BAB 12
Dua Hari Kemudian ....
Altar do'a untuk Bible selesai dibuat selama dua hari pengerjaan. Apo awalnya tak percaya, tetapi Mile membuatnya benar-benar megah. Iblis itu mendatangkan beberapa tukang khusus untuk membangun, dan memerintah penempatan lukisan keluarganya tidak jauh-jauh dari sana.
Ada miniatur istana keramik yang berdiri sebagai lokasi utama guci abu. Di kanan kiri, patung-patung mungil dari dewa selamat diletakkan seolah bukan apa-apa. Apo pikir, sebagai iblis Mile akan antipati dengan kekuasaan bangsa lain yang dianggap mistis seperti dirinya. Ternyata salah.
Mile juga menyebarkan energinya ke sekitar altar agar lilin-lilin yang tersebar menyala abadi. Jadi, saat malam tiba altar Bible benar-benar sangat cantik.
Apo jadi penasaran apakah itu teknik Mile untuk membuatnya luluh? Sebab sejak pulang dari kegiatan jalan-jalan, dirinya mengabaikan Mile. Tak ada kegiatan tidur dalam satu kamar lagi. Apo masih sangsi meski iblis itu menggunakan wujud hewan untuk mendekatinya.
"Dia menyentuhku beberapa kali, Bible. Dan aku tak peduli apapun motif yang dia miliki," gumam Apo pada suatu malam. Dia mengeratkan jaket hangat saat angin luar berembus dari balkon sayap kanan. Parasnya mulai pucat tetapi Apo tak terlihat ingin pergi dari depan altar doa itu. "Bagaimana pun, hanya kau satu-satunya. Aku takkan membiarkan dia masuk dalam kehidupanku terlalu jauh. Mile tak pantas jadi penggantimu, paham? Aku tidak ingin jatuh cinta lagi."
Biasanya altar doa memiliki foto khusus. Kali ini tidak. Sebab di ponsel lama yang rusak, segala kenangan tengan Bible sudah hilang karena memorinya ikut patah. Menyebalkan memang. Namun, Apo tidak menyesali keputusannya.
"Takkan kubiarkan siapa pun mengusik dirimu," kata Apo dengan senyuman masam. Sebab pada hari kematian Bible, rasa cinta yang dalam membuat Apo tak berpikir dua kali. Cincin pasangan mereka, ponsel Bible, kartu-kartu pribadi, dan hal sejenis ... Apo memasukkan segalanya dalam peti kremasi agar ikut hilang tak bersisa.
Sejak hari itu, Apo tidak pernah lupa mengamankan ponsel dalam saku tiap dibawa Mile berpindah cepat. Dia juga meminimkan komunikasi mereka selama bisa, tetapi memang sulit jika tak terlibat dengannya sejak kontrak perkawinan tersebut terjadi.
Dalam mimpi, Apo kadang melihat hal aneh. Dia seperti tengah berjalan sendirian di negara entah apa. Yang pasti, Apo tak pernah menemukan gambaran wilayah itu dalam ensiklopedi dunia. Di sana dia merasa tersesat. Toleh kanan, toleh kiri ... segalanya seperti dalam film fantasy sejarah. Ada istana megah yang dibangun dengan desain arsitek yang unik. Wilayahnya asri, sangat rimbun oleh tanaman yang subur, tetapi ada juga yang tandus di beberapa titik.
Apo tak mampu menamai gaya desain apa yang dipakai istana itu, yang pasti penduduknya memiliki berbagai macam ras ala manusia. Mirip Mile. Mereka berubah tubuh dan wajah sesuka hati, hanya saja saat Apo lewat tak ada satu pun yang menyadari keberadaannya.
Mungkinkah hanya ruhnya yang berkelana di sana? Dan apa itu disebabkan kontrak perkawinan-nya dengan Mile? Persetan lah. Apo lega bisa bangun dari berbagai mimpi mirip tersebut, meski rasa tubuhnya lelah sekali.
