Nafi sudah menyerah, dalam seminggu ini setiap hari dia menghubungi safitri tapi jawaban operator masih sama, nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada diluar jangkauan. Mungkin safitri sudah menggantikan nomor ponselnya, mungkin safitri sengaja menghindarinya, mungkin safitri sudah punya calon suami, mungkin safitri sengaja menghindar darinya, hati nafi dipenuhi dengan kata mungkin. Cintanya layu sebelum bersemi. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menghubungi safitri lagi, dia tidak akan mengejar cinta yang bukan ditakdirkan untuknya.
Andai saja nafi tau bunga impian yang dia damba itu sedang bertahan untuk tetap mekar, sedang bersembunyi di dedaunan dari tiupan angin badai, mungkin nafi tidak akan membisikkan kata menyerah di hatinya. Nafi mencoba mengalihkan pikirannya dari safitri, dia melakukan aktifitas di luar tanpa henti sampai malam yang akan melumpuhkannya terbaring tak sadarkan diri. Semakin dia berusaha melupakan, semakin sering safitri menghampirinya dalam mimpi.
Beberapa kali ponsel nafi berdering, dia lagi menyibukkan diri dengan bengkel las, sudah satu bulan terakhir dia sudah tidak bersahabat dengan ponselnya, ponselnya sering tergeletak sendiri di meja, entah itu di meja bengkel atau pun meja di rumahnya. "nafi, ada panggilan di ponsel mu", teriak rekan kerjanya.
"iya, biarin saja, kalau penting nanti aku menghubungi kembali". Nafi tinggal bersama ibunya, selama ibu nya baik-baik saja, maka tidak ada panggilan penting diponselnya. "nafi ponsel mu berdering terus-terusan, mungkin ada hal yang sangat penting coba kamu terima dulu". Nafi masih saja sibuk dengan mesin las. "siapa sih yang menelepon?" tanya nafi sambil masih mengelas.
"safitri" jawab rekan kerjanya setelah melirik nama panggilan di ponselnya nafi. "safitri?", nafi menghentikan kerjaannya terus menyambar ponsel di atas meja.
"halo" nafi menjawab singkat. "halo, assalamualaikum, apa kabar? Apakah saya mengganggu?" suara safitri terdengar ragu-ragu di seberang sana. "kebetulan saya lagi di bengkel, tapi lagi tidak sibuk, saya baik-baik saja, kamu apa kabar?", nafi masih menebak-nebak kenapa safitri meneleponnya? Apakah dia mau kasih undangan pernikahan atau pesta perkawinan.
"alhamdulillah, saya juga baik-baik saja, maaf saya baru menemukan ponsel saya kembali, jadi baru melihat banyak panggilan dari kamu". Alasan macam apa ini? Memangnya selama satu bulan ponselnya kemana?, nafi merasa alasan safitri terlalu mengada-ngada. "oh, saya pikir memang sengaja menghindar dari saya, memangnya ponselnya hilang kemarin itu, terus ini baru ditemukan?" tanya nafi ketus.
Akhirnya safitri menceritakan kematian bapaknya yang mendadak, dia dan keluarganya sangat syok atas kepergian bapaknya yang sangat tiba-tiba. Adiknya sampai sekarang belum mau balik ke asrama sekolahnya, dia tidak ingin jauh-jauh dari mamaknya, safitri selama ini fokus untuk menyemangati adiknya supaya mau balik ke sekolahnya. Ponselnya selama satu bulan ini bersemanyam di dalam tumpukan keranjang kain bersih yang belum sempat di seterika.
Nafi sangat sedih mendengar ceritanya safitri, dia sangat merasa bersalah kenapa tidak menghubungi kak umi menanyakan kabar safitri saat ponsel safitri tidak bisa dihubungi. Dia berfikir seandainya dia menghubungi kak umi saat itu, dia bisa melayat saat bapaknya safitri meninggal, bisa menyemangati saat dia lagi terpuruk. Tapi, ini yang terjadi justru sebaliknya, dia mengabaikannya begitu saja, bermain kata 'mungkin' yang melintas di kepalanya bahkan mencurigai kalau safitri sengaja menghindar darinya.
"besok saya akan ke rumah kamu", rasanya sekarang juga nafi ingin berada di samping safitri, dia ingin mengikis perlahan luka di hatinya bunga pujaan. "tidak, jangan, kamu jangan kemari dulu, saya tidak ingin kedatangan kamu menjadi perbincangan para tetangga dan keluarga besar saya, ini belum 44 hari bapak meninggal, saya tidak ingin mamak jadi kepikiran dengan kedatangan kamu". selama bapak hidup safitri belum pernah menerima tamu atau temanya yang laki-laki datang bertamu ke rumahnya. Bapaknya mengajarkan sopan-santun dan tata krama yang harus dijaga oleh seorang gadis desa. Dia tidak ingin jadi gosip para tetangganya, bisa saja mereka berfikir safitri berani mengundang teman laki-laki ke rumahnya karena bapaknya sudah tidak ada.
"safitri, jujur saja apakah kamu malu memperkenalkan saya kepada keluarga mu? Mungkin kamu malu karena jenjang pendidikan kita tidak sama, saya Cuma lulusan SMA, sedangkan kamu lulusan sarjana". Nafi merasa minder dengan tingkat pendidikannya, padahal safitri sama sekali tidak bermaksud seperti itu.
"orang tua saya tidak pernah mengatakan kalau suami saya nanti harus lulusan sarjana juga atau harus bekerja kantoran, mereka Cuma kasih syarat kalau dia harus seiman, tau siapa tuhannya, mau bekerja keras dan bertanggung jawab kepada keluarganya". Nafi menjadi lega mendengar penjelasan safitri, dia punya kesempatan untuk mendekati keluarga safitri.
"jadi kapan kita bisa bertemu?" rasa sabar nafi mulai meronta, sebulan penuh dia seperti robot yang berhenti Cuma saat kehabisan baterai, dia menjadi robot untuk melupakan safitri, mencoba mengikis nama perempuan itu dari ingatannya. Saat safitri menyapa kembali. Hatinya melebur seperti salju yang tiba-tiba dihujam cahaya matahari yang sangat panas. "kita lihat nanti kapan waktu yang tepat", setelah mengucapkan kalimat itu, safitri mengakhiri obrolannya di ponsel.