Selang 20 menit mengobrol, Apo baru keluar menemui sang suami. Dia diantar mentor hingga ke depan tempat les, sekedar ingin memastikan dia baik-baik saja. Di mobil Mile masih diam saja, tapi begitu jauh lelaki itu menghentikannya di tepi jalan. Dia menoleh untuk mengecek ekspresi Apo. Wajah si manis masih menunduk dengan mata yang memerah. Hm, dia pasti menangis lama di sana.
"Sayang, Phi boleh peluk tidak?"
Apo membuang muka ke luar jendela.
"Apo ...."
Apo memainkan jari.
"Katanya, dulu kau minta peluk kalau kita bermasalah," kata Mile. "Ingat tidak? Pas di altar sumpah. Sekarang Phi-nya mau malah tidak ditanggapi.
Apo sibuk memperhatikan kesibukan di jalan raya. Sekarang pukul 6 sore. Wajar bila sunset-nya begitu indah. Ada banyak motor dan mobil berjubel. Namun keduanya tidak berebut jalur sendiri. Padahal usai daftar rencananya tadi jalan-jalan, tapi Apo malah marah karena dipeluk Mile Phakphum. "Tidak mau! Tidak mau! Tidak mau! Phi bilang dulu tadi kenapa begitu!" bentaknya sambil memukul tanpa kendali. Mulai bahu, lengan, leher, dan punggung Mile, Apo tidak peduli mau terkena mana yang penting perasaannya tersalurkan. "Phi Mile jahat! Phi Mile jelek! Phi tega membentakku di depan orang. Malu ... hiks, hiks, hiks ... mending aku tidak usah ikut. UGH! Aku benci jalan-jalan! Nak pulang! Hiks, hiks, hiks ... nak pulaaaaaaaaaaang!!"
Mile tetap memeluk seerat mungkin. Dia tidak membiarkan Apo lari. Didekapnya sang istri mungil hingga capek sendiri. Dia mengesun pipi itu berkali-kali. Biarkan Apo jijik atau jengkel, dia tak peduli. Pikirannya juga ribut saat ini. Mile butuh Apo seperti Apo butuh ruang. Si manis pun mengalah setelah mencakar kencang di tengkuk.
"Ssshhh, ssssh, sshhh, shh, ssh ...."
"Aku benci sama Phi Mile, benci ...."
"Iya, Sayang. Phi cinta padamu."
"Hiiiihhh! Tidak percaya! Pokoknya Phi paling jahat sedunia! Kesaaaaall!"
"Love you, Baby. Phi benar-benar tidak sengaja. Sayang Apo ...."
"BRENGSEK! Aku tidak kenal sama Phi Mile--"
"APO NATTAWIN ROMSAITHONG!"
Apo langsung kaku karena dibentak kasar. Tangisnya berhenti dan ekspresinya tegang. Mile memberi jarak, tapi meremas kedua bahunya.
"Kau boleh marah sama Phi Mile! BOLEH PUKUL!" kata Mile dengan tatapan tidak kalah sakit hati. "Seperti pada waktu itu. Mau tampar berapa kali terserah. Phi tidak marah kan? Sampai pakai plester dan obat segala. Tapi, tolong jangan memaki ke siapa pun! APALAGI AKU!!" tegasnya. "Phi ini suamimu, pasangan! Kau kunikahi dan sekarang hamil dua, yang artinya kau dan aku akan menjadi ayah dan ibu. Jauhkan kata-kata kotor mulai sekarang! JANGAN PERNAH! Kau saja begitu ke Phi Mile, nanti baby-baby juga berani padaku."
Otak Apo memproses begitu lambat. Antara tantrum dan syok parah dia bingung men-handle diri sendiri, tapi ujung-ujungnya tetap menangis.
"Huhu ... hiks, hiks, hiks ... Mama ...."
Mile pun memeluk kembali seerat mungkin.
"Hiks, hiks ... Phi Mile jahat, Ma. Hiks ... Phi Mile jahat sama Apo ... hiks, hiks, Mama ...."
Tangan Apo mengepal di balik punggung Mile karena menolak balas memeluk. Remaja itu menjerit sepuas hati karena ulunya serasa ditarik kencang. Perkara les senam saja bisa sebegini rumit. Buruknya lagi tiba-tiba Mile melihat darah mengalir di kursi mobil.
