Hari ini safitri wisuda, tapi safitri tidak mengikuti wisuda, alasannya biar dia tidak harus mengeluarkan uang sebanyak lima ratus ribu. Lima ratus ribu bisa membayar dua bulan SPP adek nya yang lagi duduk di bangku SMA, orang tua safitri memasukkan adeknya ke sekolah yang bagus di kota ini, jadi seimbang dengan nominal SPP yang ditentukan oleh sekolahnya. Tahun 2001 ini masih sulit untuk mendapatkan uang lima ratus ribu bagi keluarga safitri yang sederhana.
Baiklah, safitri tetap bahagia biarpun dia tidak mengikuti acara ceremoni wisuda, yang pentiang dia sudah lulus dan sebentar lagi mencari kerja agar bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan membantu keluarganya. Sebenarnya setelah lulus bukan Cuma kerjaan yang perlu dipikirkan tapi juga tentang jodoh, tetangga keluarga dan kawan-kawan akan merenovasi pertanyaannya dari kapan kamu akan lulus kuliah? akan menjadi, kerja dimana kamu? Kapan nikah?, pertanyaan itu akan terus berulang-ulang sampai kita menemukan keduanya, ya begitulah hidup bertetangga, terkadang mereka lupa melihat persoalan mereka sendiri karena terlalu sibuk memikirkan kehidupan tetangganya.
"safitri bukankah kamu wisuda hari ini? Aku dengar anak kampung sebelah wisuda hari ini, dia kuliah di kampus yang sama dengan kamu", ya begitulah tetangga, anak tetangga kampungnya pun sempat dia urusi.
"Saya juga sudah lulus, tapi tidak ikut acara wisuda makcek", safitri menjawab sambil beranjak pergi, karena kalau tetap berdiri di situ akan di bahas secara tajam setajam silet oleh tetangganya. Safitri perlu menyisakan tenaganya untuk menjawab pertanyaan yang sama dari tetangganya yang berbeda sebentar lagi, besok, lusa, bahkan mungkin minggu depan mereka masih menanyakan tentang wisuda safitri.
"Aku harus segera cari kerja, nmungkin harus jadi tenaga honorer atau kontrak di kantor pemerintahan, aku harus cari kantor yang ada membutuhkan jurusan administrasi tata negara", safitri ngomong dengan dirinya sendiri sambil cuci piring di dapur. Ibunya safitri sepertinya masih di sawah menemani ayahnya mengolah sawah. Safitri selama ini sudah terbiasa melakukan kerjaan rumah termasuk memasak. Nyuci piring, nyuci kain, nyapu itu menjadi rutinitasnya saat di rumah.
"safitri kamu sudah lulus kuliah ya? Sepertinya kami sebentar lagi perlu jahit baju baru ini untuk menghadiri pesta pernikahan kamu, pasti kamu sudah ada jodoh kan?", safitri tidak marah sedikitpun mendengar pertanyaan ini dari tetangganya, dia sudah memprediksi dari kemarin pasti akan ada pertanyaan ini mulai dari sekarang.
"belum miwa, belum ada jodoh, doain ya moga cepat ketemu jodohnya", safitri meletak kan kembali sapu lidi di halaman rumahnya terus menuju ke dalam rumah.
Apakah semua perempuan yang sedang tidak sekolah atau kuliah itu harus menikah? Tidak boleh sendiri? Apa kelihatan aib kalau perempuan sudah lulus kuliah tapi belum menikah? Safitri monolog dengan dirinya sendiri sambil menyapu debu di lantai kamarnya.
Safitri akan mengabaikan dulu pertanyaan tentang nikah, pekerjaan saat ini lebih baginya untuk membantu finansial keluarganya. Safitri mulai besok akan mengebalkan telinga tentang pertanyaan nikah, dia akan berusaha tidak akan marah, menghadapi dengan tenang setiapa pertanyaan dari para tetangga dan saudaranya.
"assalamualaikum, safitri rajin sekali tiap hari selalu bersihin rumah, ibunya kemana safitri? Lagi di sawah ya dek?", salah satu tetangganya yang rumah diseberang jalan menghampiri dia sore ini. Safitri menanggapinya dengan ramah, dia basa-basi menyuruh kak suryani tetangganya itu untuk masuk dulu ke dalam rumah, ternyata tetangganya memilih ngobrol di halaman rumah saja.
" saya dengar kamu sudah lulus kuliah ya? Selamat ya safitri, sebenarnya saya kemari mau memperkenalkan kamu dengan seorang laki-laki yang tampan, dia anak seorang ulama di kecamatan kita, kampungnya tidak jauh dari kampung kita, dia sedang bekerja di jakarta, dia mencari seorang istri yang sekolahnya tinggi seperti kamu, nanti setelah menikah kamu akan dibawa ke jakarta, kamu belum punya calon kan safitri? Saya tau kamu pasti tidak pernah pacaran selama ini, karena fokus untuk kuliah kan, beruntung sekali kamu kalau nikah sama dia, pasti senang tidak akan susah, tidak perlu ke sawah karena akan tinggal di ibukota negara". Kak suryani ini sebenarnya sangat cantik orangnya, tapi mendengar dia cerocos kecantikannya memudar 99 persen di mata safitri. Safitri terdiam membisu mendengarkan ocehan tetangganya itu, ingin rasanya tidak menjawab "tidak mau", atau tidak usah ikut campur urusan pribadinya, tapi mulutnya tidak bergerak, safitri paling malas kalau dikatain sombong sama tetangganya.
"safitri sini nomor handphone kamu biar saya kasih ke dia, nanti biar dia yang menghubungi kamu, tenang saja kamu perlu repot-repot isiin pulsa, mungkin nanti kalau kamu mau dia yang akan mengisi pulsa untuk kamu juga", ingin rasanya mulut safitri berkata kotor, mengumpat ngatain kak suryani ini dengan mamak peyot. Tapi itu Cuma keinginannya, kenyataanya dia sama sekali tidak mengatakan apa-apa, apalagi mengumpat.
"sudah jangan terlalu banyak mikir kasih saja, dia anak seorang ulama, dari keluarga yang terpandang, minggu depan dia akan pulang sebentar, nanti dia akan ke sini ke rumah kamu", safitri lagi memikirkan kata-kata yang halus dan sopan untuk menolaknya.
"saya mau cari kerja dulu kak, mau kerja biar bisa bantu keluarga", akhirnya mulut safitri terbuka juga mengucapkan kalimat itu.
"kamu kan lulusan sarjana, di jakarta nanti kamu juga bisa kerja, bisa menikah dan kerja itu kan lebih bagus pasti ibu kamu setuju, kalau kamu takut tidak mau kasih sekarang, nanti waktu ibu mu sudah pulang dari sawah saya balik lagi ya, karena saya yakin ibu mu pasti kasih, dia pasti senang melihat anak perempuannya segera menikah". Sepertinya safitri tidak akan menang, kak suryani ini pasti punya seribu cara untuk mendapatkan nomor handphonenya.