BAB 27
Huahin, Thailand.
Setelah 2 tahun kejadian di Italia berlalu, ada beberapa fase kehidupan yang Apo pahami.
Dulu, ketika Apo masihlah seorang bocah. Bisa mengeja dan mencoret gambar di dinding pun sudah disebut jenius.
Lalu saat mendapatkan piagam di junior high school, orang-orang menyebutnya brilian.
Naik lagi ke fase perkuliahan. Meski orangtuanya tak pernah begitu, tetapi para tetangga menyebutnya beban keluarga karena biaya semester yang mencekik leher.
Apo bukannya tak bekerja. Dia sempat membuka usaha fast food gabungan dengan rekan seangkatan. Sampai ketika dirinya menjadi dosen. Beberapa kali Apo diberikan tugas overload oleh atasan, meski bukan dia yang mampu melakukannya.
Apo tak pernah menolak tantangan bila itu dia rasa perlu. Bahkan saat ditawari Bible pindah bekerja sebagai karyawan di Milan, dia langsung maju untuk menjalaninya.
Bagi Apo, kebahagiaan itu yang terpenting. Tak peduli bagaimana alur naik turun kehidupan, Apo mengejar kelegaan hati daripada apa pun. Karena itulah saat Namtan, sang sepupu menyambutnya di Huahin, Apo pun memulai hidup yang baru.
"Jadi, aku harus buka kafe saja?" tanya Apo dengan cengiran.
"Iya!" Namtan meremas kedua tangannya penuh semangat. "Tidak apa-apa, Apo. Aku sudah membuktikan usaha ini bisa menghasilkan omzet lebih besar daripada pekerjaan dosen atau karyawan sibuk di luar sana. Nanti pasti kuajari bagaimana alur-alurnya."
Sang kakak sepupu merupakan kerabat paling tulus yang pernah Apo kenal. Dia mau mengerti saat Apo bilang tidak menghubunginya sama sekali setelah kematian Bible. Dan saat karir Apo dimulai kembali dari titik nol, Namtan mendampingi hingga empat cabang bisa dia buka di empat kota yang berbeda pula.
"Kita sukses besar, Apo!"
"Terima kasih ...."
TING!
Namtan dan Apo pun merayakannya dengan makan-makan sederhana di suatu malam. Mereka menggelar tikar di atap base rahasia milik Apo, memandangi bintang-bintang, menikmati hangatnya api unggun, dan memanggang wagyu beef yang melegenda.
"Setelah ini apa rencanamu?" tanya Namtan tiba-tiba. Dia memotret pemandangan gedung-gedung dan bangunan atap rendah di bawah beberapa kali. "Apa sungguh takkan menikah selamanya?"
"Aku tidak pernah bilang begitu, Phi," kata Apo. Dia menikmati setiap gigitan beef pada garpunya dengan khidmad. "Hanya saja, begini pun sudah damai sekali. Aku senang menjalani keseharian dengan para karyawan di kafe. Jalan-jalan pada hari libur. Mengunjungi ayah dan ibu sesekali. Well, aku lebih seperti pengangguran daripada boss, memang. Apa menurutmu itu yang menyedihkan? Ha ha."
"LOL ... aku pun tak pernah bilang begitu," kata Namtan dengan meninju bahunya.
"Ya, kan Phi sudah punya suami dan anak. So, jadi boss tetap tidak bisa santai setiap hari," kata Apo. "Oh, iya. Apa kabar mereka?"
"Semuanya baik. Chen selalu menyempatkan waktu mengantar sekolah puteri kita sebelum ke kantor," kata Namtan. "Kami juga berencana punya anak kedua. Bagaimana menurutmu?"
"Wah ...." Mata Apo berbinar takjub. "Well, itu bagus. Phi harus siap lebih sibuk kalau begitu."
"Benar." Namtan melirik ponsel Apo tanpa sengaja. "Hei, lihat. Sepertinya ada yang menelmenurutm
Apo hanya menoleh sekilas. "Ah? Iya. Biarkan. Biar kutelpon balik nanti saja," katanya. "Aku mau ambil botol saus lagi. Yang ini hampir habis, Phi."
"Baiklah."
Begitu Apo masuk, Namtan bersumpah dia dia tidak ingin melanggar privasi orang lain. Hanya saja, saat akan mengambil botol cola yang baru di sebelah ponsel sang sepupu, tiga panggilan tak terjawab dari nama pria yang berbeda menghiasi notifikasi di layar.
"Wah ... kupikir dia benar-benar sudah menyerah cari kekasih," batin Namtan. Dia pun buru-buru kembali duduk di tikar sebelum Apo datang. "Tiga langsung, lho. Tapi bagus sih. Dia pasti sedang memilah salah satu dari mereka. Aku jadi tak perlu khawatir lagi."
"Phi ...."
"Iya?"
Apo mengulurkan sebuah paper bag, alih-alih mengambil saus yang dia bilang. "Ini. Aku punya hadiah untuk Mai. Katakan selamat dari paman atas masuk sekolah hari pertama."
"Ha ha. Terima kasih," kata Namtan. Dia mengintip sekilas sepasang sepatu mahal di dalam, yang dirinya sendiri masih berpikir untuk membelikannya. "Dia pasti suka hadiahnya."
"Sama-sama."
Pukul sembilan malam, Namtan sudah dijemput Chen pulang. Apo pun melambaikan tangan kepada mereka, lalu menutup semua pintu base-nya dengan kunci gembok.
