BAB 5
3 hari sebelumnya ...
Dua menit sebelum pesawat landing, Apo bangun tidur karena tepukan pelan. Kedip-kedip, ada Bible dengan senyum manis ada di depannya. Pria itu membebatkan syal rajut ke leher sang kekasih yang menegakkan punggung.
"Sangat nyenyak?"
Apo mendengus tersenyum. "Iya, tidak mimpi, tetapi rasanya segar," katanya. Dia menoleh ke jendela dan untuk melihat pemandangan. Di bawah sana desain gedung Bandar Udara Malpensa sudah terlihat jelas. Liki-liku bangunannya, gedung-gedung tinggi yang mengapit di sekitar, dan keramaian siang hari yang mengitari.
"Phi, aku senang kita sampai ke sini," kata Bible. Padahal Apo tidak pernah jalan jauh-jauh sejak turun di landasan, tetapi pria itu menggenggam tangannya erat tiba-tiba.
Apo pun tersenyum tipis. "Aku juga." Dia pandang raut berkerut-kerut Bible, matanya, lalu menerima ciuman lembut sambil berpejam.
"Terima kasih sudah jadi kekasihku selama ini."
Apo pun tertawa kecil. "Apa-apaan," katanya heran. "Kau harus berterima kasih aku mau jadi kekasihmu selamanya."
Bible memandangi wajah yang tak pernah dia lupakan itu. Bahkan dalam mimpi, hanya Apo yang tampak sejak dia mulai jatuh cinta. Lelaki itu sangat indah bahkan dengan wajah lecak baru bangun. Hidungnya mancung dan ingin dia gigit kadang kala.
Bibir itu tak pernah menolak ciumannya selama ini. Tidak, meski mereka sempat bertengkar karena hal-hal kecil. Dia tahu Apo memiliki perasaan yang sama besar dengan dirinya. Karena itulah kaki mereka bisa berpijak sampai di tempat ini.
Bible sulit sekali menginterpretasikan perasaannya dengan benar. Dia pikir, apapun yang dilakukan demi Apo, rasanya tidak pernah cukup. Rumah, kerjaan, lamaran ... segalanya. Bible ingin menjadi dominan keren untuk lelaki itu, tetapi Apo kadang melarangnya. Ah, andai dia bisa membawa sang kekasih ke altar dengan cara sempurna.
"Kau sedang memikirkan apa?"
Dengan tanpa pergi dari tanah air. Dengan jujur kepada keluarga dan teman-temannya. Dan masih banyak hal lainnya.
"Tidak, hanya ingin menawari makan di mana?" kata Bible.
"Oh ...."
"Kita bisa coba menu khas Italia di resto terdekat." Bible membuka ponsel untuk melihat maps dalam saluran network-nya. "Hmm, La Carte Dalgona ini sepertinya bagus."
Apo pun melirik ke layar itu. Di sana ada restoran bergaya Yunani dengan patung-patung berselendang yang terpajang. Pot-pot bunga bonsai menjadi dekorasi penting tempat itu. Dari dinding kacanya diterangi lampu tumblr, semuanya terlihat rapi dalam rak-rak tinggi.
Apo pun langsung suka dengan suasana temaramnya. "Boleh."
Bible tahu sang kekasih sedang memikirkan sesuatu. Entah apa. Mungkin gugup dengan tanah baru, tetapi dia pura-pura tidak tahu. Membuat Apo nyaman mungkin lebih baik daripada bertanya macam-macam padanya. "Kalau begitu, ayo."
Hari pertama di Milan semuanya lancar-lancar saja. Apo terlalu senang melihat rumah kejutan yang Bible siapkan, hingga pria itu berlari pelan sejak turun dari taksi. Ekspresi cerahnya begitu indah. Dada Bible sangat hangat melihat Apo menikmati tiap detik membongkari koper.
"Ini bagus, Bib! Aku tidak pernah membayangkan akan punya perapian lilin!"
Malam itu, Bible hanya tertawa karena Apo mendorong sofa telur ke sebelah perapian. Ha ha. Rupanya sang kekasih sangat bersemangat hingga raut kalut itu hilang hanya dalam waktu setengah hari.
