Pada petang hari, Sean dan Maria turun dari mobil yang dikendarai oleh Sean. Mereka telah sampai di rumah keluarga Anjali. Maria kemudian mengambil anting di telinganya dan mengambil salah satu kotak kecil dan menempelkannya di gerbang rumahnya.
Pintu tersebut membuka dan Maria mengajak Sean untuk masuk ke dalam. Di dalam rumah tersebut tidak ada sesuatu yang berbeda. Semua pengaturan barang-barang yang diletakkan oleh ibunya tidak berubah sama sekali.
Perbedaannya hanyalah sebuah foto yang diletakkan ibu Maria di atas meja tamunya. Foto tersebut berisikan foto ayahnya beserta Maria yang masih kecil. Dalam foto tersebut terlihat bahwa Maria terlihat sangat senang di pelukan ayahnya.
Maria yang melihat foto tersebut tiba-tiba meneteskan air matanya. Semula, Sean berpikir bahwa reaksi Maria dikarenakan oleh betapa rindunya Maria kepada ibunya. Namun, Maria sangat mengetahui bahwa kesedihannya bukan disebabkan oleh karena dia merindukan ibunya, melainkan perasaannya yang penuh dengan rasa bersalah karena telah menipu ibunya sebagai 'Maria'.
Sean menepuk-nepuk punggung Maria dengan perlahan dan mengajaknya duduk di kursi tamu. "Hei, kita sudah sampai di rumahmu. Kau tidak perlu lagi menangis, sebentar lagi tentunya ibumu akan pulang ke rumah." Sean berusaha menghibur Maria.
Maria menoleh ke arah Sean dengan perlahan dan memegang kedua lengan Sean "Sean… Bolehkah aku memberitahumu sebuah rahasia yang selama ini kupendam?" Suara Maria terdengar terisak-isak, tetapi air matanya sudah tidak lagi mengalir.
"Tentu saja, aku akan menjaga rahasiamu dengan aman bersamaku." Sean membelai rambut ditelinga Maria dengan perlahan dan mengaitkannya ke belakang telinganya. "Aku tidak akan pernah mengatakan rahasiamu kepada siapapun." Ujar Sean sambil setengah berbisik di telinga Maria.
Bisikan Sean tersebut terasa menggelitik telinga Maria. Pada saat itu, Maria memutuskan untuk memberitahunya sebuah kebenaran mengenai Maria. Bahwa kesadaran Maria sudah tidak pernah ada lagi sejak Amelia mengambil alih tubuhnya.
"Kau tahu… Cerita Isaac mengenai kecelakaan di pusat medis yang disebabkan oleh serangan Manusia burung pada pembangkit listrik di koloni?" Maria memandang Sean dengan penuh kekhawatiran. Sean yang tidak mengerti dengan ekspresi Maria yang terlihat sangat rumit pada saat itu, kemudian menjalinkan jemarinya pada telapak tangan Maria. "Ada apa dengan kejadian itu?"
"Kau tahu kan, bahwa aku satu-satunya orang yang selamat pada kejadian tersebut?" Maria menatap Sean dalam-dalam, kemudian dia melanjutkan kalimatnya dengan nada sedikit tersekat. "Kurasa candaanmu dan Sophia waktu itu memang benar adanya." Maria menundukkan kepalanya, sementara Sean sedikit terkejut dengan pernyataan Maria tersebut.
Maria kemudian melihat ke arah lantai "Seminggu setelah kejadian tersebut, Maria tertidur di dalam perpustakaan." Maria terdiam ketika dia menggunakan kata Maria sebagai orang ketiga dalam kalimat yang dia ucapkan saat itu. Sean yang mendengar ucapan Maria merasa kebingungan dengan ucapan 'Maria' yang ditujukan oleh Maria sebagai dirinya sendiri.
"Saat itu, Seseorang mengambil alih kesadaran Maria yang mulai memudar." Maria kembali menoleh ke arah Sean, kali ini Maria melengkungkan ujung bibirnya dengan sangat tipis. Ekspresi wajah Maria seakan memberikan sebuah petunjuk mengenai kalimat yang diucapkan Maria. Maria menelan ludahnya "Akulah orang yang mengambil kesadaran Maria. Aku bukanlah Maria."
Sean melihat Maria sambil sedikit melebarkan kedua matanya. Maria yang berada di sebelah Sean terlihat frustasi "Masalahku saat ini adalah bahwa aku berterima kasih atas semua kebaikan ibu Maria yang selama ini mencintai Maria apa adanya, namun aku tidak dapat menerima cintanya yang seperti lautan kepada Maria." Maria memandang Sean dengan penuh keseriusan.
