BAB 4
"Aku punya beberapa rumah di negara ini," kata Mile. "Bagaiamana pun, setelah makan, aku akan hidup dan berbaur dengan manusia."
"Oh ...."
"Dan aku tidak perlu bekerja heboh seperti kalian," kata Mile. "Jadi, jangan harap sambutan yang mewah. Sebagus apapun bangunannya nanti, kau takkan temukan makanan manusia."
"Ahh ...."
"Hanya perabotan, maksudku," tegas Mile. "Jangan bayangkan aneh-aneh ada daging mutilasi atau apa. Aku ini iblis dengan kasta tinggi, tidak seperti mitos-mitos menggelikan yang berkembang diantara bangsamu." (*)
(8) Kasta Iblis: Iblis juga hidup dengan peraturan layaknya manusia, tetapi tidak patuh pada Tuhan. Mereka memiliki kaisarnya sendiri, menaati dengan sumpah suci, dan sering digambarkan sebagai musuh manusia.
Mile bilang, saat dirinya dalam wujud asli seperti ini yang mampu melihatnya hanya Apo. Dan anehnya, Apo merasa hal tersebut justru mengagumkan.
"Kau indah, tetapi bukan Bible." Kelopak mata Apo turun perlahan. "Bukan manusia juga. Jadi, kuharap aku segera melupakan rasa sakit ini. Biar aku sembuh, dan kau pun bisa bebas menjalani hidup seperti sebelum bertemu denganku."
***
Apo menatap layar ponselnya. Benda itu mati. Dia yakin bukan karena kehabisan batrei, melainkan diajak terbang Mile. Karena hanya digenggam, kecepatan luar biasa membuatnya rusak. Namun, daripada marah Apo justru tak peduli. Kehilangan kontak dengan siapa pun mungkin lebih baik. Sebab dirinya takkan diganggu saat masih berduka seperti ini.
"Ambil abu kekasihmu seminggu lagi," kata si penjaga rumah duka saat tubuh Bible masuk ke ruang kremasi. "Kami butuh waktu untuk merapikan segalanya. Lebih-lebih bukan hanya dia yang yang mati dalam kejadian ini. Sopir mobil dan tiga penumpang yang lain juga."
"Baik."
Jika boleh, Apo akan meminta Mile membuat altar khusus kekasihnya di rumah iblis itu. Apo belum sanggup membawanya pulang.
"Hei, berhentilah melamun," kata Mile. Dia dalam wujud kucing, kini melompat ke kenop pintu untuk menarik turun tuasnya. "Kita sudah sampai. Masuklah."
Aroma hujan khas Mile kembali merasuk ke hidung Apo. Dia menatap ke sekitar sejak mulai melangkah masuk. Dia pikir, Mile akan membawanya ke sebuah tempat sederhana, tetapi mansion ini sungguh berlebihan.
Iblis itu tak berbohong soal isinya hanya perabotan. Tak ada siapa pun, meskipun pelayan yang bertugas membersihkan bagian dalamnya yang agak berdebu. "Hatchi!" Apo pun tak tahan geli hidung dan menutupnya punggung tangan.
Kemewahan adalah hal yang menimbulkan tanda tanya dalam benak Apo. Ada lampu gantung besar yang berada di ruang tamu. Televisi 75 inch. Sofa-sofa minimalis berjejeran. Patung-patung keramik di setiap sudut ruang. Lukisan-lukisan ala Romawi kuno. Kolam ikan di dalam ruangan. Juga air mancur yang terjun bebas dari dinding lantai tiga.
Apo terpana melihat curahan air yang mengalir di dinding kaca indoor itu. Ada tanaman perdu yang menggelantung di sana, juga kupu-kupu yang bermain di sekitar bebungaan yang mekar.
Apa Mile bekerja setelah hidupnya terbebas tugas? Jika tidak, mustahil. Sebab hal ini sungguh nyata. Apo bahkan tak bisa membandingkan rumah barunya bersama Bible dengan tempat ini.
"Anggap saja rumah sendiri," kata Mile. Iblis itu melompat di atas sofa dan menggulung diri di sana. Ekor kucingnya bergoyang-goyang, dan dia langsung mengatupkan mata begitu saja. "Jadi, terserah kau mau tidur di mana. Ada banyak kamar di tempat ini. Cari saja."