Bible pun menemani sang kekasih di sisinya. Pria itu memberikan secangkir kopi sebelum duduk di depan Apo. Dia memang suka dengan kegiatan sederhana seperti itu. Bersila, memandang sang lelaki tercinta dengan tatapan memuja, lalu mengobrolkan hal-hal kecil. "Walau aku tetap merasa tempat ini terlalu sempit."
"Apa? Tidak. Sungguh." Apo pun mencubit pipi Bible. "Ini keren, oke? Aku suka penataan ruangannya, apalagi desain ini sangat klasik."
"Yang benar?"
"Iya, Bib. Lagipula lantai 2 belum ditata dengan benar. Nanti kalau barang-barang pindahan kita sampai, semua pasti tampak lebih baik," kata Apo. "Toh kita hanya berdua saja. Memang kau pikir dua lelaki butuh rumah seberapa besar?"
"Siapa bilang kita hanya akan berdua?" Bible melingkarkan lengannya ke pinggang Apo manja. Dia seperti tengah mengemong lelaki itu, meski usianya lebih muda. "Setelah menikah, aku ingin kita punya beberapa anak kecil."
"Eh?"
Bible merebahkan kepalanya ke pangkuan sang kekasih. "Tidak mau? Jika bukan mengadopsi. Tak masalah kalau dari surrogacy."
Wajah Apo pun memerah begitu cepat.
"Toh aku ingin lihat Phi junior di dunia ini. Pasti dia sangat tampan dan cantik sepertimu."
Seketika, simpang empat pun muncul di pelipis Apo. "Astaga, kenapa harus aku yang melakukannya? Lagipula aku juga ingin lihat versi kecil darimu. Kenapa tidak sama-sama?"
"Ha ha. Boleh juga kalau begitu. Satu darimu. Satu dariku. Jadi, deal?"
Apo justru tersenyum kecut. "Tidak, jangan dulu. Kalau pun iya. Ini masih rencana jangka panjang," katanya. Tak tahan saat membayangkan ada dua bocah dengan wajah mirip mereka yang berkeliaran di rumah ini. "Pertama-tama, kita harus menyapa calon tetangga esok hari. Yeah, tentu saja tidak sendirian. Kita harus bersama karena aku masih kurang fasih bahasa negara ini."
"Oke." Bible pun tertawa lebih keras. Padahal dia ingin menggoda Apo lebih jauh, tetapi sepertinya lelaki itu sudah sangat peka dengan rencana masa depan mereka.
Rasanya puas sekali, sungguh!
Apo bahkan tak menolak ajakkannya bercinta setelah itu meski tubuhnya agak lelah. Untung mereka berdua anti jetlag. Jadi, selain pusing perjalanan ... tak ada yang terjadi setelahnya.
"Ha ha. Aku sudah ngantuk sekali, astaga," keluh Apo. Di bawah selimut, pelukkannya pada Bible nyaris merosot. Kedua mata besar lelaki itu separuh terpejam, dan sang kekasih pun tersenyum melihatnya. Bible mengurangi keintens-an ciumannya pada bibir dan seluruh wajah itu, tetapi tidak dengan sodokannya di bawah sana.
"Menyesal mengiyakanku?"
Apo mendengus pelan. "Tidak. Tidak akan." Dia meremas undercut di tengkuk Bible dengan rintihan samar. "Mmmnhh ...." Ah, shit. Penis pria itu makin besar saja sekarang.
"Sorry, ini terlalu nikmat, Phi."
Apo pun melingkari pinggang pria itu dengan kedua kakinya. "Tidak apa. Peluk aku." Dia melenguh samar tiap kali penis itu meraih tempat terdalam di tubuhnya. Oh, yeah! Ya! Di sana! "Kau pikir hanya dirimu yang merasakannya?"
Bible pun tertawa geli. "Ha ha. Baik."
"Umnn ...."
Entah apa yang membuat Bible excited parah daripada biasanya, yang pasti Apo lega bisa memuaskan hasrat sang kekasih malam itu. Rautnya tampak begitu tenang, begitu pun yang dirasakan Apo ketika menoleh ke arah jendela. Di luar sana, kerlap-kerlip lampu jalan tampak samar karena tirai transparan yang melapisi. Namun, Apo bisa temukan banyak hal menyenangkan di negara ini meskipun rasanya aneh.
