Chapter 25 - KITTY PO 21

4 Hari Kemudian ....

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Mile sudah tiba. Keluarga besar Romsaithong dan Wattanagitiphat berkumpul di satu gedung, begitu pun orang-orang yang berharga bagi mereka. Mulai keluarga, sanak kerabat, rekan kerja, teman kuliah, teman SMA yang masih akrab, bahkan teman kecil Mile dan Apo juga ada. Yang dewasa rata-rata memberikan kado bermotif polos, beda lagi yang seumuran Apo dengan polosnya menumpuk benda macam-macam di pojokan gedung. Anak-anak BT terutama. Karena lelaki, jarang ada yang bungkusnya rapi. Mereka asal wrapped, yang penting isinya sampai. Namun, tak ada protesan apapun. Semuanya masuk gedung usai undangan diperlihatkan. Lalu acara diawali dengan konser dari para penyanyi lokal. Mereka meramaikan suasana, tapi tak terlalu lama. Sebab pemusik klasik menggantikan diiringi pertunjukan tari bolero.

Mile dan Apo belum muncul meski tamu undangan mereka penuh, seisi gedung dijamu makan-makan dulu sambil menikmati suasana elegan. Ada yang prasmanan. Ada yang lebih enjoy dengan kudapan di meja. Kursi dan meja berjejer rapi dengan orang yang ramai mengobrol.

Mereka saling berkenalan dengan cipika cipiki. Menggosipkan calon istri Mile yang mungil nan manis, tapi juga diiringi pujian prestasi.

Anak-anak BT tertawa kencang saat disodori wine mahal, mereka saling gebuk bukan karena ingin meminum betulan, tapi butler yang membawa nampan semuanya tampan. Mereka mengenakan suit jas dengan vest korset. Visual para butler itu sudah bak pangeran padahal hanya pengantar menu di dalam pesta.

Aroma parfum branded bercampur, tatanan rambut bermacam-macam, gaun warna-warni, dan pasangan konglomerat yang menggandeng lengan pasangannya. Man dan May tak mau kalah stand-out, meskipun mereka bukan dari keluarga berada. Namun di sini mereka tetap raja yang dan ratu yang akan menikahkan puteranya. Keduanya didandani setelan kompak dengan Rom dan Nee juga. Mereka serasi sebagai mertua yang sudah saling menerima.

Suasana itu benar-benar menegangkan untuk untuk kedua pengantin, tapi Mile lebih bisa mengendalikan diri. Dia memandang tamu-tamu yang baru datang dengan mobil mewah mereka, tirai balkon dia sibak sambil menikmati secangkir teh hangat. Dia tidak seruangan dengan Apo karena budaya keluarga yang turun temurun. Katanya agar calon suami terkejut melihat riasan pasangannya di altar. Oh, dia memang sangat penasaran.

Sejujurnya Mile juga heran kenapa Apo pantas memakai segala gaya, mau feminin atau perkasa semuanya enak dipandang. Kemarin Apo memakai tiara pun makin menawan. Hari ini dengar-dengar ada veil juga yang menghiasi kepalanya. Mile tidak tahu sejauh apa dia akan mengagumi Apo, yang pasti menatapnya Mile tidak pernah puas.

"Ckck, sial. Padahal aku sudah melihatnya fitting waktu itu ...." desis Mile dengan kaki yang mengetuk-ngetuk.

Di ruang lain Apo berdiri di tengah-tengah para flower girl, dia diberi buket super besar dari bunga baby breath yang begitu cantik. Dekorasi gedung memang penuh oleh bunga itu, baik jalan menuju ke sana maupun gapura besar yang melintang di pintu masuknya. Apo yang tegang pun rileks karena kelakuan seorang flower girl, dia adalah bocah umur 3 tahun yang tiaranya jatuh karena menggaruk rambut.

"Ya ampun, jangan begitu, Nak manis ... bawa dulu keranjang bunganya. Biar kubenahi ini dan gaunmu," kata si penata rias.

