We are The Champion!
Lagu itu diputar saat perpisahan kelas XII, bukannya yang sedih-sedih karena bermakna perjuangan kembali. Selama tiga hari anak-anak BT merayakan hari libur dan prestasi yang sudah didapat. Mereka minum-minum untuk pertama kali toh usia sudah legal juga. Ya, walau memang ada banyak drama. Yang tidak kuat alkohol lah, yang baru seteguk sudah pingsan, atau habis banyak akhirnya muntah dan pusing. Mereka kumpul di rumah Win karena yang paling kaya, backyard-nya luas sekali sehingga mudah dipakai berpesta. Ada kembang api, bakar-bakar BBQ, api unggun, main catur, nonton netflik bersama-sama dengan layar proyektor, adu panco, coret seragam, bahkan gendong-gendongan sambil karaoke hingga pagi.
Win juara satu juga di kelas XII-C, karena itu orangtuanya jor-joran membuat selebrasi. Namun bagi anak-anak BT biasa, kecuali fakta bahwa remaja itu mau tunangan. Dia memperkenalkan sang kekasih yang berasal dari luar kota, ternyata mereka LDR selama ini dan itu dirahasiakan. Namanya adalah Bright Vachirawit. Dia adalah seorang pemuda yang tampan dengan bentuk bibir yang menggoda. Win pun ditampol anak-anak BT, kenapa diam-diam dia sangat menghanyutkan.
"BUAHAHAHAHA! YA KAN BIAR TIDAK DIREBUT! Pacarku ini memang tampan sekali! Minggir kalian! Syuh! Syuh! Syuh! Syuh!" usir Win sambil mengibas tangannya.
Bright justru santai melingkarkan lengan ke pinggang Win, lalu dia tersenyum ke anak-anak BT. "Halo, semuanya. Salam kenal aku Bright, pacarnya Iwin."
"Calon tunangan ...." koreksi Win.
"He he. Iya, mau tunangan 11 hari lagi," kata Bright. "Kalian datang ya ke acara kami. Hitung-hitung perpisahan juga sebelum kita terpisah kuliah, kerja, dan lain-lain."
"Dan menikaaaaahhhhhh!" serobot Gulf.
"HA HA HA HA HA HA HA! IYA JUGA ADA YANG MAU MENIKAH!" tawa Nodt. "Sampai lupa aku."
"Eh? Iyakah?" tanya Bright. "Wah, siapa? Kukira kami berdua yang pertama."
Apo yang enak-enak makan pancake pun disenggol meski pura-pura tidak dengar. "Iih, apa sih. Kalian ini mengganggu saja."
"Alaaaah, bayi kita bersama malu!" kata Bass sambil merangkul Apo. "Ini, Bright. Si manis yang uwu uwu. Dia sudah dikawal calonnya sejak kelas 10. Pas masih 15 tahun, malah. Keren kan? Mana beliau-nya ini pak presdir. SEPERTI CERITA DI DALAM NOVEL! AWWWWWWWH!"
"HA HA HA HA HA! Cieee cieee, Apooooooooo!" ledek Perth.
"Suit-suiiiiiit!" sahut Jeff.
"NNGHHHH! Mau ahhh, ahhh dong!" sahut Us.
"Iya, memang mau apa lagi? Kan tujuan menikah memang begitu? Terus jadi pasangan harmonis. Ya kan Po?" kata Masu yang baru selesai memanggang. "Makin bagus lagi kalau langsung punya baby. Mhh, mmh. Pasti Phi Mile makin sayang."
Apo pun langsung terbakar rona, tapi dia yang sekarang tak punya alasan untuk malu seperti dulu. Memang kenapa kalau mau menikah? Dia bangga sekali dengan Mile. Toh Mile bukan napi atau orang rendahan. Kenapa harus minder punya calon suami yang hebat? Mana bucin lagi, kalau kata Masu. Bright bukan apa-apa jika dibandingkan Mile, Apo harus lebih percaya diri. "Iya, umn ... sebenarnya aku kemari juga membawa undangan," katanya sambil meletakkan pancake.