Sean terdiam ketika Maria menatapnya seperti itu. Maria kemudian memegang bingkai foto tersebut dan membawanya ke pangkuannya "Aku tidak mengenal siapa yang ada dalam foto ini. Aku tidak tahu siapa ayah Maria dan aku tidak mengenal gadis kecil itu." Maria mengernyitkan dahinya sambil memandang foto tersebut dan mulai meneteskan air matanya kembali "Dan aku mengetahui Nyonya Anjali merindukan kedua keluarganya tersebut. Sementara itu, aku… aku merasa sedang menipu dirinya." Air matanya menetes di bingkai tersebut.
Sean mengelus punggung Maria yang sedang menangis, "Apakah kau tahu… Apa yang terjadi kepada Nyonya Anjali bila ia benar-benar kehilangan anaknya pada kejadian di pusat medis tersebut?" Sean merendahkan posisi tubuhnya sambil memandang Maria. Dia tersenyum kepada Maria "Kau sudah melakukan hal yang baik untuknya. Bagi Nyonya Anjali saat ini, kaulah dunianya."
Maria menoleh perlahan ke arah Sean yang menyeka air matanya dengan jemarinya. "Kau tidak menipu Nyonya Anjali. Kaulah yang membuat dia tetap memiliki semangat hidup, angkatlah dagumu dan jangan lagi bersedih atas kesalahan yang tidak kau lakukan. Kau bukanlah pengganti Maria, tetapi penerus dari kehidupannya di dunia ini." Ibu jari Sean menyentuh dagu Maria dan membawanya mendekati wajahnya.
Setelah mendengar perkataan Sean, Maria merasa seluruh beban berat yang selama ini berada dalam hatinya tiba-tiba terangkat. Perasaan khawatir akan rasa bersalahnya kepada ibu Maria tiba-tiba memudar dan tergantikan dengan kehangatan dari perkataan Sean.
Maria memandang Sean dengan pandangan seperti orang yang terhipnotis. Dia tidak melawan ketika Sean mendekatkan dahinya ke arahnya. Sesaat ketika dahi mereka beradu, bibir Sean mendekati bibirnya yang berwarna merah. Perasaan Maria berdegup kencang ketika bibir Sean yang lembut menyentuh bibirnya. Untuk beberapa saat, dunia serasa berhenti ketika Maria menikmati sentuhan-sentuhan dari bibir Sean di bibirnya.
KLIK!
Suara kunci pintu rumah Maria yang membuka membuat kedua sejoli tersebut terkejut dan dalam hitungan milidetik, bibir Sean yang mencumbu Maria segera mengambil jarak. Maria segera menjauhkan dirinya dari Sean. Keduanya terlihat sangat kikuk ketika ibu Maria datang ke ruang tamu.
"Maria anakku!" Nyonya Anjali terkejut dan memancarkan kegembiraan di wajahnya ketika dia melihat ada anaknya yang sedang duduk bersama Sean di ruang tamu tersebut. Nyonya Anjali segera memeluk Maria yang masih berada dalam posisi duduk.
"Kapan kau pulang? Mengapa kau tidak mengabariku?" Nyonya Anjali segera mencium dari anaknya yang ada dalam pelukannya. "Aku sangat khawatir dengan kehidupanmu di dalam institusi para pejuang. Mereka berkata latihan disana sangat berat." Nyonya Anjali melepaskan pelukannya dan memegang kedua lengan Maria dengan wajah tersenyum lepas.
"Ibu. Aku baik-baik saja disana, ibu tak usah khawatir. Aku sangat merindukanmu bu." Ujar Maria dengan nada penuh kegembiraan. Sean yang melihat mereka disebelahnya melihat perubahan pada sikap Maria dengan ibunya dibandingkan ketika dia melihat Maria sebelum dia memasuki institusi pejuang. Kali ini, Maria tampak lebih leluasa menyampaikan emosinya kepada Nyonya Anjali.
Ibu Maria melihat bingkai foto yang ada dalam pangkuan Maria dan memegangnya. "Ah, fotomu bersama dengan ayahmu." Ibu Maria memegang bingkai foto tersebut yang dibasahi oleh tetesan air mata Maria. Dia melihat foto tersebut dengan penuh kelembutan. "Aku sangat merindukannya. Seperti aku merindukanmu saat ini." Ibu Maria mengalihkan pandangan penuh kelembutan itu kepada Maria. Lengannya menyentuh pipi Maria.
