Chereads / DISANTET MANTAN / Chapter 7 - BAPAK CURANG

Chapter 7 - BAPAK CURANG

" safitri, badan bapak kamu menggigil ini, kita harus segera bawa ke rumah sakit, wajahnya sangat pucat, takutnya kena demam berdarah, ini kan lagi musim demam berdarah, kemarin mamak sudah bilang, bapak jangan ke sawah dulu kalau merasa kurang sehat, tapi bapak tetap ke sawah". Safitri hanya diam mendengar mamaknya mengomel, omelan seorang ibu adalah bentuk perhatian dan kasih sayang yang paling besar. Safitri lagi seduh air jahe hangat untuk bapaknya, setelah membuat air jahe, dia akan cari becak untuk membawa bapaknya ke rumah sakit.

"safitri, kamu mau kemana?", mamaknya melihat safitri buru-buru mau keluar rumah.

"mau cari becak mak, untuk bawa bapak ke rumah sakit", ujar safitri. "tidak usah safitri, bapak tidak apa-apa, Cuma demam biasa ini, palingan besok juga akan sembuh", sahut bapak safitri sambil menyerumput air jahe hangat.

Akhirnya safitri tidak jadi cari becak, dia kembali ke dalam rumah menyelimuti bapaknya dengan selimut tebal.

Pagi ini nafi sudah sembilan kali menghubungi safitri, tapi belum juga diangkat, " apakah safitri sebenarnya sudah punya pasangan? Atau memang dia tidak mau dekat sama saya", pikiran nafi tidak karuan, dia merasa konyol kenapa kemarin tidak tanya dulu ke safitri dia suda ada calon suami apa belum."baik lah, saya akan coba hubungi sekali lagi, kalau kali ini dia tidak juga angkat, berarti dia sudah punya calon atau memang tidak mau dekat sama aku". Nafi mencoba keberuntungannya sekali lagi.

"assalamualaikum", safitri menyapa lewat telepon."alhamdulillah apakah ini pertanda jodoh", angin surga berhembus di jantungnya nafi. "walaikumsalam, apakah saya menganggu, sudah berkali-kali saya telepon tapi tidak dijawab, kalau memang mengganggu-" sebenarnya nafi sulit melanjutkan kalimatnya tidak akan menelepon lagi.

"tidak kok, saya tidak terganggu, Cuma hari ini saya jarang ngecek ponsel karena bapak saya lagi kurang sehat". Nafi senang mendengar kata tidak terganggu, tapi dia sedih mendengar bapak safitri sedang sakit. " semoga bapaknya cepat sembuh, safitri jaga kesehatan jangan sampai sakit juga", nafi mengakhiri obrolannya dengan salam.

"safitri, bapak ingin makan rujak salak, boleh minta tolong kamu beliin ke jambo rujak di persimngan jalan nak? Suruh buat yang pedas ya, kayaknya kalau makan rujak pedas, besok sudah sembuh total bapak. Kan bapak bilang juga apa, Cuma demam biasa", bapaknya tersenyum ke arah safitri, safitri sangat senang kondisi bapaknya sudah baikan, demamnya sudah turun. Safitri ke kamar mengganti pakaiannya, terus mengambil kunci motor pergi membeli rujak. Sepanjang jalan safitri senyum-senyum sendiri, pertama ayahnya sudah sembuh, kedua nafi bilang suka padanya.

"pakwa, rujak salaknya dua bungkus ya, yang enak dan pedas ya pakwa", safitri menunggu antrian rujak, tiba-tiba dia teringat ponselnya ketinggalan di rumah, kalau seandainya dibawa dia berniat untuk kirimin pesan singkat ke nafi. Rujak di sini sangat laku, harus mengantri saat membelinya.

Setelah mendapatkan pesanannya, safitri membayar terus beranjak pulang. Di jalan pulang safitri membayangkan betapa serunya makan rujak pedas bersama bapaknya, pasti ibunya mengomel karena mereka makan pedas, soal selera makan safitri ikut bapaknya, suka makan pedas dan yang asam, sedangkan ibunya paling anti yang asam dan pedas.

Saat sudah tiba di depan rumah, safitri melihat keramaian di halaman rumahnya, perasaanya mulai tidak enak, dia buru-buru masuk ke pekarangan rumahnya, " maaf kenapa ramai-ramai ya miwa?" safitri masih bingung dengan keramaian di rumahnya. " bapak kamu safitri, bapak kamu barusan meninggal nak". Jawab salah satu tetangganya yang lagi melayat. Plastik rujak di tangannya langsung jatuh, safitri terduduk di tanah, dia tidak sanggup melangkah lagi, lututnya seketika terasa seperti lumpuh, dunia terasa runtuh, dia tidak bisa berdiri lagi, di sekelilingnya terasa gelap, safitri jatuh pingsan, sangat berat baginya menerima kenyataan ini. Beberapa orang mengangkatnya membawa masuk ke rumah, safitri dibaringkan di ruang tamu, sedangkan jenazah bapaknya, di kamar belakang lagi persiapan mau dimandiin.

