"Satrya sekali lagi menangkap bola dan berlari...berlari...WOW satu lagi poin dari slam dunk Satrya!" seru komentator pertandingan basket antar angkatan di Gedung Olahraga Go International School, sekolah internasional dengan kurikulum International Baccalaureate yang paling terkenal di Bandung. Bagaimana tidak? Hanya anak-anak para konglomerat, artis dan pejabat yang dapat bersekolah di sini karena biaya sekolahnya yang sangat fantastis. Ditambah lagi, mayoritas murid di GIS adalah murid-murid yang tampan dan cantik, tidak heran banyak juga di antara murid-murid ini yang menjadi artis dan model.
"Satrya! Satrya! Satrya!"
Satrya mendarat sambil tertawa, mengibaskan rambutnya yang berkeringat sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling gedung olahraga, tepatnya ke kursi-kursi penonton yang dibuat berundak.
Semua siswi terbius dengan pesonanya walaupun mungkin Satrya tidak melakukan itu dengan sengaja. Tentu saja, Satrya adalah murid yang paling populer di antara siswa-siswi GIS.
Satrya Sumarno, murid paling tampan di GIS. Memang dia tidak memiliki darah Arab, Korea, atau Barat seperti kebanyakan murid-murid tertampan di GIS lainnya. Namun, dengan hidungnya kokoh, mata yang hitam pekat, bulu mata dan alis yang tebal, dan kulit kecokelatan membuat dirinya menjadi sangat tampan. Ditambah lagi badannya yang tinggi dan berotot semakin terlihat semakin gagah ketika ia meloncat melakukan slam dunk, membuat semua siswi yang menonton di sana teriak histeris.
Tidak terkecuali satu siswi di tahun sophomore-nya (tahun kedua dari total empat tahun di sekolah tinggi internasional) yang agak gemuk dengan kulit kecokelatan dan berjerawat, Olivia Teguh yang biasa dipanggil Olive. Matanya terlihat sangat sipit karena terjepit dengan pipinya yang bulat, hidungnya terlihat tenggelam di antara seluruh lemak di mukanya, bibirnya terlihat tebal karena kawat giginya, rambutnya yang panjang hitam tetapi terlihat berminyak, seperti biasa, diikat satu dengan karet rambut seadanya.
"Ciee yang tepesona sama Bang Satrya," ucap gadis yang duduk di sebelah Olive. Seperti Yin dan Yang, gadis di sebelah Olive bertubuh langsing, kulitnya kuning langsat, rambutnya lurus bervolume dengan poni rata yang manis, hidungnya yang mungil dan agak lancip, bibirnya yang kemerahan dan tipis. Patricia Putriani, atau Patty, adalah teman dekat-satu-satunya teman-Olive sejak di taman kanak-kanak.
"Siapa yang tahan lihat dia coba, Pat?" kata Olive malu-malu kemudian buru-buru menambahkan "Kecuali lu."
Patty mengangkat kedua bahunya sambil memandang Satrya. "Gua sebenarnya terpesona, Live. Tapi gua tahu, dia lagi dekat sama salah satu anak QS, kan?"
"Ah iya juga ya." Kata Olive murung. Lelaki yang disukainya sejak SD sekarang dikabarkan sedang dekat dengan salah satu anak QS. Oh, Qualified Squad atau QS adalah kelompok anak-anak perempuan paling cantik dan kaya di GIS. Mereka tidak hanya terkenal di GIS, tapi seluruh Indonesia sudah mengakui kecantikan anak-anak ini. Bahkan beberapa dari mereka sampai terkenal ke seluruh ASEAN dan Asia. Pendirinya, tentu saja, anak perempuan paling cantik dan kaya di GIS, Alexandra Asparini Sumarno, atau yang orang-orang kenal dengan Angel Lexa.
Patty yang sadar akan muka Olive yang mendadak terlihat sangat murung langsung tertawa kecil kemudian menyenggol temannya dan berkata, "Ga kok, gua nggak suka sama Satrya bukan karena itu, tapi karena gua tahu lu suka sama dia. Lagian itu cuman hoax. Kita nggak tahu dia benar-benar dekat dengan anak QS atau nggak. Toh sampai hari ini gua belum pernah lihat dia jalan sama cewek mana pun."
Olive tertawa kecil tapi sebenarnya hatinya tidak lega sama sekali. Kata-kata Patty benar-benar menyadarkan dirinya. Mana mungkin Satrya mau dengan anak seperti dia. Gendut, pemalu, tidak bisa bergaul kecuali dengan Patty, suram.
Sekali lagi, seluruh siswi di gedung itu berteriak histeris saat Satrya berhasil melakukan three points. Semuanya, tidak terkecuali Patty. Ah, apa jangan-jangan Patty juga sebenarnya suka dengan Satrya? Kalau dengan Patty, Satrya mungkin bisa suka juga. Patty tidak kalah dengan anak-anak QS lainnya. Bahkan sebenarnya Lexa terus membujuk Patty untuk masuk ke QS. Lexa terus menolak anak-anak yang meminta untuk mengisi posisi terakhir di QS sejak 3 tahun lalu karena posisi itu ia simpan untuk Patty. Bahkan minggu lalu, Lexa menolak Novi Cindua, seorang selebriti ingstaram yang sangat terkenal karena ibunya adalah seorang aktris kondang dan ayahnya anggota DPR. Lagi-lagi karena posisi itu tidak diberikan pada orang lain tapi Patty.
Pertandingan selesai, tentu pertandingan dimenangkan oleh angkatan Satrya, junior (tahun ketiga di sekolah tinggi internasional). Patty ikut berdiri bersama murid-murid yang lain dan bersorak-sorak karena euforia yang meledak di gedung itu. Tetapi Olive tidak dapat ikut merasakan euforia itu. Sekali lagi, Olive merasa down.
Ya, memang itulah Olive. Ia anak yang selalu merasa rendah diri dan karenanya sangat mudah untuk terluka dan depresi. Tidak tidak, bukan berarti ia depresi sekarang, ia hanya tersadarkan betapa buruk dirinya saat itu.
Olive ikut berdiri dan bertepuk tangan, berusaha tersenyum tetapi tidak bisa lebih lagi dari itu. Ia melirik Patty. Irinya.
Kedua tim basket berjalan meninggalkan gedung sedangkan murid-murid yang lain kembali duduk, menunggu dipersilakan untuk keluar oleh panitia. Patty menoleh ke arah Olive sambil tertawa senang. "Live, sehabis ini kita mau nonton pertandingan apa lagi?"
Saat itu, GIS memang sedang mengadakan pertandingan olahraga antar angkatan. Tidak hanya basket, tetapi ada juga pertandingan futsal di lapangan futsal, pertandingan bulu tangkis yang akan diadakan di gedung olahraga itu, dan terakhir pertandingan renang yang diadakan di kolam renang GIS yang terletak di belakang foodcourt. Tetapi tentu, setiap kali tim Satrya bertanding, hampir semua murid akan menonton pertandingan Satrya dan karenanya semua pertandingan lain ditunda untuk sementara. Untung saja gedung olahraga GIS cukup besar untuk menampung seluruh siswa-siswi GIS.