"Apo?" sebut Mile sambil mengusap darah itu. Matanya melotot lebar setelah tak ada masalah sekian lama. Percikan yang membias di jarinya benar-benar berwarna merah. Jantung hampir copot karena Apo bahkan tidak menyadarinya. "Sayang? Apo, tidak! Sayang? Bisa kau tenang sebentar? Baby-nya ...."
"Hiks, hiks ... Papa ... tolong pukul Phi Mile buat aku. Hiks, hiks ... Papa ...."
Mile pun melepas pelukan ke Apo secara paksa. Si manis makin histeris, tapi sabuk pengamannya malah dikencangkan. Dia berontak dengan menendang-nendang ke lantai mobil, sayang Mile tak menanggapi karena langsung berputar balik ke jalan lain.
"HUAAAAAAAAAAAAAAAA!"
"Ini buruk! Sangat buruk! Jarak RS-nya terlalu jauh! Dimana bisa melakukan caesar?!" Diantara geraman mesin yang menderu, Mile pun memukuli kepalanya sendiri frustasi. "Tidak, tidak! Bukan begitu maksudku! Pendarahan belum tentu akan melahirkan--APO!" Kepanikan Mile meningkat karena si manis pingsan di tengah jalan. Air ketubannya pecah dengan darah dan cairan keruh keluar deras. Semuanya berceceran hingga mengalir ke kaki kursi. Mile bisa mencium aromanya diantara detik-detik mematikan itu.
"Telepon, telepon. Harus telepon RS-nya dulu ...." kata Mile sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Jari jemarinya tremor selama mencari kontak. Ingin memencet dial MEDICAL ROMSAITHONG HOSPITAL, malah keliru ke "Mommy Sayangku."
"Halo, iya, Mile? Ada apa--"
"Halo! Aku butuh bantuan sesegera mungkin! Ambulan! Ambulan! Persiapkan dari arah RS untuk menjemput istriku! YA TUHAN ISTRIKU AKAN MELAHIRKAN!"
"APA? Mile ... tenang dulu, ini Mommy kau ada dimana sekarang?"
Mile terus menyetir sambil melirik gedung sekitar. Ada banner besar iklan shampoo yang terpancang. Di sana menunjukkan informasi lebih terkait alamat. "J-Jalan ... jalan Wat Nong Lai Wararam, no. 05, B. Blok 4. 26 arah Utara," katanya dengan suara yang parau. Mile juga meremas setirnya begitu kuat. Sesekali dia melirik Apo yang sudah berkeringat dan tidur seperti mimpi. "Mommy ... Mommy ... Apo pendarahan, Mom. Barusan, hhh ... kami bertengkar kecil, tapi tak tahu kenapa, hh ... menjadi besar. Kami tadi mau daftar ke tempat senam dan sekarang semuanya kacau. Aku benar-benar ingin meminta maaf padanya--"
"Oke, oke. Sudah dulu. Ambulan akan datang ke tempat kalian. Mom usahakan. Kau juga ngebutlah sedikit. Itu agak jauh, Mike. Nanti Apo bisa kenapa-kenapa di perjalanan!"
"Iya Mom--"
Nee sudah memutus sambungan terlebih dahulu. Mile pun kaget, tapi langsung menginjak pedal gas mobilnya sekuat mungkin. Tanpa tahu malu dia membelah kendaraan dengan klakson berkali-kali.
Siapa pun memaki, tapi tak masalah asal jangan Apo dan kedua bayi mereka yang mati. Selama perjalanan itu mata Mile menetes dan dia pun mengusapinya terus-menerus. Dalam hati Mile memaki sekasarnya kepada diri sendiri. Ah, betapa bodohnya dia. Merencanakan segalanya dengan rinci, tapi kalah dengan masalah yang kecil. Ini harusnya menjadi batu sandungan saja, tapi kakinya sampai berdarah.
Saat sampai di persimpangan Mile pun ditelpon sekali lagi. Dia disuruh langsung mengikuti ambulan kosong berhubung tak ada waktu memindahkan Apo. Semua harus ditangani secara cepat dan setepat mungkin. Si manis pun dibopong Mile ke ruang UGD ketika sampai di tujuan. Dia dihadang Rom dan Nee yang keluar secaea buru-buru dari dalam mobil. "Lewat sana!" kata Nee menunjukkan jalan yang tercepat.
