimana kalau Nick tersinggung? Ini kan terlalu pribadi dan menyakitkan.
Nick tertawa kemudian berkata. "Nyokap baru gua orang daerah sini, Pat. Dia benar-benar protective dan possessive ke bokap gua. Semua pergerakkan bokap gua dipantau sampai-sampai bokap gua hampir-hampir nggak pernah telepon gua waktu gua di Korea. Gua bingung kenapa bokap gua memilih cewek itu daripada eomma." Nick menggelengkan kepalanya sambil tertawa sedih, untuk sementara ia menundukkan kepalanya sebelum kemudian tersenyum dan menatap ke ruang keluarga di hadapannya. "Jujur saja sekarang gua malas banget pulang ke rumah. Gua jarang ngobrol dengan bokap gua juga. Untung saja mereka nggak punya anak. Kalau gua sampai punya saudara tiri, nggak tahu deh nasib gua gimana." Nick tertawa miris sambil kembali menunduk.
Patty jadi tidak enak. Ia tidak bermaksud untuk membuat Nick sedih, ia juga tidak bermaksud untuk memaksa Nick cerita. "Sorry…" Patty tidak bisa berkata apa-apa lagi. Rasanya malu juga. Selama ini Patty marah dan kesal karena Nick membela Olive tanpa pernah menanyakan kabar Nick selama ini. Kalau Olive… mungkin Olive sudah tahu.
Pikiran itu membuat Patty kesal. Apa iya Olive lebih banyak tahu tentang Nick daripada Patty?
"Elah santai saja kali. Memangnya lu doang yang bisa curhat? Gua juga bisa kali." kata Nick sambil becanda.
"Lah memangnya kapan gua curhat ke lu?" protes Patty. Toh sampai minggu lalu Nick sibuk terus dengan Olive.
"Ya deh yang selama ini sudah punya tempat curhat baru beda deh." kata Nick sambil merajuk.
"Lexa?"
"Satrya, dong!" kata Nick sambil tertawa. "By the way iya juga. Kenapa lu nggak ikut Satrya pulang tadi?"
"Oh jadi lu nggak rela gua tebengin?" Patty menarik rambut Nick bercanda.
"Aw aw!" teriak Nick dengan berlebihan, membuat Patty tertawa dan melepaskan rambut Nick dengan kasar. "Gua cuman mau tahu kemana pangeran lu itu, ya ampun galak banget deh."
Patty terdiam sebentar. Duh cerita pada Nick tidak ya? Cerita saja deh. Toh, dari kecil memang Nick sudah menjadi "tempat sampah"nya Patty.
"Satrya mau jaga jarak dulu katanya sampai selesai ujian."
Nick mengangkat alisnya kaget. "Oh? Memangnya bokap Satrya masih strict (ketat atau keras) seperti dulu?"
Patty mengangkat bahunya. Memang sudah menjadi rahasia umum kalau ayah Satrya sangat terobsesi agar Satrya menjadi dokter untuk menggantikan ibunya nanti. Tentu saja, untuk itu Satrya harus pintar agar dapat masuk universitas kedokteran ternama di Jerman. Ingat waktu penulis bercerita kalau Ilyas selalu menduduki peringkat kedua atau ketiga di kelas? Itu karena Satrya adalah pemegang peringkat pertama.
Nick menepuk-nepuk kepala Patty lembut sambil berkata. "Ya sudah sabar saja. Toh nanti begitu selesai ujian dan naik tingkat lu bakal dapat banyak oleh-oleh dari dia. Dia masih sering keliling dunia, kan?"
"Oh! The good news i (kabar baiknya adalah) Satrya nggak ikut orang tuanya ke Norway libur ini!" seru Patty bersemangat.
"Wah bagus dong! Parah banget Satrya demi nemenin lu dia sampai nggak ikut liburan. Nice move, man!"
BUK!
Terdengar pintu depan rumah Patty dibuka dengan kasar disusul dengan lngkah-langkah kaki yang cepat dan teriakan "Neng!" berulang kali hingga pelaku keributan itu sampai di depan Patty dan Nick yang masih terkaget-kaget.
"Nick?!" seru Desi yang masih dalam balutan seragam yoganya. Ia menjatuhkan gulungan matras yoga dan juga tas yoganya, meletakan dua kotak martabak asin dan manis di meja makan dan langsung memeluk Nick.
"Mah! Jorok ih!" seru Patty sambil berdiri menjauh. Duh mamah Patty ini, mana bau keringet pula.
Nick tertawa dan membalas pelukan Desi sambil berkata. "Halo tante! Lama nggak ketemu, ya!"
Desi melepaskan pelukannya dan memandang muka Nick sambil memegang kedua pipi Nick lembut. "Aduh si ujang meuni geus sagede kieu. Tos pangling ningalna gé. "
"Tante… geulis pisan deh." kata Nick setelah dengan susah payah mengingat kata-kata bahasa Sunda yang ia pelajari dulu.