"Terserah lu, Pat." kata Olive sambil tersenyum.
"Pertandingan bulu tangkis saja deh ya, supaya kita nggak usah pindah-pindah lagi," kata Patty tepat ketika panitia mengijinkan para murid untuk meninggalkan gedung olahraga. Sebagian besar berdiri untuk menonton pertandingan futsal di lapangan depan gedung olahraga atau pertandingan renang.
Olive mengangguk. Tentu saja, Olive pasti akan menuruti apapun yang dikatakan Patty karena...dia tidak punya siapa-siapa lagi. Lagipula dia sudah biasa hanya mengikuti kemauan orang lain. Lebih baik begitu daripada harus berpikir dan mengambil keputusan sendiri. Bagaimana kalau keputusan itu salah?
"Patty Patty my dear! " kata Lexa dengan suaranya yang terdengar berwibawa bahkan ketika bercanda, seraya memeluk Patty dari belakang. Aroma parfum Chennel miliknya langsung menusuk hidung Olive dalam-dalam.
Olive menoleh menghadap Lexa. Tidak sadar apa ada dia juga di sana? Tapi...memang Lexa sangat pantas menjadi ketua Qualified Squad... she is qualified for that. Lihat saja kulitnya yang kecoklatan mulus terawat, rambutnya yang lurus berwarna hitam pekat, hidungnya yang kokoh mancung di atas bibirnya yang sempurna dengan olesan lipstick LSY merah miliknya, badannya yang langsing dan sangat proposional. Kendall Jenner versi Indonesia. Lalu matanya yang bulat dan berwarna hitam pekat seperti milik sepupunya-Satrya, tiba-tiba menatap Olive dengan kesal. "Apa lu lihat-lihat gua? Dasar gendut."
"Xa," protes Patty sambil melepaskan pelukan Lexa kemudian berbalik menghadap Lexa. "Jangan ngejekin Olive terus dong."
Lexa cemberut. Dengan mukanya yang sedang cemberut saja Olive yakin ada seribu laki-laki yang akan dengan suka rela berlutut di depannya.
"Jangan gitu dong, Pat." rajuknya sambil cemberut. Tetapi tidak sampai satu detik kemudian, ekspresi Lexa berubah menjadi ceria lagi dan berkata dengan semangat. "By the way, lu nggak mau nonton pertandingan renang? Bang Ilyas lagi tanding, loh." katanya sambil tersenyum memamerkan deretan giginya yang putih dan rata alami.
Teuku Ilyas, teman satu geng Satrya yang bernama Bandha Bandhu, adalah murid kedua yang paling populer di GIS setelah Satrya. Bagaimana tidak? Tingginya mencapai 185cm, kulitnya putih khas orang Aceh seperti ayahnya, dengan mata yang hitam dan bulu mata yang lebat juga alis yang tebal, hidung yang gagah layaknya seorang Arab seperti ibunya, rahangnya yang tegas dihiasi cambang yang membuatnya tampak terlihat sangat gagah. Tidak sampai di sana, ia sangat atletis dan juga pintar, ia selalu menduduki peringkat kedua atau ketiga di kelas. Ia juga sangat, sangat, pendiam yang membuatnya terlihat menjadi sangat keren. Tentu, pria sesempurna Ilyas hanya cocok dengan wanita yang juga sempurna, Lexa. Ya, Ilyas adalah pacar baru Lexa sejak bulan lalu.
Lexa melirik Olive yang sedang memandangi tangannya sejak dibentak Lexa tadi "Sama lu juga boleh."
Patty tersenyum kemudian berdiri sambil berkata. "Ayo."
***
"Terus, tahu nggak mama gua bilang apa?" kata Olive dengan bersemangat di ujung telepon sana.
"Apa?" jawab Patty sambil berbaring di atas ranjangnya, memegang ponselnya mendengarkan Olive berbicara di airpodsnya sambil memperhatikan gambar-gambar gaun pengantin di ingstaramnya. Rasanya lelah sekali hari ini, walaupun ia tidak ikut bertanding, tapi ikut menonton pertandingan ini dan itu juga sudah cukup melelahkan.
"Dia bilang ...."
Aduh, Patty sangat mengantuk. Pukul berapa sih ini? Baru pukul 7 malam? Kenapa ia sangat mengantuk, ya? Mungkin karena cerita Olive yang tidak pernah habis. Tidak ada hari tanpa Olive menelepon untuk curhat, atau datang ke rumah Patty untuk mengerjakan pekerjaan rumah bersama, atau sekedar chat mengirimkan menu makan malamnya.
Patty tidak lagi. Ia sudah bosan memperhatikan apa yang Olive ceritakan.
"Oh ya?" timbal Patty ketika Olive berhenti berbicara sebentar.
"Iya! Terus, Pat..." lanjut Olive dengan semangat.
Patty sedikit menghela napas lega. Untung dia tidak salah memberikan respon. Kemudian jempol Patty berhenti. Satu gambar gaun pengantin yang sangat cantik memikat hatinya. Ini tentu waktunya untuk... menggambar.
"Pat? PAT!" seru Olive.
"Eh iya iya Live sorry. Terus terus gimana?"
Olive terdiam sebentar kemudian melanjutkan "Terus mama gua bilang dong..." sekali lagi Patty menghela napas. Untunglah Olive tidak sadar bahwa Patty tidak mendengarkan.
Patty berdiri dari ranjangnya yang empuk dan besar dengan sprei berwarna kuning, dipan jati berwarna coklat tua, dan kelambu yang tinggi dan manis hampir menyentuh langit-langit tinggi kamarnya. Patty memasukan kakinya ke sendal empuk berbulu berwarna coklat muda yang ada di atas karpet berwarna senada di bawah ranjangnya. Patty melangkah di atas lantai kayu berwarna coklat marun yang mengkilap dan halus dari tengah kamarnya menuju meja belajar di ujung kamarnya yang menghadap ke jendela tingkap dengan gorden coklat keemasan yang terikat rapih menatap ke beberapa pohon yang tumbuh di taman samping rumahnya dan sedikit dari dinding lantai 2 tetangganya yang tidak terhalang benteng.
Patty duduk di bangku meja belajarnya yang besar dan empuk. Ia membuka laci meja belajarnya yang juga terbuat dari jati. Laci itu cukup berat hingga mengeluarkan bunyi berdecit.
Olive terdiam sebentar sebelum berkata. "Bunyi apa itu, Pat?"
Patty terdiam sebentar. Ya ampun, Olive dengar ya? "Iya, bunyi laci meja belajar gua."
"Oh... lu lagi sibuk ya, Pat?" terdengar nada sedih dari suara Olive. Membuat Patty merasa bersalah tidak mendengarkan cerita Olive.
"Ah...gua mau sambil gambar, sih. Tapi tenang saja, gua dengar cerita lu, kok. Seperti biasa." Patty kemudian tertawa kecil untuk mencairkan suasana.
"Bener?"
"Iya sungguh." Kata Patty seraya membuka buku gambarnya dan mulai menggambar.
