Plak Plak Plak
"Oi! Bangun sialan! Astaga, kau tertidur seperti mayat. Hey! Cepatlah bangun bodoh!"
Aku merasakan rasa sakit yang luar biasa di kepalaku. Seseorang sedang memukul kepalaku berkali-kali, sepertinya dia sangat menikmatinya. Karena aku bisa mendengar dengan jelas suara tawanya dan aku bisa merasakan tatapan merendahkannya walaupun kedua mataku tertutup.
Bajingan ini bahkan memukulku dengan kekuatan yang tak main-main.
Dan suara ini ... suara menjengkelkan ini, sepertinya aku sangat mengenalnya dengan baik.
"AKU BILANG BANGUN!"
SLAP!
"AGH!"
"Ah, si bodoh akhirnya bangun dari tidurnya. Selamat datang kembali, Cherles! Bagaimana? Apa mimpimu indah? Apakah menyenangkan? Aku yakin kau benar-benar menikmatinya, hmm. Apa kau tahu, jika kau tertidur seperti tuan putri yang telah menghabiskan 100 botol Vodka di Bar murahan? Benar! Wajahmu sangat menyedihkan dan benar-benar membuatku jijik."
Dia butuh terapi.
"Tutup mulut busukmu, Alex!"
"...."
"OH! HAHAHAHAHA!"
Dia kembali tertawa seperti orang gila.
"KAU MEMBUNUHNYA! Kau berhasil membunuhnya! Luar biasa! Lebih cepat dari yang kukira, aku pikir kau akan kesulitan untuk menyingkirkan belas kasih bodohmu. Kerja bagus Lorrian! Aku memujimu dari lubuk hatiku yang terdalam."
Aku segera terdiam dan menatapnya tajam. Dia tampak bingung dan tekejut dengan tatapan diamku yang tiba-tiba.
Bukannya aku marah karena hinaannya atau karena kebohongan konyolnya. Alex tak mungkin mau memuji orang lain secara tulus, dia tak mungkin peduli dengan hal remeh semacam itu. Tak ada hal bagus yang akan keluar dari mulut busuknya itu.
Dan aku tidak mengharapkannya.
Jadi karena itu, aku akan mengabaikan kemarahanku untuk kali ini saja.
Charles Lorrian.
Itu adalah namaku. Namaku baru saja dipanggil oleh orang lain, walau orang itu adalah hewan hina menjijikkan sepertinya. Tapi, entah kenapa, aku merasa sedikit senang hanya dengan mendengar namaku dipanggil.
Aku merasa hidup.
Walau perasaan ini ada setelah aku merenggut nyawa Charles Fraud.
"Apa? Kenapa kau menatapku seperti itu? Apa kau marah? Apa kau marah?"
"Oh, jadi ini adalah kamar Charles Freud."
Aku segera mengalihkan wajahku dan mengabaikan pertanyaannya.
Wajahnya seketika cemberut. "Hei! Kenapa kau malah mengalihkan pertanyaanku?!"
"Apa itu penting sekarang?"
"Entahlah. Tapi, ya! Ini adalah kamarnya. benar-benar rapi dan bersih, Bukan? Aku yakin dia adalah anak yang diidamkan semua orang tua di dunia ini. Tipe penurut dan patuh, namun sangat bodoh dan lemah. Manusia yang naif namun juga ... diinginkan semua orang. Tipe orang yang tidak akan mungkin bisa kujadikan sebagai teman atau rekan. Orang seperti itu sebaiknya ...."
Dia tiba-tiba terdiam.
Aku segera menatapnya penasaran. Dia yang tiba-tiba membisu dan menatap ke arah jendela dengan tatapan yang kusut, seketika menarik perhatianku. Matanya sedikit berkedut dan tangannya mulai meremas pelan selimut biru laut yang sedang kugunakan.
Apa? Apa dia baru saja terkejut dengan ucapannya sendiri? Apa dia sedang bersedih? Orang sepertinya, merasakan kesedihan?
Apakah itu bisa terjadi? Aku tidak pernah membayangkannya.
Dia terlihat telah tenggelam dalam lamunannya yang tak mungkin bisa aku pahami. Dia terdiam hampir sekitar lima menit lamanya! Apa yang sedang dia pikirkan hingga dia bisa mengabaikanku dalam waktu yang cukup lama?
Aku pun menghela napas panjang. "Dimana orang tuanya, Alex?"
"Ah- A ... apa?"
"Aku tanya, dimana orang tua Charles Fraud."
Dia sedikit tergagap, dan seperti kebingungan? Dia sepertinya mulai mengumpulkan kembali kesadarannya yang melayang di udara dan menatapku dengan tatapan bodoh. Dan akhirnya, setelah beberapa saat, Alex sepenuhnya mendapatkan kesadarannya.
Dan yah, dia kembali menyuguhiku dengan senyuman menjijikkannya.
"Apa kau bisa bergerak dengan bebas? Apa kau sudah terbiasa dengan tubuh barumu itu?"
"Kurasa. Ini tak jauh berbeda dengan tubuhku yang sebelumnya."
