" Kadang kita terlalu sibuk memikirkan kesulitan-kesulitan sehingga kita tidak punya waktu untuk mensyukuri rahmat Tuhan" – Jendral Soedirman.
Amelia membaca buku demi buku sambil duduk di pojok perpustakaan. Seorang perempuan yang sama-sama menggunakan baju seragam KOWAD menghampirinya. "Kau rajin sekali Amel. Berapa kali setiap minggu kau mendatangi tempat ini?" Tanyanya kepada Amelia.
"Setiap ada waktu. Buatku ini adalah salah satu bentuk dari Hardiness yang telah diajarkan, karena disini aku bisa memperluas pengetahuanku sambil mengendurkan stress. Bagaimana menurutmu, Siti? Apakah kau suka berada disini? Aku juga sering bertemu denganmu disini." Ujar Amelia sambil tertawa kecil.
"Ah, ya. Tak kusangka ternyata kau perhatian juga ya." Siti ikut tertawa kecil dan meletakkan buku-buku yang dibawanya di samping tempat duduk Amelia. "Memang sih, daripada kita melamun hal yang tidak jelas." Siti kemudian membuka bukunya dan mulai membaca di samping Amelia.
***
Maria membuka matanya dan mengedip beberapa kali. Cahaya matahari menyinari dari celah-celah akar pohon tempat mereka beristirahat. 'Mimpi yang menyenangkan.' Maria mengangkat tangannya sambil mendongakkan kepalanya. Ia memperhatikan langit biru yang terbentang jauh di langit. 'Apakah Amelia sudah meninggal di dunia itu? Ataukah aku dapat kembali menjadi Amel?'
Sean menggerakkan kepalanya di pangkuan Maria dan seketika Maria menepis pikirannya itu. Maria menepuk-nepuk pipi Sean "Hei, kau tidak apa-apa?" Ujarnya sambil sedikit cemas. Pada saat itu, mata Sean terbuka dan pupilnya terfokus kepada Maria. Sean berusaha bangun dari pangkuan Maria "Uh… Yah… Kurasa aku baik-baik saja."
"Syukurlah." Maria mengubah posisi duduknya dan melihat ke arah buah besar yang dia petik kemarin malam. Buah itu sudah berubah warna dari kuning menjadi kemerahan. "Mau makan pagi bersamaku?" Maria menunjuk ke arah buah tersebut.
"Tentu saja" Sahut Sean sambil sedikit tersenyum. "Kemarikan pisaumu, biar aku yang memotong buah itu." Sean mengulurkan tangannya kepada Maria.
"Biar aku saja. Aku tidak tega membiarkan seorang yang sakit bekerja keras." Canda Maria sambil menggelengkan kepalanya. Sean tertawa melihat kelakuannya. Maria berdiri dan mengeluarkan pisaunya dan mulai memotong-motong buah tersebut. Setelah itu, Maria melemparkan potongan buah tersebut kepada Sean. "Ayo kita makan." Kata Maria sambil tersenyum.
***
Setelah makan pagi bersama dengan Sean, Maria teringat akan ikan-ikan yang berada di mata air di utara pohon besar yang mereka tinggali. "Aku akan menangkap ikan untuk makanan kita hari ini. Ada sumber mata air di atas sana." Maria menunjuk ke arah utara. "Kurasa kau harus tetap beristirahat disini Tuan Smith."
Sean segera memegang tangan Maria ketika dia mendengar Maria memanggilnya Tuan Smith, "Kau dapat memanggilku dengan namaku. Dan uh… Maaf bila ini terlambat, siapakah namamu?" Ujarnya sambil sedikit malu-malu.
Maria tersenyum kepadanya sambil menjawab dengan singkat, "Maria Anjali. Senang berkenalan denganmu Sean." Kegembiraan terlihat dari raut wajah Sean yang tidak dapat menyembunyikan senyumnya dari Maria. "Senang berkenalan denganmu Maria."
