Chapter 59 - KITTY PO 55

Rencana sering kali tak sesuai realita. Paginya Apo bangun sendirian. Sebab Mile sudah meninggalkan tempat di sebelahnya tanpa pamitan. Sang suami meninggalkan pesan lewat ponsel. Apo pun memandangi layarnya beberapa saat.

[Phi Mile: Sayang, aku keluar dengan Michele pukul 3 tadi. Ada perlu dengan pekerjaan. Kami menggarap bisnis bersama. Sabar, ya. Tunggu sampai pukul 1. Siang-siang tidak masalah kan? Phi nanti pasti menjemputmu. Love you ]

[Phi Mile: --sending you a sticker--]

Apo pun bergelung dalam selimutnya lagi, alih-alih dandan cantik dia kini malas bangun. Si manis bermain game di tempat sambil pura-pura tuli waktu ada panggilan sarapan. "Tuan Natta, Anda sudah ditunggu Tuan dan Nyonya lho ...." kata pelayan dari balik pintu kamar.

"...."

"Tuan Natta?"

Setelah tiga kali suara itu menghilang. Seperti biasa Apo akan dibangunkan lagi lewat pukul 10. Si manis lanjut nge-game setelah tak push-rank sekian lama. Dia asyik hingga menang berturut-turut, padahal sewaktu sekolah Apo susah jika mau membeli skin chara. Namun sekarang cadangan Dana-nya seolah tidak berkurang. Apo bisa mendadani akun ML-nya secantik mungkin dengan membeli printilan.

"Apa itu?" gumam Apo sembari terduduk. Dia tiba-tiba gagal fokus oleh tumpukan benda di atas sofa. Dengan muka berminyak, rambut awut-awutan, piama kusut, dan kaus kaki melorot sebelah, dia pun turun dari ranjang memakai sandal lantai berbentuk kepala kucing. Remaja itu membuka tumpukan piama Mile yang dilempar ke lantai. Ekspresinya tampak heran karena campur dengan baju-baju bersih. "Ow, tadi Phi Mile buru-buru ya? Tumben," gumamnya sambil merapikan dengan telaten. Apo suka melakukan itu sendiri untuk kekacauan kecil. Dia memeluk tumpukan baju dan memasukkannya ke keranjang cuci. "Eh?" kagetnya karena sebuah pocket kecil yang jatuh. Apo pun memungutnya perlahan. Dibuka-buka ternyata isinya kartu dan note book ukuran kecil. Matanya melebar karena tak menyangka isi otak Mile. Si manis mulai membacanya satu per satu.

___ TO DO LIST UNTUK ISTRIKU ___

1. Membeli baju bayi

2. Membeli perabotan bayi

3. Membeli mainan bayi

4. Membeli perlengkapan bayi

5. Membeli mesin cuci khusus bayi

6. Merekonstruksi kamar tamu no. 3 untuk bayi (Ck, belum ketemu juga arsiteknya. Kapan kira-kira sempat?)

7. Membeli kursi panjang khusus Apo

(Mommy bilang habis melahirkan butuh duduk nyaman)

8. Menyewa 2 Babysitter untuk bayi (Tunggu, apa segini saja sudah cukup? Apo pasti butuh bantuan kalau ada sesuatu. Biar pelayan tetap mengurusi rumah)

9. Membeli ayunan yang besar (?) (Belum kutanyakan Mommy. Kemarin ada iklan untuk menidurkan bayi dengan mudah)

10. Tiket liburan dan jalan-jalan (?) (Apo perlu atau tidak ya? Aku khawatir dia stress pasca melahirkan)

11. Menyewa fotografer untuk pemotretan bayi (Mommy bilang ini butuh tenaga yang khusus. Mungkin karena bayi mudah menangis? Aku benar-benar ingin mengabadikan momen mereka baru melihat dunia)

12. Membeli bak sampah basah khusus popok (Yang ini titip sama Newyear saja. Aku sebaiknya berbagi tugas dengannya)

13. Membeli natal pads khusus Apo (?) (Mommy bilang habis melahirkan susah pipis. Tapi harus cari merk yang bagus dulu. Susah juga kalau tak ada rekomendasi. Ckck. Dulu Mommy hanya pakai handuk untuk membalut nifasnya)

14. Membeli mobil isi 2 stroller (Tapi harus pesan dulu ya? Dimana? Apo akan sering kuajak jalan-jalan setelah lahiran. Dia pasti bosan di rumah saja setelah kularang main :( -- aku suami jahat atau baik?)