"Ah bisa saja ah!" kata Desi malu-malu sambil menegakkan badannya dan mengambil kembali kresek martabaknya. "Hayu ah makan!"
Desi masuk ke dapur sebentar kemudian keluar dengan dua piring lebar berisi martabak asin diikuti dengan Inem yang membawa rice cooker. Mereka kemudian masuk kembali ke dapur. Desi kembali muncul dengan piring-piring dan sendok juga garpu di atasnya, membuat Nick cepat-cepat berdiri ingin membantu namun diusir oleh Desi sambil tertawa. Inem keluar dengan nampan berisi cangkir-cangkir dan teko berisi teh panas.
"Oom Bimo sehat, tante?" tanya Nick saat mereka sudah mulai makan.
"Sehat. Aduh meuni inget ka si oom (aduh ingat oom begini)." kata Desi sambil tersenyum lembut. "Ngan si oom aya meeting ayeuna karek balik peuting ceunah mah."
Nick tersenyum bingung, berusaha mencerna kata-kata Desi. Patty tertawa melihat itu dan berkata pada Desi, "Nick sudah lupa bahasa Sunda, mah!" kemudian ia berpaling pada Nick dan berkata, "Si mamah tadi bilang, papah ada meeting sekarang jadi baru pulang malam."
"Ooh, padahal saya kangen loh sama oom." kata Nick sungguh-sungguh tetapi ditanggapi dengan tawa oleh Desi dan Patty. mau tidak mau Nick jadi ikut tertawa juga.
"Kalau kangen beneran mah sering-sering mampir atuh, Nick." kata Desi sambil tertawa.
"Wah saya sih mau banget tante."
"Sekalian antar jemput si eneng saja. Mobilnya masih di bengkel soal…" kata Desi yang berhenti berbicara karena langsung disenggol dengan marah oleh Patty.
"Ngerepotin atuh, mah." omelnya.
"Nggak apa-apa, tante. Mulai besok saya antar jemput Patty saja." kata Nick antusias sampai sebutir nasi terbang dari mulutnya dan mendarat di meja. Patty menatap butiran nasi itu dengan jijik.
"Eh tante bercanda loh. Ngan (tapi) kalau mau mah tante senang pisan." kata Desi sambil tertawa.
"Senang dong, tan."
"Aduh, tante ngerepotin, ya? Kumaha atuh (gimana dong)? Nggak apa-apa?"
Nick pura-pura berpikir kemudian berkata sambil tertawa lucu, "Saya ikut sarapan dan makan malam di rumah tante saja, gimana?"
Mereka berdua tertawa. Patty sampai bingung sendiri. Jadi ini serius atau tidak, sih?
***
Nick benar-benar muncul di depan rumah Patty lagi. Fakta yang lebih mengejutkan lagi adalah, Nick benar-benar ikut sarapan di rumah Patty! Padahal Patty kira kemarin Nick dan Desi bercanda. Ternyata, pagi-pagi saat Patty baru saja mau mandi, Desi dan Bi Inem sudah sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk mereka dan Nick. Patty sampai hampir jatuh mendengar ibunya berkata seperti itu.
"Nih!" Nick menyodorkan jaket yang masih berada dalam plastik saat Patty hendak naik motor Nick di halaman rumah Patty.
"Apa nih?" Patty menerimanya dan membuka plastiknya. Jaket Doraemon, karakter
kartun kesukaan Patty. "Wah!" Patty langsung memakainya dan naik ke atas motor Nick tanpa meminta bantuan Nick.
"Nih, hadiah karena sudah pro naik ke atas motor gua." kata Nick memberikan helm fullface berwarna biru dengan corak muka Doraemon yang besar di belakangnya dan Doraemon-Doraemon kecil di depan.
"Elah mas! Niat banget! Makasih!" seru Patty sambil langsung memakai helm Nick.
Begitulah, walaupun mobil Patty sudah selesai diperbaiki, Patty tetap berangkat ke sekolah dengan Nick. Satrya yang mendengar hal itu hanya tersenyum dan berkata ia percaya pada Patty dan Nick. "Gua yakin dong sahabat gua nggak mungkin tega nikung gua." kata Satrya suatu hari di foodcourt sambil merangkul Patty.
Meskipun tanggapan Lexa sangat skeptis dan bahkan terus memperingatkan Patty untuk berhenti dekat dengan Satrya—yang terlihat terlalu cuek di mata Lexa—namun Patty tidak peduli.
Mana mungkin Patty melepaskan pangerannya begitu saja? Lagipula Patty yakin Satrya hanya ingin fokus dengan ujiannya kali ini.
Namun sampai sore itu, saat QS dan Bandha Bandhu berkumpul di lounge Hotel Nusa, merayakan selesainya ujian dengan makan banquet di sana, Satrya masih juga menghilang. Patty kira, Satrya akan ikut perayaan ini. Toh, ujian juga sudah selesai. Tetapi nyatanya Satrya tidak ada di sana.
