BAB 10
"Menerimamu tidak ada dalam daftar rencanaku, tapi kau terlanjur datang. Maka harus bagaimana aku jika tidak bisa memikirkannya?"
[Apo Nattawin Wattanagitipat]
Jika boleh jujur, kesan Apo pada Mile awalnya sangat baik. Sebab meski kalimat yang keluar dari mulut Mile kasar, Apo tahu iblis itu tak bermaksud jahat.
Apo bahkan sulit percaya meski iblis itu mengaku bersifat dasar munafik. Sebab mata tetaplah jendela hati. Dia bisa melihat kedalaman hati Mile sejak awal mereka bertemu.
"Dia bilang berpenampilan Asia karena ingin aku nyaman. Jadi, kenapa waktu itu memakai cravat ala bangsawan kuno?" pikir Apo. (*)
(*) Di atas adalah fisik Mile pas ketemu Apo pertama kali. Muka Eropa Selatan. Alis tetep tebel ya gaes ya 🤣
Di lain waktu, foto keluarga Mile juga terlihat biasa. Sang iblis beserta saudaranya menggunakan wajah lain. Lebih tepatnya khas Romawi kuno. Mungkin dia memiliki darah campuran. Sebab jubah itu pernah Apo lihat dalam ensiklopedi bangsawan Perancis, tetapi Mile mengenakan pin mewah ala dominus juga.
[Dari kanan foto: Mile. Gadis: Davikah. Lelaki paling kiri: Jeje]
Apo bukan lulusan prodi sejarah. Namun, dia cukup tahu bahwa posisi dominus setara dengan senator atau kanselir di kerajaan. Meski sengaja mengabaikan, entah kenapa Apo merasa bersalah. Mile sangat memperhatikannya, tetapi hal itu tidak berbalas. Dia bahkan tahu dimana Apo akan bekerja, padahal mereka tak pernah membahasnya.
***
Siapa namamu sebenarnya? Selain Mile, mungkin? Wujud aslimu seperti apa? Dan sisi mana yang membuatmu tertarik padaku?
Pertanyaan-pertanyaan itu mendistraksi pikiran Apo seharian. Dia mungkin memungkiri, tetapi kapan pun Mile terlihat, pusat dunia pasti kembali padanya.
Bible, kau yakin keputusanmu soal kontrak sudah tepat?
Siang itu, Apo bangun dan meninggalkan Mile di atas bantalnya. Kucing hitam itu masih pulas, tetapi telinganya sempat bergerak saat dirinya beranjak pergi. Apo yakin Mile tak benar-benar tertidur. Dia mungkin sengaja bersikap lengah, padahal tidak samasekali. Lagipula, iblis mana yang butuh istirahat?
Apo pun menyela kebosanannya dengan berkeliling sekitar rumah, juga interiornya yang unik. Ah, merutuki nasib memang menyenangkan kadangkala. Sayang, Apo sangat lelah sekarang. Rekreasi kecil untuk mengenal lebih jauh soal Mile rasanya tidak buruk juga.
"Ini pasti dia dan si adik lagi." Apo pun berhenti di depan sebuah lukisan besar. Lebarnya sekitar sepapan tulis, dipajang di sisi akuarium, dan diapit 4 patung Dewi Aphrodite. Di sana, Mile tampak lebih dewasa. Dia mengenakan tunik panjang. Begitu pun gadis kecil yang digandengnya di sebelah. Mereka sama-sama mengenakan tiara daun emas, tersenyum lebar, dan mengelus kepala seekor singa.
Apo pikir keakraban orang Romawi kuno dengan makhluk buas hanya mitos. Ternyata tidak, huh?
"Senang melihat-lihat rumah ini?"
DEG
Aroma hutan pinus mendadak hadir di sisinya. Apo kenal kemunculan seperti ini, jadi dia refleks menoleh ke kanan.
"Siapa?"