15. Membeli mainan seks untuk jaga-jaga (Menyesal juga pas ultah kutolak Apo. Mana kado-nya ketinggalan di villa. Sekarang hamilnya terlanjur besar. Ckck. Kapan kita melakukannya lagi? Aku harus berpuasa?)

Yang terakhir sungguh membuat Apo terpana. Si manis tak menyangka dulu Mile mau, bukannya kurang suka melihatnya diitari mainan seks begitu.

Pipinya merona tebal dan rencananya tak bisa disebut gagal. Sangking penasarannya si manis segera menuntaskan isi notebook itu. Di halaman paling belakang tulisan Mile jadi berantakan (mungkin ditulis saat situasi urgen sekali).

Sial, aku lupa pemohon black card minimal 21 tahun. Jadi masih 3 tahun lagi hah. Pantas pengajuanku ditolak terus.

Apo, sabar ya Sayang. Phi Mile kasih waktu kau sekolah pilot saja. Sementara hanya di-transfer tak masalah kan? Aku jadi merasa semakin jahat :(

Sayang, Apo. Jadi istriku semoga kau tidak pernah menyesal.

Ini sih lebih seperti curhatan jamet remaja kuno. Tapi maklum juga karena Mile kelahiran 92. Apalagi Apo adalah pasangan pertama dan terakhirnya. Mile pasti bingung bagaimana harus berekpresi cinta. Menurutnya bersikap baik pun rasanya belum cukup. Dari notebook ini kelihatan kalau sang suami tipe perencana yang terstruktur. Sayang Mile gugup walaupun tampaknya begitu tenang.

"Isssh, romantis ...." cengir Apo. Binar matanya semakin cerah. Sebab Mile hanya fokus kepadanya tanpa ada wanita atau lelaki lain. Dia menciumi pocket itu karena ingin bertemu sang suami dadakan. Tawa kecilnya awet, meski harus menunggu beberapa jam lagi. "He he, he he."

Mood Apo sungguh baik seharian itu. Dia mendadani Snowwy lalu mengajaknya berkeliling rumah. Lupakan mager karena hatinya terlalu berbunga-bunga untuk dipakai berdiam. Apo bahkan berendam dalam kolam sambil menikmati kukis. Dia mengelus-elus perut dengan kaki yang mengayun dalam kecipakan air. "Sayang, Sayang ... Mama sudah kepingin ketemu kalian," gumamnya dengan senyum bangga.

"Anda kelihatannya senang sekali, Tuan?" goda pelayan yang datang membawa potongan buah di nampan. "Memang ada kabar baik apa? Boleh tidak cerita sedikit?"

Si manis pun salah tingkah. "Aih, apa sih ... tidak ada apa-apa." Dia memalingkan muka sambil mengayunkan tangan. "Sana, sana. Aku mau me-time sama baby-baby."

Pelayan itu langsung terkikik. "Wah ... iya, Tuan. Maaf lho kalau mengganggu. Saya juga senang kalau Anda seperti ini," katanya. "Anda dan Tuan Mile beruntung memiliki satu sama lain."

Senyum Apo berubah menjadi seringai nakal. Dia adalah kucing kecil penuh rasa puas. Rasanya tak ada satu hal pun yang kurang dari dirinya. Di titik ini Apo tidak menyesali pernikahan muda. Sebab Mile Phakphum lah yang menjadi suaminya. Si manis sungguh menikmati privillege yang didapat, termasuk hamil anak Mile, melebihi bahagia ketika juara 1. Apo berpikir dia punya pencapaian besar. Tidak ada kata 'insecure' lagi seperti ketika didekati Mile pertama kali.