Dengan lesu Patty memakan dessert tiramisu kesukaannya sendirian. Anggota QS yang lain sedang mengambil makanan berat di banquet sana tapi Patty sama sekali tidak berserela.
"Hey cewek! Sendirian saja." goda Lexa kemudian duduk di hadapan Patty diikuti oleh anggota QS yang lain. "What's wrong girl? (Ada apa bun)" tanya Lexa khawatir begitu melihat muka kusut Patty.
"Gua pikir bakal ada Satrya di sini…"
"Oh come on! Wake up girl! (Ayolah! Bangun!)" kata Lexa dengan frustrasi. "Nggak sadar lu? Satrya bukan hanya nggak mau diganggu karena ujian. Dia benar-benar nggak peduli sama lu! Coba kasih tahu gua kapan terakhir kali chat lu dibalas dia?"
"Sebelum ujian." kata Patty sambil mengaduk-aduk tiramisunya di dalam cup sampai tidak berbentuk.
"Forget him, Pat! You deserve someone who can make you happy! (Lupain dia, Pat! Lu pantas bersama orang yang dapat buat lu bahagia) " Lexa mengibaskan rambutnya kemudian menusuk susis di piringnya dengan ganas.
"I agree, Patty. You're a beautiful, smart, kind, and gentle girl. You should be with someone who can see those and appreciate you. I can't stand seeing a guy who takes his woman for granted (Gua setuju, Patty. Lu cewek yang cantik, pintar, baik, dan lembut. Lu harusnya bersama dengan seseorang yang dapat melihat itu semua dan menghargai lu. Gua nggak tahan lihat cowok yang menyia-nyiakan ceweknya)." kata Listy
yang duduk di samping Patty dengan suara lembutnya. Patty kaget melihat seorang Listy yang selama ini selalu diam tiba-tiba berbicara.
"See? Bahkan Lis…" belum selesai Lexa berbicara, Debby tiba-tiba memukul meja dengan sangat keras. Membuat Sharon yang duduk di sebrangnya terlonjak dan hampir menjatuhkan ponsel di tangannya. "Iya, Pat!Gua sudah nggak kuat lagi! Gua berusaha netral, nggak mau bawa-bawa lu ke cara pikir gua. Tapi gua sih ogah (nggak mau) banget sama cowok yang kaya begitu! If I were you, I would've left him by now. No second thought. (Kalau gua jadi lu, gua sudah tinggalkan dia sekarang. Nggak mikir ulang). Sibuk sih sibuk belajar tapi bukan berarti cuek banget sampai nggak bisa balas chat sama sekali, dong!"
Ayu yang duduk di sebelah Lexa mengangguk setuju sambil memakan nasinya dengan anggun. Sedangkan Lexa tersenyum seakan menang kepada Patty.
Patty menghela napas dengan frustrasi. "Gua juga maunya begitu guys tapi Satrya janji akan menemani gua sepanjang liburan ini."
"Did he? (Iyakah)" tanya Sharon yang duduk di paling ujung, masih sambil memperhatikan ponselnya. Tanggapan Sharon itu menyadarkan Patty. Tidak, Satrya tidak berjanji apa-apa pada Patty.
Patty kembali memakan tiramisunya dalam diam. Bagaimana ini? Apa sebaiknya Patty
tinggalkan Satrya?
***
Nick tertawa sampai ponselnya terjatuh ke karpet berbulu lembut dan panjang berwarna krem di ruang keluarga Patty. "Yo, girls are so scary (cewek-cewek nyeremin banget)."
"What?" tanya Patty. Jengkel melihat reaksi Nick, ia melemparkan bantal sofa yang ia peluk sedari tadi.
Nick menangkap bantal itu masih sambil tertawa. Ia malah menumpuk bantal yang Patty lempar ke atas bantal sofa yang Nick peluk saat Patty bercerita tadi. "Dia sudah jelas-jelas bilang dia mau fokus belajar!"
"Well ujian sudah selesai." kata Patty datar sambil mengangkat kedua bahunya.
"Mungkin dia sedang berdadah-dadah ria dengan orang tuanya? Ingat, dia sampai ijin nggak ikut ke Norway, loh!"
"Ya tapi masa sih balas chat gua sekali saja nggak bisa?"
"Yeah itu aneh, sih. Tapi bukan berarti lu harus langsung jauhi dia juga, Pat!Benar-benar teman-teman cewek itu ngeri, ya." Nick kembali tertawa.
Patty cemberut. Tetapi benar juga, ya. Mungkin Patty terlalu khawatir. Tentu Patty tidak dapat menjadikan Lexa-Ilyas sebagai patokan hubungan yang baik, kan? Satrya bukan Ilyas, Patty bukan Lexa. Tapi kata-kata anak-anak QS benar-benar meracuni pikiran Patty.