Olive kembali bercerita sedangkan Patty semakin fokus dengan gambarannya. Seperti biasa, setiap kali menggambar, Patty akan membayangkan riasan pengantin itu, rambutnya, juga dekorasi yang cocok dengan gaun itu. Hasilnya Patty tentu semakin tidak mendengarkan cerita Olive. Ia hanya menanggapi cerita Olive dengan gumaman dan tawa basa-basinya sambil bertanya-tanya kapan Olive akan lelah dan menyudahi teleponnya.
Patty terus menggambar sampai akhirnya ia sadar sudah tidak ada lagi suara Olive di ujung telepon sana. Patty dengan panik membuka whatsin untuk mengirim chat minta maaf pada Olive. Ternyata ada 1 chat dari Olive setengah jam yang lalu.
"Pat, sori hp gw abis batre"
Patty menghela napas lega. Untunglah. Ia langsung membalas chat Olive dengan perasaan bersalah.
"Gapapa Live. Nanti lanjut cerita yaa"
Patty meletakan ponselnya dan baru hendak melanjutkan sketsanya ketika ada satu notifikasi chat dari Olive yang berkata 'ok'. Patty tersenyum melihatnya dan kembali tenggelam dalam sketsanya.
***
"Hai, Pat!" sambut Olive sambil berlari keluar dari mobil Toyato Fortunernya.
Patty mengangkat kepalanya dan melihat Olive berlari-lari kecil kepadanya, di belakangnya mobil Fortuner milik Olive melaju pulang dikemudikan oleh sopir pribadi Olive. Patty menghela napas. Sebenarnya ia sudah sangat lelah dengan sikap Olive yang terus menempel padanya. Setiap hari Olive selalu menunggu Patty datang ke sekolah dari dalam mobilnya. Kesannya Olive tidak berani dan tidak bisa masuk sendirian ke sekolah. Hal itu Patty merasa seperti induk ayam.
"Hai, Live." Kata Patty sambil memaksakan seulas senyum. Semoga senyum ini terlihat cukup tulus.
Mereka berjalan melewati gerbang sekolah yang tinggi dan cantik berwarna silver dengan lekungan dan jeruji artistik di atasnya. Di kiri kanan gerbang itu terdapat tembok dari bata berwarna putih yang tinggi mengelilingi kompleks GIS.
Mereka berjalan menyusuri jalanan dari batu-batu alam flagstone yang terhampar di tengah taman sekolah yang luas dan megah. Beberapa anak melewati mereka dengan menggunakan sepeda-sepeda yang mahal sedangkan kebanyakan anak yang lain berjalan kaki sambil berbicara dan tertawa. Di kiri kanan jalan itu, semak-semak dan bunga asoka yang terpangkas rapih berjajar dengan indah. Di belakang semak-semak itu, terhampar hamparan rumput dengan banyak pohon tinggi yang ditata rapih, mulai dari liang liu hingga pinus. Jalan itu mulai bercabang ke sebelah kiri menuju gedung pertama dengan tembok berwarna krem muda dan lintasan-lintasan berliku sampai 5 lantai, gedung parkir. Gedung ini memiliki lintasan untuk masuk ke gedung parkir yang berada di luar dinding samping GIS. Beberapa siswa berjalan keluar dari gedung itu melalui sela-sela pagar di samping sederetan motor-motor mewah dan mobil-mobil mewah.
Jalan itu bercabang kembali ke sebelah kanan menuju gedung kedua, gedung olahraga. Gedung itu berbentuk persegi panjang dengan kubah merah yang tidak terlalu tinggi sebagai atapnya. Setengah gedung itu berwarna putih dan setengah lagi berwarna merah, melambangkan bendera Indonesia. Gedung ini cukup besar sehingga mampu menampung sekitar 1.000 penonton. Cukup untuk menampung seluruh siswa GIS dan orang tua mereka di dalam gedung.
Mereka tetap berjalan, melewati kolam ikan bulat dengan air mancur yang indah dari marmer di tengah jalan batu tersebut. Ikan-ikan koi yang besar berenang dalam air jernih di dalam kolam itu, menatap para siswa sambil berharap diberi makan oleh mereka yang lewat. Jalan setapak itu kemudian kembali bercabang ke kiri menuju gedung ketiga, foodcourt.
Mereka berjalan menuju cabang yang keempat di sebelah kanan, menuju gedung keempat, gedung sekolah untuk para siswa GIS. GIS hanya terdiri dari tingkat highschool saja, dari mulai freshman sampai senior. Kebanyakan murid yang masuk GIS adalah anak-anak dari SD dan SMP pilihan yang-tentu saja-lebih didukung dengan kekayaan orang tua mereka daripada kemampuan otak para siswa sendiri.
Mereka berjalan menuju sebuah gedung dengan gaya art deco, dengan dinding dari bata berwarna coklat muda kemerahan. Mereka masuk melalui gapura merah yang menempel pada koridor. Koridor ini dinaungi kayu-kayu cendana, yang disokong oleh pilar-pilar bulat berwarna kuning gading di pinggir kiri dan kanan lorong, dihiasi tanaman Morning Glory yang menjuntai dengan bunganya yang berwarna merah dan harum. Di bawah mereka, lantai dari keramik berwarna coklat muda terhampar di sepanjang koridor menuju ke gedung sekolah.
Mereka melewati koridor dan langsung berhadapan dengan tangga megah dari granit berwarna coklat tua dengan pegangan dari kayu jati berwarna marun. Mereka berbelok ke kanan, menuju ke ruang loker untuk para siswa freshman dan sophomore. Bersama dengan banyak murid-murid lain dengan seragam kotak-kotak hijau muda dengan vest senada, Patty dan Olive berjalan menyusuri koridor. Di sebelah kiri mereka terhampar deretan loker sedangkan di kanan mereka pilar-pilar yang mirip dengan yang ada di koridor tadi berdiri tegak menghadap ke jalanan dan taman sekolah mereka yang megah. Dari sana, mereka dapat melihat sedikit muka foodcourt GIS.
Mereka sampai di depan loker mereka yang, sama seperti loker lain pada umumnya, berwarna abu dari besi. Olive membuka lokernya yang berada tepat di sebelah loker Patty. Wajar saja, Olive mendaftar tepat setelah Patty mendaftar. Ia langsung sibuk membereskan barang-barangnya sedangkan Patty menghembuskan napasnya. Jenuh. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang loker.
Di ujung sana, Lexa---yang mendaftar menjelang pendaftaran ditutup-baru saja selesai memasukan barang-barang yang ia perlukan ke dalam tasnya dan saat ia menoleh ke arah Patty, Patty langsung melambaikan tangan pada Lexa. Lexa tersenyum lebar dan langsung mendekati Patty.
"Hey dear!" sapanya.
"Morning Xa." Kata Patty sambil membuka lokernya dan mempersiapkan buku-bukunya.
"Masih juga ditunggu your pupy everyday ya?" kata Lexa sambil menatap Olive, yang baru saja selesai membereskan barang-barangnya, dari atas sampai bawah.
Patty tertawa sinis tetapi kemudian berhenti, ia ingat Olive ada di sebelahnya. "Well probably, I am the puppy's mom. (Yah mungkin aku memang induk anak anjing)"
Lexa tertawa terbahak dengan jawaban Patty sedangkan Olive? Ia tetap menyembunyikan mukanya di dalam loker, berusaha menahan tangisnya.
