Chereads / DEVIL BRIDE [MILEAPO FANFICTION] / Chapter 32 - BAB 32: HADIAH TERBAIK [Tamat]

Chapter 32 - BAB 32: HADIAH TERBAIK [Tamat]

BAB 32 [TAMAT]

BEGITU Apo dilepaskan, Mile malah bicara dengan suara khas Mario.

"Apo, kenapa kau mengabaikan aku?"

"...."

"Apa kau memiliki kekasih lain, Phi?"

Kali ini, intonasi kalimatnya sangat mirip dengan Jeff.

"...."

"Bagaimana jika menikah denganku saja? Aku tak suka dikalahkan mereka."

BRUGH!

Apo nyaris merosot lemas, tetapi lengannya ditahan hingga bersandar lingung di punggung sofa tersebut. "Aku ... maaf. Aku sekarang bingung sekali."

Mile tertawa getir. "Ha ha. Tak masalah, katanya. "Aku hanya tak menyangka hal sekonyol ponsel malah mengungkapkan segalanya."

Apo pun mengeratkan bathrobe tanpa sadar. Dia tak sanggup memproses karena situasi itu terlalu cepat. Lalu menatap kaki-kakinya sendiri karena tidak tahu cara membalas Mile. Baginya, perpisahan mereka cukup lama sejak hari itu. Tapi, ahh ... seks tadi siang artinya bukan bersama Han Zhuoyao? Tapi Mile?

Apo bahkan tidak yakin Han Zhuoyao asli masih eksis di dunia ini.

"Aku masih berbohong padamu hingga sekarang, jadi maaf," kata Mile dengan suara rendahnya. "Tapi, melepasmu begitu saja tanpa pengawasan? Aku sungguh sulit menerimanya, Apo. Jadi, aku mengikutimu ke Thailand sejak hari itu."

"A-Aku, ugh ... Aku tidak tahu harus berkata apa."

"Tapi kondisimu sekarang begitu baik." Seperti tengah mengemong adik, Mile mengacak-acak surai Apo dengan senyuman kecil. "Jadi, baguslah. Aku sepertinya tak perlu khawatir lagi. Toh kau sudah tahu soal kami bertiga. Maka untuk selanjutnya, aku benar-benar takkan mengganggumu lagi."

Kali ini kita mengakhirnya dengan cara yang benar, Apo.

Apo seolah bisa mendengar kalimat itu dari Mile meski si empunya permisi untuk berjalan menjauh. Iblis itu mengambil ponsel yang terus berdering, lalu bicara dengan Jeje seolah tanpa beban apa pun.

"Iya, Phi Jeje? Aku sedang berada di New York."

Percayalah, tadi siang Apo yakin membekasi punggung Han Zhuoyao dengan cakaran yang panjang. Namun, meski Mile tak memilikinya, sang suami benar-benar ketiga pria yang menjaganya selama ini.

Sosok yang tak lelah memberikan buket bunga. Sosok yang gemar memanjakan dengan tumpukan barang berkelas. Juga si kekanakan yang berani teriak larut malam karena ingin menikahinya.

Mile sanggup menjadi apa pun untuknya selama ini. Tapi, iblis itu tak pernah mendapatkan satu pun balasan setimpal.

"Aku berubah, tapi dia bersedia mengulangi kesalahan sama untukku," batin Apo sembari meremas dadanya sendiri. "Kalau pun aku menemukan pria lain nanti, apa ada yang lebih baik darinya?"

"Mile," panggil Apo. Dia menggamit tangan kiri sang suami hingga fokusnya terdistraksi. "Aku ingin bicara sebentar."

"Apa."

Apo melirik layar ponsel Mile sekilas. Di sana, sambungan Jeje masih aktif dan sedang bicara sendiri. "Tapi selesaikan dulu obrolanmu. Tidak apa. Aku akan menunggu."

Setelah itu, Apo melipir duduk di sebuah sofa minimalis. Dia sempat menggeliat tidak nyaman beberapa kali. Bagaimana pun, tubuhnya masih lengket setelah persetubuhan. Keringat yang membias di kulit, bekas gigitan di sana-sini, dan bagian bawahnya masih teramat basah. Inginnya Apo mandi cepat dan baru bicara. Namun, situasi saat ini sangat tidak mengenakkan. Mile mungkin akan tersinggung jika dirinya bersikap abai seperti biasa.

"Apa Mile masih lama?" batin Apo.

"Apo."

Tepat saat Apo melirik, Mile mengakhiri telepon dan mendekat ke sana.

"Mile."

"Kau ingin mengatakan sesuatu?"

Seperti tengah menghadapi rekan lama, Mile duduk di sofa yang bersebrangan dan memandangnya sambil menuang wine merah.