Apo jelas tak selancang itu. Dia pun memilih duduk di sisi Mile. "Terima kasih," katanya. "Boleh aku tanya sesuatu lagi?"
"Hm."
Alis kucing Mile bergerak-gerak tanda dia mendengarkan.
"Umn, kau bilang rumah duka tadi merupakan wilayahmu," kata Apo. "Jadi, kau tak bisa memangsa selain di tempat itu?"
"Ya."
"Kenapa? Bukankah orang mati di sembarang tempat ada banyak?" tanya Apo lagi. "Kau tidak harus begini hanya untuk menemukan ruh yang baik."
"Ah, ini sungguh menyebalkan," kata Mile. "Kupikir kau sudah paham hal seperti ini tanpa harus kujabarkan."
Tanpa sadar, Apo pun terkikik geli karena mata kucing itu terbuka kembali. "Maaf, maaf," katanya. "Aku hanya ... mn, sejujurnya ini agak menarik untuk kuketahui. Aku sendiri tak paham kenapa."
"Cih." Mile pun menggeliat malas sebelum melompat turun. Iblis itu naik ke meja televisi dan mendorong jatuh sebuah foto. Prakh! "Ambil dan lihatlah. Tapi hati-hati. Serpihan kacanya mungkin bisa melukaimu."
"Oh ...." Apo pun mendekat untuk memungut foto hitam putih tersebut. "Apa ini?"
"Itu aku." Di dalam gambar, Apo melihat sekelompok keluarga iblis yang menjelma jadi manusia. Semuanya tampak berekspresi datar. Dan mereka menjepret momen tersebut di ruang tengah rumah ini. "Maksudku, lihat remaja Italia bersepatu yang berdiri di pojokan." (*)
(*) Ras Kaukasia: Dahulu keluarga iblis Mile mendiami wilayah Italia Timur. Jadi, mereka mengunakan ras ini untuk berbaur dengan manusia di sana.
"Wah ... ini kau?"
"Hm. Setidaknya itu wajah favoritku yang dulu," kata Mile. "Sekarang lihat gadis di sebelahnya."
"Dia mirip sekali denganmu."
"Benar, karena dia memang saudariku. Namanya Davikah," kata Mile. "Dia masih hidup saat foto itu diambil, tetapi peraturan soal makan memakan berubah ketat setelah kepergiannya."
DEG
"K-Kenapa?"
Mile menyoroti wajah pias Apo dengan kedua mata kuningnya. "Tentu karena perebutan. Saudariku ditawari kontrak oleh satu jiwa kelas tinggi. Dia menerima, tanpa tahu jiwa itu sempat meminta bantuan iblis lain."
"Lalu apa yang terjadi padanya? Jangan bilang ...."
"Tentu mati karena kesalah pahaman." Mile tampak murka dalam sekejap mata. "Dia sekarat dalam pertarungan tanpa kesiapan, sementara aku mengajukan pembelaan pada raja kami."
DEG
Apo pun meremas pinggiran sofa tanpa sadar. "Kalian punya raja juga," katanya. Lalu segera berdehem. "Maksudku, kupikir iblis itu makhluk yang bertindak semaunya. Jadi, semoga kau tak salah paham."
"Tak masalah." Mile melompat kembali ke sofa. Bukannya marah, si kucing justru naik ke pangkuan Apo. Mungkin Mile tidak sadar, tetapi tempat itu memang nyaman diduduki sejak mencobanya pertama kali. "Bagaimana pun bangsa kami tidak eksis. Bukan tanpa sebab tentunya. Namun, paling sering karena digambarkan dengan cara mengerikkan."
"Iya." Apo mengangguk paham. "Kalian hanya sedang menghindari bahaya tak perlu."
"Baguslah bila kau tahu soal itu," kata Mile lagi. "Jadi, meskipun bisa berbaur, kami lebih sering hilang dari mata manusia. Itu lebih aman. Toh makan hanyalah urusan kami setiap 10 tahun."
Tanpa sadar, Apo sendiri mengelus bulu-bulu hitam Mile. "Kalian ternyata lebih baik daripada para vampir, ya," pujinya. "Walau aku tidak yakin vampir itu sungguhan ada."
"Bukan begitu," dengus Mile tiba-tiba. "Aku sendiri sebenarnya jahat. Nyatanya aku menelan ruh pacarmu, Bible, hingga tidak bisa reinkarnasi lagi." (*)
(*) Reinkarnasi: Di sini ruh manusia bisa reinkarnasi setelah 100 tahun kematian. Namun, jika ruh dimakan iblis, kemampuan ini hilang hingga musnah selamanya.
