Nenen, katanya?! Aku tidak salah dengar?
Batin Mile langsung gonjang-ganjing mendengar Apo semenggoda ini. Dia pun mendorong si manis agar berebah, dan tubuh itu berpasrah saja di bawahnya. Mile kira Apo hanya bercanda, tapi si manis sudah memejamkan mata demi menerima serangan kasar. Dia tampak masih takut, tapi langkahnya sebegini berani. Mile menduga Apo mungkin sudah menonton porno berbagai genre, termasuk milf yang berisi janda dengan payudara besar.
Para janda itu akan menggoda lelaki dengan payudara mereka. Entah itu diremas di depan muka, atau menggesek belahannya ke penis pasangan. Bedanya Apo versi tidak profesional. Dia hanya rebahan dan tak melakukan apapun. Apo tidak bertanggung jawab usai membuka dadanya, dan hanya meremas bantal. "Eugh, mmnh--ahhh ...." desahnya mulai mengudara. Awalnya Mile hanya ingin tahu apakah si manis serius, tapi sudah menyerahkan diri begini mana mungkin dia sia-siakan. Mile pun menyedot puting Apo kanan dan kiri. Lalu meremas dada itu bergantian. Tidak henti-hentinya Mile membuat Apo memekik, bilamana sang istri membuka mata dia sudah menduduki pinggul Apo dan memainkan dua putingnya dengan jemari. "Akhh--nhh ... ahh." Suaranya seksi sekali.
Mile tersenyum melihat tatapan Apo yang menyesal sebelum menerima ciumannya. Kadang sang istri sampai mengusap lengannya karena terlalu ngilu saat memilin-milin.
"Ahh, Phi Mile ... m-masih lecet. Agak pelan, hiks ...." isak Apo yang menyesal sudah mengerjai suaminya. "Hiks, hiks ... hiks, hiks--p-perih ... m-mau hisap saja jangan pakai jari. Hiks, sakit ...."
Mile pun menunduk dan membuka baju Apo seluruhnya. Atasan ditarik, selimut didorong, dan celana Apo disisihkan ke sisi ranjang. Dia menunduk lagi untuk menghisapi puting kecil istrinya. Lidahnya berputar-putar, lalu menyedot lagi dan lagi. Apo merona saat bagian itu dijlati, dia membelai rambut Mile tanpa melepaskan tatapan.
"A-Aku dimaafkan kan, setelah ini?"
"Hmm ...."
Mile justru terpejam dan hanya fokus ke puting Apo.
"Phi Mile aku benar-benar minta maaf ...."
Nenen!
Isi otak Mile hanya berisi puting dan puting, kalau bukan dada Apo yang kurus di depan mata. Lelaki itu memindah posisi Apo agar tak terlalu di tepi ranjang. Lalu mundur dengan saliva mengulir tipis pada bibirnya. Apo rasa keputusan yang dia pakai sudah tepat, tapi dia sendiri tak menyangka akan berpikir ke sini kala sudah sangat panik. Apo juga tak tahan bila Mile sedih karena dia, apalagi jika sampai marah. Apo senang dia mendapat hati Mile kembali, tapi ini---
"Ahhh ... ahhh," desah Apo menggelinjang di atas bantal. Punggungnya dan pinggul meliuk seperti ular, dia terlonjak ke atas karena lidah Mile nikmat sekali. Perihnya bercampur panas mulut yang membuat bengkak di dada. Apo sudah pasrah kalau nanti putingnya harus diplester. "Phi, stop ... Phi Mile, aku tidak tahan lagi ...." rengeknya mulai menjadi-jadi. Apo sampai menjambak Mile, tapi sang suami lanjut menghukumnya. Si manis malang pun menangis, dan harus terima. Dia baru dilepaskan usai dadanya menggembung. Apo kini mirip remaja perempuan yang baru pubertas dan payudaranya perlu di-manset. "Ah ... m-mau pegang, tapi perih ... Phi Mile ...." Dia akhirnya hanya mengusap tepian dada demi meredakan sensasi.
"Jera?"
"Umn."
Apo pun mengangguk pelan.
Mile mengusapi air matanya. "Besok-besok kalau bercanda jangan pakai kalimat kau pergi atau jauh dariku, Apo. Phi tak suka," tegasnya. "Phi paling takut kehilanganmu, tahu. Sekarang paham? Phi ini sudah menunggumu 15 tahun lebih ...."
"Hiks ... mn."
Apo segera mengangguk lagi.