"Wahhh ... itu untuk Dede-dede Ayi?" tanya Apo usai mentas dari kolam. Dia baru memakai bathrobe, tapi sudah full semangat. Si manis berjalan ke teras untuk melihat proses pemindahan barang dan perabotan bayi dari truck.

"Iya, Sayang. Apa kau suka?" tanya Nee di sebelahnya. Wanita itu memeluk lekuk pinggang Apo. Pipinya ditempelkan pada sang menantu kesayangan. "Sepertinya Mile keluar sambil belanja. Setidaknya biar perlengkapan penuh, walau untuk rekontruksi kamar masih butuh waktu lagi."

Apo pun langsung menjerit. "Suka! Suka!" katanya. "Ya ampun, Mommy. Ada boneka dan mainan juga. Lucunyaaaa ... nak coba peluk salah satu ...."

Seorang pelayan pun memberikan boneka pinguin. "Ini, Tuan."

"Thank youuuu," kata Apo. Dia menguntit para kuli yang memanggul barang masuk. Bagaikan mandor si manis mengawasi tiap peletakkan agar rapi. Dia teramat excited. Bukannya mengeluh seperti dulu, kalau bayinya menendang. Apo justru tertawa kencang karena merasa itulah syurga. "Ha ha ha ha ha! Ha ha ha ha ha! Mommy! Mommy! Sammy sama Katty lagi main ya di dalam? Uwu ... mereka juga tak sabar keluar!"

Nee pun mengelus perut gendut Apo. "Mereka aktif sekali, Sayang. Sangat sehat!" katanya. "Uluh, uluh ... para cucuku yang manis ...." Keduanya pun asyik mengemong. Tak peduli para bayi masih di ruang gelap, Nee tetap memuji dengan iringan yang gemas. "Kuci, kuci, kuci, kuci, kuci ... apa kabar, Sammy Sayang? Eyang ingin menggendongmu dan adikmu," katanya. "Sehat-sehat, ya kalian? Aduh ... pasti ganteng dan cantik semua."

"Xixixixixi ...."

Pukul 1 Mile ternyata benar-benar pulang, meski tanpa ganti baju lelaki itu tetap menepati janji. "Ayo, Po. Masih ada waktu untuk daftar. Jangan sampai ketinggalan karena Jum'at kesempatan terakhir pekan ini," katanya dengan kening berkeringat.

"Ahh, tunggu, Phi. Sepatuku agak tidak nyaman. Boleh ya, ganti yang lain sebentar?" pinta Apo sambil membenahi tas selempang.

"Aashh, ya baiklah. Cepat sedikit, tapi ingat hati-hati. Kita tidak punya banyak waktu," kata Mile dengan mata terpaku pada arloji.

Si manis pun agak heran. Seterburu-buru apa sang suami sampai tingkahnya beda siang ini? Apa ada urusan yang lain? Apo memang tidak pernah tahu inti pekerjaan Mile, karena bukanlah ranahnya. Dia juga terlalu kecil untuk paham pikiran orang dewasa.

"Sudah?" tanya Mile, yang menoleh kala sang istri kembali.

"Sudah, Phi."

Padahal sebenarnya belum. Namun, Apo turun lagi waktu baru naik tangga. Dia kepikiran Mile yang sedang menunggu dia. Ah, tidak ada waktu untuk ganti-ganti. Biarkan saja. Apo bisa menahan sesak sedikit karena sepatunya sempit di bagian ujung. Dia tersenyum manis lalu naik ke sebelah kursi kemudi.

"Siap, ya. Semoga masih buka waktu kita tiba nanti," kata Mile sambil membelai ubun Apo sekilas.

"Umn."

Setelahnya perjalanan pun dihiasi dengan keheningan. Sangking fokusnya Mile ke jalan raya, sampai tidak ada percakapan. Apo menyerah setelah obrolannya tidak ditanggapi bagus. Si manis pun jadi sakit hati, tapi sebagian dari dirinya mengerti bahwa Mile butuh ketenangan.

