BAB 11
DEG
"Apa katamu barusan?" tanya Apo kaget.
Petugas itu pun meringis ke Apo sebelum benar-benar melakukan perintah Mile. "Oke."
Sudah terlambat untuk protes. Apo hanya sempat terpaku dengan muka merona, lalu mengikuti langkah Mile keluar begitu ponselnya beres.
"Tunggu, tunggu! Apa yang barusan itu?"
"Apanya?"
"Kau ... tadi ... tadi ...."
Mile justru berjalan semakin cepat. "Lihat di sana," katanya sambil menyentakkan dagu. Dia tampak percaya diri kali ini. Seolah-olah Apo memang takkan pergi darinya lagi, dan membuat lelaki itu terseok mengikutinya. "Ada Katedral D'uomo yang menarik. Kau tak ingin melihatnya?"
Apo pun menabrak punggung Mile yang mendadak berhenti.
BRAKH!
"Aduh!"
"Aku kadang ke sana jika sedang sangat bosan," kata Mile. Demi berbaur dengan manusia, kedua mata emasnya kini berganti ke hitam legam. "Apa kau tahu kenapa?"
Apo pun mengelus kening sebelum menatap bangunan megah di depan mereka. "Kenapa?" tanyanya. Lalu terdistraksi beberapa merpati yang terbang melintasi atap katedral. Cahaya senja menyoroti pancang-pancang tinggi desain arsitektur rumitnya. Dan Apo ingin masuk hanya karena melihat 11 pintu bercorak unik tersebut.
"Karena di dalam ada orang-orang yang berdoa," kata Mile dengan dengusan samar. "Kudengar, manusia butuh itu untuk mencapai ketenangan. Sementara aku, mau melakukan sesuatu tak perlu berpikir nanti mati akan bagaimana."
Apo paham maksud Mile begitu jelas. Dia ingin bilang, meski iblis hidup selama ratusan tahun, kesenangan apa pun akan berakhir jika nyawa mereka melayang. Tak seperti manusia, Mile terlihat iri kepada Apo meski lelaki itu hanya bertahan 70 tahun paling lama.
"Lalu kenapa mencintaiku? Bukankah kita pun akan berakhir terpisah?" pikir Apo.
Apo memilih menelan pertanyaannya kembali daripada terlibat perasaan Mile semakin jauh.
"Oh ..."
Mile mendadak menoleh ke jemari Apo. "Kau tak ada rencana melepas cincinmu yang dari Bible?" tanyanya.
DEG
"Tunggu, maksudmu ini?" Kecemasan mendadak membuat Apo refleks meremas tangannya sendiri. "Tentu saja tidak. Ini kan tanda lamaran Bible untukku."
Dengusan tajam langsung keluar dari bibir Mile. "Dia sudah mati. Jadi tidak mungkin selamanya."
Apo pun refleks ingin memaki-maki. "K-Kau ...."
"Tapi kalian beruntung bisa bermimpi menikah di tempat itu," kata Mile tiba-tiba. Tatapannya menerawang, bahkan menembus keramaian manusia yang tersebar di halaman luas katedral. "Sementara aku takkan merasakan sensasinya. Ha ha. Iblis mana yang menikah? Kami hanya tahu berkawin dengan pasangan di sana-sini." (*)
(*) Iblis kawinnya ya tanda stempel itu gaes 🗿 gak ada sumpah suci atau resepsian.
Apo pun terperangah. "Benarkah?"
"Tentu saja. Bahkan dalam dongeng teromantis kisah iblis dan manusia." Mile menoleh padanya. Lalu fokus hanya mengarah ke leher Apo yang bertanda. "Mereka hanya terikat kontrak seperti yang kau miliki. Lalu menandai ratusan tempat dengan bercinta dan menyebar air mani."
DEG!
Seperti baru digigit serangga, Apo langsung menepuk tanda di lehernya yang terasa panas lagi.