Apo sendiri baru paham konsep resepsinya, padahal dia sudah gabung dalam obrolan pernikahan ini beberapa bulan lalu. Dia tak menyangka Mile mengambil tema seperti orang Barat, walau sebenarnya itu ide dari Lulu dan Mario juga. Kata Lulu memang bagus kalau ada banyak anak kecil yang berjalan di depan dia, mereka akan menaburkan kelopak bunga di sepanjang jalan ketika dirinya lewat. Mile juga menempatkan bocah umur 4 tahun yang memakai suit jas, dia yang paling tampan karena lelaki sendiri. Bocah itu akan membawakan cincin ketika dirinya dan Apo bertemu, sementara di belakang Apo baru ada bridesmaid yang berbaris panjang.

"Phi, Phi ... cara pegangnya begini?" tanya seorang flower girl yang membawa keranjang bunga. Dia menggenggam bagian pegangan dengan kedua tangan. Tampak anggun tapi masih agak salah.

"Bukan, bukan. Tapi jarinya ditekuk ke dalam. Bagian kiri saja yang pemberat, nanti tangan kanan dipakai menabur bunga," kata penata rias yang dia datangi.

"Owkay! Terima kasih contohnya!"

"Sama-sama. Sekarang ajari juga temanmu."

"Siap!"

Apo tersenyum manis karena bocah-bocah itu tampak antusias, mungkin baru kali ini mereka didandani memakai gaun indah seperti tuan puteri. Gaun-gaun itu warna putih dan terbuat dari kain kaca. Rambut mereka ditata menggunakan mahkota bunga berpita. "Lucu ...." gumamnya selagi masih ditata di sana-sini. Remaja itu baru ber-KTP sekitar 3 Minggu lalu, namun di sinilah di sekarang berdiri. Apo masih 17 tahun, dan next birthday-nya 4 bulan lagi. Dia berdebar kencang, apalagi saat dijemput sang ayah.

"Apo, sudah siap?" tanya Man.

"Iya, Papa?"

Apo segera berdiri.

Man mendatangi puteranya yang tangannya baru disarungi. Si manis tampak paling bersinar pada hari ini. Bareface-nya sudah pulih dengan riasan yang makin tipis daripada pesta bujang. Dia kini tak perlu banyak make-up untuk tampil outsanding. Apo pun menggandeng Man untuk dibawa ke altar. "Kau indah sekali hari ini, putera Papa tersayang ...." pujinya, lalu mengecup pipi Apo sekilas. "Biar kubekasi dulu calon suamimu itu. Ha ha ha. Enak saja asal rebut dari kami."

Apo refleks tertawa geli. "Ih, Papa. Jangan begitu," katanya. Dia terpejam kala Man menurunkan veil agar bagian wajah menjadi samar. Remaja itu dibawa keluar dengan langkah pelan, diiringi musik ala pernikahan. Semua tamu undangan berdiri saat dirinya muncul. Mereka bertepuk tangan dengan suara lembut yang menjadi satu, tidak sangat menggebu, tetapi begitu sakral. Apo bisa melihat mereka senang dengan peresmian ini. Wajah-wajah itu tersenyum kepadanya. Dia dan Man semakin melambatkan langkah karena para flower girl masih berkaki mungil. Mereka menghabiskan lima langkah saat yang dewasa baru maju satu.

"Papa, aku gugup ...." gumam Apo sambil meremas lengan Man kuat.

"Ha ha, rileks. Itu calon suamimu sudah kelihatan di depan."

"A-Aku tahu."

Meski tertutup veil, Apo rasa rona pipinya tetap terlihat. Dia menatap Mile malu-malu karena lelaki itu sangatlah gagah. Mile mengenakan suit hitam yang sangat memesona. Ini beda dengan saat fitting karena tampilannya sempurna. Napas Apo jadi berat saat mereka semakin mendekat.

"Papa tidak akan memberikanmu kalau ragu dia mampu menjaga."

"Iya, Pa."