"Phi Mile kenapa sih? Kok begitu hari ini?" batin Apo sambil memainkan ponsel. Dia boleh melarikan diri dengan game masak memasak. Namun hati tetap risau karena kebahagiaannya tadi pagi sirna. Padahal Apo ingin membahas belanjaan bayi, tapi sepertinya Mile dalam kondisi tidak kondusif. Dia pun melirik-lirik sekilas. Sangat kangen. Inginnya tabrak peluk dan cium sebentar, tapi sepertinya tidak bisa.

"Ahhh, syukurlah. Masih ada waktu 10 menit," kata Mile begitu sampai di parkiran. Dia keluar tanpa mengajak sang istri. Apo ditinggal begitu saja dan lari ke tempat les senam hamil.

"Lho, Phi?!"

"Biar Phi ambil formulir dulu! Nanti tutup!" sahut Mile hingga tersandung di pintu masuk. Untung tidak sampai jatuh segala. Apo pun terdiam bingung. Dia menatap punggung sang suami, baru menyusul dari belakang. "Apa? Sudah habis? Tolong ... bisa tidak bikinkan satu untuk istriku? Kami butuh itu agar semuanya lancar."

"Maaf, Tuan Mile. Kuotanya benar-benar sudah penuh. Banyak sekali yang hamil tahun ini. Jadi kami hanya bisa mengawasi yang duluan daftar," kata si resepsionis dengan muka tak kalas melas. "Itu pun karena mentor kami hilang 2. Mereka sendiri baru melahirkan. Kami susah mencari penggantinya karena senam hamil bukan sembarangan gerak."

"Iya, tapi kumohon ... bisa tidak batalkan 1 kuota? Aku tidak menemukan tempat selain di sini," kata Mile. "Akan kubayar kompensasinya berapa saja. Mungkin si pengganti bisa mengalah sedikit? Istriku sangat muda. Aku takut proses lahirannya tak berjalan lancar."

Apo benar-benar tak habis pikir. Sebab baru kali ini sang suami amat keteteran. Anxiety yang Mile rasakan bahkan melebihi dia. Kata "tolong" dan "mohon" seperti keajaiban di telinganya. Apo pun muncul di sebelah Mile dan menggenggam tangannya. "Phi, tidak usah tak masalah kok," katanya. "Phi Mile ...."

"Tidak, Apo. Ini benar-benar penting."

"Iya, tapi Phi--"

"Bisa diam sebentar kan? Phi Mile sedang berusaha."

"...."

Apo pun takut setengah mati. Dia dan wanita itu saling bertatapan. Namun si manis langsung menyembunyikan dirinya di balik punggung Mile. Dia menggenggam jemari itu, meremas cincinnya. Percayalah yang membuat hati si resepsionis leleh adalah cara Apo menautkan kelingkingnya ke kelingking Mile.

Wanita itu pun batal emosi. Dia kasihan. Namun tindakan yang diberikan tak semudah harapan bocah. "Baiklah, saya punya 1 cara, tapi isi data diri dulu Anda berdua," katanya sambil menyobek kertas nota. Bagian itu dibalik agar bisa ditulisi. Dengan agak terburu dia mencantumkan beberapa poin:

Pendaftaran Senam Hamil

____________

Nama Ayah:

Nama Ibu:

Alamat:

Nomor Telepon:

Jenis Persiapan: Normal/Caesar (Coret yang dipilih).

Jenis Periode: 1 bln || 2 bln || 3 bln || (Isi sendiri).

Mentor: Santa Maria Montana.

Nomor Telepon: +66126-9366-7368

Alamat: Veretnut, Wittayu, Sukhotatai.

Kertas itu lalu diberikan kepada Mile Phakphum. Disuruh menghubungi sendiri. Sebab orangnya kuliah S3 di Surat Thani. Kalau memang berani membayar besar, maka panggil saja yang tak bisa dipanggil. Diam-diam si resepsionis itu ingin menantang Mile jika memang sangat menginginkan mentor senam untuk istrinya.