PLAKH!
"Kenapa?"
"Aku sungguh tidak paham," kata Apo panik. "Kemarin kau bilang hanya membuat kontrak lain denganku. Maksudku, ini kontrak untuk mengawasiku saja, kan? Tapi kenapa—"
"Suka atau tidak suka. Memilikinya berarti kau sudah jadi istri sah-ku."
Sekujur tubuh Apo seketika membatu. Lelaki itu nyaris menjatuhkan ransel berisi abu Bible, jika Mile tidak menangkapnya. Iblis itu tidak berdecih seperti dulu. Juga tidak memaki. Justru menggenggam jemari Apo dengan lembut.
"Sengaja telat kujelaskan. Karena kau pasti benci jika langsung mendengarnya."
Di tengah lalu lalang orang-orang, Apo merasa kehilangan nyawa sepersekon detik. Menikah? Siapa? Dia? Dengan iblis ini?
"Lepas."
Mile membiarkannya melawan, bahkan menatap sengit tanpa ragu. "...."
"Tunggu, aku benar-benar butuh waktu," kata Apo. Dia lalu merebut ransel dari Mile dan memeluknya erat-erat. Lelaki itu nyaris saja lari, tetapi urung. Hanya dengan menatap matanya, Apo tahu Mile tak lagi cemas apa pun yang dia perbuat. "Maaf, aku tak pernah berpikir sampai ke sini, Mile—"
Orang-orang sekitar sempat melirik saat Apo terjongkok duduk. Dunia serasa berputar kencang. Dan Apo membayangkan ini bukan kenyataan hingga Mile berjalan mendekat. "Apa kau sebegitunya membenciku?" tanyanya. Tahu-tahu kedua kaki iblis itu sudah menjulang di hadapannya.
"Iya, tentu saja! Mana mungkin aku tidak membencimu?" batin Apo.
Namun, Apo juga tak bisa marah terlalu parah. Meski cara-caranya termasuk ekstrim, Mile tetap menyelamatkan sebagian besar kehidupannya. Oh, satu lagi. Apo memang sempat salah paham, tetapi perilaku kelewatan Mile pasti bukan disengaja. Lagipula, bukankah Jeje bilang dia dulu seorang panglima perang? Sangat maklum bila tempramen tegas dan kerasnya terbawa sampai sekarang.
"Apo, cepat jawab pertanyaanku."
Apo memandang paving di bawah kakinya. Lelaki itu memeluk ransel semakin erat, seolah Bible masih ada untuk memberinya kekuatan.
"Kau pernah menyela pertanyaanku," gumam Apo takut-takut. Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi lelaki itu mampu membalas tatapan Mile. "Jadi, kenapa aku tidak boleh melakukan hal yang sama?"
"Apa?"
"Aku tidak mau membahasanya, Mile. Bisa kita lupakan hal ini?"
Mile langsung mengepalkan tangan.
"Gawat. Dia marah. Dia sangat-sangat marah," batin Apo begitu mengetahuinya. Dia pun memejamkan mata, dan pasrah seandainya akan dipukul.
Toh lebih baik mati cepat untuk menyusul Bible.
Ha ha. Ide ini bagus juga. Bila tak boleh menyakiti diri sendiri, maka disiksa Mile adalah jalan yang sangat menggiurkan.
"Sekarang cepatlah berdiri," kata Mile tiba-tiba. Iblis itu malah ikut jongkok saat Apo membuka mata. "Orang-orang penasaran apa yang kau lakukan, oke? Jangan terlihat tak bermoral di depan mereka."
"Oh, Tuhan. Sejak kapan iblis peduli soal moralitas manusia?" pikir Apo.
"Kita cari tempat yang lebih baik," kata Mile. "Apa kau suka Sungai Venice? Kubawa ke sana jika mau."
Suara iblis itu juga lembut tiap kali menadahi hati retaknya. Mile seperti tengah menjaga keramik kaca, dan menjelma jadi makhluk paling sabar sedunia.