Bagi Apo, selama ada Bible, segalanya pasti baik-baik saja. "7 Maret 2003," gumamnya dengan senyuman tipis. Dari menghadap, dia memunggi Bible yang langsung mengeratkan pelukkannya di belakang. "Aku harus mencatat hari ini agar tidak lupa." Cincin di jarinya tampak berkelip di bawah kehangatan lampu tidur. Cahaya yang terbias pun bergerak-gerak saat Apo mengambil ponsel dari atas nakas. Dia pikir, catatan ponselnya masih sama, ternyata Bible sudah lebih dulu menyematkan sesuatu.
[Hari pertama aku dan Phi Po di Italia. Sangat menyenangkan. Kami akan merayakan kepindahan ini setiap tahun mulai sekarang]
~ 7 Maret 2003 ~
"Ha ha, ya ampun," gumam Apo tidak percaya. Biasanya Bible tidak pernah melakukan ini, sungguh. Apo pun jadi gemas berbalik hanya untuk mengecup kening pria itu. "Kalau sudah begini, bagaimana bisa aku jatuh cinta pada orang lain?"
Ya. Dia yakin takkan jatuh cinta lagi. Apalagi melebihi kepada Bible. Dekapan pria itu tak terganti, dan ketulusannya pun tidak pernah sungguh-sungguh menyakiti.
"Dan aku sungguh beruntung mendapatkanmu hingga sampai seperti ini."
***
"Phi! Apa aku tadi lama?!" Paginya, Bible gugup turun tangga dengan jaket yang pakai asal. Pria itu lupa mengenakan kaus kaki karena terlambat bangun, sementara Apo nyaris oleng menerima pelukan paginya.
Brugh!
"Eh, rotinya! Jatuh-"
"Tidak akan, ha ha," sela Bible. Dia mengecup pipi Apo dari belakang setelah menangkap piring roti-roti keju itu. "Ngomong-ngomong, kenapa tidak membangunkanku? Kita kan harus pergi ke pet shop sebelum menyapa tetangga."
"Tak masalah. Aku senang kau tidur pulas daripada memaksakan diri," kata Apo. Dia menyuapi Bible dengan senyuman yang lebar. "Lagipula aku belum benar-benar memutuskan. Akan pelihara husky atau kucing saja."
"Hmnnn ... ini enak." Bible menyambar roti itu dari tangan Apo dan duduk di kursi makan. "Memang kenapa, Phi? Bukankah kau sangat suka kucing?"
"Iya, tapi itu membuatku ingat dengan Cattawin," kata Apo. "Tapi perawatan husky lebih merepotkan. Maksudku, grooming. Kalau ukuran anjing pasti biayanya lebih mahal."
"Aku akan membelikan Phi Po," kata Bible.
"Eh? Siapa yang bilang kau yang akan membelinya?" kata Apo. "Aku akan menebus semuanya sendiri-"
"Tapi mengeluh saat memikirkan biayanya." Bible pun menarik Apo duduk untuk melihat wajah cemberutnya lebih dekat. "Dengar, Phi bilang berencana beli mobil dan mengurus biaya resepsinya. Jadi, untuk hal yang remeh temeh, bilang aku."
"Tidak."
"Aku masih bisa sendiri-"
Bible pun menarik tengkuk sang kekasih hingga bibir mereka bertemu. Dia tak peduli Apo akan protes, tetapi lumatannya sangat agresif hingga sang kekasih meremas pinggiran meja. Untung saja diameter benda itu tidak besar. Apo jadi leluasa memberikan servis paginya meski akhirnya tetap merengut.
"Ini kesempatan yang terakhir. Bilang, oke?"
"Hmph."
Apo justru membuang muka.
Daripada melanjutkan perdebatan, Bible mendadak penasaran soal sesuatu. "Ternyata Phi tipe yang ingin melupakan saat sakit hati, ya," gumamnya. "Aku baru benar-benar menyadari."
Apo yang baru memotong mengambil sendok pun mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Bible mengendikkan bahu. "Seperti barusan. Cattawin pergi, kau jadi tak ingin pelihara kucing lagi."
"Oh ... iya."
Tatapan Bible sempat memudar sebentar. "Ah, lalu kalau aku sendiri yang pergi?" tanyanya retoris. "Apa Phi tidak ingin suka orang lagi?"
DEG
"Apa?"
***
Bagaimana jika kau yang pergi? Kenapa bisa kau berkata begitu, Bible?
