Chereads / Sebuah Perjalanan di Dunia Kai / Chapter 18 - Asal Usul Sean

Chapter 18 - Asal Usul Sean

Beberapa hari setelah Maria membaca surat undangan yang ditujukan untuk dirinya, Adel menghubungi Maria menggunakan arlojinya. "Halooo Mariaaa, apa kabarmu!!!" Suara Adel yang lantang mengiringi tingkahnya yang penuh semangat.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu Adel? Apakah kau bersama Malika saat ini?" Maria tersenyum kepadanya. Adel mengangguk "Aku baik-baik saja. Dan ya, Malika ada di belakangku saat ini!" Malika memasuki layar komunikasi dan melambaikan tangannya sambil tersenyum. Mereka berdua sama-sama menggunakan jas labnya dan latar belakang tempat tersebut sepertinya adalah museum peninggalan orang-orang di bumi.

"Jadi bagaimanakah dengan janji kita untuk bertemu? Kapan kau ada waktu?" Ujar Adel sembari tidak sabar.

Maria berpikir untuk beberapa saat dan menyebutkan waktu senggangnya. "Bagaimana dengan hari jumat malam minggu ini? Sekitar jam 6 sore." Adel segera menyetujui waktu tersebut "Tentu saja. Kita bertemu di restoran distrik Ibex, oke??"

'Restoran distrik Ibex… Bukankah itu restoran yang direkomendasikan oleh Lisbeth. Katanya restoran tersebut dibuat dengan daging perburuan yang paling lembut.' Maria mempertimbangkan saran Adel, kemudian dia mengangguk setuju.

"Kalau begitu aku akan membuat sebuah reservasi atas namaku disana. Sampai jumpa disana!" Adel melambaikan tangannya seraya mengucapkan selamat tinggal. "Sampai jumpa." Maria membalas lambaiannya dan menutup komunikasi di arlojinya tersebut.

Setelah Maria menutup komunikasi di arlojinya, dia segera bersiap-siap untuk pergi bekerja. Dia segera membersihkan tubuhnya dan memakai baju ketatnya, lalu segera turun untuk sarapan bersama dengan ibunya.

Nyonya Anjali menyiapkan roti dosa yang telah ditaruhnya di meja makan. Ketika Maria turun, mereka memakan roti tersebut bersama-sama. Maria kemudian memulai percakapan dengan ibunya "Ibu, maafkan aku kemarin aku tidak memberitahumu bahwa aku pulang larut malam. Aku pergi bersama teman sekerjaku untuk menengok ibu Beth."

Nyonya Anjali kemudian menaruh roti yang telah dipotongnya, "Ah iya, Nyonya Bailey memang sudah agak berumur, namun tetap saja dengan umurnya yang baru 120 tahun… Bagaimana keadaannya sekarang?" Nyonya Anjali mengerutkan dahinya setelah terdiam selama beberapa saat. "Apakah sebaiknya aku mengunjunginya juga ya?"

"Dia baik-baik saja, hanya penuaan dini terjadi pada dirinya. Dokter berkata bahwa dengan keadaannya saat ini, ibu Beth harus banyak beristirahat." Maria memotong roti dosanya dengan tangannya. "Kurasa ibu tak perlu pergi kesana karena ibu juga sudah mulai berumur." Maria khawatir dengan umur ibunya yang sebentar lagi mendekati seratus dua puluh tahun, karena setelah melewati umur itu, penuaan pada sel akan terjadi dengan cepat.

"Ah baiklah, aku akan bersantai saja disini kalau begitu." Ujar ibunya sambil mencelupkan roti dosa yang berisikan kacang-kacangan ke dalam sambalnya. Dia menikmati roti tersebut sambil berkata "Terkadang aku sungguh iri dengan leluhur kita di bumi. Mereka dapat menikmati kehidupan mereka dan memiliki banyak anak-anak, sementara kita disini segera menua setelah anak-anak kita membesar." Nyonya Anjali menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memotong roti tersebut.

"Kurasa kehidupan disini memiliki kelebihannya tersendiri." Maria tersenyum kepada ibunya sambil memasukkan roti terakhir miliknya ke dalam mulut. "Aku sudah selesai ibu, terima kasih atas makanannya yang lezat." Maria duduk dan menunggu ibunya selesai makan.

Nyonya Anjali berdiri dan mendekati Maria "Baiklah anakku, selamat bekerja. Aku juga akan pergi ke rumah keluarga Suzuki sebentar lagi." Ibu Maria sangat sering pergi ke tetangganya yang merupakan orang Jepang. Dia sering bertugas sebagai penjaga anak-anak mereka sementara ayah dan ibu keluarga Suzuki bekerja.