Mereka berjalan menaiki tangga besar berwarna coklat tua tadi dan berjalan menyusuri koridor kiri di lantai dua dengan tembok berwarna coklat muda di kanan mereka dan pilar-pilar di sebelah kiri dan pemandangan menghadap ke taman yang begitu luas dengan kursi-kursi dan lapangan basket dan sepak bola outdoor.
Mereka masuk ke salah satu kelas melalui pintu putih gading yang tinggi. Bangku-bangku dan meja-meja kayu putih berderet menghadap papan tulis putih dan meja guru yang besar dari granit. Tidak seperti kelas SMP atau SMA pada umumnya, satu kelas hanya cukup untuk 20 orang sedangkan meja dan kursi yang ada di kelas ini hanya cukup untuk satu orang dengan lorong antara satu meja dan meja lainnya.
Kelas sudah mulai penuh dan Patty mengambil kursi yang ada di tengah kelas. Olive dengan sigap langsung mengambil satu-satunya kursi yang masih kosong di dekat sana, tepat di belakang Patty.
Lexa yang jengkel melihat hal itu langsung tertawa sinis sambil berkata. "Well honey, kamu bukan induk puppy but more like (tapi lebih seperti) induk ayam."
Patty menggaruk kepalanya kemudian berbalik menatap Olive. "Nggak usah didenger, Live."
***
Patty, Olive dan Lexa berjalan menuju kelas kedua mereka hari itu. Seperti biasa, anak-anak laki-laki langsung menyingkir, memberikan Lexa jalan sambil memandang Lexa dengan kagum. Anak-anak perempuan menyapa Lexa dan Patty sambil tersenyum manis dan gugup, sedangkan beberapa dari anak laki-laki tertawa kecil pada Olive sambil bergumam "Hey yo puppy ngikut induk terus kemana-mana, ya?"
Muka Olive memerah, ia tidak sanggup melihat ke depan. Hanya memandangi ubin sambil mengikuti langkah Patty di sebelahnya. Memang, Olive selalu mengikuti kelas apa pun yang Patty ikuti. Tapi, ia bukan satu-satunya orang yang melakukan itu. Lexa, sejak dulu juga selalu mengikuti kelas Patty. Tapi kenapa hanya Olive yang diejek?
Mereka memasuki kelas kedua hari itu. Patty duduk di pojok, tempat duduk kesukaannya. Olive dengan cepat mengambil kursi di sebelah Patty. Meskipun terhalang lorong, tidak apa-apa. Ini tetap adalah kursi yang paling dekat dengan Patty.
Lexa, seperti biasanya, dengan acuh tak acuh mengambil tempat duduk di sudut pojok belakang lainnya. Dengan gayanya yang angkuh, ia mengeluarkan bukunya dari dalam tas dan mulai bermain ponsel, memperhatikan foto-foto yang ada di ingstaram.
"Pat," kata Olive.
Patty mengeluarkan tempat pensilnya dan meletakannya di atas buku-bukunya kemudian menoleh pada Olive. "Ya?"
"Hari ini pulang bareng gua saja, ya. Kita buat pe-er Bahasa Inggris yang tadi, yuk!"
Patty menghela napas dalam hati. Ia sangat tidak suka mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Tapi, seperti biasanya, Patty tidak tega membiarkan Olive begitu saja. Nanti Olive merasa terkucilkan. Siapa lagi yang akan berteman dengannya kalau bukan Patty? Lagi pula Olive juga tidak perlu begitu diperhatikan. Dia toh tidak pernah sadar saat Patty tidak begitu memperhatikannya.
"Okay," kata Patty sambil berharap guru Ekonomi mereka segera datang. Bukannya Patty tidak senang berteman dengan Olive. Patty sangat menghargai pertemanannya dengan Olive, teman dekatnya sejak ia masih di Taman Kanak-Kanak. Namun, rasanya semakin lama Olive jadi semakin menempel pada Patty sampai rasanya hidup Patty, baik itu saat di sekolah maupun di rumah, hanya milik Olive.
Patty mengeluarkan ponselnya, berharap agar Olive tidak lagi mengajaknya bicara. Entahlah, ia lelah. Setiap hari ada saja alasan Olive untuk menelponnya berjam-jam, lalu di sekolah ia harus bersama dengan Olive mulai dari saat masuk ke gerbang sekolah sampai pulang, akhir pekan juga tidak jarang Olive main ke rumah Patty. Terkadang Patty mempertimbangkan tawaran yang Lexa berikan padanya untuk menjadi member terakhir dari Qualified Girls.
Bagaimana tidak? Itu adalah kelompok yang sangat dimimpikan oleh semua anak perempuan di GIS. Dengan masuk ke dalam kelompok itu, tentu saja anggotanya langsung dipandang sebagai anak-anak perempuan dengan "kasta" tertinggi di GIS. Apalagi, Lexa sudah menolak puluhan anak perempuan yang cantik dan kaya demi menyimpan spot member terakhir untuk Patty. Bagaimana mungkin Patty tidak pernah bermimpi untuk masuk ke Qualified Squad?
Hanya ada 1 masalah. Olive.
Semua orang tahu Lexa sangat tidak menyukai Olive sejak mereka masih SD, apalagi setelah mereka masuk GIS. Alasannya? Tentu saja karena Lexa merasa Olive tidak hanya jelek tapi hampir tidak pantas untuk bersekolah di GIS. Setidaknya itulah yang anak-anak GIS pikirkan (ga kok, lexa ga suka sama yang ga mandiri dan suka nyalahin keadaan instead of berusaha). Kalau Patty masuk QS, siapa lagi yang akan menjadi teman Olive? Sejak dulu, Olive tidak pernah bisa berteman dengan siapa pun.
Pertama kali Patty bertemu dengannya di Taman Kanak-Kanak, Patty merasa kasihan padanya dan duduk di sebelah Olive yang terus menangis karena tidak bisa melihat ibunya di ruang kelas. Sejak saat itu, Olive selalu mengikuti Patty seperti... seperti anak ayam mengikuti induknya. Sejak saat itu juga, Olive selalu menunggu Patty di gerbang sekolah.. seperti... puppy menunggu tuannya datang. Kalau saja saat itu Patty tidak menemani Olive, apa semuanya akan berbeda? Mungkin sekarang ia sudah menjadi bagian dari QS.
Tiba-tiba ponsel Patty bergetar, membuatnya tersadar dari kenangan masa lalunya. Lexa mengirimkan sebuah foto di ingstaram Patty. Foto gaun yang sangat elegan namun sederhana dari salah satu designer kesukaan Patty. Katty Tanned.
'Ya ampun, Xa! Bagus banget!'
'Iya, kan! Hari ini gw dan nyokap gw mau ke butik Katty Tanned, mau coba baju untuk wedding sepupu gw'
'Oh, abangnya Bang Satrya?'
'Yes, dear. Lu mau say hi to Ci Katty?'
Patty hampir berteriak kegirangan dan dengan semangat mengetik pada ponselnya. 'MAU MAU MAU!'
'I'll call you when i get there, alright? ' (gua telepon lu waktu gua sampai sana ya?)