Dipikir-pikir omongan Mile benar juga, setelah 15 tahun bahkan sang suami masih harus sabar 2 tahun lagi. Mile pasti trauma sekali, Apo jadi sulit menolak diajak bercinta kembali. Toh lubangnya kini masih sangat longgar. Mile hanya perlu menunduk untuk membasahinya dengan saliva. Sang suami lalu mengeluarkan senjatanya dari balik resleting celana. Penis gembung itu tak butuh effort untuk masuk ke dalam bokong si manis. Tapi Apo tetap kesakitan karena sisa seks semalam. Nyeri ditusuk masih terasa dan amat tajam. Namun Apo sudah paham dia hanya harus bertahan hingga nikmatnya kembali datang.
Dia benar-benar sudah belajar.
"Ahhh, hhhh ... ahhh, Phi Mile. Jangan kencang-kencang. Ahhh .... a-aku masih sangat lapar. B-Belum sarapan--ahh ...."
Mile tetap menghujam lorong lembut nan rapat Apo dengan seringai kecilnya. Dia ingin Apo sadar siapa suaminya di sini, sementara Apo melirik pertemuan penis dan bokong mereka dengan gelisah. Oh, ya ampun, ya ampun, ya ampun! Mile serius berlakon seperti pengendara, dan dirinya adalah kuda. Sang suami memperkosanya tanpa ragu karena bagian dalamnya masih dipenuhi air mani. Penis Mile langsung licin ketika dipakai keluar masuk, Apo pegal tak terkira, dan mereka mendapat kepuasan cepat tanpa banyak drama.
"AHHAHHHHHHH!" teriak Apo, namun tak langsung dilepas. Mile justru membalik tubuhnya agar memeluk bantal, dia tak perlu menungging meski kedalaman tusukannya berpengaruh. Mile tetap senang karena bebas menjilat telinga Apo di posisi itu, atau menggigit tengkuknya yang berkeringat hingga wajah si manis terbenam. "Mngffff, mff, nghh ... Phi Mile--aahhh ...." raung Apo. Puting bengkaknya menggesek-gesek ke seprai lembut, Apo bisa merasaka sekitarnya berguncang walau springbed tidak sampai goyang-goyang. Si manis tampak kelelahan dan napasnya habis, Mile memelankan tusukannya setelah klimaks untuk kedua kali.
"Ahhh ...." desah Mile sembari melepaskan cengkeramannya di bokong Apo. Belahan lembut si manis penuh oleh cipratan air maninya, padahal dia sempat ingin menariknya tapi keburu keluar. Mile pun menggencet tubuh mungil itu sambil memenuhi sang istri, mereka terengah hebat dan suaranya bersahut-sahutan.
"Sebenarnya Phi masih ingin, tapi kau sepertinya tak kuat."
"Hhh, hhh, hh ... hh ... jangan."
Apo meremas pinggulnya sendiri.
"Iya, jangan. Aku tahu kok, Sayang."
Mile mengecupi leher Apo.
"Phi Mile, aku sepertinya berdarah lagi. Hiks ... b-bisa dicek?" pinta Apo tiba-tiba. "Rasanya agak lecet, tapi baru sekarang perihnya."
"Hah? Benarkah?"
"Iya ...."
Mile pun segera bangkit dan memasang resletingnya. Dia langsung rapi hanya dengan begitu, lalu mengecek bokong Apo yang memperlihatkan bekas remasan jari jarinya. Padahal tadi belum begitu, tapi mark biasanya memang ketahuan setelah jeda agak lama. Yang mengejutkan adalah darah merah yang mengalir lembut diantara kentalnya mani. Apo mungkin robek semakin parah, padahal tadi pagi sudah mampet waktu mandi, Mile jadi agak menyesal berlaku sedikit kasar. Dia sempat lupa tadi malam Apo masih suci seperti mawar yang putih. Dia pun pamit mencari dokter.
"Phiii, jangan ...." Apo justru menarik tangannya dan menggeleng lemah. "Malu, tahu. Jangan dokter. Bisa pakai salep saja? Aku yakin tidak apa-apa."
"Apo, tidak. Ini buat kebaikanmu juga. Aku minta maaf sudah kelewatan sejak semalam."
"Umn, umn. Aku tak mau ituku dilihat sama orang lain." Apo Nattawin tetap menggeleng. "Phi saja. Pokoknya cuma Phi yang aku izinkan."
Mile pun tertegun, lalu mengurus liang lecet itu sesuai permintaan Apo. Dia tak menyangka si manis sangat privasi, berarti memang hanya dirinya yang sudah dan bermakna begitu dalam. Di hatinya, di jiwanya, di tubuhnya. Mile tiba-tiba bangga memiliki seluruh aspek istrinya. Apo pun terpaksa rebah lagi dan makin bedrest--karena bercinta.
