BAB 8:
Malam itu, Mile tahu Apo ingin sendiri. Dia pun tidak mengganggu lelaki itu sedikit pun. Mile memilih menghabiskan waktu di perpustakaan pribadi, lantas termangu saat ingat sebuah dongeng lawas. Judulnya "Devil Bride" dan sang adik dulu sering memintanya membacakan kisah itu karena amat sangat menggandrungi.
"Davikah, stop," kata Mile entah sudah keberapa kalinya. "Aku bosan, paham? Jadi kenapa tidak pilih judul lain?"
Sang adik beda ibu pun menggeleng pelan. "Tidak mau. Pokoknya yang itu saja!"
Akhirnya, Mile jelas menuruti karena rasa sayangnya teramat besar. Dia menahan rasa jengah tiap detik, sebab alur dongeng itu sampai dihapalnya di luar kepala. Tentang iblis yang jatuh cinta dengan puteri raja. Tentang pengorbanan gila agar puteri itu menerima perasaannya. Lalu cinta mereka yang diabadikan dengan pembangunan sebuah istana megah.
Yang namanya bocah, Mile paham mengapa dulu Davikah menyukai dongeng tersebut. Dia pasti membayangkan semua adegan yang tertulis dengan cara yang amat dramatis. Apalagi setting Romawi klasik masih sangat-sangat kental di dalamnya. Dengan intrik ala kerajaan, Davikah menginterpretasikan dirinya sendiri sebagai si tuan puteri.
"Kau ini iblis. Mana bisa jadi tuan puterinya," komentar Mile suatu hari. Dia mengacak-acak rambut sang adik gemas.
Davikah justru membuang muka sok arogannya. "Tak peduli. Pokoknya aku ingin jadi manusia," katanya gigih.
"Astaga."
"Soalnya romantis, tahu! Tidakkah Phi lihat puteri cantik itu mau meninggalkan kerajaan?" kata Davikah sambil menunjuk salah satu ilustrasi kuno. "Dia tidak takut memiliki bound abadi bersama si iblis. Dengan darah dan nyawa, Puteri pun mau pergi bersama kekasihnya. Dan lihat? Sang iblis justru membangunkan kekaisaran baru yang lebih kuat untuknya!"
"Aku tahu, aku tahu." Mile mengibaskan tangan jengah. "Kau pikir sudah berapa kali aku membacakannya?"
"He he."
"Sekarang tidur. Phi matikan lampunya."
"Iyah!"
Mile ingat dia selalu mengecup kening Davikah setelah menyelimuti. Dengan segenap perasaan, dia tetap menyimpan buku dongeng favorit sang adik, meski harus-terpaksa-membacakannya lagi besok malam.
Di hari kematian Davikah, Mile sempat ingin meminta tetua iblis melemparkan buku itu sekalian ke neraka. Sayang, Mile urung melakukannya karena ingin keberadaan gadis kecil itu tetap nyata. Maka di sinilah Mile sedang mengenang. Dia usap sampul tebal buku tersebut, lalu meniti tiap liuk ukiran keemasan yang mulai memudar. (*)
(*) Pertumbuhan iblis: pertumbuhan mereka dibagi menjadi beberapa fase. Pada usia 50-100 tahun, mereka masih termasuk kecil seperti Davikah. Makanya, Mile menyebutnya "Bocah", meskipun badan manusia sudah seperti wanita dewasa. Pada usia 100-150 tahun, mereka beranjak remaja. Pada usia 150-200 tahun ke atas, mereka sudah dewasa. Usia iblis tidak terbatas. Mereka mati ketika kalah dalam pertarungan atau gagal dalam proses memakan ruh manusia.
Mile tidak yakin Davikah mendapatkan buku dongeng ini darimana. Yang pasti, sebenarnya kisah di dalam klise baginya.
"Bodoh," dengus Mile jengkel.
Bagaimana bisa manusia bersedia memiliki bound dengan iblis seperti si tokoh utama? Bukankah ikatan jiwa diantara mereka hanya akan menyakitkan? Toh perasaan itu takkan bisa sungguhan menyatu. (*)
(*) Bound: istilah kontrak perkawinan antara iblis dan pasangannya. Bentuknya mirip simbol romawi kuno. Letaknya di rahang bawah tiap pasangan.
(*) Ikatan jiwa: disebut begitu karena bound hanya sebatas penyatuan dua nama di hadapan raja iblis. Simbol ada, berarti mereka pasangan. Jadi, tidak ada resepsk pernikahan resmi seperti manusia. Memiliki bound berarti sudah menjadi suami-istri.