Maria menyambut sentuhan tersebut dengan tangannya yang memegang tangan ibunya. "Melebihi segalanya, aku sangat merindukanmu selama ini." Maria menatap ibunya yang telah menunggunya selama setengah tahun tanpa kehadirannya di sisi ibunya.Wajah ibunya terlihat pucat dan lengan yang menggenggamnya terasa semakin kurus.
Selama ini, Maria berusaha untuk menjawab pesan ibunya dengan sesingkat mungkin. Ia tidak menyangka bahwa sikapnya telah membuat ibu Maria semakin khawatir dengan dirinya. "Ibu, kau sehat-sehat saja? Maafkan aku bila selama ini aku hanya menjawab pesanmu dengan singkat" Ujar Maria kepada ibunya.
"Aku baik-baik saja nak. Aku tahu kau sibuk disana, jadi aku berusaha untuk tidak mengganggumu." Jawab Nyonya Anjali kepada Maria. "Namun aku sangat mengkhawatirkanmu, sehingga terkadang aku…" Ibu Maria tidak melanjutkan perkataannya.
Maria tersenyum manis kepada ibunya, "Ibu maaf. Mulai sekarang aku akan memastikan bahwa aku menjawab semua pesanmu, dan aku berjanji padamu untuk selalu memberimu kabar." Maria memegang lengan ibunya dengan erat "Ibu terlihat semakin kurus, kau seharusnya menjaga dirimu dengan baik ibu."
Ibu Maria memandang wajah anaknya yang terlihat tersenyum tulus kepadanya. Nyonya Anjali kemudian menoleh ke arah Sean "Ah, Kau Sean bukan? Sudah lama aku tidak melihatmu, bagaimana kabarmu?" Ujar Nyonya Anjali kepada Sean sambil memegang kedua lengannya.
Sean tersenyum kepada Nyonya Anjali dan menjawab pertanyaannya dengan sopan "Aku baik-baik saja Nyonya Anjali. Senang dapat bertemu kembali denganmu." Sean merangkul Nyonya Anjali dengan kehangatan. "Beberapa hari lagi kami akan melaksanakan misi ekspedisi keluar koloni, karena itu kami diperbolehkan pulang selama persiapan misi tersebut berlangsung. Maria mengundangku kemari untuk menghabiskan waktuku selama itu."
Nyonya Anjali terlihat sedikit terkejut atas jawaban Sean "Apakah kau tidak akan mengunjungi ayah ibumu?" Maria memotong pertanyaan ibunya itu "Ibu, Sean tidak memiliki sanak saudara." Sekali lagi, Nyonya Anjali membuat ekspresi terkejut di wajahnya. Sesaat kemudian dia merengutkan dahinya, "Maafkan aku. Aku tidak seharusnya menanyakan hal itu." Nyonya Anjali menepuk pundak Sean dengan lembut.
Setelah menepuk pundak Sean, Ibu Maria beranjak berdiri "Nampaknya hari sudah mulai malam, aku baru saja pulang dari rumah keluarga Suzuki. Apakah kalian mau menemaniku makan bersamaku di luar sana?" Tanya Ibu Maria kepada mereka berdua.
Keduanya mengangguk, "Tentu saja ibu/Nyonya Anjali" Jawab Maria dan Sean secara bersamaan. Ibu Maria tertawa ketika mendengar jawaban mereka yang kompak. "Baiklah kalian sebaiknya bersiap-siap dahulu. Maria, tunjukkanlah kamar bagi tamu istimewa kita." Ibu Maria tersenyum kepada Maria sambil menepuk lengannya. "Aku juga akan segera bersiap-siap."
"Baiklah ibu, kami akan segera menyusulmu!" Maria menjawab perkataan ibunya dengan penuh perasaan gembira. Dia segera menoleh ke arah Sean sambil berkata "Ayo ikuti aku, aku akan menunjukkan kamarmu." Maria segera naik ke arah tangga diikuti oleh Sean di belakangnya.
'Sayang sekali ciuman itu harus berhenti sampai disana.' Ujar Sean dalam hati. Namun demikian, hatinya senang ketika dia melihat wanita yang dia cintai kembali ceria di depannya. Sementara itu, Maria yang berjalan di depan Sean meraba bibirnya yang masih merasakan sentuhan lembut dari bibir Sean beberapa waktu sebelumnya.