BAB 28
Apo pun batal langsung tidur dan memilih duduk di sofa beberapa saat. Dia memandangi kekacauan di sekitar, lalu berebah di atas sana.
Kenapa ini terjadi setiap tiga bulan sekali?
Apo harus lebih serius mengatur kata-katanya kalau bersama Han Zhuoyao lain kali. "Han ...." desahnya saat sambungan telepon diangkat. "Please, stop. Kau makin berlebihan akhir-akhir ini. Aku tidak bisa menerima semuanya, oke? Perintah bawahanmu untuk datang mengambilnya besok pagi."
Han Zhuoyao sepertinya tersenyum saat membalas perkataannya. "Wah, akhirnya kau menelpon ke nomorku," katanya. "Aku agak tidak menyangka, Apo. Sudah kuduga cara ini berhasil."
"Berhasil, katamu?" Apo memijit kening. "Oke, setelah ini kau kublokir saja kalau begitu."
"He? Jangan."
"Han ...."
"Kalau kau blokir, aku akan sering datang ke rumahmu."
"Hei, kau ini benar-benar keterlaluan."
Han Zhuoyao justru tertawa. "Bagaimana kalau begini saja. Angkat telepon dariku lebih sering, setidaknya sebelum tidur. Lelahku hilang dengan melihat wajahmu, Apo. Kerja seharian itu cukup berat sampai pulang ke rumah dan ingin uring-uringan."
Apo pun menggigit bibir bawahnya. "Baik, tapi aku tidak janji selalu mengurusimu," katanya. "Aku sendiri sering lelah setelah kerja, paham?"
"Bagus, Sayang. Kau angkat dan ditinggal pun tidak masalah. Aku tak keberatan melihat mukamu waktu tidur."
"Tidak, tidak." Telinga Apo seketika merah. "Kalau itu kulakukan, kau pasti melakukan hal-hal kotor sambil melihat mukaku."
"Ha ha ha."
"Tapi janji jangan kirim-kirim barang lagi, Zhuoyao," kata Apo dengan nada sungguh memohon. "Lemariku penuh dengan baju-baju darimu. Aku bahkan belum sempat memakai semuanya, tapi kau memberikan yang baru lagi. Uang kerja kerasku dipakai apa kalau kau begitu terus?"
"Maaf, kalau itu tidak kukabulkan." Han Zhuoyao mengganti mode telepon itu menjadi video call, dan Apo mengangkatnya ulang meski malas. "Aku selalu mensyukuri tiap detik kehidupanmu, Po. Aku senang kau masih berjalan di muka bumi. Kau tidak seharusnya terlalu memaksakan diri untuk bekerja seperti itu."
Apo merengut. "Aku tidak memaksakan diri," katanya. "Lagipula boss mana yang bekerja terlalu keras? Walau kasta-ku tidak seheboh dirimu."
"Ha ha ha." Di seberang sana, Han Zhuoyao baru saja habis mandi. Pria blasteran seksi itu berbalutkan bathrobe hitam, berbaring, menggosok rambutnya yang basah, dan tidak bosan menatap wajah kesal Apo. "Benar. Tapi tetap ingin kulakukan karena suka. Apa itu salah menurutmu?"
"Kau puas dengan hubungan seperti ini?" Apo tampak begitu sedih. Kelopak matanya turun saat melihat senyum di wajah Asia-Amerika itu. "Tolong cari lelaki lain, Han. Aku akan senang hati datang ke pernikahanmu kalau nanti ada undangannya."
"Oh, tidak. Kan pengantinku masih sedang kukejar sekarang."
"Bukankah lelaki Amerika banyak yang manis juga?" tanya Apo. "Apa sebutannya kalau di situs porno. Twink? Kau bisa cari remaja-remaja seperti mereka yang siap menerima sugar daddy."
"Oh, shit. Aku jadi terangsang mendengarmu mengaku pernah nonton situs porno."
"Ah, aku salah bicara lagi," batin Apo menyesal.
Apo pun panik dan memalingkan mukanya dari selangkangan Han Zhuoyao yang kini menggembung. "Aku tutup sambungannya, ya."
"Hei, tidak perlu. Ceritakan lagi pengalamanmu menonton video kotor?" pinta Han Zhuoyao. Pria yang kini mendiami kota Melbourne, Australia itu rebahan di ranjang king size-nya dengan meminum segelas anggur. "Aku penasaran apa seleramu soal hubungan ranjang. Apa kau sering membayangkan jadi twink bottom yang disayang-sayang pasangannya? Aku akan jadi begitu kalau kau suka."
Pipi Apo makin terbakar hebat. Ini sungguh-sungguh fatal. Dan paling fatal adalah pertemuannya dengan Han Zhuoyao satu tahun lalu. Kenapa dia membantu pria itu saat mobilnya mogok di jalan? Kenapa bicara dengannya? Kenapa tersenyum padanya?
Apo sungguh tak bermaksud membuat Han Zhuoyao tergila-gila padanya waktu itu.