***
Untuk ke sekian kalinya, Patty mengetuk layar ponselnya untuk melihat jam di sana. Pukul 5 sore dan Olive masih juga di rumahnya. Padahal pe-er Bahasa Inggris mereka sudah selesai dari tadi. Bagaimana ini? Padahal Lexa bilang ia akan menghubungi Patty pukul setengah 6 sore.
Mereka berdua duduk di meja makan Patty yang sangat panjang dan, seperti semua perabot di rumahnya, terbuat dari kayu jati yang tebal dengan ukiran jepara yang khas. Di atas meja itu, lampu gantung berlapis emas yang antik dan indah tergantung di langit-langit putih rumah Patty yang tinggi.
"Neng Olive," panggil Desy, ibu Patty, yang keluar dari dapur melalui pintu kayu tinggi-yang selama ini hampir selalu dibiarkan terbuka. Desy, wanita paruh baya yang terlihat seperti baru di usia 40an awal. Kulitnya kuning langsat, rambutnya yang hitam walaupun sebagian sudah mulai terlihat abu-abu dijepit di atas kepalanya dengan jepit merah muda, agak berantakan tapi tetap terlihat elegan. Mukanya yang mulus dengan sedikit kerutan tersenyum lembut dengan senyuman yang mirip dengan senyuman Patty. Badannya yang tetap langsing dibalut dengan terusan santai berwarna merah dan celemek berwarna merah jambu. Tidak hanya jepit, baju, dan celemeknya, katel yang ia pegang dan sendal jepitnya yang berada di atas lantai granit mewah ruang makan Patty juga berwarna merah.
"Eh, iya tante?"
"Mau makan apa lagi, neng?" tanya Desi dengan bersemangat. (Neng adalah singkatan dari eneng yang merupakan sapaan dalam bahasa Sunda untuk anak perempuan muda)
"Aduh, mah! Kenapa keluar bawa-bawa katel segala?" protes Patty. Duh, mama ini bagaimana? Kalau Olive makan lagi, nanti kapan Patty bisa mengobrol dengan Lexa?
Desi tertawa malu. "Aduh, mamah terlalu semangat masak, sih. Abisnya senang deh kalau ada Neng Olive. Semua makanan tante langsung habis dimakan."
Muka Olive memerah. Itu karena Olive hanya dapat berpikir kalau sambil makan saja. Mungkin karena itu berat badannya tidak turun-turun.
"Ah, nggak usah tante." Kata Olive sambil menutup bukunya. "Kayaknya sebentar lagi juga Pak Solihin jemput saya."
"Ah, Pak Solihin sopir kamu? Kalau gitu, tante titip makanan untuk Teh Henny mama kamu ya." Kata Desi sambil buru-buru ke dapur.
"Em.. Pat?" panggil Olive, menyadari untuk ke sekian kalinya Patty mengecek ponselnya sambil menggigit bibir bawahnya.
"Ya ya?" jawab Patty, tersadar ia dari tadi bersikap seperti seseorang yang sedang menunggu pengumuman lotre.
"Lu ada janji, ya?" muka Olive terlihat serba salah. Ia menghindari tatapan Patty dan fokus melihat Iphone terbaru milik Patty yang dibungkus dengan casing berwarna biru, sama dengan casing ponsel Olive.
"Oh.. oh enggak kok enggak. Kenapa?" kata Patty sambil menggaruk hidungnya gugup.
Olive menggeleng sambil memaksakan suara tawa yang terdengar bergetar. "Nggak apa-apa, soalnya dari tadi... lu lihatin jam terus."
Patty mengatupkan mulutnya rapat. Tidak tahu harus berkata apa. Untung saat itu ponsel Olive berbunyi. Pak Solihin. Untunglah.
"Ah, Pak Solihin sudah sampai ya, Live?" tanya Patty buru-buru.
"Iya," kata Olive sambil menolak panggilan Pak Solihin kemudian buru-buru berdiri dan pergi begitu saja.
Patty memperhatikan Olive dengan perasaan bersalah. Bagaimana ini? Ia tidak bermaksud menyuruh Olive pulang begitu. Tapi memang ia tidak mau kalau sampai Olive masih di sana saat Lexa menelponnya.
"Loh?" Desi muncul dari dapur dengan goodie bag merah di tangan kanannya. "Olive mana, neng?"
"Ah, sudah pulang mah."
"Loh, tumben nggak pamit ke mamah. Sayang banget, padahal mamah sudah siapkan makanan untuk Teh Henny." (teh adalah sapaan dalam bahasa Sunda untuk perempuan yang lebih tua)
"Ah... iya ya mah? Kirim saja ke rumahnya suruh Pak Surya," kata Patty asal. Aduh, ini mamah kenapa heboh banget, sih?
"Masa dianter sama supir sih, neng?"
Tepat saat itu ponsel Patty berbunyi. Dengan cepat Patty mengambil ponselnya dan lari keluar dari ruang makan sambil berkata. "Patty telpon dulu sama teman ya, mah!"
Patty berlari menaiki lantai granitnya dan menyusuri koridor menuju kamarnya, menutup pintu kamarnya yang tinggi dan besar kemudian melemparkan dirinya ke atas sofa kamarnya dan menjawab panggilan video dari Lexa.
"Pat! Lihat deh!" seru Lexa ketika muka Patty muncul di layar ponselnya. Ia mengarahkan kameranya ke cermin. Lexa yang langsing dengan kulit kecoklatannya terlihat begitu anggun dalam balutan gaun merah marunnya. "Gua nggak terlalu suka warna marun tapi kalau Ci Kate yang buat, semua warna juga jadi keren banget, iya nggak?"
Patty memekik kegirangan melihat gaun itu. Itu kan... "Hah?! Itu kan gaun yang lu kirim ke ingstaram gua tadi, Xa!" (ci di sini adalah singkatan dari kata cici yang merupakan serapan dari kata mandarin (jiejie) yang artinya kakak perempuan)
Lexa membalikan kameranya dan tersenyum jahil setengah sombong. "Iya," katanya kemudian tertawa sambil membuka tirai fitting room-nya. "Ci Kate!" seru Lexa.
Jantung Patty langsung berdetak dengan cepat. Ya ampun, Lexa memanggil Katty Tanned!
"Ini, temen aku mau ngomong, nih! She is your biggest fan! " (dia fans terbesar kamu)
Tidak lama kemudian muncul sesosok wanita yang cantik di layar ponsel Patty. Muka yang lonjong dengan dagu yang lancip, alis yang tebal, mata yang sipit dan tajam, hidung yang tidak terlalu mancung tapi cukup lancip, bibir yang tipis dengan polesan lipstick merah. Sangat anggun dan tegas. Ya ampun, inikah sosok Catherine Tanuwidjaja? Designer yang sangat Patty sukai walaupun baru beberapa kali melihat sosoknya saat menghadiri fashion show.
"Ha..halo..." suara Patty terdengar bergetar.
Kate tertawa dan berkata. "Halo," katanya dengan suaranya yang agak berat.
Ya ampun, anggun sekali. Patty juga ingin nanti menjadi designer seperti Katty Tanned. Tunggu, nama panggungnya Tanned padahal kulitnya tidak tanned sama sekali. Lucu, ya.
