Charles Lorrian terbaring pada tanah yang kotor dan di kelilingi bebatuan terjal. Tubuhnya remuk dengan hanya sekali hempasan yang kuat dan sangat mematikan, meninggalkan aliran darah yang menyebar dan segera memancing hewan buas untuk mendekat.
Di gelapnya malam yang disinari cahaya bulan purnama. Dia melihatnya- dia terpaksa menyaksikannya ....
Matanya melotot melihat ke atas dan tak berkedip untuk sekalipun. Menyaksikan dengan kesunyian dan dengan tubuh yang kaku.
Ketiga sahabatnya ada di sana, atau itulah yang dia pikir, sebelum akhirnya dia menyadari kebodohannya- tidak ada kata 'Sahabat' sejak awal. Itu semua hanya ilusi yang tercipta untuk membutakan mata dan pikirannya. Dia hanya alat yang akhirnya dibuang saat tidak lagi dibutuhkan.
Lorrian menyaksikan pengkhianatan dengan mata yang dipenuhi kebencian dan amarah.
Sebuah perasaan yang sangat kuat seketika menyebar dan menyebar. Menguasai seluruh tubuh dan pikirannya- sebuah perasaan yang kini menjadi monster mengerikan, dan membuat jiwanya yang meredup mulai mengamuk layaknya singa yang meraung-raung.
.
.
.
AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI, AKU TIDAK MAU MATI!!
PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT, PENGKHIANAT!!
Dan, keajaiban pun terjadi ....
Kau bisa menyebutkannya seperti itu. Atau mungkin, malapetaka. Namun, mungkin dua-duanya.
Sebuah ledakan cahaya tiba-tiba muncul tepat di atasnya- cahaya yang didominasi warna putih dan merah, menyebar layaknya kembang api yang memukau. Lorrian tak bisa mengalihkan perhatiannya pada cahaya yang menyebar di udara dengan warna merahnya yang segera mendominasi langit.
Seakan-akan menelan angkasa itu- dan mulai membentuk sebuah kurungan yang mulai mengelilingi tubuhnya yang membeku di tanah. Sosok dari ketiga sahabatnya mulai menghilang dari pandangannya, dan akhirnya sepenuhnya lenyap tak tersisa. Lorrian seketika menjadi panik dan gelisah.
'Apa aku sudah mati? Apa ini akhirnya? Tidak, tidak, tidak, tidak! Aku tidak bisa mati seperti ini!' Pikirnya dengan ekspresi yang begitu marah.
Dan kemudian ....
"Tenanglah. Ini bukan akhir dari dunia atau semacamnya."
Suara misterius tiba-tiba terdengar.
"H-ha?!"
"Kau tidak perlu khawatir, aku bukan malaikat maut atau iblis. Aku hanya seseorang yang ingin menawarkanmu sebuah kesempatan. Kesempatan untuk mewujudkan apapun yang kau inginkan- yah, walau ada batasannya."
Lorrian mencoba mencari tahu asal dari suara misterius itu. Namun, mau kemanapun dia melihat, Lorrian tak menemukan apapun.
Hanya ada dinding cahaya yang kini mengurungnya, dan tak memberikannya sedikitpun petunjuk.
Kemudian, suara misterius itu kembali berbicara.
"Ah, jika kau bertanya, apa kau sudah mati atau tidak ...."
Ekspresi Lorrian segera mengeras.
Dia tak ingin mendengar jawabannya.
"Jawabannya adalah ... kau masih hidup."
"Apa?!"
"Hm, reaksi yang normal."
"Apa maksudmu aku masih hidup?" Lorrian terlihat panik dan bingung, namun jauh di dalam pikirannya. Dia merasa lega dan senang. Jawaban yang tidak pernah dia duga, kini telah dia dapatkan.
tapi, dia tidak yakin apa dia benar-benar bisa mempercayainya atau tidak.
"Tapi, jangan senang dulu. Nyatanya kau lihat, tubuhmu sudah pasti telah mati sepenuhnya, tidak mungkin ada manusia yang bisa selamat dari ketinggian seperti itu, dan dengan peluru yang melubangi kepalanya. Itu mustahil, tidak mungkin hal seperti itu terjadi. Namun walaupun begitu ... jiwamu sepertinya tidak mau menerima kenyataan yang menyedihkan itu, dan akhirnya berhasil bertahan hidup- yah, hanya untuk sementara waktu."
Dia berbicara dengan nada bicara yang sangat menjengkelkan. Namun, Lorrian tidak merasa terganggu sama sekali, karena entah kenapa ... dia seperti telah terbiasa dengan nada suara seperti itu.
"Jadi, kesempatan apa yang kau maksud? Dan siapa sebenarnya kau?"
"Aku adalah seorang pendamping. Lebih tepatnya, pendamping kemalangan."
Kata kemalangan segera menarik perhatiannya. 'Kemalangan' ... satu kata yang cukup untuk menggambarkan bagaimana kondisinya saat ini. Terjatuh dalam keadaan paling menyedihkan dan dipenuhi keputusasaan, jiwanya seakan tertelan oleh perasaan yang segera memakan perasaan dan pikirannya.
Kenangan selama dia hidup segera menjadi omong kosong dan candaan murahan yang garing.
Namun kini, dia telah mendapatkan cahayanya yang baru ... sebuah harapan yang membantunya untuk hidup dengan keputusasaan yang menyelimuti.
"Pendamping kemalangan? Apa artinya itu?"
Apa mungkin aku sedang bermimpi? Sekilas, pemikiran tak berguna mulai mengganggunya.