"Ngomong-ngomong… Aku akan pergi sekarang." Maria menunjuk ke tangan Sean yang masih memegang tangan kirinya. "Ah, iya. Maafkan aku." Sean melepaskan genggamannya "Aku akan menunggumu disini."
Maria mengangguk dan keluar dari akar pepohonan itu sambil membawa sebuah bungkusan daun yang berisikan sisa buah yang mereka makan kemarin. Maria menguburnya di depan area pohon besar itu dan berlari menuju mata air.
Air yang ada pada mata air tersebut sangat jernih, namun karena ukurannya yang sebesar danau, Maria terpaksa mengambil jalan memutar menuju arah sungai. Setelah tiba di sisi sungai yang arusnya tidak terlalu deras, ia mengeluarkan mata tombak milik manusia burung dan mencari sebatang kayu kokoh yang dapat menjadi pegangan baru untuk mata tombak tersebut.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Maria akhirnya dapat membuat sebuah tombak baru yang tidak terlalu panjang. 'Cukup untuk menombak ikan yang berada di sungai ini.' Maria memperhatikan tombak barunya sambil melubangi kayu di ujung tombak itu dengan damaskus yang dia miliki. Setelah itu, Maria mencari sulur-sulur hijau dari tanaman rambat di sekitarnya.
Setelah memilin sulur-sulur hijau ramping yang cukup kokoh, Maria mengaitkan sulur-sulur tersebut ke dalam lubang pada tombaknya dan mengikatkannya sampai dia yakin sulur itu tidak akan terlepas dari tombak barunya itu. Maria kemudian berdiri dan mulai mencari ikan-ikan yang tidak terlalu besar untuk ditombak. 'Dua ekor ikan yang besarnya sepanjang lenganku akan cukup untuk makanan hari ini.' Pikirnya sambil bersiap untuk menombak ikan-ikan yang berenang di sungai itu.
Maria bersiap melemparkan tombaknya setelah sasarannya dikunci. Dalam waktu kurang dari sedetik, seekor ikan yang besarnya sepanjang lengan bergerak menggeliat ketika ia mencoba melepaskan diri dari tombak yang menancap pada samping tubuhnya. Maria segera menarik sulur yang telah dia ikatkan pada tangannya. Ikan besar tersebut pun terpelanting ke udara karena tarikan sulur yang terikat tombak tersebut.
Seperti halnya buah-buahan, Maria memanfaatkan dedaunan dan sulur di sekitarnya untuk menggendong ikan tersebut di punggungnya. Setelah dia berhasil menggendong dua ekor ikan yang dia inginkan, Maria kembali ke tempat Sean sambil mencari beberapa dahan kayu kering di daerah sekitarnya.
Sekembalinya ke dekat akar pohon, Maria menaruh ikan-ikan yang dia dapatkan pada sebuah daun besar. Ranting pohon yang berada di sekitarnya berukuran sangat besar sehingga dia hanya mengambil beberapa potongan saja. Sean yang melihat Maria telah kembali dari perburuannya, kemudian berusaha keluar dari celah pohon tersebut.
"Diamlah disitu Sean, jangan banyak bergerak." Maria memotong-motong ranting yang dia dapatkan di sepanjang perjalanannya dengan damaskus miliknya. Setelah itu, Maria memotong satu bagian ranting menjadi bagian-bagian kecil dan mulai menyiapkan landasan untuk membuat api.
Sean yang sedang duduk di sebuah batu kerikil besar di sampingnya kemudian bangkit dan mendekati landasan api tersebut. "Biarkan aku yang menyalakan apinya." Dia duduk kembali di samping Maria sambil mengulurkan tangannya dan meminta ranting-ranting kecil itu dari tangan Maria.
"Baiklah, ini mata tombak dari manusia burung itu. Kau dapat memanfaatkannya." Ujar Maria sambil mengoper kayu dan mata tombak tersebut kepadanya. "Baiklah, terima kasih." Sahut Sean sambil segera menggunakan peralatan yang ada untuk menyalakan api sementara Maria meruncingkan beberapa bagian dari ranting raksasa yang telah dia potong-potong.
