Pagi itu, Maria merasakan sebuah kehangatan dari tubuh seorang pria besar di sampingnya. Dia membuka matanya dan merasakan rambutnya dibelai oleh seseorang. Maria mengangkat kepalanya dan memandang pria di hadapannya dengan perlahan.
Pria tampan dengan mata kuning keemasan dan rambut platinum sedang memandang wajahnya dengan penuh kelembutan membuat mata Maria terbelalak. Maria segera melompat dari tempat tidurnya dan melihat Sean melepaskan lengannya dari kepalanya sambil tersenyum manis kepada Maria.
Maria memeriksa tubuhnya dan menoleh kepada Sean yang sama-sama tidak berbusana. Maria berusaha mencerna kejadian yang terjadi setelah pesta selesai, namun tidak sedikitpun ingatan yang tersisa pada hari itu. Hanya sekilas adegan yang terlintas dalam benaknya, ketika dia mencium Sean dan Sean menjalinkan jari jemarinya dengan jemari Maria di ranjang tersebut.
Sean tertawa kecil "Selamat pagi, Maria" Dia bangun dari tempat tidurnya dan duduk disamping Maria. Lengannya membelai rambut Maria dengan lembut. "Aku senang kau memiliki perasaan yang sama denganku. Kupikir selama ini perasaanku ini hanya satu sisi saja" Dia mencium tengkuk Maria dengan lembut dan perlahan.
Jantung Maria berdegup kencang dan perasaan geli menyebar ke seluruh tubuhnya ketika ciuman itu mendarat di tengkuknya. Sean meraih dagu Maria dengan perlahan dan mencium bibirnya yang berwarna merah muda. Ketika lidahnya menyapu bibir Maria dengan lembut, Maria segera memalingkan wajahnya dari Sean seraya mendorong tubuhnya dengan perlahan.
"Tunggu… Tunggu dulu. Aku tidak ingat apapun kemarin. Apa yang kau lakukan… Apa yang kita lakukan." Maria memandang Sean dengan penuh pertanyaan. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Atau kenapa kita berada disini. Mengapa hanya ada satu ranjang di kamar ini?"
Sean menaruh kepalanya di lututnya sambil melirik Maria "Kemarin kau dan aku… kau tahu... Kupikir kau menanggapi pernyataan cintaku padamu" Dia menutupi sebagian wajahnya dengan tangannya dan memalingkan mukanya dari Maria "Kita berada di kamarku, kamar pejuang kelas dua dan kelas satu memiliki fasilitas tersendiri." Untuk sesaat, Sean menyadari bahwa Maria tidak mengingat apapun yang terjadi pada malam tersebut.
Sean kemudian memandang Maria dengan tatapan yang sangat dalam sebelum bertanya kepada Maria "Kau sungguh tidak mengingat apapun sama sekali kemarin? Setidaknya, apakah kau merasakan apa yang aku rasakan saat ini?" Senyumnya pudar dari wajahnya yang tampan, digantikan dengan tatapan serius kepada Maria.
Maria hanya terlihat bingung sambil membalas tatapan Sean sambil mengernyit dengan seribu satu pertanyaan di dalam benaknya. "Aku tak tahu. Saat ini perasaanku campur aduk dan aku merasa sangat aneh sekali." Maria memegang kepalanya dengan salah satu tangannya dan meremas rambutnya perlahan. "Maafkan aku Sean, tapi ini hari pertamaku sebagai seorang pejuang…" Mulut Maria tersekat dan dia tidak melanjutkan perkataannya. Ia terdiam untuk beberapa saat dan menunduk "Bisakah kita menganggap ini tidak terjadi?"
Maria melihat Sean yang memandangnya dengan tatapan sedih dan dahi yang mengernyit. Dia tidak tega dengan perkataannya sendiri, namun Maria juga merasa sangat gundah dengan perasaannya yang campur aduk.
Sean melihat wajah Maria yang terlihat kebingungan dan terlihat hampir menangis kemudian menyadari kondisi Maria saat itu. Sean terdiam sesaat sambil melepaskan jemari tangannya yang membelai pundak Maria "Baiklah, mari kita lupakan semua yang terjadi kemarin. Kau jangan terlalu khawatir dengan hal ini."