"Ah... aku... suka baju-baju cici!" muka Patty memerah sakin bersemangat dan malunya.
Kate tertawa sekali lagi dan berkata. "Thank you. Kapan-kapan main saja ke butik."
"Ah aku!" seru Patty. Tidak hanya Kate, Patty juga kaget dengan suaranya yang tiba-tiba besar dan bersemangat. " Ehem... boleh nggak aku belajar dari cici?"
Kate tersenyum. Anggun sekali! "Boleh dong! Datang kapan saja, aku tunggu, ya! Kamu suka gambar gaun, ya?"
"Eh.. i.. iya, ci."
"Mana coba? Boleh aku lihat?"
Patty berdiri dengan gemetar. Duh malu banget! Gambar dia pasti jauh banget dari gambar Katty Tanned. Apalagi banyak sekali gambar-gambarnya yang mencontoh gaun-gaun Katty Tanned. "Ta..tapi jelek loh, ci." Katanya sambil membalikan kamera ponselnya menghadapkannya pada buku gambar di meja belajarnya.
Muka Kate terlihat kagum di layar ponsel Patty. "Wah bagus banget! Waktu aku seumur kamu, aku belum bisa loh gambar seperti ini."
***
Patty berbaring di atas ranjangnya, badannya terasa segar sehabis mandi tapi pikirannya jauh dari kata jernih. Ia masih terus teringat akan percakapannya dengan Katty Tanned tadi. Seperti mimpi rasanya bisa bicara dengan Katty Tanned sampai 2 jam!
Patty membuka ingstaramnya, ada satu pesan dari Lexa. Patty membukanya dan tersenyum sendiri. Lexa memasukkan durasi telepon videonya dengan Patty-yang sebagian besar berisi pecakapan antara Patty dan Kate-selama 2 jam ke cerita ingstaramnya dan menyebut akun ingstaram Patty di sana dengan tulisan:
Telpon 2 jam! Felt like a dream yet @patriciapatty?
Patty me-repost cerita Lexa ke ceritanya dan menulis: "It's a dream come true!!"
(Sudah terasa seperti mimpi belum @patriciapatty?
Ini adalah mimpi yang jadi kenyataan!!)
***
Patty berbaring di atas ranjangnya, badannya terasa segar sehabis mandi tapi pikirannya jauh dari kata jernih. Ia masih terus teringat akan percakapannya dengan Katty Tanned tadi. Seperti mimpi rasanya bisa bicara dengan Katty Tanned sampai 2 jam!
Patty membuka ingstaramnya, ada satu pesan dari Lexa. Patty membukanya dan tersenyum sendiri. Lexa memasukkan durasi telepon videonya dengan Patty-yang sebagian besar berisi pecakapan antara Patty dan Kate-selama 2 jam ke cerita ingstaramnya dan menyebut akun ingstaram Patty di sana dengan tulisan:
Telpon 2 jam! Felt like a dream yet @patriciapatty?
Patty me-repost cerita Lexa ke ceritanya dan menulis: "It's a dream come true!!"
(Sudah terasa seperti mimpi belum @patriciapatty?
Ini adalah mimpi yang jadi kenyataan!!)
***
Patty turun dari mobil BWM 520i putihnya dan berjalan menuju gerbang sekolah sambil mempersiapkan hatinya untuk bertemu Olive. Tapi...Olive tidak ada di sana. Patty melirik jam tangan Coaches berwarna rose gold miliknya. Sudah pukul 07.20 pagi. 10 menit sebelum bel berbunyi. Biasanya Olive sudah ada di sana menunggu Patty. Kemana dia?
Patty mengangkat bahunya. Ia merasa sedikit lega tapi... rasanya aneh. Apa Olive sakit, ya? Patty terus berjalan sambil menimbang-nimbang haruskah ia menelopon Olive. Saat ia sudah memutuskan untuk menelopon Olive, tiba-tiba punggungnya ditepuk lembut oleh seseorang.
Patty berbalik. Seorang gadis cantik dalam balutan seragam GIS berdiri di hadapannya. Rambutnya yang keriting diikat ekor kuda ke belakang dengan rapih. Mukanya kecokelatan dengan rahang yang tegas, mata yang bulat, alis yang tebal dan bulu mata yang lebat. Hidungnya tidak begitu mancung, bahkan sebenarnya berbentuk bulat di atas bibirnya yang agak tebal. Tidak ada yang dapat memungkiri kecantikannya. Victoria Ayu Rumbiak. Member QS yang ketiga.
Ibunya, I Gusti Triya Charvi, seorang pengusaha restoran Bali yang sangat terkenal di Pulau Jawa dan Bali. Ayahnya, Alwi Rumbiak, seorang pengusaha perhotelan dan pemilik Hotel Nusan, hotel bintang enam yang sangat tersohor di seluruh Indonesia terutama karena interiornya yang khas. Tidak hanya lobi, restoran, dan tempat makannya saja, tetapi juga seluruh kamarnya dihiasi dengan wallpaper bercorak batik dan wayang, sprei kamar itu pun bercorak batik. Tidak heran kalau pasangan ini adalah salah satu pasangan yang paling terkenal pada saat mereka menikah karena kecantikan dan ketampanan mereka ditambah lagi usaha mereka yang begitu maju.
"Hai, Pat." sapa Ayu dengan suaranya yang berat dan merdu. Iya, Ayu juga terkenal sebagai penyanyi yang sering kali meng-cover lagu di MeTube. Tapi, ia jauh lebih terkenal sebagai finalis Indonesian Up Model. Ia juga merupakan ingstaram celebrity yang terkenal dengan lebih dari satu juta pengikut.
Selain itu, yang lebih menghebohkan lagi dari hidup Ayu adalah di berbagai acara, apalagi saat jumpat fans, Ayu selalu didampingi dengan beberapa bodyguard. Satu bodyguard yang paling diingat oleh para fansnya adalah bodyguard yang selalu berdiri di samping Ayu karena mukanya yang sangar dengan bekas luka seperti kilat dari alis menuju matanya dan suarnya yang sangat keras dan menggelegar seperti guntur.
"Hai, Yu." balas Patty canggung. Ayu sangat jarang menyapa Patty. Ia memang sangat cantik dan terkenal tapi ia sangat pendiam. Ia jarang terlihat mengobrol dengan anggota QS sekali pun. Ada apa, ya? Tumben Ayu menyapa Patty.
"Jalan bareng, yuk!" ajak Ayu, tanpa tersenyum. Ya, Ayu memang sangat sangat jarang tersenyum. Patty sampai lupa kapan terakhir kali ia melihat Ayu tersenyum. Bahkan saat ia memenangkan challenge di Indonesian Up Model, ia hampir-hampir tidak tersenyum.
"Kita sama-sama di kelas science kan sekarang?" tambah Ayu karena Patty tidak juga berbicara.
"Oh, oh. Sorry gua nggak sadar." Kata Patty sambil tertawa kecil. "Ayo."