"Baguslah. Kalau begitu ikuti aku. Kau akan segera mengetahui jawabannya, setelah kau menemui mereka."
Dia segera bangkit dari tempat duduknya, dan aku pun bangkit dari tempat tidurku dan mengikutinya keluar dari kamar Charles Fraud.
Aku menyempatkan diri untuk berhenti sejenak pada ambang pintu dan kembali melihat kamar itu, kamar yang seharusnya diperuntukkan untuk orang lain, bukan untukku. Seseorang yang tidak tahu apa-apa dan hanya bisa menerima takdir kematiannya.
Dan aku adalah orang yang merenggut masa depan dan nyawanya. Dengan tangan ini ... dan pikiran ini.
"Takdir, huh."
Apa yang aku lakukan padanya tidak akan pernah bisa dimaafkan, tidak akan pernah. Bahkan dengan memberikan nyawaku ini. Itu tak akan bisa menebus dosaku. Namun ... ini juga satu-satunya cara untuk menyelamatkannya. Melindunginya dari tragedi yang akan menghancurkannya dan membunuhnya dengan cara yang menyakitkan.
Aku harap, aku bisa bertemu dengannya lagi.
"Hei! apa yang kau tunggu lagi? Cepatlah ke bawah."
"Aku tahu! Jangan memerintahku, sialan."
Aku segera keluar dari kamar itu dan menutup pintunya. Kuperhatikan rumahnya yang ternyata cukup besar dan mewah, dia sepertinya memiliki orang tua yang berpenghasilan tinggi dan punya selera yang bagus dalam hal hunian nyaman. Aku selalu suka dengan rumah yang dibalut dengan tema abad pertengahan dan juga hiasan antik namun, tidak memberikan kesan yang berlebihan.
"Ini rumah yang benar-benar bagus."
Setelah aku menuruni tangga, aku pun segera melihat Alex yang telah menungguku di depan pintu sebuah ruangan. Ruangan itu memiliki dua pintu besar berwarna biru langit dan dengan ukiran yang terlihat cukup rumit dan indah.
Keluarga ini benar-benar punya selera yang bagus.
"Ruangan apa ini?"
"Ruang makan."
"Mereka ada di sana? Tunggu! Apa ini tidak apa-apa?"
"Tenanglah kawan. Mereka tidak akan peduli."
"Apa maksudmu?"
Alex tak menjawab pertanyaanku dan segera memutar knop pintu dan mulai membukanya. Namun, dia sepertinya terlihat cukup kesusahan saat membuka kedua pintunya- kurasa karena dia memiliki tubuh yang kecil dan lemah.
Seharusnya dia lebih fokus berlatih menguatkan otot-ototnya lengannya, daripada melatih otot lidahnya yang busuk itu.
Dia menarik kedua knop pintu itu dengan sekuat tenaganya, meronta-ronta seperti kerasukan anjing liar ... namun pintu itu tak bergerak untuk sedikitpun, atau bahkan memberikan sedikit celah agar cahaya matahari bisa menerobos masuk.
Seberapa lemahnya anak ini?
"He-hei, jangan hanya berdiam diri di sana, dan bantu aku sialan." Napasnya terengah-engah karena kehabisan tenaga.
"Astaga, apa kau selemah itu?"
"Tch! Kalau begitu kau buka sendiri pintunya!"
Alex segera memberiku jalan dengan wajah yang kelelahan dan bermandikan keringat yang menjijikkan.
Aku segera berjalan ke arah pintu itu, kemudian meraih knop pintu itu dan menariknya. Dan ....
"Eh?"
"Pfft-"
Sialan!
"Pintu macam apa ini?!"
Berat- ini benar-benar berat! Pintu ini seperti terbuat dari baja yang sangat keras dan kokoh, atau memang itulah kenyataannya. Sialan, apa yang Freud pikirkan! Ini benar-benar berat! Apakah ini dari beton?!
Bagaimana dia bisa membuka pintu sialan ini! Dengan tubuh ini?!
"AHAHAHAHAHAHA! DASAR KAU BODOH KIKUK TAK BERGUNA! KEPERCAYAAN DIRIMU BENAR-BENAR KONYOL!"
Dia tertawa keras dan menatapku dengan tatapan yang serendah-rendahnya.
Aku mengabaikan hinaan itu, dan berusaha sekuat tenaga membuka salah satu pintu yang terus menguras tenagaku. Keringat segera mengucur membasahi kaos putihku dan benar-benar membuatku tak nyaman.
Sedikit demi sedikit pintu itu mulai terbuka, yah, sedikit lagi ... sedikit lagi, dan aku bisa memasuki ruangan sialan ini.
"Huft ... Huh ... Se ... sedikit lagi ...."
Sebenarnya, pintu itu hanya bergerak beberapa sentimeter. Dan celahnya bahkan tidak akan cukup untuk seorang anak kecil. Namun, aku tidak bisa menyerah begitu saja, dimana harga diriku jika aku akhirnya menyerah!
Tidak! Tidak di depan bajingan ini! Itu tidak akan terjadi!