"Nama Asia-ku Jeje." Iblis itu tersenyum dengan mata emas yang berpendar. "Kau bisa panggil aku Phi Jeje kalau mau. Toh usia kita jelas berbeda jauh."
Apo pun mundur selangkah tanpa sadar. "Umn, boleh. Tapi kenapa ada di sini?"
"Aku kakak kandung mereka berdua." Jeje menyentakkan dagu ke lukisan. "Jadi, tak masalah kan bila ingin mengunjungi Mile?"
"Oh ...." Apo pun menelusur ke penampilan Jeje. Iblis itu juga menggunakan pakaian yang serupa dengan Mile saat berada di rumah duka. "Kalau begitu, maaf."
"Kenapa."
"Umn, perilakuku barusan justru lancang padamu?"
"Ha ha."
Apo tak berkedip memandang tawa renyah di depannya. "Kenapa?" tanyanya gugup.
"Bagaimana ya. Lucu saja ada mahluk bermartabat justru segan pada iblis kotor sepertiku?" kata Jeje dengan bahu yang sedikit bergetar. Dia terbatuk pelan agar tak tertawa lepas. "Tapi bagus, sih. Aku senang tahu incaran adikku ternyata lelaki baik."
Perasaan Apo langsung tidak enak. "Kau tahu soal kami?"
"Tentu saja. Meski brengsek, aku masih perhatian kepada adik-adikku," kata Jeje. "Jadi sekelas Mile pun masih kuawasi karena aku menyayanginya."
Apo tak sanggup berkata-kata.
"Ngomong-ngomong, kau sepertinya tertarik dengan penampilan asli kami? Kenapa?"
**
Dia bisa membaca pikiran?
Jeje tiba-tiba menyeringai. "Benar, aku bisa melakukannya."
DEG
"Eh?"
"Itu salah satu keistimewaanku," aku Jeje sambil mengendikkan bahu. "Kalau Mile, dia ahli tempur jarak dekat. Toh profesinya panglima perang selama ini."
Apa?! Panglima?
"Tapi entah kalau sekarang." Jeje pura-pura tak melihat bulu kuduk Apo yang meremang. "Zaman yang berubah membuat kami semakin santai. Toh mayoritas negara kini berdaulat, punya pemimpin mumpuni, dan makhluk-mahkluk seperti kami kadang tidak diimani keberadaannya."
"Oh ...." Apo pun memandang lukisan tersebut sekali lagi. "Aku hanya mendengar sedikit, tapi turut berduka cita untuk adik kalian."
"Hmph, terima kasih," kata Jeje. "Dan mewakili adikku, turut berduka kembali atas kematian kekasihmu."
DEG!
"Umn."
Apo sadar tatapan Jeje kini semakin menajam padanya, tetapi memilih pura-pura tidak tahu. Toh, apa pun yang iblis itu pikirkan bukan urusannya.
"Kalau begitu, aku pergi," kata Jeje pelan. Senyumnya makin tampan, dan Apo pikir iblis itu lebih lembut daripada Mile. "Tapi sebelum itu, aku ingin kau tahu satu hal ...."
Aneh tapi nyata, udara di sekitar jadi berat saat Jeje menatapnya dengan kilatan mata selidik.
"Apa?"
"Iblis memang suka menghancurkan siapa pun," kata iblis itu. "Dicintai atau tidak dicintai, dia akan melakukan hal yang sama."
Apo pun menelan ludah kesulitan.
"Hanya saja, bila hati iblis diberikan secara utuh ... dia lah yang rusak pertama kali sebelum orang lain mampu melukaimu."
Awalnya, Apo tidak mau memahami. Namun, detak jantungnya begitu kencang kala seringai Jeje
Memanjang. Iblis itu mungkin tampak tenang, tetapi tahu isi pikirannya saat merasakan tanda kontrak dari Mile memanas.
"Arrrrghhhhhhhh!!"