Sebagai pemilik RS Rom sudah memberi instruksi agak mengosongkan jalan. Tidak ada yang tidak menoleh melihat Mile dan ketakutan di wajahnya yang amat kentara. Mulai dada, perut, hingga lantai lobi berceceran darah rahim. Apo Nattawin kini berada di ambang kematiannya.
"DARURAT! DARURAT!"
"BERI JALAAAAAN!"
"PERSIAPKAN UGD NOMOR 23!"
Mile pun membaringkan Apo di ranjang beroda yang sudah menunggu. Wajah si manis pucat pasi dengan begitu cepatnya. Dia lantas melepaskan jemari Apo untuk dibawa ke dalam. Sekitar 4 suster laki-laki mendorong benda itu dengan disertai satu dokter yang menunggu: Dokter Napvtik! Sumpah Demi Tuhan padahal Mile merasa kuat ketika membopong, tapi setelah melihat cincin pernikahan di jari Apo lunglai di sisi ranjang tersebut, Mile pecah. Ujung jari Apo dihiasi dengan noda darah. Ini benar-benar mengingatkannya dengan peristiwa ketika Kitty Po pernah meninggalkannya.
"Tolong, Tuhan. Jangan buat ini jadi yang terakhir. Aku baru menjaganya lagi 3 tahun ini. Aku baru menemukannya lagi setelah sekian lama. Apo-ku ... Sayangku ... Istriku ...." batin Mile, yang tidak tahu harus apa di tempatnya. Lelaki itu hanya berdiri di depan ruang UGD. Dia melihat sendiri detik-detik pintunya tertutup dengan suara yang jelas: klep.
Segala hal terasa melambat pada otaknya.
Mile pun tremor karena trauma lama. Saat didatangi sang ibu, dia malah pergi dari sana. "Aku yang paling salah di sini. Aku benar-benar minta maaf ...." katanya sambil menyentakkan tangan Nee dan Rom bersamaan. Mile kurang menerima rencananya berantakan. Perhitungan dan bantuan Anna yang jauh-jauh datang dari Italia belum terlaksana satu pun sejak kemarin--baru sehari, ya Tuhan!
Kenapa tidak memberikan kejutan yang lebih lama? Fakta bahwa itu bukan pendarahan yang biasa membuat dada Mile jadi dingin. Operasi caesar pun harus dilaksanakan dadakan di dalam sana. Dalam bayangan Mile sudah ada proses pembelahan perut dan pengangkatan janin meskipun belum waktunya. Apo pasti ketakutan, meskipun itu di dalam mimpi.
"SAYANG! MAU KEMANA?! APO BUTUH 60 MENIT!" teriak Nee begitu melihat Mile mundur-mundur menuju lift kosong. Lelaki itu meremas jemarinya sendiri yang makin gemetar. Mile bukannya ingin lari, tapi tidak mau orang tahu betapa takutnya dia kehilangan Apo.
"Apa sudah semua prosedur awalnya?" tanya Dokter Napvtik sembari melirik para suster di sekitar.
"Sudah, Dok. Tekanan darah cukup tinggi mencapai 160/90 mmHg."
"Oke, sekarang kita mulai bius spinal."
"Baik."
Dokter Napvtik mengambil injeksi dari nampan seorang suster.
"Persiapkan bius epidural."
"Siap, Dok."
"Kateter selang kecil jangan lupa. Pasien ini butuh penyesuaian ukuran lubang."
"Ya, siap."
Ruangan itu pun dipenuhi deru napas, kecamuk detak jantung, dan pantauan elektrokardiogram. Mereka berjuang bersama-sama, sementara Mile sibuk di toilet RS untuk membasuh tangannya berkali-kali. Padahal darah Apo yang menempel sudah bersih dan larut dalam air mengalir, tapi dia tetap membasuhnya seolah masih menempel di tempat itu.