"WAAAAAAAHHHHHH!"
"WAAAAHHHHHHHHHHHHH!!"
"WHOOOAAAAAAAA!!"
"ANJIR PLOT TWIST! INI SIH LEBIH MENGEJUTKAN DARIPADA TETANGGA TANTE PUNYA SELINGKUHAN LIMA!!"
"HA HA HA HA HA! SIALAN! Apa Bright akan diundang juga?" tawa Win.
"Sebentar, aku bawa banyak kok," kata Apo. Dia mengambil tas selempang navy di kursi, lalu mengeluarkan setumpuk undangan menikah. Yang sudah ada namanya langsung dibagi, yang belum diberikan kepada Bright satu buah. "Ini, Bright. Semoga kau bisa datang juga, ya. Mungkin acara kita jarak semingguan. Setelah kalian baru kami. Phi Mile akan kuajak juga andaikan boleh."
"Oh, terima kasih," Bright pun senyum dan membuka undangan seperti yang lain. Dia meneliti lembaran indah tersebut, dekorasinya amat elegan hingga membuatnya terinspirasi. "Wah, iya juga ya, Po. Kalau begitu nanti calonmu kuberi undangan sendiri juga."
"Thank you ...." kata Apo dengan senyuman manisnya.
Pesta pun berlanjut dengan meriah, tapi di hari ketiga Apo tidak ikut lagi. Dia dijemput Mile menggunakan mobil warna putih, katanya mereka harus fitting baju pengantin jadi jangan menginap lagi. Bright sendiri kagum melihat betapa gagah dan gentle-nya Mile, diam-diam dia berubah ingin menjadi kekasih yang se-perfect itu juga.
"Dadah, aku pamit dulu ya ...." kata Apo setelah duduk di mobil. Tangannya tampak melambai ringan, bibir senyum, wajah berjerawat itu mulai reda setelah kemarin di-facial. Tinggal yang di pipi dan dagu sedikit bandel. Mungkin karena ukurannya lebih besar daripada yang lain. "Sampai jumpa ...."
Sampai di tempat fiiting Mile justru gemas dengan sisa jerawat Apo. Usai ganti baju dia pun memeluk si manis dan mencium pipinya bertubi-tubi.
"Ha ha ha ha ha! Phiii--! Apaan sih! Sakit tahu kalau dipencet begitu ...." protes Apo dengan muka memerah. Remaja itu tetap diciumi, tidak hanya pipi dan bibir tapi juga lehernya. "Ha ha ha ha ha ha! Aduh! Malu sama nona desainernya, Phi--ha ha ha ha ha ha!" Apo pun bertahan sebisa mungkin, dia tak tahu seberapa Mile bahagia mendengar tawa renyahnya. Wajah cerah Apo membuat Mile ketagihan menggelitiki si manis. Keduanya lantas berciuman lembut sebelum bercermin bersama-sama.
Mile di belakang, Apo di depan. Pinggang sempit remaja itu dipeluk dan tak dilepaskan. Mile senang karena cerminnya setinggi badan, apalagi lebar dan bisa memotret mereka secara keseluruhan. "Kau cocok memakai jas putih itu. Pilihan bagus. Phi suka desainnya dan pas dengan badanmu."
"Iya?"
"Hm."
Apo pun mengulum senyum. "Phi Mile juga kok, ganteng banget," pujinya. "Vest-nya oke, warna dasi dan sapu tangannya bagus. Tapi aku ingin menambahkan sesuatu di kerah jasnya."
"Oke? Apa itu?"
"Long pin?"
"Long pin?"