Ponsel Patty berbunyi, pesan whatsin baru masuk ke ponselnya.
"Lu nggak mau lihat dari siapa?" tanya Nick sambil bolak-balik melihat Patty dan ponsel Patty yang ada di coffee table marun di hadapan mereka.
Patty menggeleng dengan tak acuh. "Gua sudah capek. Dari waktu itu gua selalu semangat cek whatsin setiap kali bunyi. Tapi kalau bukan mamah, papah, ya lu yang chat gua."
"Heh!" Nick kembali melemparkan bantal Patty, tepat mengenai kepala Patty—yang hanya berdiam diri tanpa perlawanan—sebelum akhirnya jatuh begitu saja di paha Patty. "Maksud lu chat gua nggak penting?"
Patty mengangkat bahunya sambil mencibirkan bibirnya mengejek Nick. "Meh."
"Heh!" baru saja Nick mengangkat bantalnya untuk dilempar pada Patty, ia menyadari sesuatu. "But anyway, lu kan di rumah, Tante Desi dan Oom Bimo juga di rumah. Gua juga di sini dan ponsel gua malah ada di karpet situ. So...?"
Mata Patty langsung bercahaya kembali. Ia menatap Nick dengan pandangan bersemangat. Nick membalas tatapan Patty dengan tatapan menggoda.
Patty dengan cepat langsung mengambil ponselnya dan benar saja... pesan dari Satrya!
"Hey, pretty Patty! So sorry aku baru bales chat kamu. Aku dari tadi di rumah Eyang (kakek nenek dalam bahasa Jawa), lagi kumpul2 sekalian disidang sama mereka karena aku ga ikut ke Norway besok. Nanti malam kita tlp ya!"
"Uuuu.. 'pretty Patty'." goda Nick yang ikut membaca pesan Satrya dari belakang Patty.
"Ih ganggu wae! Ganggu melulu)" umpat Patty kemudian dengan cepat membalas pesan Satrya.
'Ya ampun bang! Aku kira kemana. Okay! Kabarin, ya!'
Nick memungut ponselnya kemudian berdiri. "Ya sudah, Pat. Gua balik dulu, ya! Sudah malam. Lu juga harus mandi tuh sebelum telepon semaleman sama Satrya."
Patty melirik jam di ponselnya. Baru juga pukul 8 malam. Biasanya Nick di rumah Patty sampai pukul 10 malam dengan alasan belajar. "Yaaah... lu di sini saja! Kita ngobrol bareng sama Satrya."
"Hah?!" Nick tertawa terbahak. "Lu gila apa? Satrya bisa ngamuk kalau tahu gua di rumah lu sampai malam!"
Patty cemberut, tapi kata-kata Nick ada benarnya juga. Akhirnya Patty membiarkan Nick pulang dan langsung mandi sebelum kemudian menunggu telepon dari sang pangeran.
***
Patty tertawa sambil memeluk guling di atas ranjangnya. "Sungguh? Terus abang bilang
apa?"
"Ya aku bilang, 'nggak jadi ikut soalnya Satrya sudah ada cewek, Budhe (bibi dalam bahasa Jawa)'." kata Satrya
di ujung telepon sambil tertawa pelan.
"Terus terus?"
"Terus Budhe mau lihat mukanya, aku nggak mau kasih lihat ah malu. Kan belum resmi
pacaran. Akhirnya malah digodain dibilang bucin sama Mbak (kakak perempuan dalam bahasa Jawa) Hanna, anaknya Budhe."
Patty tertawa. Duh malu juga. Iya juga. Satrya jadi seperti bucin, ya? Belum pacaran tapi
sampai tidak ikut pergi ke luar negeri. Patty jadi senang, ia merasa dihargai oleh Satrya. "Terus?"
"Terus terus mulu, Pat. Nabrak dong nanti."
Patty dan Satrya tertawa sebentar kemudian mereka terdiam. Tidak lama kemudian
Satrya menguap dan berkata. "Tidur yuk, Pat. Besok gua mau ke bandara pagi-pagi. Ikut nganter
bokap, nyokap, eyang dan para Budhe dan Pak Dhe (paman dalam bahasa Jawa) ke bandara. Mungkin sekalian main-main
di Jakarta sebentar sebelum pulang Bandung lagi."
"Oh..." setelah sekian lama tidak berkabar, sekarang Satrya mau tidur begitu saja?
Padahal mereka baru telepon sekitar 10 menit. Tapi, Patty tidak mau sampai Satrya merasa dirinya mengganggu jadi Patty berusaha memakai nada yang riang kemudian berkata. "Alright. Good night. (Ya sudah. Selamat malam)"
"Night."
***
"Sama sekali?" tanya Nick. Matanya membelalak dan tangannya berhenti memasukan nasi ke dalam mulutnya.
"Ya..." sahut Patty dengan tidak bersemangat, sambil menyantap nasi kuning yang dimasak Desi.
"Terus lu nggak ngapa-ngapain gitu?"