"Oh iya, Bible. Besok ... rumah kita kusewakan untuk warga lokal yang butuh kuliah di dekat sana," kata Apo. Telinganya merona waktu menyentuh guci abu sang kekasih, seolah-olah pria itu masih hidup dan bernafas di hadapan. "Untuk perabotan umum, kubiarkan dia memakainya. Karena sementara ini hanya dari sana aku mendapatkan uang."
Hanya keheningan yang menanggapi.
"Mile memang membiarkan aku keluar ke suatu tempat, tetapi mustahil lari darinya. Dan berhubung kerjaanku batal jadi, aku masih mencari yang baru sementara ini," kata Apo. Rautnya tampak datar seolah-olah tak lagi memikirkan persoalan hidup terlalu jauh. "Apa kau marah, Bible? Aku sudah bercinta dengan Mile kapan hari."
**"
Ah ... semisal Bible marah, kira-kira ekpresi seperti apa yang akan dia tampakkan?
Apa dia akan menatap Apo benci?
Atau Bible malah tersenyum?
Apo terus menenggelamkan diri dalam memori usang tentang Bible, tanpa tahu ada beberapa pasang mata yang memantau. Dari kejauhan, bukan hanya Mile yang melihat tatapan mata kosong Apo. Iblis itu berdecih saat seekor kucing ragdoll putih menaiki ranjangnya.
"Jangan cari gara-gara, Max," kata Mile benci. Iblis itu menutup buku yang dibacanya, lalu tidur miring memunggungi. "Kau tahu aku malas bicara dengan seseorang saat ini."
Max Nattapol Diloknawarit, rekan lamanya saat masih andil dalam militer Kekaisaran Romawi pun tertawa kecil. "Mood-mu buruk sekali. Bukankah istrimu mau menurut tinggal di sini?"
Mile membalas ketus. "Bisa tidak bahas dia?"
"Kau tahu aku makin senang membahasnya."
Perlahan, Max naik-naik ke bahu Mile. Kucing itu mendengkur halus dan menyeruduk manja ke sana. Lalu makin senang kala Mile mendesis. Apalagi yakin sang rekan takkan mungkin menghajarnya.
"Max."
"Ayolah, Mile. Kau belum kenalkan dia padaku," rajuk Max. "Bukankah itu taruhan kita berdua? Kalau kau akhirnya jatuh cinta, bukankah aku boleh akrab dengan kekasihmu."
"Dia lebih dari kekasihku," tegas Mile. "Dia adalah istriku." Kedua mata emasnya berkilat karena itu.
"Pffft-iya, iya," kata Max. "Ngomong-ngomong, apa dia benar-benar keras hati?" tanyanya. Kucing itu menemani Mile dengan meringkuk di depan wajahnya. Aneh, memang. Iblis lelaki, tapi suka wujud kucing cantik. Mile jadi tergoda mengelusnya, meski malas.
"Mungkin tidak, tapi hatinya sudah milik orang lain," kata Mile. "Aku benci terlalu memaksa dia. Hanya saja, jika kesal sering kulakukan tanpa sadar."
"Ho, jadi kau tak memerkosanya lagi, karena khawatir makin melukainya?" tanya Max memastikan.
"Menjijikkan kalau kau katakan dengan cara manis begitu."
Seketika, Max pun tertawa keras. "Ha ha. Mile ... Mile ...." desahnya. "Aku kaget kau tipe yang selembut ini kalau sudah mencintai. Hanya saja, mungkin saranku akan beda dari kakakmu yang tampan itu."
Tidak heran jika Jeje cerita soal kontrak perkawinan adiknya kepada Max. Bagaimana pun mereka dekat saat masih mengabdi pada kekaisaran Romawi.
"Jangan aneh-aneh, Max," kata Mile. "Apo bisa makin membenciku bila salah langkah lagi."