"Ah, istilah itu memang asing. Kau hanya mendengarnya dari mereka yang sudah merasakan kematian, yah, orang-orang sepertimu ini. Jadi singkatnya, aku adalah seorang pendamping kemalangan ... seorang pendamping yang tercipta untuk mendengar harapan dari orang-orang menyedihkan sepertimu. Manusia yang mati terbunuh, dirundung, mati kelaparan dan juga ... dikhianati. Mereka yang mati karena keputusasaan dan hal buruk, orang-orang yang seperti itu- adalah tugas kami untuk mendengarkan keinginan terakhir mereka."
Itu terdengar sangat tidak masuk akal. Lorrian tidak pernah percaya dengan kehadiran seseorang yang mampu untuk mengabulkan keinginan. Dia selalu menganggap itu semua sebagai dongeng murahan, untuk menghibur anak-anak yang masih polos dan bodoh. Namun, situasinya saat ini justru lebih jauh dari kata masuk akal.
Seharusnya dia sudah mati.
Tidak bernapas dan mulai membusuk.
Dia telah di bunuh dan dibuang ke dalam jurang yang terjal. Disaksikan sebagai hiburan ketiga orang yang seharusnya menjadi temannya. Namun, ikatan itu hanyalah mimpi yang tak pernah terwujud.
Lorrian bahkan menyadari, jika beberapa hewan liar mulai memakan sebagian dari tubuhnya dan membawanya ke dalam kegelapan malam. Namun, dia tak merasakan rasa sakit apapun- Lorrian hanya menyaksikan tubuhnya yang menjadi jamuan makan malam para penguasa hutan dengan mata yang hampa. Kehilangan sebagian dari kehidupannya- tidak. Mungkin telah sepenuhnya hilang ... tak ada yang tersisa.
"Jadi, apa kau tertarik Charles Lorrian? Ini sudah pasti satu-satunya kesempatanmu untuk kembali melihat dunia, dan tentunya- membalas mereka yang mengkhianatimu."
"Apa yang kau maksud adalah balas dendam?"
"Tepat sekali! Jadi bagai-"
"Aku yakin kau tidak menawarkannya secara gratis. Di dunia ini, kau tidak bisa menerima apapun tanpa kehilangan sesuatu. Aku tidak mungkin menerima omonganmu begitu saja seperti orang bodoh- lebih tepatnya, aku telah berhenti menjadi orang yang bodoh. Jadi, apa bayaran dari kesempatan yang kau berikan?"
Ada beberapa detik yang meninggalkan kesunyian di udara. Sosok misterius itu terdiam untuk sementara waktu, dan akhirnya memecah kesunyian setelahnya.
"Jiwamu. Hanya itu."
Tak aneh saat mendengar 'Jiwa' menjadi jawaban atas bayaran dari kesepakatannya. Lorrian sudah menyadari itu sejak awal, namun, dia perlu memastikannya secara langsung.
"Jiwaku? Kenapa jiwaku jadi bayarannya?"
"Mudah! Jiwa adalah pondasi dari kehidupan manusia, tanpa adanya jiwa, manusia hanyalah kaleng kosong yang tidak berguna. Tidak bernapas dan tidak memiliki fungsi apapun, hanya keberadaan yang ada untuk memenuhi bumi yang luas ini. Menjadi keberadaan yang sangat membosankan, dan hanya akan membuang-buang waktu. Untuk itulah aku menginginkannya, bukan. Lebih tepatnya- memakannya."
"Me-memakannya?"
Ekspresinya seketika menegang dengan hanya satu kata yang tengah mengambang di kepalanya. Dia tak pernah menyangka, jika jiwanya akan menjadi makanan agar dia bisa kembali hidup. Itu terlalu sulit untuk diprediksi dan hanya bisa membuatnya terdiam membisu.
"Apa kau tahu, jika jiwa berisi semua ingatan, kepribadian dan identitas dari manusia itu sendiri? Setiap jiwa memiliki rasa yang berbeda-beda, namun, ada juga yang sama dan terasa sangat membosankan. Rasa dari jiwa yang mati karena kemalangan dan keputusasaan, terasa lebih lezat dari mereka yang mati karena hal yang baik ataupun karena hal-hal biasa seperti kecelakaan dan mengorbankan diri. Karena kau tahu, orang-orang yang mati karena hal seperti itu, sudah pasti merasakan kematian secara instan dan singkat. Rasa dari jiwanya benar-benar tidak enak dan hambar. Itulah kenapa, aku hanya mau memakan jiwa manusia yang merasakan kematian dengan cara yang menyakitkan dan sangat kelam."
Lorrian tak mengatakan apapun setelah mendengar jawaban itu. Pikirannya terlalu sibuk untuk mempercayai, dan memproses setiap kata yang diucapkan oleh sosok misterius ini- yang jelas terdengar seperti seorang psikopat yang sedang membacakan puisi mengerikannya dengan perasaan yang sangat bangga.
Namun, apakah itu harus menjadi perkara yang besar atau tidak.
Lorrian merasa jika itu tidaklah penting.
Jika memang jiwanya akan menjadi makanan di saat keinginannya telah berhasil tercapai. Maka seharusnya dia tak lagi memerlukan tubuh dan jiwanya ini, seharusnya itu tak menjadi masalah dan dia bisa merelakannya dengan perasaan yang ringan. Lagipula, Charles Lorrian seharusnya telah mati sejak lama dan tak akan bisa hidup lagi, namun sepertinya takdir berkata lain.
Harapan telah muncul dan menggapai tangannya. Walau mungkin, harapan ini hanyalah jebakan untuk menghancurkannya, dia percaya jika itu tak akan membuatnya putus asa ataupun terjatuh ke dalam lubang penyesalan.
Dia merasa sudah cukup untuk merasa bersedih dan menundukkan kepalanya.
Charles Lorrian tak akan kembali ke dirinya yang lama.
Dan dia bisa pastikan itu sekarang.