Maksud Mile, iblis bisa hidup ribuan tahun selama berhasil memakan roh yang tepat. Manusia? Tidak. Karena itulah Mile berpikir kemungkinan iblis dalam dongeng ini masih ada di dunia-kalau pun memang kisahnya ternyata fakta.
"Mile."
Mile pun berbalik karena suara familiar itu. Dia tak menyangka Apo akan datang padanya secepat ini, apalagi setelah yang dilakukannya tadi siang. Namun, Apo tidak menatapnya dengan tatapan benci, meski Mile tahu dia segan masuk ke perpustakaan.
"Apa."
"Bisa kita bicara sebentar?" Apo tampak lebih baik dengan kondisinya sekarang. Lelaki itu bahkan berkilau daripada biasanya. Entah kenapa. Mile harusnya bertanya kepada Jeje efek iblis yang menyentuh tubuh manusia.
"Soal apa."
"Tadi—"
"Kalau tentang tadi siang, aku rasa tidak perlu." Mile mengembalikan buku dongeng itu ke rak. Dia pura-pura tidak tahu telinga Apo memerah waktu itu. "Bagaimana pun aku melakukannya bukan karena ingin. Kau juga tidak suka kusentuh. Jadi, lupakan. Toh aku bersamamu juga karena misi."
"Sebenarnya, iya. Tapi bukan itu topik utama yang ingin kubahas." Apo tetap mendekat. Mile pun bergeming. Dia membiarkan lelaki itu di sisinya, meski tidak ingin memilih buku.
"Katakan."
"Ini soal abu kremasi milik Bible," kata Apo pelan. "Boleh aku meletakannya di rumah ini? Atau kalau keberatan, setidaknya biarkan gucinya kukuburkan di bagian taman."
"Tidak."
Mile sebenarnya tidak keberatan, tetapi dia hanya ingin melihat reaksi Apo.
"Oh, maaf." Lelaki itu justru tersenyum manis. Dia tampak segan, mengusap tengkuk, lalu memandangnya sekilas. "Tidak kusangka itu akan mengganggumu. Kalau begitu, baiklah. Tidak apa-apa. Hanya saja, aku mau beritahu sesuatu lagi ...."
"...."
"Umn, besok aku memutuskan untuk pulang ke Thailand."
DEG
**"
Apa katanya?
"...."
"Ke Huahin. Dan rumah di Milan akan kujual lagi," kata Apo. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, Mile tidak bisa menebaknya. "Jangan khawatir soal kontrakmu, Mile. Aku jamin kau akan baik-baik saja selama 10 tahun."
**"
Kenapa tiba-tiba sekali?
"Ha ha ... aku tahu ini aneh, tapi kurasa tak ada alasan untuk terus merepotkanmu," kata Apo. Gesturnya kaku, tetapi dia justru bisa membaca Mile lebih tajam daripada sang iblis sendiri. "Lagipula, Bible ingin aku hidup baik dan kerja kembali. Lalu menemukan kekasih baru? Tidak buruk semisal kucoba lagi." Kali ini bola mata Apo mengkristal, meski senyumnya semakin manis. "Setidaknya selama 10 tahun, biar kuusahakan harapan terakhir pacarku."
"Lalu jika kau tak bisa memenuhinya?" tanya Mile kali ini. Diam-diam, tangan kirinya terkepal di balik tubuh.
"Itu bukan lagi urusanmu, kan?" kata Apo. Air matanya menetes, tetapi dia tertawa begitu riang. "Tak ada lagi kontrak bodoh diantara kita, Mile. Jadi, kau bisa lurus dengan kehidupanmu. Aku pun bisa fokus dengan hal yang kuinginkan."
DEG
"Apa itu?"
"Apa aku harus menjawabnya?"
"Harus."
Apo pun terdiam sejenak. "Aku rasa tidak perlu," katanya sambil mengucek mata. "Bukankah kita hanya orang asing? Alasan logis berjumlah 0% untuk saling mencampuri. Jadi, begitulah ... besok pagi aku akan beres-beres."
Mile sampai kehilangan kata-kata mendengarnya.
"Maksudku, kamar yang sempat kugunakan. Atau dapurmu yang kupinjam tadi siang." Bola mata Apo bergerak gelisah saat memaksa seluruh isi hatinya keluar. "Tempat apapun, atau barang yang mungkin tertinggal di sini. Biar kubawa semua, Mile. Jadi, kau bisa anggap beban sepertiku tidak pernah ada."
"...."
"Itu cukup kan?"
Mereka saling berpandangan. Lama. Mile sendiri nyaris membiarkan Apo pergi, jika saja tidak terpikirkan sesuatu.
"Tunggu."
"Hm?"
Mile segera melepaskan tangan Apo sebelum lelaki itu salah paham lagi.