"Oke, cukup. Aku tadinya mau tidur, Han," kata Apo. "Tapi mustahil tidak menghubungimu setelah semua barang ini memenuhi rumah. Jadi, mengertilah. Aku sudah sangat lelah meski hanya untuk bercerita."
"Ah, begitu."
Apo mengangguk pelan. "Hm."
"Benar juga sih. Kau di sofa kan sekarang? Sana cepat siap-siap tidur," kata Han Zhuoyao. Dia menghabiskan wine merah dari gelas dan memberikan kiss virtual yang begitu erotis. "Muah. Jangan lupa mimpi indah."
Apo pun memijit keningnya. Oke, cukup mengurusi ponsel untuk hari ini. Dia pun melemparkan benda itu ke sofa begitu saja sebelum meninggalkannya ke kamar.
Kali ini, cuci muka, sikat gigi, dan memakai piama sukses dilakukan. Apo juga tidak lupa menyebar pakan ikan untuk sobat-sobat kecilnya di akuarium. Namun, untuk ketiga kalinya hari ini ... dia batal tidur karena sesosok yang familiar kini duduk berjongkok di balkon kamarnya.
Sosok itu mengenakan baju rebel ala anak jalanan. Kaus rombeng, rambut yang awut-awutan, dan merokok sambil memandangi lalu lalang orang di jalanan sana.
"Oh, ya tuhan. Dia kemari lagi?" pikir Apo tidak menyangka.
"Jeff ..." Apo pun membuka pintu balkonnya, lalu mendekati sosok yang lebih muda darinya dua tahun itu. "Jangan di sana. Nanti bisa masuk angin." Dia melirik jam dinding sekilas. "Ini juga hampir jam 10 malam. Kau harusnya pulang dan tidur. Bukankah masih ada jam kuliah besok?"
"Aku paling tenang di sini."
Apo terpaku di tempat. Meski tidak seperhatian dua yang lain, dia paling tidak tahan pada Jeff. Sebab Jeff—dengar-dengar—kemungkinan mengalami broken home sejak awal kuliah S1. Sekarang dia sudah mulai menjalani S3, tetapi setelah menjalani pendidikan yang keras ... jiwa aslinya masih suka menggila di luar.
Apo tahu sosok keras itu butuh sandaran. Dia pun sering tidak bisa membiarkannya, meski dalam keadaan sulit sekali pun. "Mau kubuatkan teh hangat?"
"Tidak."
"Tapi, itu bisa membantu organmu nyaman."
"Vodka atau anggur saja kalau ada." Jeff menginjak rokoknya, lalu menyulut yang baru. "Selain itu, tolong abaikan aku di sini."
Apo pun kebingungan. Mana ada minuman keras seperti itu di kulkasnya? Namun, setidaknya dia harus bawa syal hangat untuk Jeff.
Untungnya, pria itu tidak menolaknya saat syal bermerek dari Han Zhuoyao itu dipasangkan di lehernya. "Kau pasti lebih baik setelah memaikainya."
"Baunya baru. Apa dari pacar super kaya-mu lagi?" tanya Jeff. Mendadak nadanya seperti tengah merajuk.
Apo pun duduk di sisinya. "Bukan pacar. Dia hanya mengejarku seperti yang kau tahu."
"Bagus jika kau belum menerimanya."
"Eh?"
"Itu berarti aku masih punya kesempatan," kata Jeff dengan melempar rokoknya ke atap gedung seberang. Dia memang selalu begitu setelah Apo mendekat. Lelaki tercintanya tak boleh menjadi perokok pasif apa pun alasannya. "Tunggu aku sampai lulus S3, Phi. Nanti pasti kudapatkan pekerjaan yang lebih mapan kalau itu tiba."
Apo pun tersenyum maklum. "Astaga. Kau serius sekali," katanya. Lalu meniti penampilan Jeff. "Ngomong-ngomong apa parkour se-asyik itu? Kau sepertinya tidak takut patah tulang atau apa dengan melompat-lompat gedung. Balkonku pasti terasa rendah untuk kakimu itu."
"Hm, memang sangat menyenangkan," kekeh Jeff. Apo berkedip waktu tengkuknya ditarik mendadak, lalu bibirnya dilumat beberapa kali. "Seperti waktu bersama Phi. Beban pikiranku jadi hilang entah kenapa."
"Hei, kau ini ...." Apo tanpa sadar mengusap bibirnya. "Bisa tolong jauh sedikit? Sesak." Dia sulit bernapas karena aroma tembakau dari tubuh kekar itu.
Jeff pun melepaskan Apo. "Kalau Phi mau menikah denganku di masa depan, aku bersumpah akan menghentikan kebiasaan merokok ini."
Apo tidak tahan untuk tak mencibir. "Harusnya terbalik, kau berhenti merokok dulu, baru berani melamarku. Dasar bocah kecil," katanya, lalu mengacak-acak pucuk kepala Jeff.
"Ho ho, begitu?" Jeff tanpak sumeringah dalam sejenak. "Jadi, aku sungguh punya kesempatan?"
DEG!
"Apa?"
"Phi bilang, jika aku berhenti merokok-upff."
"Diam." Apo membekap mulut itu secepatnya. "A-Aku tarik lagi ucapanku. Aku tidak bilang apa-apa barusan."