"Tidak, tidak, tidak, tidak ... aku takkan kehilangan dirimu lagi. Tidak akan," kata Mile lalu membasuh mukanya. Seolah tidak puas dia masih melepas dasi dan suit jas juga. Sebab benda itulah yang paling banyak terkena darah si manis. Tanpa pikir panjang Mile pun membuangnya ke tempat sampah. Lelaki itu mencuci tangan lagi untuk menenangkan diri. "Tolong ambil aku saja, hksss--Tuhan ...." Air matanya mulai jatuh kembali. ".... jika memang Kau berniat mengambil Apo atau bayi-bayiku. Bisa ganti aku saja? Kalau bisa aku ingin mengangkat rasa sakitnya ...."
Mile mengusapi matanya, tapi tetap gagal diam. Dia pun di tempat itu hingga berbelas menit kedepan. Mulai cuci tangan, muntah ... lalu cuci muka lagi dengan muntahan yang lain. Mile benar-benar membuat orang lain khawatir, tapi lelaki itu tidak sedang dalam kondisi bisa disentuh sembarang orang. Jujur, Mile hanya ingin Apo selamat. Kalau boleh serakah maka dengan Sammy dan Katty juga tentunya. Dia berupaya untuk kembali setelah muntah kesekian kali. Mile ingin menemani Apo di kursi tunggu walau kekalutannya datang menerjang.
"Apo!"
Lelaki itu berlari kencang dari lift yang tadi untuk menyusuri lobi. Dia sampai menabrak orang pada persimpangan jalan.
"BRENGSEK!" maki lelaki itu karena topinya terjatuh. Mile pun melewatinya tanpa meminta maaf. Terlalu banyak kerumitan di kepala saat ini untuk sekedar memikirkan perasaan orang luar--
"Apo! Apo!"
Langkah Mile semakin lebar. Tunggal Romsaithong itu pun mengantri lift lain. Sial sekali kini tempatnya tidak sepi seperti sebelumnya. Dia harus memutari tangga darurat karena tak sabar. Matanya mulai berkaca-kaca lagi karena emosional.
Tunggu dulu, Sayang. Phi Mile masih berada di sini. Yang kuat--
Pusat dunia Mile serasa hanya ada di Apo. Lelaki itu terlalu fokus hingga tidak tahu ada lelaki yang menghadang di kelokan ujung tangga.
"Arghhhh!!"
Suara pisau menembus perut.
Mile pun terbelalak sangking kagetnya. Bahu lelaki itu didorong ke belakang hingga punggungnya menabrak dinding.
"Arrghh! Rrghh--"
Pisau itu menembus lagi dan lagi.
Isyarat refleks Mile pun mendorong si pelaku balik. Sayang kala mata mereka saling bertatapan informasi apapun tak berarti lagi.
"Kau--"
"Ya, aku. Kau hutang minta maaf dua kali padaku sekarang," kata lelaki bertopi itu.
Dilihat-lihat lagi Mile akhirnya mengenali. Wajah di hadapannya adalah pelaku pencurian mobil Jeff yang bertemu dengannya 2 kali di kantor polisi. "Tapi sekarang sudah tidak perlu lagi. Kita impas." Senyum sakit hatinya begitu kentara. "Jika ibuku mati karena dirimu, maka kau pun harus mati karena diriku. Cuih."
Tusukan itu makin diperdalam.
"Rghh."
Mile pun tumbang setelah mulutnya keluar darah. Si pelaku dikejar dua suster yang memergoki aksinya selang beberapa detik. "HEI, BERHENTI!!" teriak mereka, yang salah satunya menjerit melihat Mile bersimbah darah di lantai. Pengejaran pun terus berlanjut. Tanpa tahu di luar sana headline LED-LED gedung kota menampilkan berita terpanas.
Pemirsa, tahanan nomor 2347, Arthee Soriwattanagul, umur 42 diketahui telah melarikan diri dari rutan Thian Koen, Kalasin pukul 10 pagi tadi. Diketahui lelaki ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut--
.... dan apapun peristiwa yang terjadi setelah itu. Mile tidak tahu apa-apa lagi.
Semuanya gelap.
Kosong.
Hampa.
Mile tak bisa merasakan apapun bahkan sakitnya luka tusuk barusan. Suhu kulit lelaki itu mendingin seiring kelopak matanya mulai tertutup.
Apo, Sayang ....
Apo, kau harus percaya Phi mencintaimu ....
Bersambung ....