"Iya."

"Soal apa."

"Terima kasih untuk segalanya."

Pura-pura tidak dengar, Mile justru mengajukan pertanyaan. "Apa syok-mu sudah mereda? Jika iya, baguslah. Berarti Phi Jeje memang tidak berbohong soal kondisimu."

"Bukankah dulu kau yang mengingatkan Phi Jeje tipe yang takkan pernah berbohong?" batin Apo. "Lalu kenapa sekarang kau sendiri meragukannya?"

"Iya, aku baik," kata Apo. "Lalu bagaimana denganmu, Mile? Ada yang ingin kau katakan padaku?"

"Tidak ada."

"Apa aku orang asing setelah kau menjadi diri sendiri?" tanya Apo. "Maksudku, beberapa saat lalu kau ingin aku jadi kekasihmu."

Tanpa sadar, Apo meremas bathrobe-nya sendiri. Dia tahu Mile tak pernah ditembus oleh kata-kata biasa. Iblis itu sepertinya sudah menyerah dengan kata "memiliki" dirinya sejak ditinggalkan pergi.

Ego Mile hilang sempurna, dan kedua mata itu cukup puas hanya dengan memandang Apo.

"Daripada itu, kau benar-benar suka Han Zhuoyao?" tanya Mile lagi. "Bagaimana pun, aku menghilangkan kekasihmu. Kalau iya, aku bisa mengembalikannya. Atau kau ingin cari yang lain saja. Tak masalah. Selama kau tidak menikah dengannya, kontrak kita takkan menyusahkanmu."

Ini persis seperti dua tahun lalu. Saat perwujudan sosok Bible dipaksa Apo hadir ke dunia, lalu kembali lenyap begitu mudahnya. Apo rasa, dia kini kebal dengan perasaan kehilangan yang serupa.

Namun, memang tidak bisa dipungkiri. Apo muak mengulangi sejarah yang sama. Bukankah itu hanya menyakiti Mile terus-menerus?

Sang suami iblis tak pernah keberatan jadi bayangan hidupnya. Tapi sekarang pengorbanannya justru jadi sangat menjengkelkan.

Bagaimana bisa aku tidak melihat ketulusannya selama ini?

"Benar. Aku sangat suka Han Zhuoyao," kata Apo tidak tahan lagi. Dia ingin marah, tetapi justru senyum untuk sosok-yang menurutnya-keras kepala tersebut. "Dia berbeda dari Mario, apalagi Jeff yang kekanakan. Tapi, aku tidak mau bodoh dalam mencintai seperti dulu, Mile. Karena siapa pun dia, pria itu sebenarnya sudah tidak ada."

Mile justru membalasnya ringan. "Baguslah. Aku senang situasinya jadi sangat mudah." Dia mematikan ponsel lain yang kini bergetar di sisi tubuh. "Takkan kumunculkan lagi Mario, Zhuoyao, atau Jeff setelah ini. Aku tinggal membuang nomor-nomor mereka besok."

"Baguslah, katamu?" gumam Apo dengan suara berat yang ditahan sebaik mungkin. "Apa mempermainkanku memang semenyenangkan itu?"

"Apa?"

Emosi Apo tetap kentara. Wajahnya merah. Hidungnya merah, dan kata-katanya berubah parau. "Bagimu, ini mungkin semacam game atau misi yang telah berakhir baik. Tapi bagaimana dengan aku? Kau akan pergi begitu saja? Mana tanggung jawabmu melakukan ini semua?"

Mile kini terdiam.

"Aku tidak butuh cincin lain, Mile." Dengan panas yang terus membumbung di sanubarinya, Apo melepas kalung dan meletakkannya di atas meja. "Kau juga tak perlu mengukur jariku untuk desain-desain baru. Karena semuanya tak memiliki arti untukku."

"Sebenarnya apa yang kau inginkan?" tanya iblis itu.

Apo pun menjawab tegas kali ini. "Kau."

"Apa?"

"Kau boleh memakai wajah-wajah mereka," kata Apo. Dia beranjak dengan tatapan nyalang, lalu menjambak kerah Mile kesal. "Tapi, ingat. Aku tidak tolol untuk mengartikan semua omonganmu selama ini."

"...."

SSSSAAKKKHHH!!

Jambakan Apo semakin kasar. "Dalam tubuh Mario, kau sangat ingin bermanja padaku," katanya. "Lalu sebagai Han Zhuo, kau tak sabaran mengejarku. Dan terakhir, dengan menjadi Jeff, kau haus perhatianku. Mengakulah, Mile. Atau aku akan memakimu sebagai iblis termunafik di dunia."