Maria berdiri dari mejanya dan mencium dahi ibunya dan ibu Maria memeluknya sebelum dia pergi. "Ngomong-ngomong Maria, paman dan bibimu akan datang sore ini untuk makan malam bersama. Luangkanlah waktumu nanti, dan jangan lupa untuk menyalami mereka dengan cara tradisional." Ibu Maria mengingatkan Maria bahwa kakak-kakaknya akan datang.

"Baiklah ibu. Aku pergi dulu." Maria melambaikan tangannya kepada ibunya sekali lagi sebelum pergi keluar pintu rumahnya. 'Aku akan belajar lagi cara ber-namaste yang baik.' Terakhir kali keluarga ibunya datang, Maria dianggap tidak sopan karena dia mau memeluk paman dan bibinya. Ibunya memberikan isyarat padanya untuk melakukan Namaste, namun saat itu Maria tidak mengerti isyarat ibunya.

***

Pagi itu, Maria bertemu dengan Sean di depan perpustakaan. "Selamat pagi, Sean. Ada apa kau datang ke perpustakaan pagi-pagi?" Pintu perpustakaan kebetulan sudah dibuka oleh teman kerjanya Daniel. Maria kemudian mendorong pintu perpustakaan dan masuk bersama dengan Sean.

"Kebetulan sekali, aku membutuhkan beberapa bahan bacaan. Dan aku berharap untuk berbincang-bincang denganmu perihal surat yang sudah sampai ditanganmu sebulan yang lalu." Sean mengikuti Maria dari belakang.

Maria mempersilakan Sean untuk duduk di tempat menunggu. "Baiklah, aku akan membantu Daniel untuk mempersiapkan data-data perpustakaan kemarin malam dahulu. Tolong tunggulah disini sebentar, oke?" Sean mengangguk pelan sambil menduduki salah satu kursi tunggu.

Maria terlihat sibuk menyalakan komputernya dan berbincang-bincang dengan Daniel. Mereka kemudian mulai melihat ke arah komputernya masing-masing dan sesekali menoleh satu sama lain. Maria kemudian mengambil buku-buku yang baru saja dikembalikan oleh pengunjung yang datang pagi tadi, lalu dia datang mendekati Sean.

"Maafkan aku bila kau menunggu lama. Apakah kau mau menemaniku untuk menyusun buku-buku ini? Kita dapat melakukannya sambil berbincang-bincang." Tawar Maria kepada Sean. "Tentu saja." Ujar Sean kepada Maria.

"Apakah seorang pejuang memiliki banyak waktu luang, seperti dirimu ini?" Tanya Maria kepada Sean ketika mereka berjalan menuju rak-rak yang penuh dengan buku-buku. Sean tertawa "Sejujurnya, tidak. Aku sengaja menggunakan cutiku untuk menemuimu. Derrik mengatakan padaku bahwa ada baiknya bila kau ikut ke misi ekspedisi yang akan dilakukan oleh Nona Adel yang akan dilaksanakan tiga bulan mendatang."

Maria menatap Sean 'Ah, mungkin karena itulah aku mendapatkan surat undangan sebagai pejuang.' Maria kembali berjalan dan bertanya kembali pada Sean. "Mengenai surat undangan sebagai seorang pejuang…." Sebelum Maria menyelesaikan kalimatnya, Maria menutup mulutnya karena Sean terlihat berbinar-binar.

"Aku sangat berharap kau akan menerimanya, Maria." Sean terlihat bersemangat ketika Maria menyentuh topik tersebut. "Kami membutuhkan para pejuang baru, dan menurutku kau memiliki potensi untuk itu."

"Apakah aku harus menjadi seorang pejuang untuk mengikuti misi ekspedisi itu?" Tanya Maria sambil menghentikan langkahnya. "Ataukah aku dapat mengikutinya sebagai warga sipil?"

Sean menaruh tangannya di dagu "Sebenarnya kau dapat mengikutinya sebagai warga sipil, tetapi alangkah baiknya apabila kau berlatih dulu untuk menjadi pejuang. Dengan demikian, kau akan diberikan otoritas untuk menggunakan baju tempur dan senjata." Sean kembali melanjutkan kalimatnya "Kau tahu, menurutku dengan kemampuanmu kau dapat melindungi orang-orang yang ada dalam ekspedisi apabila kau memilih untuk menjadi pejuang. Dengan alasan itu pulalah, aku datang kesini untuk membujukmu. Hahaha…" Sean tertawa kecil sambil kembali berjalan bersama Maria.