Sean beranjak dari tempat tidurnya dan segera memakai chokernya yang tergeletak di meja di samping tempat tidurnya. Dia menekan tombol choker itu dan menggunakan baju ketatnya dalam waktu sedetik.
Sean kemudian mengambil choker milik Maria dan mengalungkannya dengan lembut di leher Maria. Dia menekan tombol pada choker tersebut dan mencium dahi Maria dengan lembut "Setidaknya biarkan aku melakukan ini. Dan hari ini kita tidak ada latihan sama sekali karena sebentar lagi kau perlu menghadiri acara pemanduan para pejuang baru di institusi ini."
***
Maria perlahan membuka pintu kamar Sean dan melihat bahwa koridor di kamar tersebut tidak ada orang. Dia pun segera pergi bergegas keluar dari kamar Sean. Jantungnya berdegup kencang selama ia berlari perlahan menuruni tangga ke lantai satu. Setelah itu, ia segera berlari menuju kamarnya.
Perasaannya campur aduk seakan dia panik sekaligus senang tanpa terkira, namun di sisi lain dia merasa kikuk dan bersalah. Itu semua karena mulai hari ini, Sean akan menjadi pembimbing latihan di kelompoknya dan dia direkomendasikan oleh Sean. 'Apakah para pejuang lain akan mengolok-olok aku dan Sean apabila mereka mengetahui bahwa kami tidur bersama?'
Maria segera membuka pintu kamarnya dan melihat Claire sedang tertidur lelap. Pada saat itu, Shimizu keluar dari kamar mandi dan melihatnya datang "Selamat pagi, Maria." Shimizu terlihat memalingkan wajahnya yang terlihat malu-malu. "A-aku tak tahu kalian memiliki hubungan seperti itu." Shimizu menaruh handuknya pada hanger di luar kamar mandi.
Maria memegang dahinya perlahan, "Apa yang terjadi kemarin?" Maria bertanya kepada Shimizu, karena dia sungguh penasaran apa yang terjadi pada malam itu.
Shimizu terlihat melirik sedikit ke arah Maria, "Um… Apakah kau tidak ingat apa yang terjadi?" Matanya melihat ke arah lantai "Kemarin… Saat kau mabuk, kau berdiri dan menyenggol seorang pejuang veteran pria yang tinggi dan besar. Pejuang tersebut menahan tubuhmu di tangannya. Kurasa saat itu, Tuan Smith melihatmu dan dia bergegas datang menuju meja kita..."
Tepat pada saat Shimizu memutus perkataannya, dia memegang mukanya yang memerah seperti tomat dengan kedua tangannya. "Dia memegang tanganmu dan mengambilmu dari tangan pejuang veteran tersebut sambil berkata 'Biarkan aku mengurusnya, dia milikku.' Tuan Smith menggendongmu pergi dari ruangan pesta sambil terlihat agak emosi." Shimizu kembali melirik Maria sambil menunjuk ke arah leher Maria "Kami penasaran apa yang terjadi setelah itu."
Maria melirik ke arah jari telunjuk Shimizu yang mengarah pada lehernya. Dia melihat ke arah kaca yang ada di dekat pintu kamar mandi. Pada saat itu juga, muka Maria terlihat merah padam. Ada sebuah tanda berwarna merah yang terlihat di atas chokernya. Sekilas tanda tersebut tidak terlihat sama sekali, namun bila diperhatikan, tanda tersebut tentunya merupakan tanda ketika mereka bercinta kemarin malam.
Maria segera menempelkan tangannya pada tanda tersebut dengan muka merah padam. "Ku-kurasa aku tidak mengingat apa yang terjadi kemarin malam." Maria kemudian mengambil handuknya "A-aku sebaiknya membersihkan tubuhku sekarang." Dia segera masuk ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi tersebut.
Maria diam terduduk di belakang pintu kamar mandi tersebut sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya 'Astaga, apa yang telah aku lakukan kemarin malam. Bagaimana aku bisa menatap wajah Sean pada acara pemanduan para pejuang baru nanti?!'