Mobil audi hitamnya mengeluarkan bunyi alarm saat kontaknya ditekan. Namun, sebelum masuk ke dalam, seorang pria keluar dari mobil yang terparkir di halaman toko sebelah.
"Apo."
"Eh? Mario?" Apo pun meremas ponselnya yang ada di saku long coat. "Sejak kapan kau di sini?"
"Sejak tadi menelponmu dan tidak dijawab?" kata Mario. Pria itu menggosok kedua telapak tangannya sebelum mendekat dengan sebuah buket bunga mawar. "Aku tahu kau pasti takkan mengabaikan kalau tidak ada acara penting. Ternyata benar. Itu tadi kakak sepupu yang pernah kau ceritakan, ya?"
Apo pun menerima buket itu. "Iya. Dia Phi Namtan," katanya. "Ngomong-ngomong, terima kasih. Tapi bunga di rumahku jadi makin banyak kalau kau terus begini."
Mario tersenyum lebar. "Baguslah. bekas-ku jadi banyak di tempatmu," katanya sembari mendekat. Dia lalu berbisik di telinga kanan Apo. "Kuanggap kesempatan mendapatkanmu makin terbuka lebar nantinya."
Apo pun meletakkan buket itu di jok sebelah kemudi. "Sudah kubilang bukan begitu," katanya. "Aku belum bilang iya, kan?"
"Begitu juga kepada Jeff , atau Han Zhuoyao," kata Mario senang. "Mereka harus kukalahkan sampai akhir kalau mau dirimu. Benar?"
Apo pun menghela napas panjang. Dia tidak tahan melihat syal acak-acakan pria itu, lalu membenahkannya. "Aku sudah bilang takkan menerima satu pun dari kalian. Aku belum ingin menikah. Aku senang dengan kehidupanku yang sekarang," katanya berbohong. Lalu menepuk-nepuk dada itu sebelum mundur. "Jadi, menyerahlah, Mario. Buat aku mudah menjalani hidup yang keras ini."
Mario malah tertawa gemas. "Kau terlalu indah untuk dilewatkan, Apo," katanya tanpa malu sedikit pun. "Sulit sekali mencari bottom keren tapi manis sepertimu di usia ini. Kebanyakan gay muda malah membuatku kerepotan mengurus mereka."
Apo mendengus tersenyum. "Aku suka kejujuranmu, tapi maaf. Aku terlalu lelah menghadapi mereka berdua kalau salah satu ada yang kuperhatikan lebih."
"Ck ck ... alasan seperti apa itu."
Apo sempat berpaling, tetapi dia tidak bisa menghindari kecupan tiba-tiba Mario di bibirnya. "Kita di tepi jalan. Tolonglah ...." bisiknya refleks.
"Jadi, tak apa kalau di tempat yang privat?"
Pelipis Apo berkedut pelan. "Hei, Jangan. Aku mau istirahat awal malam ini," katanya.
Mario pun menguleni dua pipi Apo sebelum melepaskan. "Baik, baik. Selamat malam, Cattawin," katanya. "Tidur yang nyenyak dan bangun pagi. Akhir pekan mau nonton bersamaku di bioskop kan?"
Apo menatap Mario dengan perasaan berat. Sejujurnya pria itu sangat sesuai dengan kriteria pasangannya, yang tampan, matang, dan begitu perhatian ... tapi, hm ...
"Aku belum memutuskan."
"Kalau begitu kuhubungi lagi kau nanti."
"Hm."
"Dah ..."
"Dah."
Apo melambaikan tangan kepada mobil Mario sebelum meninggalkannya di sana. Dia memijit kening, lalu baru pulang dengan perasaan lega.
"Mario benar-benar sangat gigih," batin Apo sembari meletakkan isi buket itu ke dalam vas barunya. Bukannya mau memberi harapan, tetapi Mario pernah demam parah seminggu setelah melihat buket-buket bunganya dibuang di tempat sampah.
Pria itu tidak merengek padanya, tetapi memendam sakit hati hingga pikiran dan hatinya terkuras. Sedalam apa cinta yang dia miliki untuk Apo? Apo tak mau melihat terlalu jauh daripada makin kesulitan. Karena itulah, Apo jadi kurang tega menolak pemberiannya sekarang.
CTEK!
"Astaga ... apa yang terjadi dengan rumahku?"
Kedua mata Apo nyaris keluar setelah lampu ruang tengah dia nyalakan. Pemberian Mario Maurer jelas bukan apa-apa dibandingkan dengan berbagai benda mewah yang disebarkan pada tiap sudut tempat. Satu kotak jam tangan. Paper bag berbagai ukuran yang isinya jelas baju-baju fashion, box-box kardus yang memuat sepatu pria berkilau, dan bahkan mesin minuman otomatis yang minggu lalu Apo bercanda mengatakannya!
Semua itu nyata, dan ada memo yang tergeletak di atas present box bertulisan Dior dan Louis Vuitton.
Apo, selamat atas kehidupanmu selama 29 tahun 6 bulan dan 1 hari. Terima kasih sudah bertahan dan bernafas sampai sekarang. Pakai semua hadiahku untuk triwulan ini. Good luck untuk kerjaanmu hingga bulan depan.
[Han Zhuoyao]
Oh, shit.
Membuat seorang konglomerat tertarik padamu, memang menakutkan.
Bersambung ....