Begitu berhadapan, Mile pun mengecup punggung tangan Apo begitu lembut. Dia membuat seluruh tamu meleleh dengan tatapan mata yang dalam. Keduanya saling pandang usai veil Apo dibuka, si manis membalas senyum Mile agak konstipasi namun bahagia.

"Awas ya sampai kau sakiti anakku," bisik Man sebelum mundur. "Siap-siap kuhajar nantinya."

"Ya ampun, Papa ...."

Mile hanya tersenyum sebelum membawa Apo ke depan biksu. Mereka diberi berkah serta doa yang diitari jernang panjang. Man baru kembali, dan menuju ke kursi para mertua. Letaknya paling depan sementara para bridesmaid menyanyi. Mereka ternyata sekelompok paduan suara yang ahli teknik vokalnya. Apo serasa di dunia peri waktu disodori map sumpah. Dia agak gemetar ketika membawanya.

"Apo Nattawin Wattanagitiphat," kata Mile. "Di depan altar Budha yang suci, aku memilihmu sebagai istriku. Dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."

Jeda yang sedikit lama.

Para tamu ikut tegang mengenang masa mereka menikah, tapi yang belum hanya mengandai-andai kapan bisa begitu. Semuanya diam khidmad dan menyimak, bagaimana Apo mengumpulkan emosi dalam dada untuk membalas.

"Umn ... Phi Mile Phakphum Romsaithong," kata Apo. Dia membuat beberapa orang tersenyum karena gerakan bibir yang lucu. Aura lugu si manis pun semakin menguar kala dia bicara. "Di depan altar yang suci, aku menerimamu sebagai suamiku, dan berjanji selalu setia, mencintai, dan menghormati seumur hidupku."

Suara tepuk tangan lembut pun terdengar di belakang sana, bahkan para tamu ada yang menangis karena pemandangan itu. Segalanya terlihat indah. Apo memberikan tangan kanan kepada Mile saat si bocah tampan berlari-lari. Dia menyodorkan kotak cincin dengan senyum lebar yang amat ceria. "PHIII! PHIIII! PHII MAIIIII!!" katanya membuat siapa pun tertawa. "Ini! Untuk Phi Po!"

Mile pun menerimanya sambil tersenyum, dia mengangguk lalu memasukkan cincin ke jari manis Apo Nattawin. "Love you kucing kecilku ...." katanya. Kali ini ciuman darinya mendarat di benda mungil itu. "Terima kasih sudah jadi milikku."

Apo serasa kesulitan napas hanya karena diminta gantian bertukar cincin. Dia pun minta dibawakan buket dan si bocah langsung memeluknya di dada. Remaja itu

menahan gejolak ribut pikirannya sendiri. Perlahan-lahan dia memasukkan cincin juga ke jari Mile. "Sama-sama, Phi," katanya. Lalu memandang sang suami.

"Hmm, any words for me?" tanya Mile sebelum mendekat. "Aku tidak mau menciummu kalau belum siap."

Apo pun tertawa kikuk. "Ha ha, ada lah. Phi Mile kan belum pernah marah," katanya. "Tapi kalau ... suatu saat aku tiba-tiba bikin salah, tolong jangan keras-keras, ya. Aku mudah takut ...." Dia bilang begitu dengan mata berkaca-kaca. "Aku masih kecil, Phi. Kadang-kadang mau sendiri saja kalau mood-ku sedang buruk."

"Oke, of course."

"Dan yang kulihat di TikTok, semarah apapun pasangan biasanya akan reda kalau pelukan--ha ha ... bukan maksudku percaya TikTok sih. Tapi ...." Apo sungguh bingung, meski sudah persiapan dari rumah untuk mengungkapkan ini. ".... aku maunya sama Phi saja selama-lamanya. Boleh tidak?" tanyanya. "Apalagi Phi Mile sudah menungguku di kehidupan kedua. Aku jadi ingin menunggu Phi Mile juga di kehidupan berikut-berikutnya. Tapi tolong sehat terus untuk menemaniku sampai tua."