"Astaga, santai saja," kata Max gemas. "Bagaimana pun dia istrimu. Sejak kontrak dibentuk, kalian punya ikatan kuat kan?"
"Iya, tapi dia takkan paham."
"Mau kubuat dia paham?"
Seketika mata Mile menajam. Seolah-olah dia berubah menjadi naga, padahal sebenarnya tidak.
"Mau kau apakan dia?"
"Woah, menakutkan!" seru Max geli. "Apa kau akan membunuhku jika caranya kelewat batas?"
Elusan Mile pun berhenti. "Max."
"Aku ingin bercinta dengannya."
DEG
"Apa?"
Seringai Max muncul, tapi tertutupi bentuk kucingnya. "Kenapa? Aku akan pakai wajahmu jika takut dia tahu."
Mile mendesis layaknya ular. "Aku melarangmu, Max."
Kucing itu mendadak bangun dan merenggangkan tubuh lenturnya. "Jika kau tidak tega memaksanya, maka biar aku saja yang lakukan," dengusnya ketus. "Istrimu harus paham posisinya, Mile. Dia itu belum tahu jati diri suaminya—"
"Kau salah," sela Mile. "Kakakku sudah mengatakannya kapan hari."
"Hmph, memangnya sejauh apa?" kata Max. Bola mata but kucing itu memiliki sorot malas. "Pengikutmu bisa marah jika tahu panglimanya kini diremehkan manusia." (*)
(*) Maksud Max, meski udah gak ada perang Mile tetep dihormati jutaan pasukannya dari masa lalu. Kastanya tinggi, tapi Apo malah nyia-nyiain Mile terus.
"Tidak mungkin mereka peduli sejauh itu."
"Shit. Memang kau menghargai dirimu sendiri seperti apa?"
"Aku bukan kaisar dengan kedudukan tertinggi."
"MILE! JANGAN MEMBUATKU MENYESAL SUDAH MENGAKUI KEKUATANMU!" bentak Max tiba-tiba.
BRAKHHHH!!
"Hisssssssssshhhh!"
Awal melompat, kucing putih itu merangsek ke tubuh Mile dengan satu cekikan keras. Namun, mendadak Max ganti wujud jadi lelaki bermata biru. Taringnya keluar. Desisannya juga tak kalah tajam dengan sang panglima perang.
"GRRRRRRRRRRRR!!!! ARRRRRHHH!"
BUAGHHH!!! BUAGHHH!!!
Mile meninju wajah tampan itu hingga empunya terjengkang. Hebatnya, tidak ada keluhan apa pun dari Max, meski darah merembes dari luka kecil di sudut bibirnya. Namun, ketidak puasan membuat Mile murka lebih parah. Dia membalik posisi mereka, balas gampar dan mencekik.
Rupa-rupanya pertarungan itu tidak cukup hanya dengan saling serang fisik. Entah apa yang merasuki Mile dan Max, mereka saling mengadu energi hingga cahaya merah bertempur di atas seprai kusut itu.
BRAKKKKHHH!! JDUAGH!
"Uhookh!"
"Sejauh apa rasa peduli kalian, takkan biarkan seorang pun mencampuri rumah tangga kami," ancam Mile dengan mata keemasan yang menyala-nyala.
"Akh! Mile! Kau gila ya?" Max menendang-nendang, tetapi remasan di lehernya makin keras. "Uhuk uhuk! Uhuk uhuk—astaga aku benar-benar bisa mati!"
CKLEK!
Mendadak pintu terbuka dari luar.
"Mile?"
DEG
Suara rintihan Max makin keras karena keheningan mengerikkan itu.
"Apo."
Sang istri berdiri kaku di ambang pintu. Lelaki manis itu menatap cemas kepada Max, tetapi juga bingung bereaksi akan situasi di depan matanya.
Mile pun panik melepas cengkeraman.
BRAKKHH!
"Tunggu, Apo. Ini tak seperti yang kau pikirkan. Percayalah."
Bersambung ....