Patty menggeleng sambil menatap Nick yang duduk di seberangnya. Sudah satu minggu mereka libur kenaikan tingkat dan setiap hari, sejak pagi, pasti Nick datang ke rumah Patty. Tentu tidak terlalu pagi, seperti layaknya anak-anak remaja, setiap libur mereka akan bangun sangat siang. Seperti saat ini, Patty baru bangun saat Nick sampai ke rumahnya sekitar pukul 11 siang. Itulah mengapa Desi dan suaminya, Bimo, sudah selesai sarapan sejak tadi. Bahkan sebelum Patty bangun, Bimo sudah pergi ke pabrik.
"Makan saja, Nick. Kok shock gitu sih? Gua saja sudah nggak peduli." kata Patty sambil tertawa melihat Nick dengan tawa khasnya yang manis.
Nick masih tidak percaya. Memangnya Satrya sibuk apa, sih? Masa sih tidak bisa sekali pun mengirim pesan pada Patty? Padahal awalnya Nick sempat sedih, ia kira Satrya sengaja tidak pergi ke Norwegia supaya dapat menghabiskan waktu liburan dengan Patty.
Nick menatap Patty yang tertawa. Bisa-bisanya Satrya menyia-nyiakan perempuan secantik dan seanggun Patty. Patty ini benar-benar... cantik.
Nick menyuap suapan terakhirnya sambil memperhatikan Patty. Ternyata benar, Patty tidak banyak berubah. Mungkin karena Nick sudah bermain dengan Patty sejak mereka masih belum sekolah, rasanya saat melihat Patty kembali di Indonesia, Nick merasa benar-benar seperti sudah pulang ke rumah.
Awalnya memang Nick merasa Patty berubah sejak ia mulai bermain dengan geng Lexa yang disebut QS, apa pun itu kepanjangannya. Nick sampai berusaha agar dampak perubahan Patty tidak terlalu besar, jangan sampai Olive terluka hingga membuat Patty menyesal nantinya.
Tetapi untunglah itu semua hanya kesalahpahaman saja walaupun Nick sampai harus babak belur.
Hanya dua hal yang berubah dari Patty. Penampilannya yang semakin cantik dan anggun lalu kepribadiannya yang semakin dewasa. Memang, Patty pantas mendapatkan lelaki seperti Satrya. Meskipun Nick cemburu, tapi Nick akan berusaha sedapat mungkin mendukung Patty.
Desi yang sedari tadi memperhatikan Nick dari ambang pintu dapur akhirnya tidak tahan untuk menggoda Nick yang ekspresinya sudah berubah dari terkejut menjadi terpesona. "Aduh, Nick! Terpesona pisan (banget) ya sama Patty? Cantik kaya tante, he eh (Kadang orang berbahasa Sunda sering menggunakan 'he-eh'di belakang kalimat untuk menegaskan sesuatu)?" katanya sambil seakan mengibaskan rambutnya yang dijepit di belakang kepalanya.
"Eh.. tante," Nick tertawa malu. Aduh, tante ini. Bagaimana kalau Patty jadi risih?
Dengan khawatir, Nick melirik Patty. Untunglah Patty masih asyik memakan nasi kuningnya. Memang, ya, dari dulu Patty selalu cuek.
"Nick! Dengar-dengar Olive mau pindah sekolah, he-eh?" tanya Desi dengan nada ibu-ibu arisan tukang gosipnya sambil duduk di kursi ujung meja makan, di antara Nick dan Patty.
"Hah?!" Olive mau pindah sekolah?
"Loh lu belum tahu, Nick?" tanya Patty ketus sambil melirik Nick. Tangannya masih memegang sendok dan kepalanya masih menunduk, siap menyantap nasi kuningnya.
"Gimana gua mau tahu kalau nggak ada yang kasih tahu gua?" seru Nick dengan nada dan gaya yang dibuat berlebihan, membuat Desi tertawa melihatnya.
Nick cukup kaget melihat Patty yang semakin tidak acuh. Biasanya Patty akan tertawa bila melihat Nick bertingkah konyol dan berlebihan. Tapi, Patty malah germumam "Masa?" kemudian lanjut memakan nasi kuningnya.
Patty ini kenapa sih? Apa dia marah pada Nick? Memangnya Nick salah apa? Rasanya sampai kemarin… jangan kan kemarin… sampai barusan saja pun Patty masih baik-baik saja. Masih tertawa seperti biasa.
"Ih, kunaon ari kamu teh neng (kamu kenapa sih nak)?" tanya Desi bingung melihat tingkat Patty.
"Mah! Nick ini dekat sama Olive tahu!" kata Patty setelah menelan nasi kuningnya.
"Mana mungkin dia nggak tahu."
"Eh, gua belum pernah kontak Olive lagi setelah masuk ke Bandha Bandhu lagi! Ngapain juga? Masa gua mau di "OSPEK" ulang lagi? Menderita loh!" canda Nick.