Mile pun tertegun melihat Apo menangis. "Hei, hei. Apo, not here. Kenapa malah sedih begini?"

Apo justru tak peduli dipandangi seluruh tamu, dia hanya meneruskan kejujuran saat Mile menyeka matanya.

"Soalnya Phi sudah kelihatan tua, aku jadi takut ditinggal sendiri," kata Apo. "T-Thats why, aku janji akan belajar masak setelah ini. Tapi Phi Mile juga harus makan menu sehat dariku, bagaimana pun rasanya."

".... oke, oke. Pasti nantinya kumakan--"

"Aku pasti makin bisa dan jago, Phi. Aku janji akan banyak belajar."

Mile pun ingin tertawa kencang, tapi dia tahu harus menahan diri karena ada cobaan lidah di depan mata. Awal-awal memasak karya Apo tak mungkin enak. Dia sudah membayangkan, tapi sementara ini mengabaikan saja. Mile sudah kalap karena situasi ini, dia pun mencium bibir si manis dalam satu raupan kasar.

Pinggang Apo dia peluk hingga berjinjit, Apo kaget. Namun remaja itu langsung memejamkan mata daripada emosinya kacau. Dia balas memeluk Mile dengan jambakan di punggung, tidak seorang pun pernah membayangkan pasangan itu jadi panas ketika di depan altar. Mereka saling mengunyah bibir pasangannya karena lapar, namun ini bukan soal makanan.

Di luar dugaan kepala Jeff kena buket saat ada acara melempar bunga, padahal remaja itu enak-enakan makan puding di tempat. Dia bilang, "Aduh! Shiaaa!" Lalu menoleh kesana-kemari. Mangkuk puding sampai terlempar karena sekelompok tamu mengeroyok ke arahnya seperti zombie. "AAAAAA! WOY!"

Keributan yang diakhiri dengan candaaan.

Hall berikutnya kini dibuka untuk acara dansa, para pasangan wedding organizer sudah di sana dan berputar-putar. Mereka berpenampilan seperti pangeran dan tuan puteri, bahkan ada yang pasangan sesama juga dengan konsep serupa. Pangeran dan pangeran. Puteri dan puteri. Bahkan orang yang sudah tua dengan pasangan tuanya. Mile sengaja mengatur begitu agar tim

mengawali dan para tamu tidak segan untuk gabung. Teknik itu pun berhasil, sebab sebagian besar tamu kini ikutan terjun ke sana. Mereka dansa dengan pasangannya masing-masing, tidak perlu takut akan gender, jenis hubungan, dan berapa usianya.

"Mau juga?" tawar Mile kepada Apo. Dia mengulurkan tangan kepada si kucing manis. Namun Apo masih terpana-pana dengan adegan di dalam.

"Ugh, m-mau. Tapi, wow ... aku mana bisa dansa, Phi?" kata Apo.

"Tenang saja, tidak perlu seheboh mereka. Just dancing in the center, oke? Kita juga tidak harus bergerak yang aneh-aneh."

Apo pun menoleh kepada sang suami yang diberi pedang tiruan seorang butler. Tamu lain juga dilengkapi benda itu agar terasa suasana pesta-nya. Dia akhirnya meraih Mile meskipun kaki, veil dan mahkota dia lepas dulu agar tidak mengganggu. "Ya ampun ... jujur saja ini agak--"

"Seru?"

"Iya, capek juga."

"Hm?"

"Maksudnya mentalku, Phi. Baru sekarang ketemu banyak orang lama sekali. Ha ha ha ... aku malu dilihati mereka."

Mile pun mulai menata pose mereka di tengah ruang, Apo ikut-ikut saja meskipun tak paham. "No need, kok malu. Kau kan cantik, Sayang. Sooo adorable. Siapa pun pasti iri padaku hari ini."

"Ha ha ... iyakah?"

"Iya."