***
"Tidak, tidak. Maksudku-"
"Berani membahas hal ini lagi tidak akan kuampuni," sela Apo kesal. Dia menekan injakkannya pada kaki Bible meski sang kekasih sudah meringis. "Dengar, ya. Kau tidak akan pergi kemana pun. Kalau pun mau, tidak akan kuizinkan. Mau selingkuh di belakangku? Siapa orangnya. Sini. Aku akan memukulnya dengan tanganku sendiri. Paham?"
Padahal yang Bible maksud adalah kematian. Dia menganalogikan kasus Cattawin dengan dirinya sendiri, tetapi sepertinya Apo terlanjur sensitif dengan topik ini. Daripada masuk dalam kondisi serius, Bible justru tertawa dengan keposesifan sang kekasih yang keluar. "Wah, wah. Aku merasa sangat tersanjung," katanya geli. "Ternyata yang jatuh cinta setiap hari bukan hanya aku saja. Syukurlah. Ha ha."
"Aku ingin sekali menghukummu," keluh Apo pelan. Dia menyuap roti dengan raut yang membuat sang kekasih ingin menyeretnya ke kamar lagi. "Tapi maaf. Tidak ada main hukum sampai kita menjalankan misi hari ini."
"Aku tahu, aku tahu." Bible mengusap lelehan keju di bibir Apo. "Mengenal mereka memang bagus untuk kedepannya. Thanks for being with me till now."
Apo justru memelototi sang kekasih. "Sana sarapan. Jangan menggangguku seperti ini."
Hari itu semuanya berjalan lancar saja. Tetangga menyambut kehadiran mereka dengan baik, meski beberapa cukup takjub dengan visual mereka. Bagaimana pun pigmen kulit Asia cukup jarang di kawasan itu. Apo pun diajak mengobrol beberapa orang cukup lama-sampai ada yang tidak memperbolehkannya keliling ke tetangga lain-karena terlalu nyaman.
"Tapi kita belum berhasil membeli husky-nya," kata Bible.
Apo pun menariknya masuk rumah setelah menandatangani nota kurir. "Tidak apa. Besok kita bisa keluar sekali lagi," katanya. "Yang penting tetangga sudah beres dan barang-barang kita juga tiba."
"Astaga. Sungguh?"
"Iya, kita tata dulu semuanya," kata Apo. "Kau bisa mengajakku ke museum sekitar sini jika ingin membayarnya sebagai hutang."
"Ha ha. Boleh." Bible pun langsung cerah. "Kudengar memang banyak tempat keren di sini. Phi mau kuajak ke Galleria Vik Milano?"
"Hm."
"Tapi, sebaiknya besok beli husky dulu," kata Bible. "Aku tidak mau hal ini tertunda lagi. Menata barangnya bisa kapan saja."
"Dasar ...."
Meski kurang suka sifat memanjakan Bible yang berlebihan, Apo menuruti pria itu kali ini. Dia cukup gemas melihatnya bangun pagi buta. Ikut beres-beres sedikit di rumah. Lalu menyeret tangan Apo untuk keluar pada pukul tujuh.
"Kita tidak perlu masak hari ini," kata Bible. "Nanti mampir ke kafe sebelum beli. Phi harus bersamaku seharian. Dan aku tidak menerima penolakan."
"Barusan kau mengatakan apa?" Apo tidak tuli, percayalah. Namun, dia cukup heran dengan tingkah Bible waktu itu. Sang kekasih tidak biasanya segugup ini menjalankan sesuatu. Apalagi dia tipe yang sangat peduli dengan rencana matang dan kesiapan. Jadi, meninggalkan rumah berantakan dengan barang paket, lalu pergi saat perut kosong-
"Tidak apa-apa. Ayo!"
"Iya, tapi-astaga, Bib! Kau lupa syal-mu di sofa!"
"Tidak usah. Nanti beli baru saja di jalan!"
"Hah?"
"Taksinya sudah datang, Phi! C'mon."
Diseret terlalu cepat, Apo pun terpaksa mengikuti. Dia sebenarnya senang-senang saja selama sang kekasih bahagia, tetapi-
BRAAAAAAAAAAAAAAKKHH!
SREEEEEKHHH! BRAKH! BRAKH!
"KECELAKAAN!"
Apo tak kuasa mendengar gaung gila itu sekali lagi.
Bersambung ....