"Melindungi orang lain… Itukah alasanmu menjadi seorang pejuang?" Maria bertanya pada Sean dengan tatapan penuh dengan pertanyaan. Sean hanya membalas tatapan itu dengan senyum.

Untuk beberapa saat, Sean terdiam dan hanya mengikuti Maria menyusun buku-buku. Beberapa waktu kemudian, Sean mulai bercerita "Sebenarnya ibuku dulu adalah seorang pejuang." Maria yang semula menyusun buku-buku ke dalam raknya kemudian menoleh dan mulai menyimak cerita Sean.

"Dia adalah seorang pejuang wanita yang cukup tangguh dalam bertarung. Suatu hari, kelompok manusia klon yang semula tidak pernah membuat masalah dengan keturunan manusia pertama, tiba-tiba datang menyerang ke area perburuan. Mereka ingin mengklaim koloni enam belas sebagai tempat tinggal mereka yang sah, setelah hampir seratus tahun."

"Dalam pertempuran yang terjadi itu, ibuku terluka cukup parah di tengah hutan perburuan. Dia terhempas cukup jauh dari wilayah pertempuran dan tidak sadarkan diri untuk beberapa waktu. Di tempat itulah dia bertemu dengan ayahku."

Tatapan Maria berubah menjadi sebuah tatapan tidak percaya. 'Apabila ibu Sean bertemu ayahnya ditempat yang tidak berpenghuni, maka tentu ayahnya bukan orang dari koloni enam belas.' Tatapan Maria dikonfirmasi oleh Sean dengan anggukannya.

"Ayahku adalah seorang manusia burung yang memilih untuk tinggal dan merawat ibuku. Mereka tinggal bersama untuk beberapa waktu sampai sebuah kejadian yang tidak pernah disangka kemudian menimpa ayahku, sehingga ibuku terpaksa kembali sendiri ke koloni enam belas sendirian setelah semua lukanya benar-benar sembuh."

Maria mendengarkan cerita Sean sambil setengah tidak percaya. 'Sebuah cerita yang romantis, namun berakhir dengan tragis seperti sebuah pendahuluan disebuah novel.' Pikir Maria sambil terus mendengarkan cerita Sean tanpa berkomentar.

"Ketika ibuku kembali ke koloni, mesin di pusat medis menyatakan bahwa ibuku sudah hamil selama beberapa bulan. Anak itu adalah aku. Namun demikian, aku tidak memiliki karakteristik manusia burung terkecuali kekuatan dan kecepatanku yang menyamai mereka. Dan dengan melahirkanku, ibuku mengalami penuaan jauh daripada wanita lain di koloni ini. Dia meninggal ketika usiaku tiga puluh enam tahun. Sejak saat itulah, aku masuk ke asrama pejuang."

"Apakah kau menjadi pejuang karena kau merasa tidak memiliki pilihan lain?" Maria bertanya padanya sambil menunjukkan tempat duduk Sean untuk melihat bahan-bahan.

Sean menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Sebetulnya pada awalnya aku memang berpikir bahwa aku tidak memiliki pilihan. Namun pada akhirnya aku merasa aku dibesarkan oleh saudara-saudaraku para pejuang, sehingga kali ini akulah yang akan menjadi pelindung bagi mereka." Sean terdiam sebentar sambil terkekeh "Terdengar sangat sok ya? Tetapi begitulah perasaanku."

Sean memegang tangan Maria untuk sesaat. "Jadi dengan ceritaku, apakah kau akan memutuskan untuk menjadi seorang pejuang?" Tanya Sean penuh harap.

Maria tersenyum, "Akan kupertimbangkan tentunya. Nampaknya aku akan kembali bekerja dahulu, terima kasih telah menceritakan ceritamu Sean." Maria tahu bahwa menceritakan asal muasalnya yang tidak lazim dan berakhir dengan ia tidak memiliki ayah dan ibu di masa remajanya tentunya sangat berat untuknya.

"Ah, baiklah. Selamat bekerja, Maria" Ujar Sean sambil melepaskan tangannya. Maria membungkuk dan memberinya salam seperti yang dia lakukan kepada semua pengunjung. "Selamat menikmati waktumu di perpustakaan." Keduanya saling melemparkan senyum sebelum Maria pergi dari tempat tersebut.