Maria melihat papan nama Grey Barion di depan ruangan Tuan Barion. Tok-tok-tok! Maria mengetuk ruangan Tuan Barion sambil berharap bahwa ia ada dalam ruangannya. Setelah menunggu beberapa saat, Tuan Barion membuka pintu ruangannya.
Seorang pria besar yang tinggi dengan janggut hitam dan rambut keriting yang diikat berdiri di hadapan Maria. "Ah, nona Anjali. Aku baru saja melihat profilmu." Pria besar itu tersenyum dengan penuh percaya diri. "Namaku Grey. Grey Barion. Kau dapat memanggilku dengan namaku saja. Senang berkenalan denganmu, nona Anjali." Grey menjulurkan tangannya untuk mengajak Maria bersalaman dengannya.
Maria menyambut jabatan tangannya sambil berkata, "Maria Anjali. Senang berkenalan denganmu Tuan Barion." Grey terlihat sedikit cemberut ketika Maria memanggilnya Tuan Barion. "Sudah kubilang, kau dapat memanggilku Grey saja. Aku tidak suka dipanggil Tuan Barion, kesannya sudah tua sekali."
Maria yang mendengar perkataan Grey Barion segera menundukkan kepalanya, "Baiklah, Grey. Anda dapat memanggil saya Maria." Grey kembali tersenyum kepadanya "Baiklah, begitu lebih terdengar akrab."
Grey menutup pintu ruangannya dan berjalan ke meja kerjanya. "Maria… Kurasa aku melihatmu di hari pertama kau datang kemari." Grey duduk di kursinya sambil mengamati Maria untuk beberapa waktu. "Ah, aku ingat sekarang. Kau ini wanita yang mabuk di hari pertama ketika pesta para pejuang baru itu bukan?" Grey tertawa kecil dan kemudian terkekeh. "Aku benar-benar tak menyangka ini. Wanita yang dibawa Sean ke kamarnya di hari pertama dan diapresiasi oleh salah satu muridku yang terbaik sebagai penembak yang handal di hari ujian adalah wanita yang sama."
Maria terlihat kebingungan saat Grey mengatakan hal tersebut, namun dia segera menutup mulutnya dengan tangannya sambil terkesiap. 'Malam itu… Bagaimana Tuan Barion dapat mengetahui bahwa aku tidur di kamar Sean?' Eskpresi wajah Maria mencerminkan semua hal yang ada dalam hatinya saat itu, seakan-akan tidak ada lagi yang dapat dia sembunyikan.
Grey tertawa terbahak-bahak ketika dia melihat ekspresi wajah Maria "Hahaha! Kau harus melihat mukamu saat ini." Dia sedikit memukul mejanya perlahan. "Kurasa kau penasaran mengapa aku mengetahui kejadian di malam itu. Pertama, aku adalah pria yang kau tabrak di malam ketika kau mabuk. Kedua, subordinatku tidur di sebelah kamar Sean."
Maria menundukkan kepalanya dan berusaha menyembunyikan mukanya yang merah padam. "M-maafkan aku. Aku siap untuk menerima hukuman apapun yang akan dijatuhkan kepadaku." Maria sungguh merasa malu karena perbuatannya tersebut sungguh tidak mencerminkan moralitas seorang prajurit ketika dia menjadi Amelia.
Grey sedikit terkejut ketika muka Maria yang merah padam mulai mengeluarkan air mata di ujung kelopak matanya. "He-hey! Ada apa dengan dirimu." Dia segera berdiri dan mendekati Maria "Mengapa kau menangis, aku tidak akan menjatuhkan hukuman apapun pada dirimu."
"Maafkan aku karena aku telah melakukan hal yang memalukan pada malam itu. Aku berjanji untuk tidak mengulanginya." Maria berusaha menatap Grey di matanya. Untuk sesaat, Maria bertekad untuk tidak lagi digoyahkan oleh segala sikap Sean kepada dirinya.
Disisi lain, Grey merasa tidak familiar dengan sikap Maria yang terlihat seperti orang yang sangat bersalah, dan siap untuk dijatuhkan hukuman berat. "Kau tidak perlu khawatir, ini bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Kurasa kau sudah cukup tua untuk berkembang biak dan kau tentunya sudah mendapatkan medali kedewasaanmu bukan?" Grey menepuk-nepuk punggung Maria sambil menenangkan Maria.