Apo tak perlu menjawab iya untuk melepaskan emosi. Seolah mampu membaca hati, Mile mendadak memeluk dan membawanya hilang dari sana.
SRAAAAATTH!!
BRAKHHHH!!!
Iblis itu sepertinya sudah terbiasa melakukan hal gila. Mile tidak khawatir orang-orang melihat aksinya yang berubah jadi naga, toh kecepatan yang dia miliki melebihi kemampuan mata manusia.
BRAKHH!!
Senja tenggelam sempurna saat Mile berhenti di sebuah perahu kecil. Dia mencuri benda itu tanpa sungkan, lalu abai dengan siapa pun di sekitar. Air mengombak di bawah mereka hingga mulai melaju perlahan-lahan. Apo mungkin masih kalut, tetapi kedua matanya cerah saat memandang pantulan lampu-lampu pada permukaan sungai.
***
Ah, Mile. Kau pasti beruntung bila tidak jatuh cinta kepadaku.
Sebab, meski cara memanjakan iblis itu tidak sejelas Bible, Mile benar-benar tahu kapan harus harus menangani pujaan hatinya.
"Mile."
"Hm?"
Seperti sekarang, saat Apo duduk di bagian depan, Mile mau dipunggungi agar emosinya tak meninggi lagi.
"Apa semua iblis mampu berpindah cepat sepertimu?" tanya Apo sembari meraba air di sisi perahu.
"Tentu," jawab Mile di belakang sana. Tak ada beban sedikit pun di wajahnya setelah mempersingkat perjalanan. Padahal, normalnya mereka butuh waktu 3 jam untuk kemari. "Kenapa memang?"
"Aku hanya penasaran," kata Apo. "Apa sejak dulu kau tinggal di negara ini?"
Mile diam sejenak sebelum menjawab. "Maksudmu sejak nama Italia masih Romawi?"
"Iya."
"Begitulah."
Dada Apo pun mencelus mendengarnya. "Kudengar ... dulu wanita-wanita Mesir dan Yunani sering berpindah kemari," katanya. "Entah suka rela atau sebab dibudakkan, semua terkenal karena kecantikan masing-masing."
Tanpa Apo tahu, kening Mile pun berkerut dalam saat itu. "Lalu, poinmu?"
Apo pun menggeleng pelan. "Umn, sebenarnya bukan apa-apa," katanya. "Aku hanya heran kenapa kau tak mengawini salah satu dari mereka."
"Aku hanya tidak ingin."
Jawaban yang terdengar begitu janggal. Apo sudah bisa menebak bagaimana rasanya bila melanjutkan percakapan ini, tetapi dia tak peduli lagi.
"Oh ...." desah Apo geli. Bahunya sampai bergetar karena otaknya mendadak terasa sinting. "Aneh sekali, Mile. Ha ha. Kenapa kau malah memilihku."
"...."
"Atau di matamu, aku ini lebih cantik daripada siapa pun? Makanya kau sampai senekad ini," kata Apo asal-asalan. Dia mendadak tertawa, tetapi kedua mata itu menangis.
Tak ada tersembunyi pun saat Apo mengatakan hal bodoh itu. Tawanya bahkan semakin lepas, tetapi Mile justru tak berkedip memandang raut wajahnya yang cerah. Agaknya, memang ini yang dia harapkan dari Apo. Sayang, hubungan mereka seperti gerigi berbeda ukuran. Makin dipaksa menyatu, makin sulit juga berjalannya.
"Bukankah aku tidak salah?" Mile pun mengepalkan tangan kala mengingat perkataan Jeje. "Lelaki cantik di lantai 1 kan yang membuatmu kesal? Namanya siapa tadi-hmm ... Apo."
***
Ah, Apo. Memang kenapa bila perkataanmu benar adanya?
Bersambung ....