Apo pun melepaskan diri untuk bertanya kepada desainer Mile. Wanita itu pamit mengambil kotak hitam sebelum kembali lagi. Di sana banyak koleksi pin jas yang memanjang seperti kalung. Bedanya bagian kepala dihiasi bros besar, tapi ekornya dipasangi bros kecil. Apo memilih desain yang paling elegan, bahannya emas putih dan dihiasi mata safir. Lalu memakaikannya kepada Mile. Wajahnya serius sekali saat berkonsentrasi, Mile tertawa kecil karena Apo berjinjit demi mendapat hasil sempurna. Dia pun mengecup kening si manis setelah pin terpasang.
"Ihhh, Phiiii. Bisa tidak fokus sedikit?" kata Apo.
"Tidak bisa. Ha ha ha ha ha."
"Diam dulu, please. Nanti jadi jelek masangnya."
Wajah cemberut Apo membuat Mile mengikuti arahannya, kegiatan pun dilanjutkan dengan makan siang seru. Apo memesan iga sapi lengkap sayur mayur gurih, dia hanya memakai sedikit sambal karena tak tahan pedas. Remaja itu sengaja mengajak Mile makan makanan lokal karena kangen, dia bosan diajak ke restoran fancy yang serba formal.
"Habis ini ke salon lagi ya? Treatment ulang biar jerawatnya makin cepat hilang. Tinggal sedikit kok. Pas hari H pasti sudah sembuh semua," kata Mile sambil memberikan kotak tisu yang diminta Apo.
"Iya, tapi Bibi Nee kemarin bilang aku juga harus mewarna rambut. Beliau bilang biar ada nuansa cokelat yang tipis-tipis," kata Apo. "Menurut Phi sendiri bagaimana? Suka tidak? Coba bayangkan sebentar ...."
"Hmm, bagus. Tapi kalau tidak menyeluruh."
"Serius?"
"Mungkin pada bagian tertentu saja. Biar pas difoto ada efeknya."
"Jadi aku boleh mewarnai rambut?"
Bola mata Apo berbinar-binar.
"Oh, jadi ini maksud kucing kecilku. Ha ha ...." batin Mile. "Benar-benar jiwa yang muda."
"Boleh, tapi kalau memilih style tetap hati-hati. Jangan seperti anak punk jalanan," tutur Mile. "Asal paduannya bagus, go on. Minta rekomendasi juga mana merk bleaching yang paling bagus. Biar rambutnya tak mudah rusak karena disemir."
"Okeee."
Apo juga minta izin tindik di telinga dan pusar--katanya sejak liburan dia suka menonton MV boyband Korea. Apo merasa bahwa tindik-tindik itu bagus, apalagi untuk grup-idol NCT. Namun Mile melarang ukuran besar, dia agak ketar-ketir bagaimana cara kendalikan Apo di masa depan. "Yang wajar saja, Po. Susah ganti gaya baju nanti kalau terlalu mencolok," katanya. Apo pun menurut dengan cengiran kecil, toh yang melihat nanti Mile sendiri juga. Dia bahkan membuat tato mungil di bagian bahu kanan. Bentuknya burung Phoenix, walaupun terlihat begitu samar.
"Senaaaaaanng!" kata Apo begitu keluar dari tempat tato.
Mile hanya geleng-geleng dengan kelakuan remaja ini. Sebab KTP-nya baru jadi, belum wisuda, dan ijazahnya masih di pusat. Namun Apo tampak ingin membebaskan diri. Selama ini dia mungkin terkekang karena tak berani izin ke orangtua. Sangking bagusnya mood si manis Mile pun digandeng erat. Pipi merahnya ditempelkan ke lengan sang calon suami selama menuju parkiran.
"Terima kasih, Phi ... barusan itu hadiah kelulusanku yang paling bagus!" kata Apo. "Aku pasti menjaga kebersihan tindiknya nanti. Janji! Terus habis ini boleh beli cupcake juga?"