Mamaknya safitri masih berusaha supaya tidak nangis histeris, islam melarangnya untuk meratapi jenazah, dia harus bisa ikhlas melepaskan separuh jiwanya pergi, hidupnya tidak akan pernah sempurna lagi, tapi dia harus kuat karena masih ada bunga hati yang harus dilindungi. Dia mengusap air ke muka dan ke ubun-ubunnya safitri, dia menahan tangis di depan permata hatinya. "mamak", saat tersadar safitri langsung memeluk ibunya. Dia memeluk ibunya begitu erat, seakan-akan tidak ingin ibunya juga ikut pergi meninggalkannya, safitri menenggelamkan pelukan ibunya dengan air mata duka.

"mamak di sini sayang, kita harus kuat, ayok siap-siap wudhu kita ikut shalatin jenazah bapak mu, adik mu lagi di perjalanan pulang". Safitri makin teriris hatinya saat mendengar kata 'adik', pasti adiknya lebih terpukul dari dia, adiknya tidak akan sekuat dia.

Safitri mencoba menggerakkan kakinya melangkah untuk wudhu shalat jenazah, saat ini air matanya bercucuran sederas air di keran ini, dia wudhu dengan air keran yang bercampur dengan air mata, saat sudah di tahap menyapu kepala, wudhunya terhenti, dia menahan tangis yang membuat dadanya begitu sesak. "saya harus kuat.. saya harus kuat", safitri mencoba menyemangati diri sendiri, saat bibirnya mengucapkan kata kuat, matanya mengeluarkan butiran bening yang begitu deras. Safitri mencuci air matanya dengan air keran, tahapan wudhunya belum selesai, wudhunya batal, dia harus kembali dari tahap awal.

Kini jenazah ayahnya sudah dikafani, "safitri, kemari nak, beri ciuman terakhir untuk bapak mu", ibunya safitri menyibak kain yang di wajah suaminya, dada safitri begitu sesak saat memandangi wajah bapaknya yang sudah terbaring kaku, wajahnya masih menunjukan keteduhan, wajah yang begitu penuh dengan cinta dan kasih sayang, selama ini dia mengasihi keluarganya lebih dari dirinya sendiri.

Safitri menahan tangisnya, saat wajahnya menunduk ke arah kening bapaknya, dia membekap mulutnya dengan kedua tangannya. "safitri, jangan sampai air mata mu jatuh ke wajah bapak mu yang sudah suci nak, bapak mu sudah suci untuk menghadap tuhannya, ikhlaskan kepergiannya dia akan menanti kita di surga". Tidak kuat, jiwa safitri seperti dicabik-cabik oleh kesedihan, dia memeluk ibunya sebelum mengukir ciuman terakhir di kening bapaknya.

" mamak, kak safitri", yuni adiknya safitri, berjalan dengan lutut dari pintu masuk menuju ke jenazah bapaknya. Yuni menghamburkan dirinya ke pelukan ibunya dan safitri, "anak-anak mamak harus kuat, harus jadi putri-putri kebanggan bapak, bapak akan menunggu kita di surga nak". Mamaknya terus memberikan kekuatan kepada putrinya.

Safitri, mamaknya dan adiknya berdiri di shaf pertama jamaah perempuan mensholati jenazah bapaknya. Safitri mengikuti bacaan imam shalat dengan penuh penghayatan, sekelebat saat-saat berharga dengan bapaknya muncul di pelopak matanya, dalam shalat air matanya jatuh bercucuran, allahumma firlahu warhamhu wa'aafihi wa'fu'anhu, "wahai Allah, ampunilah dia, kasianilah dia, sejahterakanlah dia, dan ampunilah segala dosa dan kesalahannya, mulyakanlah kedatangannya, luaskanah tempat tinggalnya dan bersihkanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah dia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari segala kotoran, gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari yang terdahulu, dan hindarkanlah dia dari siksa kubur dan azab neraka". Tangisan adiknya dalam shalat terdengar sangat perih, safitri mencoba untuk tetap tegak dalam shalatnya, dia harus shalati bapaknya sampai selesai, ini adalah penghormatan terakhir untuk bapaknya.

Saat jenazah diturunkan ke liang lahat, safitri seakan-akan tidak rela liang lahatnya ditimbun tanah, rasanya dia ingin menemani bapaknya biar tidak kesepian di alam barzahnya. dia membekap mulutnya erat-erat biarlah dadanya sesak tanpa udara, biarlah air matanya berjatuhan seperti salju dipuncak musim dingin, dia tidak boleh pingsan kedua kalinya, jiwa dan raganya harus dikuatkan demi mamak dan adiknya, adiknya tidak melepaskan pelukannya sesenti pun. Sementara di aceh timur sana, nafi hatinya tidak karuan, sudah puluhan kali dia menghubungi safitri tanpa jawaban.

Hari ini adalah hari ke tujuh kepergian bapaknya safitri, dia belum kembali tidur di kamarnya, dia dan adiknya tidur di kamar ibunya, mereka ingin menemani ibunya sampai kesedihan di hati ibunya memudar. selama tujuh hari juga ponselnya tidak bersamanya, entah dimana benda itu, pasti ponselnya sudah kehabisan baterai, selama tujuh hari ini juga rumahnya tidak pernah sepi, setiap hari tamu datang silih berganti, setiap hari dia dan ibunya mendapatkan ucapan bela sungkawa, dan di setiap malam ibunya menangis di sepertiga malam saat menyebutkan nama bapaknya dibait doa. Safitri menangis dalam tidur, dia menutupi seluruh mukanya dengan selimut, 'bapak curang, pergi tanpa pamit'.