Hebatnya, baru sedetik air mata Apo turun, Mile sudah mengusapnya dengan ujung jemari. Apo bisa berkaca pada dua bola mata itu dengan jelas. Keluhan, harapan, bahkan rahasianya yang paling dalam. Mile pasti sudah melihatnya kali ini.

"Aku tidak ingin membebanimu."

Mendengarnya, Apo langsung merasa jadi orang paling jahat di dunia saat ini. "Bodoh ...." bisiknya. Lalu merosot berlutut begitu saja. "Aku benci kau, Mile. Aku sangat-sangat marah padamu. Dasar tolol. Brengsek. Keterlaluan—ya Tuhan ...."

Mile hanya diam mendengarkan. "...."

"Bukankah kau tahu kondisiku sudah baik? Kenapa tidak datang sendiri dan menjemputku? Kenapa malah menggunakan wajah mereka? Apa kau takut padaku? Jeje Phi saja bilang kau memaafkan, meski aku pernah tidur dengan Max. Tapi malah aku yang harus meneriakimu? Aku benar-benar tidak mengerti."

Tidak tahan lagi, Mile pun meletakkan gelasnya dan menangkup kedua bahu Apo. "Kau ...." desisnya. "Kau bukannya tidak ingin bersamaku selamanya?"

Seketika darah Apo mendidih.

"SIAPA BILANG?!"

PLARRRRRRRRRR!!!

Percayalah, Mile tak pernah digampar seperti itu dalam beratus-ratus tahun kehidupannya selama ini.

"Seingatku, kita harus saling menyembuhkan diri." Meski mata melayangkan deathglare mengerikan, suara Apo justru bergoyang, nyaris persis seperti dulu saat mengatakannya pertama kali. "Memulai segalanya dengan hati benar-benar lega, pikiran waras, dan tidak melukai satu sama lain."

Deja vu menyerang Mile seketika.

"AKU BINGUNG, MILE! MESKI PHI JEJE MEMBERITAHUMU SOAL KONDISIKU, TAPI KAU MALAH TIDAK DATANG-DATANG!" bentak Apo kesal. "Kau pikir ... aku, yang pernah disebut toilet kotor akan percaya diri? Aku benci dan merasa bersalah padamu. Aku benar-benar tidak bisa kalau harus pergi menemuimu—astaga aku tidak sanggup lagi ...."

BRUGH!

"Kemari, Apo," kata Mile sembari menarik lelaki tercintanya itu ke dalam pelukan.

"Aku pikir kau sudah lupa denganku ...." kata Apo. Napasnya begitu panas di bahu sang suami, dan membalas pelukan itu sama eratnya. "Aku terus menunggu dan menunggumu datang. Aku berharap itu dirimu, tapi ... kenapa malah tiga pria pengganggu? Sudah kubilang aku tidak mau. Tapi kau ... mengejar-ngejarku dengan cara itu. Aku benar-benar jadi orang tolol sendirian---hksss."

Mendengar isakan tertahan Apo, Mile pun bergetar pelan. Dia serasa ingin meremukkan diri sendiri, tetapi tidak sanggup memahami. "Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Bukankah kau sudah tahu mereka tetaplah aku?"

"Iya, tapi kan-umn, akan beda soal jika mereka ternyata bukan dirimu."

Karena kau adalah yang pertama untukku. Jadi, maaf jika aku lambat soal seperti ini.

"Itu benar. Sangat benar. Oh, Davikah. Apa Phi mengecewakanmu sekali lagi?" batin Mile. Dia pun mengelus belakang kepala Apo dengan begitu lembut. Seolah takut sosok tercintanya itu hancur lagi dalam genggamannya. "Hanya karena hal bodoh, kita berdua jadi seperti ini. Phi benar-benar minta maaf. Tapi pasti kujaga dia mulai sekarang. Dan kami akan membuat kisah yang lebih bagus dari yang ada dalam buku dongengmu."

"Jadi sebenarnya kau ingin pulang?" tanya Mile memastikan.

"Iya." Apo pun refleks mengangguk cepat.

"Denganku?"

"IYA! TENTU! KAU PIKIR DENGAN SIAPA LAGI?!" bentak Apo sambol tersengal, tapi lalu menghirupi aroma hujan yang dia rindukan dari leher itu. "Aku ingin bersamamu. Aku tidak mau berputar-putar seperti dulu. Aku ingin kembali ke rumah—hhhh ... Mile ... tolong bawa aku pergi."

Mile pun balas menghirupi aroma tubuh Apo tak peduli bagaimana rupa istrinya sedikit pun. "Permintaan akan dikabulkan ..." bisiknya sangat menenangkan.

Apo pun tertawa senang meski air matanya makin membanjiri pipi. "Aku siap kapan pun itu," balasnya, yang langsung dibawa Mile terbang tinggi dari hotel itu.

