BAB 29
Milan, Italia.
"Kau yakin takkan memberitahunya sampai kapan pun?" tanya Jeje. Di ruang tamu kediaman Mile, iblis itu menatap wajah Jeff yang perlahan memudar.
"Untuk apa?"
"Kau tahu? Apo tidak sepenuhnya lupa padamu," kata Jeje sambil menunjuk lehernya. "Di sini. Cincin darimu masih dipakai setiap waktu."
Mile duduk di sofa seberang dan meminum wine dari meja. "Aku pernah menjadi Bible," katanya. "Padahal, pria itu merupakan sosok yang paling kucemburui hingga sekarang. Jadi, apa susahnya memerankan tiga wajah lainnya? Aku tetap mendapatkan dia, Phi."
"Ah, tapi bukan begitu konsepnya."
"Aku tidak keberatan selama dia baik-baik saja."
"Hm, tetap saja melelahkan." Jeje kembali mengelus bulu-bulu Little Cattawin dan Shigeo yang sama-sama tidur dipangkuannya. Dua makhluk imut itu ditinggalkan Apo, dan kini sering mengadu padanya sebagai tempat bersandar. "Kau harus menjalankan tiga peran yang berbeda. Bertingkah tidak seperti maumu-"
"Mauku dia aman dan bisa tertawa bebas," sela Mile. "Faktanya itu sudah tercapai. Jadi, bisa tidak membahas hal ini?"
"Oke, oke."
Mile meletakkan gelas kosongnya di atas meja. "Aku naik."
"Heee? Serius meninggalkanku di sini sekarang?"
"Aku belum memperbarui bunga altar doa Bible," kata Mile sembari menapaki anak tangga. "Dan tidurkan anak-anakku di kasur mereka sebelum kau pergi."
Jeje pun menghela napas panjang. Dia tidak habis pikir hubungan adiknya tidak mencapai titik temu hingga sekarang. Itu membuatnya makin tak ingin terikat dengan siapa pun. Pacaran dengan Us serta Pong bersamaan tidak masalah selama ini. Jadi, kenapa tidak dilanjutkan saja?
"Aku akan tidurkan kalian dulu," katanya. Lalu mengangkat Little Cattawin serta Shigeo ke gendongannya. "Papa kalian nanti marah kalau sampai kutinggal di sini. Ugh, umn ... anak pintar ... anak pintar. Jangan ada yang bangun sampai kalian ke kamar."
***
Apo, bagaimana? Jangan buat tiketku tersia-siakan.
[Mario]
Apo memandangi foto dua tiket nonton bioskop tersebut. Dia tidak membalas, dan langsung berangkat ke kafe-kafe untuk mengontrol bawahannya. Tiga hari dalam seminggu, kegiatannya memang hanya diisi jalan-jalan di lima kota yang berbeda. Huahin, Bangkok, Phuket, Chiang Mai, dan Pattaya.
Satu kafe pusat, empat cabang.
Apo cukup menikmati perjalanan karena selalu menggunakan kereta express. Dia membaca komik, memotreti pemandangan, dan cukup puas dengan wisata kuliner baru yang ditemukan.
Apo, aku ternyata benar-benar diabaikan.
[Mario]
Chat lain dari pria itu muncul pada sore hari. Apo inginnya membalas, tetapi malas dan memilih kembali menutup mata.
"Aku ingin tidur seharian di akhir pekan," batin Apo. "Atau jogging di taman, lalu berendam air hangat ekstra aromaterapi. Tolong jangan menggangguku, Mario."
Kursi kereta bergoyang beberapa kali. Guncangan pada rel-rel yang tua membuat Apo terbangun, dan mempertimbangkan sopir pribadi untuk perjalanan jauh berikutnya.
"Pulang nanti harus mulai cari satu kandidat yang tepat," batin Apo sembari mengeratkan pelukannya ke tubuh sendiri. "Kalau ada, perempuan. Aku harus memperkecil kemungkinan mereka bertiga cemburu daripada repot lagi."
Apo pun menghirup udara segar setelah tiba di stasiun Pattaya. Dia menggeliat beberapa saat, menguap kecil, lalu mengucek mata agar mampu melihat cahaya senja. Hmm, besok libur. Apo ingin segera pulang dan rebahan di kasur sambil menyetel list musik favoritnya.
"Bagus. Hari ini tak ada masalah." Apo menatap puas catatan keuangan di ponselnya, dan terkikik senang karena ada notifikasi baru yang masuk. "Wah ... penyewa di Milan sudah bayar uang kos-kosannya lagi."
Saldo menumpuk, jarang berkurang, dan Apo mulai berpikir menanam saham pada suatu badan usaha. Sepertinya membeli beberapa aset bagus juga untuk beberapa tahun ke depan-walau dia bingung semuanya digunakan untuk apa.