Mereka sampai di kelas, tidak seperti biasanya, kelas hari itu masih agak sepi. Ayu tanpa basa-basi duduk di tengah kelas, tepat di sebelah gadis berkulit putih dengan rambut lurus dan lebat sebahu. Gadis itu mengangkat kepalanya dari iphone edisi lama di tangannya dan melihat Ayu serta Patty dan tersenyum. Matanya yang berbentuk seperti kacang almond sedikit menyipit saat ia tersenyum. Alisnya yang tipis digambar dengan rapih dengan pensil alis berwarna hitam. Hidungnya mungil dan mancung. Bibirnya tipis dipoles dengan liptint berwarna pink cerah. Di atas kepalanya, bondu pita berwarna hijau yang senada dengan warna seragamnya menambah kecantikannya, Sharon Tedja. Member QS keempat.
Ayah Sharon, Willy Tedja, adalah seorang pengusaha yang sangat sukses. Salah satu usahanya adalah pabrik celup sedangkan ibunya, Cynthia Kurniawan...entahlah. Pekerjaan resmi Cynthia sebenarnya adalah... ibu rumah tangga. Tapi ia selalu menemukan kegiatan yang menghasilkan uang tambahan. Mulai dari open PO setiap kali mereka pergi ke luar negeri, sampai berdagang saham dan crypto. Sifat ini, tentu saja, menurut pada Sharon. Ia tidak pernah lepas dari ponselnya, memantau pergerakan saham dan crypto.
"Hai Pat! Duduk duduk!" sapanya dengan suaranya yang ringan dan manis. Cocok sekali dengan mukanya yang manis. Ia menunjuk kursi di sebelah kirinya yang masih kosong.
"Hai Shar." Kata Patty sambil meletakan tasnya di sebelah Sharon. Iya juga. Patty selama ini tidak memperhatikan kalau dirinya sekelas dengan Ayu dan Sharon di kelas ini. Selama ini ia hanya bersama Olive kemana pun ia pergi.
Terdengar suara pekikan diikuti dengan wangi parfum Channel yang khas. Lexa berlari memeluk Patty dari belakang. "Oh my dear Patty finally kamu join sama kita di deretan qualified!"
Patty tertawa canggung tepat ketika Olive masuk ke kelas. Pandangan mereka bertemu dan Patty tahu betul, sadar betul, tatapan Olive saat menatap Patty saat itu adalah pandangan terluka. Sebelum Patty dapat berkata apa-apa, Olive langsung berjalan melewati mereka dan duduk di kursinya yang biasa, di belakang.
Lexa duduk di sebelah Patty sambil memperhatikan Olive. "Biar saja, Pat. Dia harus belajar mandiri." Kata Lexa sambil menatap Patty. "like me." (seperti gua) Katanya sambil berpose, membuat Patty tidak tahan untuk tidak tertawa.
***
"Olive!" sapa Patty ketika Olive berdiri selesai membereskan barang-barang di atas mejanya. "Ke kelas matematika bareng, yuk!" ajak Patty sambil tersenyum lebar. Dalam hati Patty merasa sangat bersalah meninggalkan Olive begitu saja.
Olive menggelengkan kepalanya kemudian berdiri dan berjalan melewati Patty. Patty buru-buru mengejar Olive sambil tersenyum selebar mungkin. "Ayo dong, Live. Jangan ngambek. Nanti gua traktir iga bakar si pendek di foodcourt deh! Kesukaan lu kan!"
Olive menghela napas kemudian berbalik menghadap Patty yang sedang tersenyum canggung menunggu jawaban Patty. "Ya sudah. Mau dua porsi, ya!" kata Olive.
"Woa girl lu mau makan dua porsi sendiri?" tiba-tiba Lexa muncul dari belakang Olive begitu saja sambil tertawa.
"Satu lagi buat gua dong, Xa." Kata Patty sambil tertawa serba salah.
Lexa mengangkat bahunya tidak acuh kemudian memiringkan kepalanya ke arah kelas mereka selanjutnya dan berkata. "Whatever. Anyway gua duluan, ya. Kalau kalian sudah baikan cepat ke kelas." Lexa langsung berjalan cepat dan merangkul Ayu dan Sharon yang sudah berjalan di depan. Membuat mereka kaget dan sedikit terlonjak.
Patty tersenyum kemudian menggandeng tangan Olive ke kelas mereka.
***
"What?!" seru Patty sambil memukul meja dengan kedua tangannya. Nomor meja dari counter iga bakar sampai terjatuh ke atas meja melanin berwarna oranye di depan Patty dan Olive. Seperti biasa, mereka berdua duduk di pojok foodcourt GIS yang besar.
Gedung foodcourt ini memiliki gaya arsitektur kontemporer dengan bentuk yang unik, seperti persegi panjang dengan ujung yang bulat-bulat dan atap yang dibuat bergelombang besar. Di tiap lekukan gelombang tersebut, terdapat balkon dari ruangan-ruangan VVIP di lantai 3.
Foodcourt GIS sebenarnya hanya terletak di lantai satu dan dua. Di lantai satu, tempat dimana Patty dan Olive duduk sekarang, berbentuk semi-outdoor karena alih-alih menggunakan tembok di sekeliling, lantai satu gedung ini hanya diisi dengan tiang-tiang dan counter-counter makanan juga kasir di tengah foodcourt. Meja-meja melanin berwarna oranye dan merah mengelilingi counter-counter makanan memenuhi foodcourt. Tidak ada tembok yang menutup lantai 1 ini sehingga murid-murid yang makan di lantai 1 dapat langsung menikmati keindahan dan segarnya udara taman GIS.
Langit-langit di lantai 1 dan 2 foodcourt lebih tinggi dibanding ruang mana pun di gedung-gedung yang lain. Di langit-langit itu tergantung aksesoris-aksesoris berwarna kuning dan merah muda dengan lampu LED yang hanya menyala pada sore dan malam hari.
Terdapat aturan tidak tertulis di GIS. Murid-murid biasa makan di foodcourt lantai 1 karena foodcourt lantai 2 hanya dapat dipakai oleh anak-anak elit. Patty sendiri belum pernah masuk ke foodcourt lantai 2.
Lantai 3 gedung ini memiliki 5 ruangan VVIP. Untuk menggunakan ruangan ini, tentu harus melakukan reservasi terlebih dahulu. Walaupun terdengar aneh, tetapi anak-anak elit-termasuk QS-tidak jarang menyewa ruangan-ruangan itu untuk berpesta atau mengadakan gathering lintas group elit GIS.
"Sst Pat!" bisik Olive seakan semua mata tertuju pada mereka. Padahal, tidak ada satu pun yang memerhatikan mereka.
"Bang Satrya ngajak lu date?!" seru Patty dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
Olive mengangguk dengan muka yang sangat bersemangat. Mukanya sangat merah dan matanya yang sipit terbuka lebar. "Iya! Tadi pagi dia nanya nomor whatsin gua." Katanya kemudian menyodorkan ponselnya pada Patty.
Patty menerimanya dan mulai membaca chat dari Satrya pada Olive.
"Can you believe it?! (Lu bisa percaya ga?!) " seru Olive.
Satrya 07.45 'Hey, Live! This is my number. Save, ya! -Satrya'
Olive 07.45 'Saved ya Bang! Ada apa nih? Katanya tadi mau bilang lewat whatsin aja. Wkwkwkwk. Tenang, aku siap bantu abang kalau abang butuh bantuan!'