Patty menyipitkan matanya, memandang Nick dengan sangsi. "Masa? Aren't you her knight... I mean her prince in shining armor? (bukannya lu ksatria... maksud gua pangeran baja hitamnya dia)"
Nick tertawa kecil dengan bingung "Wh... what?"
"Selama ini bukannya lu selalu bela Olive?" nada Patty semakin serius.
Nick bingung mendengarnya. Kenapa tiba-tiba suasananya jadi begini? Nick tidak lagi tertawa-tawa. Ia memasang muka serius dan menatap Patty. "Kapan?"
Desi yang duduk di tengah mereka mulai gelisah. Kenapa Desi membawa topik yang menuju pada perdebatan seperti ini sih? Mana juga Desi tahu ada masalah dengan Olive? Desi buru-buru berdiri dan berjalan menuju dapur sambil berkata "Ah teuing ah. Mamah ka dapur nya, neng! Ieu masakan mamah... eh mamah teu keur masak, nya? (ah nggak tahu deh. mamah ke dapur ya, nak! ini masakan mamah... eh mamah nggak lagi masak, ya?)" Desi terus berbicara yang lebih terdengar seperti gumaman yang gugup.
Patty dan Nick tentu tidak lagi memerhatikan Desi. Patty mengaduk- aduk nasi kuningnya yang hanya tinggal sedikit di piringnya. Masa ia harus memberitahu kapan-kapan saja Nick membela Olive? Jawabannya kan sudah jelas: selalu!
"Pat?"
"Ah apa?!" bentak Patty sambil menaruh sendok garpunya dengan kasar. "Masa lu nggak sadar? Sejak kapan lu berubah dari orang yang selalu bela gua jadi orang yang selalu bela Olive, sih?"
"Kapan gua bela Olive? Selama ini gua bareng sama lu terus!"
"Bukan... bukan sekarang." Patty menunduk malu. Duh, memang sih sekarang Nick selalu ada di sisinya tapi itu kan setelah Nick tahu kebusukkan Olive! "Ah sudahlah!" Patty cepatcepat menghabiskan nasi kuningnya dengan harapan Patty sudah di dapur mencuci piringnya sebelum Nick menyadari kapan tepatnya yang Patty maksud. Tapi tentu saja, penulis tidak akan membiarkan itu terjadi.
Tepat pada suapan Patty yang terakhir, Nick berseru. "Oh! Maksud lu, gua bantu Olive waktu kalian bully Olive?"
Patty mengunyah secepat mungkin kemudian berdiri. "Sebelumnya juga!" kemudian cepat-cepat masuk ke dapur.
Nick mengusap dagunya, menatap lampu gantung di atasnya. Memangnya kapan Nick membela Olive? Ah sudahlah. Nick tidak mungkin ingat. Nick berdiri dan membawa piring kosongnya ke dapur Patty yang luas dengan ubin berwarna putih dan perabot yang didominasi warna abu. Nick berdiri di sebelah Patty, meletakan piringnya di konter granit berwarna abu, tepat di sebelah wastafel tempat Patty menyuci piringnya.
Iya ya, percuma juga Patty cepat-cepat kabur begitu. Toh Nick tetap dapat mengikutinya ke sini.
"Sini, gua saja yang cuci." kata Nick hendak mengambil piring Patty.
"Beres!" kata Patty sambil buru-buru meletakan piring di rak di sebelahnya kemudian pergi meninggalkan Nick.
Desi yang sedari tadi duduk di kitchen island putih dengan kaki-kaki abu dari granit imitasi di dekat pintu menuju ke ruang makan, yang sebenarnya berusaha mencuri dengar pembicaraan Nick dan Patty sambil menikmati kopi paginya, memperhatikan Patty keluar dari dapur dengan bingung. Setelah Patty menghilang, pandangan Desi beralih dari Patty ke Nick yang juga masih memandang pintu dapur dengan bingung.
"Nick, tante ke luar bentar, ya. Nanti kalau sudah nyuci langsung ke taman belakang we, nya (saja, ya)." kata Desi kemudian berdiri meninggalkan kopinya.
Desi berjalan melewati lorong antara ruang keluarga dan ruang makan, terus berjalan menyusuri lorong dengan dinding berwarna coklat muda dan lantai kayu imitasi, melewati pintupintu kamar dan ruangan-ruangan lain. Lorong itu agak remang karena hanya mendapat cahaya dari pintu bermodel kupu tarung kaca di ujung lorong yang kemudian dibuka oleh Desi.
Desi keluar dari pintu itu dan benar dugaannya. Patty sedang duduk di kursi besi hitam di serambi belakang, menghadap taman belakang mereka yang tidak begitu luas, menatap tembok belakang rumahnya.