"Oke, terima kasih," kata Mile, walau tak bisa tersenyum lega. Lelaki itu sadar baru melampiaskan emosi jelek. Makin buruk lagi karena diomeli si resepsionis.

"Sama-sama, tapi Saya ingin memberi saran pribadi," kata wanita berambut sebahu itu. "Ini tak ada kaitannya dengan les-lesan kami, prinsip tempat ini, atau siapa Anda dan berapa uang yang Anda miliki," imbuhnya. "Tolong perlakukan seseorang dengan benar, bukan begini. Lebih-lebih kepada istri Anda sendiri. Apa Anda tidak lihat seberapa pucat wajahnya? Dia triggered, Tuan. Anda calon ayah harusnya lebih kontrol emosi--"

.... dan lebih banyak lainnya. Mile juga menanggapi, walaupun sedikit. Karena mau pergi begitu saja juga semakin salah. Mereka pun cek-cok kecil di depan meja. Namun Apo tidak mau mengingat-ingat karena tangannya tremor duluan. Untung langsung tenang saat dibawa masuk ke dalam. Jemarinya digenggam oleh seorang mentor yang baik hati. Muka keibuannya menampilkan senyum setelah melirik Mile yang duduk balik dinding kaca. "Astaga, Ibu. Kau masih kecil sekali ... benar-benar baru 18?" tanyanya.

"Umn."

Apo pun mengangguk kecil.

"Wah ... menikahnya belum lama dong. Kurang lebih 1 tahun lalu? Pas 17 ya?"

"Umn."

Pertanyaan yang lain terus berlanjut. Seperti, "Apa suamimu jahat padamu?" atau "Dia kelihatannya sumpek sekali", dan lain-lain. Apo juga diberikan pengarahan awal, walaupun sudah waktunya tutup. Sang mentor rela memberikan 5 menit terakhirnya untuk si manis. Sebab Apo lebih butuh dirinya saat ini.

"Nah, lihat. Seperti itu kalau sudah selesai," tunjuk si mentor kepada barisan ibu-ibu hamil. Ada wanita, ada lelaki. Mereka seperti Apo yang membutuhkan panduan. Bedanya tak seorang pun seranum si manis mungil. Semuanya kira-kira 30 ke atas--karena yang 25 tahun pun hanya seorang. "Mereka membawa minuman sendiri, pakaian olahraga yang nyaman, dan handuk kecil jika berkeringat."

Apo pun menoleh ke lorong lobi. "...."

"Bagaimana? Tidak apa-apa kok kalau kau ikut kemari. Tidak usah mengubungi Kak Montana segala. Kau kuberi tempat yang spesial," kata si mentor. "Biar kumarahi nanti suamimu dan kakak resepsionisnya. Mereka berdua pasti mens hari ini. Ha ha ha ha ha ...."

Namun Apo tak bisa ikut tertawa. Dia justru sangat sedih, tapi anehnya tak bisa menangis. Ini jelas bukan jenis stress yang biasanya. Sebab Apo tiba-tiba merasa tidak berharga. Dia kesal karena dibentak di depan orang. Tak seperti dulu karena kejadian villa hanya berdua.

"Sayang? Apo? Apa kau baik-baik saja?" tanya si mentor khawatir.

Bola mata Apo mulai berkaca-kaca. Suara si manis jadi goyang karena emosi mendalam. "Baik, Miss ... baik," katanya. "T-Tapi, aku jadi bingung sekali. Phi Mile sayang padaku tidak sih? S-soalnya tadi pagi, begitu ... sekarang, begini ... a-aku hanya ...."

Mentor itu pun memeluk Apo, direngkuhnya bahu remaja itu karena mentalnya mudah terguncang. "Sssh, shhhh ... Sayang. Tenang dulu, ya. Cup, cup," katanya, walau Apo tidak menangis. "Kau adalah calon Ibu yang keren. Kau hebat," pujinya. "Kau adalah idola untuk anak-anakmu di masa depan."

Bersambung ....