Kesakitan, Apo pun jatuh terduduk. Namun daripada bertanggung jawab, Jeje malah melesat keluar jendela sebagai merpati putih. (*)
(*) Sebenernya ini tanda Jeje ngerestuin sih. Nerima Apo jadi anggota keluarga 🤣 Tapi Jeje ini dasarnya suka mainin perasaan orang ya. Maklumlah.
"Berdiri."
Mile sengaja baru muncul setelah Jeje pergi. Namun, setelah perasaannya dikuliti sang kakak, Mile memilih tidak menyentuh Apo. Dibiarkannya lelaki itu bersimpuh. Suaranya serak saat panas menderanya makin parah, dan Mile baru mengulurkan tangan ketika efeknya berhenti.
"Aku baik-baik saja kok." Apo tampak ingin menolak, tetapi meraihnya karena merasa begitu letih. Entah apa yang terjadi barusan. Yang pasti memang karena ulah Jeje.
"Sebenarnya tak masalah jika kau ingin keluar," kata Mile. "Toh kontrak Bible kini berlapis dengan milikku. Kemana pun kau mencoba pergi, aku akan menyusul jika ada apa-apa."
Apo nyaris tak percaya perkataan semacam itu didengarnya di dunia nyata. "Jadi, yang kakakmu bilang itu benar?"
Mile pura-pura tidak tahu. "Soal apa."
"Apakah instingku salah? Aku yakin Mile mengintai kami sebelum ke sini." Pikir Apo.
"Umn, tidak. Lupakan saja kata-kataku." Apo pun menggeleng pelan. "Kalau begitu, nanti sore aku pergi ke rumah duka. Pasti abu kremasi Bible sudah bisa kubawa pulang."
"Hm."
"Apa kontraknya berlaku meski kita sangat-sangat jauh?" tanya Apo memastikan. "Maksudku, aku masih ingin membawa Bible-"
"Apa kau menetap jika kuizinkan?" sela Mile. Wajah Apo langsung pias mendengarnya. "Buat saja altar doa di mana pun. Tapi, tak masalah jika kau tetap pada niatmu."
Apo tak menyangka Mile membuang muka darinya. Itu merupakan yang pertama, dan dia seperti melihat gestur Bible kala jatuh hati padanya pertama kali.
Ini bohong.
"Apa memakan ruh sang kekasih membuat Mile terkontaminasi?" batin Apo.
Tidak mungkin.
Jika iya, Mile pasti jatuh cinta pada seluruh korbannya sejak ratusan tahun yang lalu.
"Kau ... kau serius?"
"Aku takkan mengulangi."
Sore itu, Apo pun membatalkan segala rencananya. Dia sendiri heran perkataan Mile bisa memutar balikkan isi hati, bahkan membiarkan iblis itu ikut dengan alasan tak ada kesibukan.
"Terima kasih, Sir," kata Apo sembari memeluk guci abu Bible. Dia memberikan sejumlah uang kepada si penjaga sebelum melipir ke toko ponsel.
Apo pikir, Mile keberatan bila dia memiliki alat komunikasi kembali. Ternyata tidak. Iblis itu justru ikut membantu menyortir spesifikasi yang bagus, lalu memberikan black card ke kasir sebelum Apo mengulurkan kartu kreditnya.
"Hei, jangan—"
Mile sudah melipir ke petugas di pojokan yang bertugas meng-install aplikasi tambahan untuk Apo. "Masukkan nomornya ke ponselku," katanya ke pria berseragam tersebut. Dia memberikan ponsel warna hitam yang bahkan Apo tak menyangka Mile memilikinya.
"Baik."
"Hm."
"Kupikir iblis tidak membutuhkan gawai sepertiku," pikir Apo.
"Kalau boleh tahu saya simpan pakai nama apa, Sir?" tanya si petugas tiba-tiba.
"Namanya? Istriku."
Bersambung ....