Ya ampun Olive. Terlihat terlalu bersemangat. Terlihat sekali kalau Olive suka pada Satrya. Tapi bagaimana cara Patty memberitahunya? Patty tidak mau merusak kebahagiaan Olive.
Satrya 09.00 'Sabtu ini kosong?'
Olive 09.02 'Sabtu? Lusa? Kosong nih kosong. Ada apaaa?'
Satrya 09.15 'Nonton, yuk. Gua jemput aja ke rumah lu, ya.'
Patty mengembalikan ponsel Olive. Ia merasa ada sesuatu yang janggal. Bukannya Patty merasa Olive jelek atau bagaimana tapi bagaimana mungkin Satrya menyukai Olive? Tapi...
"What do you think?" (gimana menurut lu?) seru Olive sambil mengambil ponselnya dan buru-buru mengetik balasan untuk Satrya.
"Coba...jalan dulu saja sama Bang Satrya." Kata Patty sambil menopang dagunya dengan tangan kanannya dan menggigit beberapa jarinya. Apa ini benar?
"Pat, nanti lu bantu gua pilih baju, ya!" kata Olive dengan semangat.
Ah biar deh, yang penting Olive senang. Patty mengangguk sambil tersenyum dan menonton temannya yang tidak bisa berhenti bergoyang sehingga terlihat seperti meloncat-loncat kegirangan di kursinya. "Tapi Live, pertama-tama lu harus control your expression and reaction. Jangan sampai Bang Satrya pikir lu terlalu excited."
Olive berhenti bergerak dan menggaruk kepalanya malu. "Kelihatan banget, ya?"
"Jelas banget, Live! Jangan gitu." Kata Patty sambil menghela napas frustrasi. Tepat saat itu dua porsi iga bakar dan dua es jeruk datang. Setelah mengucapkan terima kasih pada pelayan, seperti biasa Olive langsung memotong iganya. Suara dentingan garpu dan sendok menggema di udara. Olive langsung menyuap besar-besar secepat-cepatnya. Patty baru pertama kali memperhatikan cara makan Olive yang...sangat bersemangat.
"Live..." Olive masih juga makan dengan bersemangat. "LIVE!" tegur Patty sekali lagi.
Olive menatap Patty dan berkata 'apa' dengan mulutnya yang penuh iga bakar dan nasi. Patty sampai memijit kepalanya sebelum berkata. "Kedua! Jangan sampai lu makan seperti ini di depang Bang Satrya. Bisa kabur dia."
***
Patty memandang muka Olive. Ternyata hasil makeupnya lumayan juga. Walaupun belum sempurna, tapi setidaknya bekas jerawat Olive agak tersamarkan, hidungnya terlihat sedikit lebih ramping dan pipinya yang tambun terlihat lebih tirus.
"Coba buka mata lu, Live." Kata Patty.
Olive membuka matanya. Lens berwarna coklat muda yang dipilih Patty membuat mata Olive terlihat lebih besar, ditambah dengan scots pada kedua lipatan matanya dan eyeliner yang agak tebal dan eyeshadow coklat tua membuat mata Olive jadi terlihat lebih besar dan cantik.
Patty mengangguk dengan puas. Olive menatap bayangannya di kaca meja riasnya yang berbentuk oval. Wah, Olive tidak percaya ia bisa terlihat lumayan begini. Ditambah lagi rambutnya yang biasanya terikat satu dibuat terurai berombak oleh Patty. Membuat dirinya terlihat dewasa.
Olive berdiri dan berjalan melewati ranjangnya menuju lemari baju dengan tiga pintu dan satu kaca besar. Ia memeriksa penampilannya di kaca itu. Ia terlihat...lumayan dalam balutan casual dress berwarna hitam polos miliknya yang baru pertama kali itu digunakan dan heels hitam milik ibunya. Ya walaupun heels itu terlihat seperti model tante-tante, tapi setidaknya lebih baik daripada sendal yang Olive miliki.
Patty mengacungkan jempolnya pada Olive. "You're good to go girl. (lu sudah siap buat berangkat nih)" katanya sambil berdiri membereskan baju-baju Olive yang berantakan di atas ranjang Olive yang berantakan dengan baju-baju Olive yang baru satu jam lalu mereka lempar-lempar dari lemari Olive demi menemukan baju perang Olive untuk hari ini.
Tapi dibereskan seperti apa pun, ranjang Olive tetap tidak dapat menolong kamar Olive yang sangat, sangat, sangat berantakan. Kamar itu paling hanya berukuran 5 kali 6 meter dengan cat putih. Ranjang Olive yang agak besar menempel pada tembok, sprei putih berendanya berantakan, bantal dan gulingnya juga sudah hampir tidak terbungkus dengan sarungnya, boneka-boneka kecil dan besar Olive juga berantakan di atas tempat tidur. Buku-buku, jam beker yang sudah rusak, alat tulis, minyak gosok juga berantakan di atas dipan kasurnya. Di lantai bertebaran buku dan kertas-kertas coretan gambar Olive, sampah bekas tisu dan camilan juga berserakan di ubin putih lantai menambah "kehebohan" di kamar itu. Meja rias Olive yang berada di tembok di seberang ranjang Olive berantakan dengan segala macam skincare Olive yang tidak pernah digunakan sehingga sebagian sudah expired dan mengering, sisir Olive dengan rambut-rambut Olive tergelatak begitu saja di atas tumpukan skincare tadi sedangkan pouch makeup Patty tersimpan rapi di ujung meja rias putih itu. Lemari yang menempel pada tembok di dekat bagian kaki kasur Olive juga tidak kalah berantakan. Salah satu pintu lemari itu terbuka dan...semua baju di sana terlihat berantakan, tidak ada satu pun yang terlipat rapi.
Satu-satunya yang rapi di kamar itu hanya gorden jendela Olive yang berada di antara meja rias dan lemari Olive yang dirapikan oleh Patty sebelum mulai merias Olive. Jendela itu menghadap ke taman dan pagar depan rumah Olive.
Ponsel Olive berdering. Dengan cepat Olive mengangkatnya dan dari raut mukanya, Patty tahu benar siapa yang menelpon.
"Halo! ... okay... siap... bye!" kemudian Olive memasukan ponselnya ke tas hitam milik Patty yang dipinjamkan padanya khusus untuk hari ini. "Pat gua jalan dulu, ya." Muka Olive sangat merah seperti kepiting rebus dan pipinya tertarik sangat tinggi karena senyumnya.
Patty mengangguk tetapi ketika Olive berjalan menuju pintu, Patty menahannya. "Live!" kemudian Patty menggigit bibir bawahnya, berpikir. Apakah sebaiknya Patty jujur pada Olive?
"Ya?" tanya Olive dengan muka yang berseri-seri.
Ah, sebaiknya jujur saja mumpung mood Olive sedang baik. "Em... gua hari ini mau kumpul di rumah Lexa, ya."
Olive terlihat tertegun sebentar tetapi kemudian tersenyum dan berkata. "Okay, have fun!" katanya kemudian berjalan keluar dari kamarnya.
Patty menghela napas lega. Ia pikir masalah ini telah selesai. Tapi tidak, ini baru awal dari sebuah bencana besar dalam hidup Patty.