Mile pun curiga Apo sudah belajar cara merayu, hanya saja dari siapa dia tak bisa meraba. Apa Mario? Ah, mustahil. Mereka itu beda frekuensi, tapi fakta Apo pintar mengambil hati juga benar-benar nyata. Si manis memang jarang minta benda mahal, tapi dia suka sekali yang aneh-aneh.
"Boleh. Memang mau rasa apa saja?"
Mile akhirnya tetap menuruti selama tidak melampaui batas, dia gandeng tangan Apo sama eratnya agar mereka semakin hangat.
"Green tea sama vanila, Phi ...."
"Oke. Kita belok ke pertigaan jalan kalau begitu."
"Siap."
"Jangan lupa pakai sabuk pengaman."
"Umn."
Begitu dapat Apo langsung menikmatinya di dalam mobil, secara mengejutkan si manis tak terlalu jaga image lagi. Wah, apa yang sebenarnya terjadi? Aku benar-benar sudah calon suaminya? Pikir Mile. Lelaki itu melirik Apo karena ekspresinya unik, sesekali dia fokus ke jalan raya jika mulai ramai.
"Po, sebenarnya ada yang ingin kukatakan padamu."
"Iya, Phi?"
Entah kenapa Mile tiba-tiba kepikiran Kitty Po, dia hanya ingin tahu bagaimana tanggapan si manis jika tahu soal itu. "Soal kucing ...."
"Oh! Aku benar-benar suka kucing!" kata Apo bersemangat. "Dia sampai berhenti mengunyah, bola matanya membesar lucu karena membayangkan sesuatu. "Kenapa, Phi? Apa kita akan mengadopsi kucing? Aku mau yang bulunya hitam! He he ... maksudku, kalau bisa ada bagian hitam-hitamnya."
Sebelah alis Mile langsung naik. Memang kalau jadi reinkarnasi kucing akan suka kucing? Batinnya. "Iya, ehem ... kalau memang begitu kapan-kapan kita ke penangkaran," katanya. "Tapi yang mau kubahas bukan itu, Po. Aku ingin kau bertemu kucing kecilku di rumah."
"Eh? Jadi Phi Mile sudah punya kucing?" bingung Apo.
Sudah, kau.
"Iya, sudah. Dia sangat manis dan lucu. Sepertimu," kata Mile sambil tersenyum. "Tapi mungkin lebih usil lagi. Dia nakal. Kami adalah teman baik sedari dulu."
"Wahhhh ...." kagum Apo. "Jadi, umurnya sekarang berapa dong? Sangat tua?" tanyanya. "Bukankah kucing paling lama 15 tahun, ya? Phi Mile punya eyang Kitty berarti di rumah--"
"Bukan, bukan begitu. Dia sudah mati 18 tahun lalu," sela Mile sambil menggeleng. "Keracunan, hm ... dia makan susu dan roti yang tak cocok untuk pencernaannya. Ha ha, aku menangis kencang waktu itu. Sangat buruk. Kejadiannya mendadak sekali ...."
"Oh ...."
Apo mencoba berpikir sejenak. Dia menghitung-hitung dengan jarinya. Makin bingung lagi karena kematian kucing itu bersamaan dengan kekasih Mile yang diceritakan di kafe. Dia menatap wajah Mile aneh, sementara sang calon suami balas menatapnya.
"Kenapa?"
"Tidak kok, cuman ...." Apo mengatur kata-katanya. "Rasanya aku paham kenapa Phi Mile sangat kehilangan waktu itu. Soalnya Phi ditinggal 2 sosok kesayangan dalam waktu dekat. Satunya si kucing, satunya lagi pacar Phi Mile ...."
Mile jadi ragu apakah Apo perlu diberitahu. Namun dia tetap membawa si manis makam Kitty Po, yang dia akui sebagai kekasih. Apo lantas menaruh cupcake di atas makam tersebut dengan air mata jatuh. "Ini, aku kasih ...." katanya. "Mungkin kau mustahil memakannya, tapi aku tetap ingin kau tahu kalau aku suka cupcake."