'Berkembang biak… Ada apa dengan dunia ini…' Istilah yang dipakai oleh Grey membuat Maria tersinggung dan mengeraskan rahangnya. Maria yang masih tertunduk dengan mata berkaca-kaca kemudian menjawab dengan gemetar "Maafkan aku, aku bukanlah binatang yang hanya melakukan hal tersebut untuk berkembang biak, Tuan Barion. Dan mengenai medali kedewasaanku, aku belum mendapatkannya."
Tuan Barion terlihat terkejut ketika dia mendengar jawaban Maria. Dia merasa heran karena selama ini tidak ada seorang pun di koloni ke-enam belas keberatan dengan istilah yang dia gunakan ketika seseorang menghabiskan waktu semalam dengan kekasihnya untuk melakukan hal tersebut. Terlebih, dia cukup terkejut ketika dia mendengar bahwa Maria tidak mendapatkan medali kedewasaan setelah Maria menjadi seorang pejuang.
Grey terlihat kikuk ketika dia memikirkan hal yang dapat dia katakan untuk menenangkannya. "Dengar, bukan maksudku untuk menyamakanmu dengan binatang ketika aku mengatakan hal tersebut. Dan kurasa tidak ada seorang pejuang manapun yang tidak memiliki medali kedewasaan." Grey menepuk pundak Maria dengan mantap. "Kurasa kau tidak perlu terlalu khawatir mengenai masalah ini karena aku tidak merasa bahwa kau tidur dengan Sean sebagai sebuah masalah. Kurasa subordinatku tidak akan menilaimu secara bias."
Tatapan Maria yang penuh dengan keseriusan berubah dan mengendur. Hatinya merasa lega karena dia membutuhkan pengakuan atas keterampilannya dan bukan berdasarkan apa yang dia lakukan bersama dengan Sean, baik malam itu ataupun ketika dia mendapatkan surat undangan yang berdasarkan pada rekomendasi Sean untuknya. "Terima kasih." Ujarnya singkat.
Grey yang melihat perubahan pada air muka Maria ketika Maria mengucapkan terima kasih, kemudian tersenyum kepadanya. "Kurasa kita dapat pergi dan segera berlatih untuk menembak. Aku tidak sabar untuk melihat kemampuanmu." Grey kemudian membuka pintu kantornya "Ayo ikuti aku."
Maria mengikuti Grey ke arah lapangan yang baru saja dia kunjungi ketika dia berlatih bersama dengan Sean sebelum diperintahkan untuk menemui Grey. Di tempat tersebut, dia dapat melihat Sean yang mulai berlatih dengan koleganya dari kejauhan.
Walaupun harga dirinya menginginkan pengakuan atas dirinya sebagai seorang prajurit, Maria tidak dapat menyangkal perasaannya kepada Sean. mata Maria tidak dapat melepaskan pandangannya dari Sean. Dalam waktu beberapa detik, Maria memandang Sean yang sedang berlatih dengan giat.
Tepat pada saat itu, mata Sean bertemu dengan mata Maria untuk beberapa waktu. Maria segera tersadar dan memalingkan mukanya. Dia segera mengikuti Grey dan menyimak panduan yang diberikan padanya.
"Baiklah, kurasa kau dapat memperlihatkan kebolehanmu padaku." Grey segera menyerahkan sebuah busur silang yang ukurannya lebih kecil dari busur silang yang dipakai Maria pada waktu ujian. Busur tersebut nampaknya tidak dibuat untuk memburu monster di area perburuan.
Maria mengambil busur itu sambil melihat Grey dengan kebingungan. Ia tidak melihat target apapun yang dipasang oleh Grey di lapangan tembak tersebut. "Apa yang harus kutembak dengan busur ini?" Ujar Maria sambil melihat busur yang ada di tangannya.
Grey tersenyum. Dia berjalan dan mengambil bola bola sebesar kepalan tangannya. Bola-bola itu berwarna putih dan tidak tampak seperti terbuat oleh plastik, lebih mirip terbuat dari sejenis jeli yang cukup padat. "Ini" Jawab Grey singkat.