Dua hari berlalu, Mile betul-betul tidak menyentuh Apo sejak itu. Dia hanya memeluk si manis, walau kadang pindah tempat tidur. Mojok di sisi ranjang, misal? Di sofa? Atau minimal ... jika Apo sudah lelap, Mile akan memunggunginya karena kalut. Lelaki itu terlalu sayang dan takut kalap dengan nafsunya lagi. Untung tiga hari kemudian Apo sudah mulai bisa jalan.
Si manis tiba-tiba duduk sarapan di sebuah sofa tunggal, dia menikmati menu fasfood yang dipesan dari luar. "Phi Mile ... mau tidak?" tawarnya dengan cengiran. "Ini udang, enak Phi. Ada kepiting dan abalone juga. Kusuapi?"
Mile Phakphum pun segera bergabung. "Kok sudah bangun? Tumben?"
"Aku ingin cepat jalan-jalan ... he he. Honeymoon," cengir Apo. "Katanya itu yang paling asyik setelah menikah, Phi. Ada banyak-banyak petualangan."
Petualangan, katanya?
Shit, bocah.
Beda dengan Mile yang menganggap seks mereka sebagai hal paling menyenangkan Minggu ini. Untung si manis asyik makan udang goreng. Bila tidak Mile pasti akan meraup bibirnya lagi. "Iya, Sayang. Tapi apa sudah mantab ganti destinasi?"
"Iya, Phi. Aku penasaran sekali dengan Universal Studio. He he ...." kata Apo. "Tidak apa-apa kan mainnya ke taman hiburan? Aku mau jelajah ke semua tempat, karena tidak pernah rekreasi lagi. Terakhir TK, SD, dan SMP--kelas XI kemarin tak jadi karena ada beberapa kendala. Malahan survey universitas dan aku bosan sekali. Ugh ...."
"Iya, Sayang."
Begini susahnya kalau istrimu masih belia. Meski tulang remuk juga harus ikutan naik wahana.
Mile tak ingin mengecewakan isterinya.
Mana yang dipilih Apo 10 tempat. Sudah gila! Tapi Mile takkan menolak si manis. Karena taman-taman itu pasti impiannya. Jika Mile mengiyakan, dia akan jadi suami idaman. Setidaknya mari lihat dulu mana saja yang sudah ditandai spidol: 1) Tokyo Disneysea, Jepang 2) Epcot, Amerika Serikat 3) Universal Island of Adventure, Amerika Serikat juga 4) Six Flags Magic Mountain, masih Amerika Serikat 5) Efteling, Belanda 6) Univesal Studio, Singapura 7) Everland, Korea Selatan 8) Lotte World, Korea Selatan juga 9) Shanghai Disneyland, China 10) Dreamworld, Australia.
Oke? Ini belum valid karena Mile pasti akan memilahnya.
"Kenapa, Phi? K-Kebanyakan?" tanya Apo takut-takut. "Aku ... berlebihan, ya? Kata Phi Mile pilih 10."
Mile Phakphum pun geleng-geleng. "Iya, tapi 10 masak taman hiburan semua? Tidak bosan kah?"
"...."
Apo sepertinya takut salah bicara.
"Begini saja, Po. Satu negara, satu taman hiburan. Jadi kita eliminasi beberapa."
"Baik."
Untung Apo patuh begini, kan? Kalau tidak? Habis sudah harga diri Mile Phakphum Romsaithong.
"Sekarang untuk Amerika pilih yang paling kau mau."
"Umn, Universitas Island of Adventure, Phi?"
"Oke, yang Korsel?"
"L-Lotte World."
"Sip, berarti 3 yang tereliminasi. Coba kau cek ulang dulu."
Apo menerima majalahnya kembali.
"Dengan begini yang 3 boleh pilihanku?" tanya Mile.
Mau tak mau Apo mengangguk. Sebab jumlah 7:3 itu sudah besar. Apo tak boleh menuntut banyak. Mile pasti ingin mengunjungi beberapa tempat juga. "Iya, Phi."
"Hm ...."
Apo pun menunggu-nunggu, tapi Mile bilang rahasia dulu biar kejutan. Si manis sempat kecewa, tapi hanya berhadiah cium pipi. "Eh? Kok begitu ...."
"Sudah, diam saja ...." kata Mile dengan senyuman suspicious. "Nanti juga tahu sendiri."
Mau tak mau Apo memendam rasa ingin tahunya, dia berdebar-debar, padahal berangkat ke bandara saja belum. Remaja itu menghabiskan makanannya satu per satu, jauh di dalam hati dia bersyukur hari ini tak disentuh lagi. Mungkin, apa ya ... dia masih kaget akan kehidupan seksual?