Secara rumah orantuanya di kampung sudah direnovasi megah, kendaraan mereka sudah diperbarui, dan toko serba ada yang Apo bangun pun terlalu laris. Tak ada yang kekuarangan biaya hidup sekarang. Dan mereka tidak pernah menanyakan kapan dirinya menikah sejak kematian Bible.
Apo paham. Orangtuanya pasti tak ingin trauma sang putera tunggal kembali. Jadi, mereka pun tak mau berharap lebih. Padahal, dulu Apo sempat mengalami fase-fase perang dingin karena mengaku gay pada keduanya.
"Aku jadi ingin mengadopsi anak," gumam Apo saat menunggu taksi di tepi jalan. Dia memang senang menggunakan kereta selama ini, karena malas menyetir sendiri seharian penuh. "Tapi, jika tanpa pasangan, apa tetap boleh dilakukan? Aku jadi penasaran."
"Apa kau sedang mencari tumpangan?" tanya seorang pria yang suaranya familiar. Sangat berat, rendah, dan lebih seksi daripada saat di video call semalam.
"Han ...." desah Apo kurang percaya. "Kau sedang apa di Pattaya? Apa ada kerjaan di sini?"
Han Zhuoyao turun dari mobil Lamborghini Adventador birunya. Pria narsis itu menggunakan suit tanpa dikancing, lalu melepas kacamata hitamnya yang berlebihan. Oh, di juga lebih tampan setelah bercukur. "Aku? Sedang ambil cuti lima hari lebih. Kan ingin jalan-jalan dengan calon pengantinku."
"Apa katamu tadi?"
Han Zhuoyao sudah melumat bibir Apo sebagai sapaan bertemu. Ah, dasar. Bisa menghormati Apo yang berdarah asli Asia? Dia benar-benar tidak tahu malu. "Ayo masuk. Tiket penerbangannya sebentar lagi expired."
Seketika Apo berdebar kencang.
"Hah? Penerbangan apa maksudmu?"
"Kita akan berkeliling New York, Sayang."
Apo terlalu lelah untuk memproses. Langkahnya terseok-seok saat ditarik Han Zhuoyao, dan akhirnya benar-benar ikut ke penerbangan dadakan tersebut. Untung dia membawa paspor dan sebagainya.
Secara, sering mengadakan perjalanan ke kota-kota membuat dompet Apo berisi surat dan kartu-kartu penting lengkap setiap waktu. Dia pun mengintip pemandangan malam lewat jendela pesawat, dan mengerjab takjub dengan lampu-lampu yang menyala di seluruh kota Pattaya.
"Han, kau menculikku semudah itu?"
"Kau kan memang mudah sekali diculik." Bukannya merasa bersalah, Han Zhuoyao justru mendempetnya ke jendela pesawat. Hangat dada pria itu menempeli punggung Apo, dan pelukannya di pinggang begitu erat. "Jangan khawatir. Ini kursi first class. Penumpang kapsul lain takkan tahu apa yang kita lakukan."
"Umn, tapi jangan begini juga."
Dorongan Apo dibalas dengan dempetan yang makin kuat. "Mario dan Jeff juga takkan tahu." Han Zhuoyao mengendikkan bahu. "Itu pun kalau kau menganggap mereka lebih istimewa dariku."
"Kau ini bicara apa-"
"Ssh ... shh ...." Satu telunjuk menempel di bibir Apo. "Aku sudah lelah disaingi oleh mereka selama ini. Jadi, biar kuperjelas saja. Sekarang, aku Han Zhuoyao, secara resmi melamar lelaki termenggemaskan yang pernah kutemui: Apo. Bagaimana?"
Bukannya takjub atau apa, bulu kuduk Apo justru berdiri karena mendadak pramugari datang menginterupsi. Apalagi tepat saat Han Zhuoyao menggodainya. Wanita itu membawakan satu kotak besar cincin pasangan, yang ketika dibuka mengharuskannya memilih sendiri mana yang akan diterima.
"Pilihlah, Sayang. Satu untuk pernikahan kita. Dan yang lain bisa kau simpan di rumah," kata Han Zhuoyao dengan mudahnya.
Jujur, selama ini Apo tidak mau tahu, tetapi sepertinya Han Zhuoyao memang pengusaha atau semacamnya. Jika tidak, mana mungkin dia-
"Kenapa? Kau tidak suka desain-desainnya? Jika iya, katakan saja gambaran yang kau inginkan. Biar bawahanku nanti mencarikannya untukmu."
Apo pun menutup kotak itu, lalu mengembalikannya ke pangkuan Han Zhuoyao. "Tidak, tidak. Simpan saja semua ini. Han, aku sudah bilang takkan menikah dengan siapa pun."
"Benarkah? Sayang sekali kalau begitu."
"Maaf."