"Kau bilang takkan meninggalkan barang apapun," kata Mile. "Lalu apa yang barusan itu? Kau sempat ingin abu Bible dikubur di tempat ini? Jelaskan padaku apa alasannya."
"Eh?"
"Jelaskan saja, Apo."
Apo menatap kedua kakinya sendiri saat menjawab. "Bukankah kau yang memakan ruh kekasihku?" katanya retoris. "Segalanya jadi milikmu sejak hari itu. Aku tahu, aku tidak pantas protes. Toh kontrak ini pilihan kekasihku sendiri. Tapi, jika hanya membawa abunya pulang ... kepergiannya justru menyakitiku."
Mile nyaris tak percaya dia mendengarkan pengakuan tersebut.
"Aku mencintainya, Mile. Aku sangat ingin bersamanya."
Apalagi bagian ini. Dada Mile sampai mendidih gila karenanya.
"Tapi, setelah kupikir sekali lagi, Bible benar. Aku tidak boleh menyakitimu dengan cara ini. Aku tidak boleh menyakiti harapannya. Aku juga tidak boleh menyakiti kesempatan yang kumiliki," kata Apo. "Maaf, otakku memang agak miring pada hari kematiannya. Jadi, tolong maklum bila aku sempat melakukan hal-hal gila---_
"Apa kau mau bunuh diri lagi setelah 10 tahun?" sela Mile tajam.
DEG
"Apa?"
"Kau bilang tidak ingin menyakitiku. Dan ruh Bible hanya menjagaku selama 10 tahun." Tanpa sadar, Mile bahkan melangkah maju untuk mendominasi percakapan itu. Beda seperti sebelumnya, dia tidak ragu membuat Apo ketakutan, bahkan hingga langkahnya mundur. Lelaki itu pun terdesak ke rak-rak perpustakaan dalam hitungan detik. Brakh! "So, that's it. Kesimpulanku kau masih ingin menyusulnya, benar?"
"A-Aku-"
"Kau ketahuan, Apo. Jadi berhentilah mengelak dariku," kata Mile. Tangan yang sejak tadi gemas meremas udara, kini mengumpulkan dua pergelangan Apo jadi satu di belakang tubuhnya. "Karena aku benci sekali dianggap lemah manusia sepertimu."
Itu bohong. Tentu saja.
Sejujurnya, Mile tak pernah peduli apa yang manusia pikirkan. Selama dia sukses makan setiap 10 tahun, itu artinya misinya berakhir.
Bibir kemerahan Apo pun gemetar hebat. "Lemah? Tidak. Aku tak pernah berpikir begitu, Mile-"
"Lalu apa?!" bentak Mile. "Bukankah kau menjadikan alasan pergi ini untuk memberiku waktu? Kau sengaja memutuskan kontrak Bible agar leluasa bunuh diri lagi. Kau pikir-"
"KALAU IYA MEMANGNYA KENAPA?!" balas Apo tiba-tiba. Wajah lelaki itu memerah, tetapi semakin cantik di mata Mile. Sumpah demi apa pun, Jeje harus dikutuk dengan seribu makian bila tidak memberinya saran lain nantinya. "TIDAKKAH CARAKU SUDAH SANGAT TEPAT?!" murkanya. "Aku tidak mengganggumu, Mile. Aku juga memikirkan perasaan Bible-ku. Jadi, tolong jangan mempersulit hal ini. Tolong ...." teriakan Apo pun berpadu tangis dan membuat perpusatakaan hening itu jadi gaduh.
Mile yakin Apo masih seperti sebelumnya. Hal berisik sangat membuatnya benci, tetapi kali ini dia membiarkan Apo meluapkan segalanya. Lelaki itu sangat rapuh, tetapi hanya berusaha tegar beberapa saat lalu. Dia putus asa, tetapi perasaannya yang besar kepada Bible bisa membuat kedua kaki itu berdiri tegak. Apo mungkin memang gemetar, hanya saja hatinya tidak.
Jeje sungguh-sungguh salah.
Meski lebih memesona, Mile tidak bisa mengais sedikit pun perhatian lelaki ini. Bukan Apo, justru dia lah yang sampah, beban, dan parasit dalam kehidupan cintanya dengan Bible.
Ha ha. Bukankah ini sungguh miris?
Apalah arti iblis terhormat yang selama ini Mile banggakan? Manusia yang lebih lemah seperti Apo bahkan bisa mengalahkannya setelak ini.
"Bible, aku sangat-sangat iri denganmu," batin Mile. Dia teliti tiap keindahan Apo saat emosinya tumpah-tumpah seperti itu. "Kau apakan dia, hah? Bagaimana bisa hatinya bisa kau miliki sampai sejauh ini?"