Tadi pagi saja Apo kesakitan melepas dua plester putingnya. Hari ini bagian itu sudah mengempis, tapi warnanya tetap saja kemerahan. Namanya sering dihisap, Apo tak menyangka bisa merubah sedikit tampilan puting. Dia jadi makin sensitif karena sudah merasakan sentuhan enak.
"Uuuu ... aku sudah jadi istri orang ...." gumam Apo begitu Mile berlalu membuat kopi. Dia menutup muka yang meraj dengan majalah, diam-diam ingat curhatannya kepada Mama barusan.
[Mama: Sayang Ucil. Kok dengar-dengar kalian belum berangkat honeymoon? Ada masalah, ya? Kalian bertengkar? Paspornya kan sudah jadi. Ini hari ke-4 lho. Kalau ada sesuatu bilang saja sama Mama. Rumah tangga memang kadang tidak akur]
Iya, tapi sangking tidak akurnya sampai bertarung di ranjang terus?
[Apo: Belum, Ma. Memang belum]
[Mama: Nah, lapor Mama]
[Mama: Kalau Phi Mile nakal, biar ditinju Papa beratus kali]
[Apo: Eh, jangan, Ma. Jangan. Phi Mile baik kok. Kami baik-baik saja]
[Mama: Terus?]
[Apo: Ya, aku sakit]
[Mama: Hah?! Sakit apa?!]
May bahkan sampai telepon. Untung Apo sigap me-reject sambungan, lalu segera mengetik penjelasannya.
[Apo: Itunya]
[Apo: Itunya, Ma. Habis ditusuk Phi Mile banyak-banyak]
May pun langsung mengetik lama sekali. Sebab tanda di atas chat terlihat, hapus, ketik, hapus, ketik, hapus dan ktetik lagi. Apo sampai gemetaran memegang ponselnya, dia takut dimarahi Mama karena langsung melakukannya. Ahh ... Mama! Apo jadi takut membuka ponsel, karena tadi belum sempat. Dengan amat cepat keburu Mile datang untuk bicara padanya.
"Pokoknya harus aku baca sekarang ...." gumam Apo menyemangati diri sendiri. Dia pun memantapkan hati untuk membaca pesan sang ibu. Si manis langsung merona karena isi teks May benar-benar panjang (nan erotis) sekali.
[May: Oh, Tuhanku ... sudah? Anak Mama hebat sekali. Mama sampai syok apalagi Papa, Sayang. Dia meninju dinding sekarang. Ha ha ha. Tapi daripada itu, kalau sakit berarti kasar dong? Phi Mile nakal kah? Diapain saja kamu? Kalau sampai badanmu rusak, kami maju paling depan lho. Tidak pakai aneh-aneh kan? Benda seks? Atau kau belum paham yang begitu-begitu? Papa sama Mama hanya khawatir padamu, kau memang baru saja legal, Ucil-Ucil. Tapi ya sudahlah. Kalau bukan Phi Mile, kami malah tidak yakin. Ngomong-ngomong kami sudah menanti baby, bikin yang banyak ya. Mama juga pengen lihat Ucil versi mini suatu hari, tapi kalau tidak mau langsung ya tidak masalah. Jangan terbebani, ya Sayang? Menikah ya menikah fokus pada suamimu. Selamat menjalani hidup baru. Jadi istri baik dan tidak aneh-aneh, Ucilnya Mama. Nanti Phi Mile bisa botak mikir mau kamu]
[Mama: Aih, ckck. Mama hampir lupa sesuatu]
[Mama: Dijaga ya Phi Mile-nya. Suami macam dia sulit ditemukan lho, Sayang. Kata Mama kau itu termasuk beruntung sekali. Kan kalau bisa jangan sering bertengkar. Dengarkan nasihatnya selama baik. Kalau ada yang meragukan baru bilang sama kami. Nanti Papa dan Mama akan carikan solusi."
[Apo: Iya, Mama]
[Mama: satu lagi. Lelaki seumuran Mile gairahnya memang tinggi, apalagi dia tadinya perjaka juga, saran Mama 'iya' saja kalau kau diminta 'itu', kecuali lagi capek atau tidak enak badan. Bisa bahaya lho Sayang. Ikat suamimu jangan sampai terpesona lelaki atau wanita di luar sana. Tetap semangat. Papa dan Mama cuma mengawasi kalian dari belakang. Happy wedding]
Apo pun membaca pesan-pesan itu berulang kali, dia tidur meringkuk di sofa dan makin merona tebal. "Ih, Papa dan Mama kok tidak terlihat membela aku," batinnya. "T-Tapi, memang enak sih. Aku jadi kangen Phi Mile lagi sekarang ...." Kedua matanya terpejam perlahan.
Bersambung ....