BRAAAAKHHHHHHHHHHH!!

"HA HA HA HA HA!" Dengan Apo yang menunggangi punggungnya, Mile pun tertawa lepas untuk pertama kali sejak hari pertama mereka bertemu. "OKE! SEKARANG PEGANGAN SEERAT MUNGKIN!!!"

Apo ikutan tertawa di atas sana. "HA HA HA HA HA, SIAP!" Dia seperti bocah yang takjub diajak naik pesawat pertama kali. Sebab setelah mengucek matanya, semua pemandangan di bawah mereka begitu jelas. "MILEEEE! APA KITA AKAN TERBANG CEPAT LAGI SETELAH INI?!" teriaknya karena angin terlalu kencang di atas sana.

"Hm."

"KEMANA?!"

Mile menyeringai dengan wajah naga-nya. "Intinya jangan sampai jatuh saja."

DEG!

"EH? APA?!" Apo refleks mengeratkan pegangannya.

Bukannya menjawab, Mile malah langsung berteriak seolah itu pertama kalinya dia menjelajah bumi. "KITA MULAI SEKARANG! WOHOOOOOO!"

DEG

"WOAAAAAAAAAA!!!" teriak Apo yang tiba-tiba diajak memutari patung Liberty yang kini terlihat sekecil dirinya.

WUSSSSSSSHHHHHH!!

Angin pun menerpa semakin kencang, tetapi Apo menikmati perjalanan gila pagi hari itu. Dia melihat pengunungan, danau, riak air laut dari angkasa, lumba-lumba yang berlompatan di samudera biru, bahkan Mile mengajaknya menceburkan diri ke dalam laut.

BYUUUURRRRRR!!!

"HEI, HEI, HEI, HEI, TUNGGU DULU AKU TAKUT HIU!! MILEEEEEEE!!!

"HA HA HA HA HA!" tawa Mile yang keluar dari air, lalu masuk kembali.

BYUURRRRRRRRRRR!!

"TAK MASALAH! BUKA DULU MATAMU DAN LIHAT!"

"APAAAAA?!"

Setelah membuka mata, Apo ternyata bisa menikmati semua pemandangan di bawah laut dengan leluasa. Dia bahkan bisa bernapas, karena Mile membuat bola tranparan di sekitar mereka berdua.

Sepertinya itu pelindung. Dan Apo samasekali tak tersentuh bahaya hingga dirinya sendiri yang tertarik mengelus beberapa ikan kecil lewat.

"SHIAAAAA!! INI KEREN!! KENAPA TIDAK DARI DULU KAU MENGAJAKKU PERGI?!"

Mile hanya tersenyum senang, dan membiarkan Apo menikmati rekreasi yang dia tunjukkan. "Kita pulang setelah ini ...."

Apo pun ikut tersenyum melihat raut wajah naga di bawahnya. Dia seolah bisa membaca pikiran Mile, lalu bertanya penasaran. "Tapi barang-barang yang tertinggal bagaimana?"

"Hmph, biar bawahanku saja yang mengambilkannya nanti."

Rona pekat kini merambati pipi Apo. Dan itu adalah yang pertama kalinya, padahal biasanya hanya telinga.

"Oke."

Dalam hitungan detik, Mile pun kembali melesat ke langit untuk membawanya semakin jauh.

Tidak ada perjalanan selama 12 jam yang membosankan. Tidak ada jet lag yang mungkin bisa menerjang, atau turbulensi yang berpotensi mengganggu kenyamanannya.

Apo memejamkan mata dengan tanpa kekhawatiran apa pun. Dia memeluk erat leher Mile seolah iblis itu akan menghilang lagi, dan menikmati terjangan angin di sekujur tubuhnya.

"Ah, beginikah rasanya bebas?" pikir Apo. Dia tidak takut samasekali dengan wujud naga Mile yang perkasa, melainkan merasa hebat memilikinya.

Deg ... deg ... deg ... deg ....

Tunggu dulu, Apo tiba-tiba ingat sesuatu. Bukankah hari ini 7 Maret 2005?

Tepat 2 tahun sejak kematian Bible.

Waktu itu, Bible bilang dia ingin merayakan hari kepindahan ke Milan bersama Apo setiap tahun. Bukankah itu berarti Apo sangat mensyukuri momen tersebut? Begitu pun Apo sekarang.

"Bible, Mile merupakan hadiah terbaik yang pernah kau berikan padaku," batin Apo dengan senyum yang merekah. "Karena itu, maaf jika sempat menentangnya. Tapi, aku janji. Mulai sekarang aku akan bahagia seperti yang pernah kau harapakan."

TAMAT