"Tolong lepas, Mile. Tolongff-"
Baik, dunia. Silahkan kutuk Mile setelah ini. Tapi, dia takkan menyesal untuk mengambil langkah jujur pertama kepada Apo. Dia membungkam bibir berisi itu dengan ciumannya. Sangat kasar. Mile bahkan langsung meninggalkan luka di permukaan kulit semerah ceri tersebut hingga darahnya keluar.
"-kh... ahh-Mile-umnn!"
Persetan. Mile akan mengoyak-oyak bibir Apo bila perlu. Toh, bila dia menggunakan energi iblis dengan benar, semua darah itu akan hilang dalam hitungan detik.
***
Jadi, diam! Diam! Karena aku sedang sangat marah sekarang!
***
Apo pun merosot ke lantai karena lemas. Dia duduk dengan tangan masih terkunci dalam cengkeraman. Berkedip-kedip panik, dan jantungnya nyaris meledak bila saja tidak diberi jeda.
Ada apa?
Kenapa Mile menciumnya?
Apo tak sempat berpikir lebih jauh lagi. Tubuhnya sekaku batu saat Mile melepaskan tautan bibir mereka. Dia sempat mendorong bahu si iblis, tetapi Mile sudah meraup putingnya rakus. Mulut hangatnya menghisap, sementara lidahnya menjilat bagian mungil itu penuh hasrat.
Dalam seluruh fantasi gilanya, Mile memang membayangkan pemandangan ini saat mengocok penis di kamar mandi. Dia memaki-maki waktu itu, tetapi tak pernah terasa sesinting ini saat Apo merintih merdu.
"Mnnnnhh ... ah!"
Bibir lelaki itu terbuka. Jika saja Mile memiliki seribu bibir, dia ingin meraup bagian itu bersamaan dengan dua puting Apo sekaligus. Ah, kenapa rasanya menyentuh bisa senikmat ini? Tidak tahu. Mile hanya merutuki kebenaran ucapan sang kakak ... bahwa selama ini dia menyia-nyiakan diri karena tidak pernah tertarik bercinta. Meskipun begitu, di sisi lain Mile juga lega. Karena Apo menerima sentuhannya saat dia benar-benar ingin melakukan itu.
"Mile, jangan-kh. Jangan di sana-ugh ...."
Mile menggebrak punggung Apo sekali lagi. Dia seperti mabuk anggur lima barel. Pandangannya buram gelap. Buram gelap. Dan semua itu kabur kecuali saat Apo mendesah semakin keras. Jeritan lelaki itu sungguh mengundangnya untuk datang. Bila tak menggunakan celana jeans, mungkin Mile sudah membebaskan penisnya sejak awal.
Dia kesal! Sungguh! Tetapi cukup menyenangkan melihat reaksi Apo saat Mile menurunkan restletingnya.
"A-Apa?"
Mile sudah mendorong Apo rebah ke lantai sebelum lelaki itu melihat total. Manik besarnya mengerjap-ngerjap, dan ketukan-ketukan jantungnya makin keras saat merasakan penis gembung mendesaki selangkangannya.
"Kau lupa? Ini namanya proses perkawinan."
DEG
"TIDAK! A-Aku-"
Mile mengecup bibir itu sebelum protes lebih banyak. "Baik, kali ini aku benar-benar brengsek. Kuakui," katanya. Lalu menarik dagu Apo hingga mendekat padanya. "Kau saja yang salah fatal, Apo. Karena aku sejatinya iblis. Bila manusia bisa tega memerkosa, apa menurutmu aku tidak?"
DEG
"K-Kau ...."
Mungkin Apo ingin memaki dengan kata paling kasar di dunia ini. Tetapi dia hanya bungkam.
"Bahkan bocah tiga tahun pun sudah diajari ibunya. Jangan pernah percaya iblis, Nak. Mereka mahkluk berdosa yang penuh tipu daya. Tapi kau?" Mile tertawa-tawa, meski dalam hati jantungnya pun ikut ngilu melakukan ini. "Mantan dosen, sarjana doktor, akan post profesi ke sebuah perusahaan elit-begini saja tergelincir kecerobohan."
"...."
"Jadi, jangan salahkan aku bila tertarik melakukan ini. Kau membuatku jengkel, paham?"
Di luar dugaan, Apo justru membuang muka. Lelaki itu masik terisak pelan, tetapi kali ini tatapannya lebih murup daripada bara api. Seolah-olah kehidupan timbul tenggelam di sana. Dan Mile menemukannya bagai lampu yang berkelap-kelip. "Lakukan saja semaumu," lirihnya. "Aku sudah tak peduli lagi."
DEG
"Apa?"
Bersambung ...