Musik klasik pun berganti lagi, karena sang tokoh utama sudah bergabung. Para tamu mengimbangi Mile dan Apo yang lambat, dengan keaktifan agar suasana semakin meriah. Anak-anak BT hanya foto-foto suasana itu dan aktif main di sosmed, mereka pamer hal-hal mewah, meskipun bukan miliki sendiri.

"Sekarang mundur, maju lagi. Jangan injak kakiku cukup pelan-pelan saja," kata Mile memberi instruksi.

Apo tak menyangka sang suami paham hal-hal yang seperti ini, bahkan sepertinya ahli jika pasangannya bukan dia. Jujur dia sering lupa bahwa Mile terlahir dengan sendok perak, dia pasti diajari hal-hal yang elegan seperti dansa, meskipun tidak memperlihatkannya. "Begini?"

"Ya."

"Oke."

"Daripada itu kau bahagia kan menikah dengan Phi hari ini?"

"Apa?"

"Kapan hari sampai menangis-nangis begitu."

Apo pun langsung rileks karena diajak bicara. "Iya lah. Bahagia, Phi. Cuma bingung saja mau bagaimana." Dia kini geleng-geleng dengan lucunya. "Tapi lebih banyak bahagianya kok, Phi. Xixi. Phi Mile jangan khawatir."

Meski dimulai siang, acara tetap selesai pukul 10 malam. Para tamu pun baru pulang usai makan malam dan minum wine bersama. Mereka pamit dengan mobil masing-masing, sementara gedung itu mulai kosong pukul 11. Mile sendiri menggendong Apo karena si manis sudah kelelahan. Mereka tidak menuntaskan pamitan tamu karena Apo sudah nyaris pingsan. Hanya Man, May, Rom, dan Nee saja yang bertahan hingga akhir. Mereka berempat membiarkan si pengantin baru mundur ke belakang ke kamar mereka.

Letaknya di penthouse tertinggi hotel. Mile naik lift khusus naik ke sana, kakinya agak gemetar karena sampainya sedikit lama. Sekitar 3-5 menit? Mile sendiri kelelahan, tapi memperbaiki gendongan terus menerus. Dia tidak membiarkan Apo jatuh, lalu membopongnya ke ranjang.

"Akhh! Phi Mile, pusing ...." keluh Apo, yang segera dibantali sang suami.

"Tenang, tenang. Sudah di sini, Sayang. Sudah nyaman. Coba pegangan ke Phi Mile lagi?"

"Umn."

"Capek sekali ya berdiri lama?"

"Iya ...."

Apo pun menurut mau ditata bagaimana posisi rebahnya. Dia benar-benar tidak makan sejak pukul 12 siang hingga sekarang. Apo menolak karena itu bisa merusak riasannya, belum lagi tamu tak henti-hentinya bergerak. Semuanya menyapa, mengobrol, dan ada juga yang mencubit pipinya. Kebanyakan yang dewasa amat gemas jadi curi-curi kesempatan.

"Sebentar, ya ... dilepas dulu sepatunya biar lega."

"Ugh ...."

Selagi Mile menata kakinya, Apo ternyata masih kegerahan. Dia pun melepas dasi serta kancing jas agar membuka. Dia juga menarik kerah beberapa kali hingga lebih longgar. Sementara Mile terdiam lama melihatnya seseksi itu.

"Jangan sekarang, Mile Bangsat. Dia bisa trauma kalau kau tidak sabaran," batin Mile sambil meneguk ludah.

"Phi, ini susah kenapa ya ...." keluh Apo dengan mata terpejam. "Tolong ...." Dia sudah mengantuk, tapi uring-uringan karena kerah. Kancingnya susah sekali dibuka, padahal ingin lehernya lega segera.

"Hm, coba lihat?" Mile mendaki ke atas badan Apo. "Lepas dulu tangannya, biar Phi saja. Lubang kancingnya memang terlalu kecil."

"Hrrmmh."

Apo pun membiarkan dua kancing atasnya dibuka. Lalu mengangguk saat ditanya sudah nyaman atau belum. Dia langsung meringkuk karena benar-benar ingin tidur, sementara Mile membeku karena raut letihnya. Dia meraih dagu Apo dan menatap bibirnya yang lembut. Lalu mencium di sana tanpa permisi.