DEG!
"Ah ...." Elusan Apo pun berhenti beberapa detik. Untuk sejenak, dadanya berdenyut ngilu. Namun, setelah dipikir sekali lagi, meski Bible bereinkarnasi di masa depan ... mereka takkan bertemu karena jaraknya 100 tahun. "Umn, yeah-ha ha-bagaimana pun kau itu iblis, ya. Aku tadi sempat lupa."
"Hm, tapi aku memilih menuruti aturan bangsaku," kata Mile. "Karena menurutku api sebenarnya sangat terhormat. Tidak seharusnya aku mengacaukan peraturan kehidupanku sendiri jika sudah lahir dan tercipta."
Kini, Apo merasa melihat dunia dengan cara lebih luas. Hal-hal yang dia katakan dengan pemikiran kepada takhayul, ternyata Mile membenarkan semuanya.
"Jadi vampir dan reinkarnasi itu benar-benar nyata." Apo pun mengusap air matanya yang mendadak jatuh. Meski tahu takkan bertemu Bible versi reinkarnasi, dia tetap sedih karena pria itu benar-benar hilang dari semesta ini. "K-Kupikir ... ah, maaf. Aku lelaki, tapi ternyata secengeng ini. Ha ha."
Apo tidak tahu, Mile memandangi wajahnya dengan mata kucing yang bersinar saat itu. Ada binar-binar penasaran di dalamnya, tetapi malah berpaling saat jemari Apo mengelusnya kembali. Dia diam hanya menemani. Berniat berpejam dan tidur saja. Sayang merah-merah penuh duka di wajah Apo kini menggentayangi benaknya.
"Aku tidak harus peduli urusan lelaki ini," batin Mile. Dengkuran ala kucingnya makin tenang setiap Apo membelai dengan cara yang lebih lembut. "Toh dia dewasa. Palingan, Bible bisa dilupakan kalau kutemani sebulan. Lagipula, siapa yang betah dengan hidup yang dihantui kematian? Aku sepertinya harus bersabar sementara waktu."
Malam itu, Apo tertidur di sofa setelah menangis begitu lama. Dia menyebut nama Bible dalam mimpi, merintih-rintih dengan badan menggigil trauma, dan Mile tidak tahan melihatnya.
"Astaga, aku tak pernah tahu ada klien semerepotkan ini," keluh Mile. Tengah malam, dia pun berubah ke tubuh manusia untuk menggendong Apo. Dia tahu Apo sungguh ringan, tetapi tak pernah sejelas ini di indra perasanya. Mungkin karena tadi hanya memeluknya saat terbang dengan kecepatan tinggi, Mile pun abai soal apa pun.
"Mnnhh ... mnn ...." gumam Apo dengan menggigit bibir merahnya. Lelaki berjari ramping itu memeluk leher Mile sebelum benar-benar direbahkan. "Bible, jangan pulang, tolonglah," pintanya dengan kening berkerut. "Badanku panas. Rasanya demam. Bisakah kau buat bubur untukku dulu?"
Berani sumpah Apo tidak benar-benar demam saat ini. Mile yakin dia membawa masuk lelaki itu ke rumahnya tepat waktu. Mana mungkin angin malam membuat kesehatannya menurun jika hanya sebentar di luar sana?
"Dia pasti hanya melantur," kata Mile. Kali kedua, dia memaksa lepas Apo dan menyelimutinya sebatas dada. Iblis itu nyaris keluar kamar bila Apo tidak menangkap tangannya.
"Bible, mau kemana?"
Kening Mile pun berkedut pelan. "Oh, Shit."
Apo terlelap lagi setelah itu.
Mile pikir, setelah melapaskan diri dari Apo, hatinya akan tenang begitu saja. Faktanya tidak. Makin jauh langkahnya dari kamar itu, detak jantungnya makin tak pasti.
Aneh.
"Aku yakin sudah mengamankan wilayah ini." Mile menatap ke sekitar dengan mata kuningnya. Dia pun menghela nafas panjang begitu yakin tidak ada apa-apa."Tapi, hmnn. Mungkin lebih baik kutemani beberapa hari." Dia pun kembali kesisi Apo dengan beberapa helai bulu kucing rontok pada keesokan pagi.
Bersambung ....