"Neng," panggil Desi lembut dan duduk di kursi besi yang kosong di samping meja bulat dari besi dengan warna senada. Desi mengulurkan tangannya melewati meja bulat itu, mengelus kepala Patty lembut. "Aya naon, sih neng? (ada apa sih, nak)"
Patty menggeleng dan menghembuskan napasnya. "Neng lagi butuh waktu buat mikir, mah."
"Neng mau cerita ke mamah, nggak? Siapa tahu neng lebih... lega kitu."
"Neng juga bingung mah." Patty terdiam sesaat, berusaha menyusun kronologi untuk mencari tahu apa yang membuatnya kesal. "Waktu awal Nick dateng ke Bandung, Nick banyak belain Olive. Waktu neng cerita neng kesal karena Olive ikutin neng kemana-mana, Nick malah bilang neng harus kasih tahu Olive. Waktu neng sama teman-teman akhirnya bermusuhan sama Olive juga Nick bela Olive terus."
Desi cukup kaget mendengar Patty dan Olive bertengkar, tetapi Desi tahu bukan itu masalahnya sekarang. "Tapi kan sekarang Nick sudah bareng sama eneng terus."
"Iya, mah. Neng tahu. Neng juga bingung kenapa neng jadi kaya gini. Biasanya neng nggak pernah marah atau sedih gara-gara hal yang nggak jelas."
"Coba deh ngobrol sama Nick baik-baik, neng. Siapa tahu bisa lebih lega, he-eh?"
"Ah embung, mah! Malu atuh! (ah nggak mau, mah! malu dong!) Neng harus jelasin apa ke Nick?"
"Kenapa malu sih, Pat?" Nick tertawa di belakang Patty.
Patty menoleh kaget. Loh, sejak kapan Nick ada di sana?
Desi berdiri dan menepuk-nepuk pundak Patty. "Sudah, ya. Mamah ke dalam dulu, mau siap-siap yoga sama teman-teman sekompleks."
"Gaya banget, tante. Pantas awet muda terus." kata Nick sambil tertawa. Bisa-bisanya Nick masih bercanda di saat seperti itu .
"Ah kamu mah bisa wae. (bisa saja)"
Nick tertawa sambil melambai pada Desi yang masuk melalui pintu kaca. Setelah pintu tertutup, Nick duduk di sebelah Patty. Ia ikut menatap tembok di hadapan mereka sambil menautkan jari-jari tangannya di atas pahanya. Bagaimana ya caranya Nick mencairkan suasana?
"Pemandangannya indah, ya?"
"Apa?" tanya Patty sambil memandang Nick bingung. Ini anak terbentur atau kenapa?
"Iya, indah banget temboknya. Dari tadi lu mandangin tembok ini?" Nick menoleh pada Patty dengan cengiran jahilnya.
Patty memukul pundak Nick beberapa kali sambil cemberut. "Iiih!"
Nick tertawa. Asyik ya menggoda Patty. "Sudah, dong. Jangan cemberut terus."
Patty berhenti memukul Nick, membuka mulutnya seakan hendak berkata sesuatu tetapi kemudian menutupnya kembali. Nick menunggu beberapa saat tetapi Patty tidak kunjung berkata apapun, Patty malah menatap meja besi di sebelahnya. Ya sudah, lebih baik Nick saja yang langsung menjelaskan pada Patty. Mungkin Patty malu untuk bertanya.
"Waktu di ruang VVIP GIS, waktu kita party, gua nggak maksud bela Olive, Pat. Sorry kalau lu mikir gitu. Waktu itu gua hanya takut lu berubah jadi seperti Lexa yang... you know, seenaknya."
"Jadi lu pikir gua seenaknya?" tanya Patty dengan datar.
"Engga, Pat. Gua hanya... gua takut lu berubah. Lu baik banget selama ini ke Olive dan waktu gua baru datang ke GIS gua lega lihat lu masih seperti Patty yang dulu."
Patty menatap Nick dengan tatapannya yang tegas kemudian berkata dengan datar "Lu mau gua terus baik ke Olive?"
"Engga, Pat. Bukan itu maksud gua. Patty yang gua kenal dulu itu Patty yang baik banget dan perhatian banget sama siapa pun. Gua nggak mau lu berubah."
Patty mendengus, kembali menatap tembok di hadapannya. "Kenapa? Lu nggak mau jadi teman gua kalau gua nggak baik lagi?"
"Bukan gitu, Pat! Kok lu jadi mikir ke sana?"
"Setelah gua pikir-pikir lagi, memang benar kan?" tanya Patty kemudian menatap Nick dengan dingin.
Nick mengacak rambutnya dengan frustrasi. "Apa?"
"Dari dulu Olive memang teman favorit lu. Bukan gua."
"Hah?"
"Waktu SD, lu selalu tahu dimana Olive sembunyi, lu juga memeluk Olive sebelum lu pergi. Gua dan Lexa nggak lu peluk seperti Olive."
Nick melongo. Patty kok sampai berpikir ke sana? Itu kan zaman SD.