"Hm, aku justru kurang percaya." Han Zhuoyao mengembalikan kotak perhiasan warna merah itu kepada si pramugari, dan mengusirnya pergi. "Kau pasti menyembunyikan sesuatu dariku, iya kan? Jujur saja, Apo. Setelah kau menolak lamaranku malam ini, besok kau malah menikahi salah satu dari mereka. Aku benar-benar sedih tahu fakta ini. Oh, astaga."
Han Zhuoyao ini terlalu dramatis, memang. Padahal secara penampilan dia seperti pria Eropa yang arogan. Namun, Apo tahu perasaan Han Zhuoyao tak kalah tulus dari yang lain. "Bukan, bukan. Aku juga sudah mengatakan hal yang sama kepada mereka. Kau tak perlu khawatir aku akan menikahi-"
"Tapi, kenapa?"
"Apa?"
"Itu tidak masuk akal, Apo. Kau bilang tidak memiliki pacar rahasia. Tapi kami bertiga kurang apa memangnya?" desak Han Zhuoyao dengan memijit keningnya. "Kau membuatku bingung sekali."
Tanpa sadar, jemari Apo pun gemetar dalam remasannya sendiri. "Itu karena kalian akan mati setelah menikahiku," batinnya sedih. "Aku tidak mau itu terjadi, Han. Dan aku sudah "bersuami", meski kalian tak pernah mengetahui."
"Apa itu sangat aneh untukmu?" tanya Apo ragu-ragu.
"Bullshit! Of course!" seru Han Zhuoyao agak jengkel. "Kau ini sangat good looking, tinggi, keren, manis, seksi, lajang, sukses, dan kemungkinan erotis di ranjang-"
"Apa katamu?"
"Ehem, pokoknya begitu. Jadi, siapa pun pasti berpikir seperti aku," kata Han Zhuoyao menggebu-gebu. "Kau bahkan mungkin hanya tidak tahu, kalau di luar sana ada lebih banyak orang jatuh cinta selain kami bertiga."
"Itu sangat tidak mungkin."
"Em, em. Justru malah sangat mungkin."
Apo pun membuang muka ke jendela pesawat. "Aku bukannya menolak kalian bertiga."
....
...
Jeda yang sedikit mencekam.
"Ho, lalu?"
Han Zhuoyao langsung sangat bersemangat.
"Aku hanya tak mau memiliki ikatan paten apa pun," kata Apo lamat-lamat. "Aku tidak suka pernikahan resmi, Han. Dan jangan tanya apa alasannya."
"...."
"Aku ... aku mungkin malah membencimu jika memaksaku menjawabnya, mengerti? Jadi, bisa kau tidak melangkah terlalu jauh?"
Apo pikir Han Zhuoyao akan menyerah setelah ditegasi seperti itu. Ternyata keliru. Pria tersebut justru mendekapnya erat dari belakang. Lalu menghirupi pucuk kepalanya seperti tengah menikmati narkoba.
"Semua orang punya rahasia."
Apo pun mengangguk lega karena merasa mulai dimengerti.
"Anak punya rahasia dari ibunya. Ibu punya rahasia dari suaminya. Apalagi kau denganku? Kita bukan siapa pun. Jadi, bagaimana jika kata lamarannya kuganti?"
"Maksudmu?"
Dagu Apo digamit, dan dihadapkan padanya begitu dekat. "Hiduplah denganku, Apo. Jadilah milikku. Pasanganku satu-satunya. Dan kita tak perlu menikah sampai kau berubah pikiran."
Kali ini Apo tertegun begitu lama.
"Kau suka mendengarnya kali ini?"
Memang sangat bertentangan. Padahal, umumnya manusia takkan suka dimiliki tanpa status yang jelas seperti itu. Namun, entah kenapa kali ini hati Apo bergetar hebat. Dia seketika lupa dengan betapa manjanya Mario, atau tingkah kekanakan Jeff.
Apo rasa, Han Zhuoyao sudah unggul satu langkah dari mereka dalam mengambil hatinya. Karena itulah, meski dia tahu itu tidak benar, Apo tetap mengangguk setuju untuk pertama kali.
"Baiklah."
DEG!
"Oh my god, seriously?" seru Han Zhuoyao senang.
"Iya, tapi bagaimana dengan pekerjaan kita? Kau di Australia, dan aku masih harus mengurus kafe-kafeku di sini-"
"Sssh ... shh ... jangan pikirkan hal itu," kata Han Zhuoyan dengan seringai kecil yang tampan. "Kau pikir baru menerima siapa? Biar anak buah terbaikku yang mengurus kafe-kafemu. Bukankah boss cukup memantau dari kejauhan?"
"Iya, tapi kan itu agak berlebihan."
"Untukmu? Tak ada kamus berlebihan, Sayang. Ha ha ha."
Apo pun sulit berkedip melihat tawa pria itu. Bagaimana caranya menatap, tersenyum kecil, lalu menghirup rambutnya dari sisi.
Ah, hangat. Entah kenapa seperti itu.
Bersambung ....