Maria memandang jeli tersebut dengan mata terbelalak. "Bagaimana aku harus menembaknya?" Maria melihat bola itu dengan penuh kekhawatiran. Penembak jitu bukan berarti menembak barang sekecil itu yang bergerak dengan kecepatan tidak terduga. Bahkan seorang penembak jitu seperti Maria harus mengeker target sebelum dia dapat menembak dengan tepat. 'Apabila aku harus menembaknya sambil bergerak…' Maria tercegang memikirkan apabila latihan dengan Grey adalah menembak bola itu sambil dilempar, terutama di planet Kai dimana benda kecil dapat bergerak dengan kecepatan tinggi.
Grey berjalan ke tengah lapangan dan meletakkan beberapa bola tersebut disana. Dia kemudian meminta Maria untuk menembak bola-bola tersebut. "Kau dapat mulai mencoba menembak bola-bola tersebut dengan jarak ini."
'Ah, proses ini seperti proses menembak pada ujian yang lalu, hanya dengan sedikit penambahan tingkat kesulitan' Maria menatap bola-bola tersebut untuk beberapa saat. Jaraknya memang sangat jauh dibandingkan dengan jarak yang perlu dia tembak ketika ujian. Selain itu, bola-bola tersebut ukurannya jauh lebih kecil daripada sasaran tembak di waktu pengujian.
'Tak masalah' Maria segera mengangkat busurnya dan mengeker targetnya untuk beberapa waktu. Grey yang melihat Maria mengeker targetnya melihat dengan senyum 'Biarpun ini pertama kalinya Sean membawa seorang gadis untuk tidur bersamanya, kurasa Sean tidak akan ceroboh dalam memilih seorang pejuang. Seberapa hebatkah kemampuan wanita ini?'
Setelah Maria selesai memperkirakan sudut yang diperlukan, Maria segera mulai menembak. Dalam hitungan detik, Maria dapat menembak bola-bola yang dijajarkan Grey dengan baik. Dor! Satu, dua, tiga. Semua bola yang di jajarkan oleh Grey ditembak sempurna.
Grey terhenyak ketika Maria menembaknya dengan waktu yang sangat singkat. Grey segera bertepuk tangan, seakan tidak percaya dengan kemampuan Maria. "Luar biasa, tidak ada yang meleset" Grey memandang Maria dengan penuh kepuasan.
"Hahaha… Kurasa dengan akurasi setinggi ini, kau bisa segera menjadi seorang pejuang kelas satu."Grey terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak Maria. "Kau bisa langsung berlatih sendiri dengan metode yang kau inginkan, dibandingkan mengikuti kelas menembak standar."
Grey memandang Maria, kali ini dengan penuh rasa penasaran. "Sejujurnya, aku tidak akan percaya dengan apa yang aku lihat saat ini. Seorang pegawai perpustakaan yang dapat menembak dengan akurasi tinggi dan bertarung dengan handal? Hah…." Grey berdiri di hadapan Maria "Aku bersyukur kau diundang Sean untuk menjadi seorang pejuang dan memutuskan untuk bergabung."
Maria memperhatikan gerak-gerik Grey yang kemudian mengambil busur silangnya dan mengeker bola-bola yang sudah ditembak Maria. Grey menembak bola-bola tersebut dengan akurasi yang sama seperti Maria "Kurasa dengan keterampilanmu sekarang, kau dapat mengembangkan teknikmu sendiri dalam menembak. Kau dapat meminta izin padaku untuk menggunakan separuh lapangan tembak ini sendiri, bila kau menginginkannya nanti." Grey menaruh busurnya dan menjabat tangan Maria "Kuharap aku dapat melihat perkembanganmu di lain waktu."
Maria mendongak dan menatap Grey dengan percaya diri "Aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik, Tuan Barion." Maria melihat raut wajah Grey yang terlihat muram. Pada saat itu juga Grey menatapnya dengan sedikit kesal "Grey. Panggil aku Grey."
Maria tersenyum kikuk "Baik, pak Grey. Aku akan…" Grey menepuk dahinya "Tanpa embel-embel bapak…" Sekali lagi Maria memaksakan senyumnya. "Baiklah, Grey."
Grey tertawa sambil menepuk pundak Maria, kali ini dengan cukup keras sehingga Maria sedikit terdorong ke depan. "Hahaha! Begitu baru benar."Grey nampak puas dengan personil barunya sambil pergi dari lapangan tersebut, meninggalkan Maria untuk berlatih sendirian.