"...."
"Phi Mile loh yang belikan," kata Apo lagi. "Dia memang baik sekali, pantas kau mau berpacaran dengannya. Thank you. Mulai sekarang aku pasti akan menjaganya."
Mile pun digandeng dengan erat, tapi dia berakhir tidak memberitahu meski sebenarnya sangat ingin. Mile takut dianggap Apo gila karena berhalusinasi, atau hanya menggantikan posisi Kitty Po dengan si manis ini. Tidak, tidak. Oh, Tuhan. Bukan begitu maksud dia. Mile hanya ingin menjaga Apo seperti apapun wujudnya, namun malam itu ada hal yang tidak pernah dia sangka.
Apo bersepeda dari apartemen menuju ke rumah dia, sudah larut (sekitar pukul 11) dan gerbang utama bahkan nyaris ditutup. Remaja itu memakai piama pink tanda tadi sudah tidur, apalagi wajahnya berminyak dan bibirnya mengembang sedikit karena baru bangun. Dia menangis kencang sambil menerobos para satpam. Rom dan Nee kaget sekali karena Apo langsung berlari mencari Mile Phakphum.
"Hiks, hiks, hiks ... Phi Mileeeeee!" jeritnya di tengah isakan. "Phi Mile aku sudah ingat semua. Hiks ... hiks ... hiks ... Phi Mileeee! Kenapa tidak pernah bilang? Hiks ... hiks ... hiks ... a-aku---"
"Apo--!!"
Si manis pun menghambur ke pelukan Mile yang tengah beres-beres kerjaan. Dia belum selesai lembur, tapi sudah dikagetkan dengan betapa histerinya remaja itu kala masuk ke ruang kerjanya.
"Hiks, hiks, hiks ... apa si kucing adalah aku?"
"Apa?"
Apo meninju punggung Mile. "AKU SUDAH TAHU SEMUANYA, PHI MILE! ITU AKU!" marahnya.
Mile pun membalas pelukan meski tidak paham, hingga Apo bercerita dia mimpi panjang di tubuh kucing yang hidup 18 tahun masa lalu. Apo akhirnya tahu siapa anak kecil yang dia ajak bermain, atau semua memori usilnya ketika mengerjai Mile. Dia menyerap kapan pertama kali di penangkaran, dipeluk Mile. Kemudian diadopsi dan melihat bintang jatuh bersama.
"S-Sebenarnya aku takut sekali pas keracunan, Phi. Perutku sakit ...." kata Apo. Wajah sembabnya pun makin menjadi. Apo mendongak dan menatap mata Mile dengan lengan yang tak melonggarkan pelukannya sedikit pun. "Aku benci berpisah dengan Phi secepat itu, tapi thank you sudah menungguku sampai sekarang. Hiks ...." Dia meremas fabrik Mile dengan begitu kuatnya. ".... aku benar-benar tidak menyadarinya selama ini."
Detik itu Mile pun langsung menangis, dia tak bisa memikirkan hal lain kecuali ingin mencium bibir Apo dengan sepenuh hatinya. "Apo--"
"Ahh!"
Tubuh yang lebih kecil pun Mile dorong ke dinding, Apo terkejut. Namun dia langsung menyambut lumatan sang calon suami dengan leluasa. Apo mengalungkan lengan kurusnya ke leher Mile sambil berjinjit. Dia kesulitan napas dan terisak, tapi tidak pernah keberatan.
"Hiks--mnnh ...." isak Apo di tengah ciuman panas mereka. Pipi-pipi merah itu amat basah dengan banyaknya emosi bercampur. Dada si manis dipenuhi rasa syukur yang tidak pernah dia bayangkan.
"Aku benar-benar mencintaimu, Phi Mile. Aku benar-benar rindu sekali padamu ...."
Bersambung ....