Ciuman yang cukup basah. Si manis pun meraih lehernya karena masih separuh sadar. Dia membalas lumatan Mile tanpa effort yang berlebih. Apo bahkan lupa bagaimana rasanya berdebar. Kepalanya terlalu berat untuk merasakan hasrat dan erotika.

"Ahhh ...." desah Apo saat dilepaskan.

Mile mengusap saliva di bibir tersebut. Mengecupnya lagi. Sementara Apo berkedip ringan karena tidurnya terganggu. "Aku mencintaimu Apo. Sangat," katanya. "Aku senang sudah jadi suamimu sekitar 7 jam."

"Ha ha ha ...." tawa Apo karena ingat sumpah mereka pukul 3 tadi. "Aku juga mencintaimu kok, Phi Mile. Sangat-sangat cinta. Tapi, bikin baby-nya memang mau sekarang?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Hah? Soal itu--"

"...."

Apo lebih dari tahu, karena dia tidak sebocah itu. Ingat, dia adalah remaja penasaran yang kadang tertarik download VPN demi menonton video porno. Apo sudah tahu gambaran malam pertama suami istri. Dia sudah insomnia semalam tadi, walau tidak kentara.

"Iyakah?" tanya Apo yang matanya sudah berat sekali. "Umn, kalau iya. A-Aku boleh tidak cuci muka dulu? Capek sekali, Phi Mile. Mungkin bisa segar ketemu air dingin."

Aura Mile pun agak menggelap. "Kenapa malah menawariku?! Aku bisa gila!" batinnya tak tentu arah. Jika ditanya Mile kini baru merasakan capeknya setelah diam, tapi dia memang penasaran sekali dengan seks pertamanya. Bagaimana pun dia dan Apo sama-sama perjaka. Mereka adalah untuk satu sama lain pada malam ini. "Hhm, maunya--tapi tidak masalah?"

"Umn, um." Apo ternyata mengangguk dan mengulurkan tangan. "Tapi bantu duduk dulu. Ugh ... tidak kuat, Phi."

Mile segera menarik si manis. Mereka tertawa kecil saat berhadap-hadapan. Pertama mungkin karena punya jiwa nekad, kedua pastinya agak keterlaluan. Hei, pengantin lain begini juga tidak sih? Mile dan Apo jadi malu sendiri.

"Bagaimana kalau mandi bareng dulu?"

"Eh? Ada yang begitu?"

"Katanya?" Mile jadi bodoh mendadak. "Aku hanya nonton video dan membaca buku."

"Xixixi, ya ampun ...."

Mile pun nyengir kecil juga. Namun Apo setuju agar segarnya bersama-sama. Dia dan Apo pun bergandengan masuk ke dalam. Mereka tergelak. Diam-diam dada berdebar kencang ketika pintunya ditutup.

Cklek!

"Oke, sekarang mulai dari mana dulu?" tanya Mile.

"L-Lepas baju?"

"Fuck, that's right, lepas baju."

Keduanya pun mulai membuka tiap lapisan suit milik sendiri, tapi Apo duduk di atas kloset karena tak tahan kantuk. Dia meringis karena sabuknya terlalu kuat. Mile sampai harus berjongkok di depan untuk membantu. "Phi, ih ... desainnya kenapa jadi begini sih? Perasaan pas fitting tak terlalu susah."

"Ha ha ha ha. Kan fitting itu cuma sampel ukuran. Yang kau pakai ini pastinya baru."

"Oh ...."

"Sini, sini. Nanti kukumu lecet kalau memaksa."

"Hinggh."

Apo pun mengalah hingga sabuknya dilepas. Namun dia juga merinding saat sadar posisi mereka.

"Fine, selesai ...." Mile lantas mendongak dan menatap kucing kecilnya. "Tapi, mumpung bagian sininya terbuka, apa mau Phi hisap sebentar?"

Bersambung ....