Lidah hangat Jeff justru menjilat telapak tangan Apo hingga lelaki itu memekik.
"Jeff!"
"Ha ha ha. Phi macam-macam denganku. Tapi aku sudah terlanjur dengar!" serunya senang. "Baiklah! TERIMA KASIH DUKUNGANNYA, Doggy yang di bawah sana!" Dia mendadak berdiri, bersiul heboh untuk seekor anjing german shepherd yang menjaga toko tuannya, lalu melompat turun seperti bajing. "YAHOOO!"
Jeff pun disalaki si anjing beberapa kali sebelum menghilang di atap-atap rumah tetangga.
"GUK! GUK! GUK! GUK!"
Ya ampun, rumit.
Apo pun insomnia seketika. Dia memandang langit-langit kamar, lalu meraba tanda kontrak iblis yang ada di rahangnya. Bagi orang lain, itu mungkin hanya bekas luka lama, tapi Apo paling tahu eksistensi Mile lah yang paling membuat berat hatinya.
Sang suami iblis memang tidak pernah muncul lagi di depannya sejak melepaskan di Bandara Malpensa, tetapi Jeje pernah mengunjunginya sekali untuk mengingatkan hal yang paling penting.
"Sedamai apa pun hidupmu, kau takkan bisa berpasangan dengan pria selain adikku, Apo," kata Jeje sambil tersenyum tipis. Iblis itu menjelma menjadi kelinci putih lucu sebelum menarik perhatian Apo di sebuah taman. "Ah, ralat. Pria atau wanita. Apa pun bentuk pasanganmu. Dia akan mati dan hancur jika sampai menikah denganmu secara resmi nantinya."
"Aku mengerti, Phi Jeje," kata Apo sembari mengangguk pelan. "Terima kasih sudah datang jauh-jauh kemari. Aku pasti mengingatnya dengan baik."
"Sama-sama." Jeje lalu menatapnya dengan dua mata imut itu. Hidung kelincinya bergerak mengendus-ngendus, dan Apo tidak tahan mengelus bulunya meski tahu wujud sebenarnya merupakan iblis. "Ngomong-ngomong, apa kau takkan bersama adikku lagi?"
"Eh?"
"Yeah, kupikir ada kesempatan melihat kalian berdua bahagia dan hidup serumah lain kali," kata Jeje jujur. "Kau tahu? Adikku takkan marah soal Max yang menidurimu waktu itu. Dan dia pasti menerima kapan saja kau siap."
Apo tertegun sesaat. "Apa dia mengatakan itu?"
"Tidak sih." Jeje melompat-lompat ke lengan Apo hingga dipeluk hangat. "Tapi, sebagai kakaknya, aku paling paham isi pikiran Mile selama ini. Apalagi cincin pasangan kalian dipakai setiap hari. Karen itu, aku tahu dia selalu merindukanmu. Yeah, walau tidak pernah membahas nama "Apo" lagi dengan siapa pun."
"Ahh ...."
"Tapi jika tidak, tak masalah. Akan kusemangati dia setiap hari. Ha ha," kata Jeje. "Dia bukan adik bodoh yang main bunuh diri dengan menggadaikan jiwanya kepada kaisar kami seperti dulu. Dia kembali jadi adikku yang begitu tangguh persis sebelum kau datang."
Meski berat, Apo pun tersenyum tipis. "Senang mendengarnya kalau begitu."
"Um, hm." Jeje lalu melompat ke rerumputan. "Baiklah. Tugasku sebagai kakak yang baik selesai. Kau jaga diri terus, ya. Akan kusampaikan padanya kondisimu makin baik-baik saja."
"Terima kasih."
"Dadah."
Sejak saat itu, mau siapa pun yang mendekat, Apo selalu membuat alasan yang logis agar mereka menyerah. Sayang, baik Mario, Han Zhuoyao, atau Jeff tidak ada yang tak gigih. Mereka berharap banyak padanya, dan begitu terus setiap hari.
Apo jadi merindukan saat-saat dimiliki Mile. Apa jika mereka bertiga melihat Mile hadir di sisinya, semua akan menyerah dan mencari kekasih lain? Sayang, Suami iblis bukanlah sesuatu yang bisa diterima akal sehat setiap orang. Karena itulah, Apo memilih diam hingga sekarang. Toh, secara kasat mata dia masih single dan belum pernah menikah.
"Aku ... aku mungkin merindukanmu juga, Mile," batin Apo. Dia mengeluarkan bandul kalung yang berisi cincin pasangannya dengan iblis itu, menggenggamnya, lalu menghirup aromanya hingga bisa tertidur lelap.
Aneh, magis, tetapi memang nyata adanya. Apo seperti dijaga dan ditemani oleh Mile kapan pun dan di mana pun dia berada. Apalagi saat menggenggam cincin itu. Dia merasa tenang, aman, dan tak tersentuh satu pun bahaya di dunia ini.
Tidak, meski sekedar tersandung.
Apo tak pernah mengalami rasa sakit sejak kembali ke negara ini.
Bersambung ....