Dan selagi aku menguras tenagaku. Tiba-tiba aku mendengar suara ponsel yang berbunyi, dan itu berasal dari ponsel yang dimiliki oleh Alex. Namun, aku tak punya waktu untuk penasaran pada hal semacam itu sekarang.
Dari bunyinya, aku bisa menebak jika itu hanya bunyi notifikasi dari sebuah pesan email.
"... Ah, jadi begitu."
"A ... apa? Ap-apa ada yang terjadi?"
Alex menatapku dan tersenyum lebar. "Tidak ada, hanya pesan dari atasanku. Fokus saja pada pintu itu, Lorrian."
"Ja-jangan ... jangan bertingkah ... huft ... hah- jangan bertingkah seperti atasanku!"
Alex hanya menatapku, sepertinya tak lagi tertarik untuk berdebat. Yah, itu bagus. Aku tidak ingin membuang-buang tenagaku hanya untuk hal yang sia-sia, aku harus fokus pada tujuan utamaku sekarang.
Kupaksakan seluruh tenagaku untuk membukanya, sedangkan Alex hanya menonton dan tersenyum ke arahku. Aku tidak bisa menyalahkannya yang hanya mengamati usaha kerasku, karena sejak awal aku juga tidak membantunya sama sekali.
Aku mencoba membuka pintu selama hampir satu jam, dan Alex hanya terus mengamatiku dengan wajah yang membuatku jengkel.
"BISAKAH KAU SINGKIRKAN WAJAHMU YANG MENJIJIKKAN ITU?!"
"Jahat! Apa kau ingin aku menyingkirkan wajahku yang tampan dan berharga ini? Dimana sisi kemanusiaanmu, Charles Lorrian?! Tidak heran kau berakhir dikhianati dan mati membusuk di kubangan lumpur yang menjijikkan."
"TUTUP MULUTMU!"
"Tapi itu kenyataannya."
"Kau tidak perlu mengatakannya."
"Terserah."
Aku seharusnya tidak berdebat dengannya lebih dari ini.
Aku tidak boleh membuang-buang tenaga dan waktuku yang berharga. Alex hanya ingin melihatku gagal dan berakhir menyedihkan. Dia terus memprovokasiku dan berharap bisa menjebakku dengan jebakannya yang menjengkelkan, kemudian menertawakanku sepuas-puasnya.
Untuk itu, aku harus fokus!
Aku kembali mencengkeram kuat knop pintu itu. Kutarik panjang napasku dan kutarik sekuat-kuatnya dengan konsentrasi yang tinggi.
Aku terlihat seperti hewan liar yang kelaparan dan kesurupan di saat yang bersamaan.
Dan akhirnya, setelah perjuangan yang begitu panjang dan melelahkan ....
"Akh-akhirnya ...."
Aku segera menjatuhkan diriku pada lantai marmer mewah yang tak lagi kupedulikan tentang seberapa indahnya corak lantai itu. Itu dingin dan harum.
Dan aku akhirnya bisa bernapas lega dan bisa mengenyahkan rasa tak nyaman karena keringat yang telah membasahi keseluruhan bajuku.
Alex segera bertepuk tangan.
"Terbuka! Wah! terima kasih atas kerja kerasmu, Lorrian. Usahamu tak sia-sia, tak kusangka kau bisa membukanya. Aku benar-benar berharap kau gagal hari ini, tapi yah, kau benar-benar membantuku membuka pintu bodoh itu ...."
Dia menjeda kalimatnya dan menatapku dengan ekspresi yang segera membuatku merinding.
"A-apa ... apa ada lagi yang ingin kau katakan, Huh?!"
"Pfft, apa kau berharap aku mengatakan itu?"
"...."
Tidak ....
"Lorrian, kau benar-benar bodoh~"
Sial! Aku mohon ... aku mohon jika ini hanyalah mimpi buruk.
"Kau benar-benar menghiburku, hmm."
Tidak ... Tidak tidak tidak!
"Kau ...."
"Bagaimana jika kau mulai fokus melatih otot otak bodohmu itu? Aku yakin kau bisa mengurangi sedikit kebodohanmu."
Jangan kau berani, Alex!
Dia kemudian berjalan ke arah sebuah laci yang berada tepat di sampingku dan meraih salah satu laci yang berada di urutan paling bawah. Dia menatapku dan segera menyeringai lebar, kemudian menarik cepat laci tersebut.
BAM..!
"Apa?! Suara apa itu!?"
Aku seketika terkejut, saat mendengar dengan jelas suara mesin yang tiba-tiba beradu dan suara berisik katrol yang mulai bekerja dan segera menarik kedua pintu itu secara perlahan.
Hah? Apa?! ... Tidak mungkin, kan?!
IYA KAN?!
Seluruh tubuhku seketika bergetar dengan kuat, dan mataku menatap Alex dengan kemarahan seperti bom nuklir yang sebentar lagi akan meluncur dan meledak.
Kutarik napasku dalam-dalam, lalu-
"KAU SIALAN! BAJINGAN BRENGSEK! KENAPA KAU TIDAK MEMBERITAHUKU JIKA PINTU BODOH INI BISA DIBUKA SECARA OTOMATIS?!"