Maria berusaha mengingat hal yang terjadi malam tersebut sambil menekan tombol di dalam kotak kamar mandi. Uap hangat keluar dari dalam kotak tersebut dan membersihkan seluruh badan Maria.
Maria mengingat sebuah adegan ketika Sean menaruhnya ke atas ranjangnya dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Sean menundukkan kepalanya ke arah Maria sambil memegang kedua tangan Maria dan menaruhnya di pipinya. "Maafkan aku, tetapi jangan lakukan ini padaku. Aku tak dapat membendung perasaanku padamu." Sesaat, wajah Sean terlihat sangat kacau. "Aku… Aku mencintaimu." Saat itulah, Maria mengingat kembali adegan dimana jemari Maria menyambut jalinan jemari Sean dan menarik wajah Sean ke arahnya dan menciumnya perlahan.
Maria terdiam sesaat. Dia memegang mukanya yang terasa sangat panas sambil menopang tubuhnya di dinding kamar mandi. Uap hangat yang sudah membersihkan seluruh tubuhnya sudah berhenti selama lima belas menit, tetapi Maria tetap terdiam di tempat tersebut. 'Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan?!'
Setelah beberapa saat dia terdiam di kamar mandi, Maria mendengar suara ketukan dari arah pintu kamar mandi. Claire memanggilnya "Maria, sudahkah kau selesai membersihkan tubuhmu? Kita akan segera telat, dan aku belum membersihkan tubuhku. Bisakah kau sedikit lebih cepat?" Ujarnya dengan nada sedikit kesal.
"Ah, iya maafkan aku Claire." Maria segera keluar dari kamar mandi tersebut. Claire menatapnya di luar pintu kamar mandi sambil menyeringai "Oho… Lihat apa yang kita temukan hari ini." Claire menunjuk ke arah kecupan yang ditinggalkan Sean kemarin malam.
Maria segera menutupi tanda tersebut dengan rambutnya yang hanya sebatas pundaknya. "A-aku akan pergi duluan." Claire terkekeh melihat reaksi Maria yang terlihat salah tingkah. Sementara itu, Shimizu hanya tersenyum kecil sambil berusaha menutup mulutnya dengan tangannya. Claire menggoda Maria sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi, "Tenang saja, aku tidak akan mengatakan apapun kepada orang lain." Ia melanjutkan cekikikannya sambil menutup pintu kamar mandi.
Maria segera berlari kecil ke arah lapangan tempat acara pemanduan pejuang baru akan berlangsung. Ketika Maria sampai di tempat tersebut, tempat itu masih kosong. Dia duduk di sebuah tempat duduk di pojok lapangan sambil mengingat betapa lembutnya belaian Sean pagi itu. Mukanya kembali memerah dan jantungnya kembali berdegup kencang.
Tepat pada saat itu, sebuah lengan menepuk pundak Maria. "Hai, jangan melamun. Kau pagi sekali pejuang baru." Maria memalingkan wajahnya untuk melihat orang yang menepuk pundaknya tersebut. Sophia terlihat sedang tersenyum padanya sambil memperlihatkan muka sedikit terkejut "Kau anak yang direkomendasikan Sean bukan?"
Ketika nama tersebut meluncur dari mulut Sophia, Maria tidak dapat membendung perasaannya dan mukanya berubah seperti tomat. "U-uh, iya."
Sophia terlihat berusaha mengingat sesuatu "Kurasa namamu itu… Uh… Maria dari distrik dodo, apakah aku benar?" Maria segera menganggukkan kepalanya dengan kencang. Sophia tersenyum lebar kepada Maria "Kurasa aku pernah mengenalkan diriku pada kelompok pemburu pemula di waktu perburuan yang lalu, tetapi kurasa tidak ada salahnya kita berkenalan lagi." Sophia mengulurkan tangannya kepada Maria "Namaku Sophia Raptis, senang berkenalan denganmu."
Maria menyambut jabatan tangannya sambil tersenyum "Aku Maria, Maria Anjali. Senang berkenalan denganmu, Sophia." Keduanya kemudian saling berkenalan lebih lanjut sebelum acara pemanduan pejuang baru dimulai.