"See? You can't even say a single word. (lu bahkan nggak bisa bilang apa-apa)" Patty berdiri, hendak masuk ke dalam rumahnya tetapi Nick dengan sigap menahan tangan Patty.
"Let me explain, alright? (biar gua jelaskan, ya?)"
Patty berbalik menghadap Nick dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Go ahead. (silakan)"
Nick berdiri, mengacak rambutnya yang sudah berantakan, kemudian menatap Patty. Ya sudahlah kalau memang begini. Mungkin sudah seharusnya Nick menceritakan yang sebenarnya.
"Gua sempat nggak sengaja lihat Olive nangis waktu SD, dari situ gua jadi tahu tempat Olive selalu bersembunyi untuk menangis. Gua peluk Olive karena gua tahu dia nggak berani peluk gua bersama lu dan Lexa."
"See? How understanding. (tuh kan. pengertian banget)." kata Patty sinis sambil mendengus mengejek Nick.
"I was just trying to be a good friend! (gua cuman berusaha jadi teman yang baik)" seru Nick dengan putus asa.
"Whatever. (serah deh)"
Nick mengerang. Kenapa sih Patty tiba-tiba seperti ini? Kalau sudah begini, ya sudah Nick mengaku saja. "Lu sadar nggak sih Pat? Waktu SD, setiap ada yang mengganggu Olive dan Lexa, gua selalu diam saja. Gua cuman maju kalau lu yang diganggu. Bukan karena gua tahu lu selalu ada untuk mereka, tapi karena gua cuman peduli sama lu."
Patty tertegun. Patty ingat bagaimana dulu Patty sedang berjalan untuk menyusul Olive yang sudah pergi terlebih dahulu ke lapangan untuk menonton Nick bermain basket. Patty melihat Oliveterduduk di lantai koridor di samping lapangan basket sambil menangis karena diganggu oleh beberapa siswa dari kelas mereka. Beberapa siswa mengelilingi Olive dan mengejeknya gendut.
Patty yang tidak tahan melihat temannya diganggu langsung berjalan cepat menghampiri mereka, menarik para siswa itu satu persatu. Tetapi hasilnya malah Patty ditarik oleh salah satu siswa di sana dengan kasar.
Siswa itu tiba-tiba mengaduh dan melepaskan Patty. Patty menoleh dan melihat Nick menarik rambut siswa itu sampai akhirnya siswa itu jatuh ke lantai.
Siswa yang lain mundur, tentu saja, karena Nick sudah dianggap seperti "ketua" anak-anak kelas 6 saat itu. Nick tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Ia menarik kerah siswa yang jatuh tadi sampai berdiri kemudian melemparkannya kembali ke lantai. Nick menoleh ke
belakang melihat semua siswa yang lain telah berlari. Saat Nick melihat lagi ke depan, siswa tadi sudah berdiri dan sedang berusaha lari dengan terpincang-pincang. Nick mendengus kesal kemudian menghampiri Patty yang sedang membantu Olive berdiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya sambil memperhatikan Patty dari atas sampai bawah.
Patty tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa. Thank you ya! Kamu sudah kaya my knight in shinging armor! (ksatria baja hitamnya aku)"
Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Itulah mengapa para siswa tidak ada yang berani mengganggu Patty. Mereka hanya berani mengganggu Olive atau Lexa kalau tidak ada Patty di sana.
Tapi... semua ingatan itu membuat Patty tersadar akan hal yang membuatnya sangat jengkel pada Nick.
"Okay, jadi waktu SD gua favorit lu tapi kemarin ini gimana?"
"Kemarin ini gua bukan lindungin Olive, tapi lu, Pat."
Patty jadi benar-benar kesal mendengarnya. Tanpa ia dapat tahan, nada suaranya menjadi tinggi dan ia membentak Nick. "Lindungi gua gimana? Lu ninggalin gua!"
"Gua... gua cuman nggak mau lu gegabah dan akhirnya menyesal saat tindakan lu berdampak pada Olive. Waktu itu gua nggak tahu alasan lu apa, jadi gua masih berharap lu akan berbaikan dengan Olive saat semuanya sudah selesai tanpa lu harus bertanggungjawab karena
perbuatan lu. Kemarin ini semuanya benar-benar brutal. Kalau gua nggak jagain Olive gua takut Olive kenapa-kenapa dan... lu merasa bersalah."
Patty tertegun sebentar. "Apa?" tanyanya pelan. Nick benar-benar berpikir seperti itu?
"Kenapa?"
Nick menatap Patty lembut, menggenggam tangannya dan berkata, "Karena lu teman favorit gua?"
Patty tertawa dan memukul Nick lembut. Pemandangan yang membuat Desi, yang sedari tadi mengintip dari pintu, tersenyum-senyum sendiri.
"Ah! Enya nya! Gues telat yoga (sudah terlambat yoga)!" seru Desi kemudian buru-buru masuk ke kamarnya melalui pintu di sisi kanan lorong.