Setelah Maria merobek perut ikan yang dia dapatkan dan mengeluarkan isi perutnya, Maria menguliti dan memotong-motong dagingnya. Dia membungkus daging-daging tersebut dengan daun-daunan yang cukup tua, lalu menusukkannya pada dahan ranting raksasa yang sudah dia runcingkan tersebut. Sementara itu, Sean telah berhasil menyalakan api untuk mereka berdua. Tak lama kemudian, mereka membakar ikan-ikan tersebut dengan menancapkannya di samping api yang sudah mereka buat.
"Aku tidak percaya aku dapat melakukan ini di luar koloni." Sean memandang ke arah api tersebut sambil tersenyum di sebelah Maria. "Aku sering melihat film dokumenter mengenai orang-orang di bumi yang melakukan perjalanan ke area hutan di sekitar tempat tinggal mereka, namun pada film tersebut semua mahluk di sekitarnya berukuran sangat kecil."
Maria mendengarkan cerita Sean mengenai para pendaki yang membuat sebuah tenda di hutan dan memasak makanan di sisi tenda mereka. 'Bumi… Jadi Maria adalah keturunan dari manusia di bumi, namun orang-orang yang selamat dari bumi nampaknya pindah ke planet lain.' Maria mendapatkan sepotong kecil informasi mengenai kehidupan manusia di dunia baru ini yang mereka kenal dengan planet Kai.
Maria juga baru mengetahui bahwa kota yang dia kenal sebagai kota koloni, ternyata adalah sebuah koloni besar manusia yang selamat sampai ke dunia ini. 'Sekembalinya kami ke koloni, aku akan mencari informasi lebih banyak mengenai dunia ini dan bagaimana caranya aku bisa terlempar sampai kesini. Perpustakaan tentunya dapat menjadi permulaan untuk semua itu.'
Maria melahap daging-daging ikan yang telah mereka masak bersama, sambil mendengarkan cerita Sean mengenai dunia mereka yang sangat luas, cara hidup manusia di planet itu, ukuran manusia yang hanya seukuran tikus apabila mereka dibandingkan dengan ukuran manusia yang hidup di bumi, sampai dengan kehidupan Sean sebagai Pejuang.
Sean senang melihat Maria tertarik akan semua ceritanya. Mereka bercakap-cakap pada sore itu sambil menikmati hari yang semakin senja.
"Kau tahu? Menurutku kau sangat luar biasa." Sean melirik Maria dari samping. "Bagi seorang pustakawati untuk menembak dua orang manusia burung dengan busur silang… Bahkan seorang pemburu veteran pun belum tentu dapat melakukannya." Ujarnya sambil mengangkat lututnya dan merangkulkan kedua tangannya di lutut tersebut. "Sejujurnya, aku tak habis pikir bagaimana caranya kau dapat melakukan hal itu."
"Apakah kau percaya kalau ini bukan pertama kalinya bagiku?" Maria tersenyum seraya memandang Sean dengan pandangan lurus.
Sean terdiam untuk beberapa saat "Rasanya memang sulit mempercayai seseorang yang baru pertama kali dalam berburu dapat melakukan itu, tapi aku tidak tahu dimana kau bisa berlatih untuk itu." Dia berpikir untuk beberapa saat, lalu menggelengkan kepalanya "Aku percaya padamu, tapi pikiranku tidak dapat mengetahui dimana kau bisa menembak sejitu itu."
Maria tertawa kecil "Ra-ha-si-a!" Sean yang mendengar jawaban dari Maria hanya dapat membalas perkataan Maria dengan menonjoknya pelan sambil tersenyum. "Aku akan mengetahuinya cepat atau lambat." Ujarnya dengan raut wajah pura-pura kesal.
Mereka menikmati hari itu dengan bersantai, karena mereka tahu bahwa kaki Sean tidak dapat menempuh perjalanan pulang. Hari itu, Maria berharap bahwa tim penyelamat akan menemukan mereka besok.