Sri kembali menemui ibu pemilik depot tempatnya bekerja lepas sebagai tukang cuci piring. Matahari telah menggelincir dari atas kepala manusia. Senja merekah di ujung cakrawala. Menu depot sang ibu baik telah lengang karena disapu bersih pelanggan.
"Bu, saya yang kemarin lusa minta pekerjaan dan membantu ibu mencuci piring."
Si ibu depot meneliti Sri dari ujung sepatu hingga rambut super gelombangnya.
Si ibu depot mengangguk pelan mencoba memanggil kembali ingatannya. "Maaf, Nak. Saya tidak begitu memperhatikan kamu waktu itu karena ramainya pembeli. Tapi saya sangat berterima kasih padamu. Piring dan alat masak kotor yang menggunung saat itu teratasi dengan baik."
Sri mengangguk-angguk.
"Namamu bukan Jasmine, kan?" Pertanyaan ibu depot di luar perkiraan.
Satu ketukan jantung Sri seolah terhuyung. Bibirnya bergetar. "Jas ... Jasmine?"
Kain lap pada tangan ibu depot beradu dengan meja makan pelanggan. "Ya, tadi pagi ada tiga preman tanya tentang Jasmine, katanya pernah kerja di tempat saya. Saya kurang tahu yang mana karena yang pernah bekerja di sini sangat banyak."
Sri terdiam mendengarkan.
"Mereka tidak puas dengan jawaban saya dan terus memaksa. Akhirnya pelanggan-pelanggan saya yang merasa terganggu mengusir mereka."
Sri menelan ludah kelu. "Astaghfirullah," sebutnya.
Ibu depot menahan kain lap dalam tangannya. "Kamu bukan Jasmine, kan? Siapa namamu, Nak?" tanyanya ibu depot menggali kebenaran.
Sri tersenyum canggung. "Saya Sri, Bu!"
Ibu depot membelai bagian dada kemeja corak bunga yang membalut tubuhnya. "Saya sudah menduga. Mana mungkin gadis dengan nama internasional mau bekerja di tempat sederhana begini, " gumamnya.
Ibu depot mengaduk saku rok panjangnya kemudian menarik selembar uang kertas biru.
Tangan ibu depot terjulur di hadapan Sri. "Upah kamu untuk kemarin lusa."
Sri menyambut haru pecahan lima puluhan itu. "Terima kasih, Bu!"
Ibu depot mengangguk sebelum menghampiri etalase makanan kaca yang telah rapi. Beliau meraih gagang laci besar sebelum mengeluarkan sebuah kantung plastik.
Ibu depot kembali mengulurkan lengannya. "Ini ada makanan hari ini. Nasi, lauk dan sayur sudah saya pisah. Sengaja saya siapkan siapa tahu kamu kembali lagi kemari."
Air mata Sri menggenangi pelupuk matanya. Tangannya bergetar menerima kebaikan yang begitu menghangatkan jiwanya.
"Kalau kamu lagi tidak sedang kuliah atau sibuk tugas, silahkan kesini bantu ibu bersih-bersih dapur." lanjut ibu depot menambahi.
Sri menjabat tangan berkerut ibu depot dengan erat. Tak lupa berjuta terima kasih tulus terlantun dari bibirnya.
***
Sri telah bersiap menggendong ransel pada punggungnya dan menjinjing kardus di genggamannya. Sebuah plastik hitam merebah pada permukaan atas kardus.
Sosok Sri telah terselimuti rambut sintetis spiral dan kaca mata normal sejak kemarin. Kulit kuning langsat bercahaya redup oleh taburan kopi hitam pada seluruh tubuhnya. Bu Jamilah masih menjadi sosok satu-satu yang mengetahui permasalahan Sri.
Sri melintasi ambang pintu gudang seribu kenangan. Jemarinya memutar kunci gudang hingga tertangkap bunyi satu kali. Kemudian melepas kunci dari sarangnya.
Sri menghampiri Kyai Rahman yang duduk bersila pada serambi masjid selepas menunaikan sholat dhuha. Sri meletakkan tubuhnya di hadapan Kyai Rahman. Kunci dalam genggamannya disorongkan mendekati Pak Kyai.
"Saya mohon ijin pindah dari sini, Pak Kyai." pamitnya.
Pak Kyai terpaku menatap gadis keriting di hadapannya. Sepasang alis kapasnya bertaut. "Maaf, anda siapa, Nak?"
"Saya Sri, Pak Kyai. Saya terpaksa berpenampilan seperti ini untuk menghindar dari tukang tagih hutang orang tua saya." jawabnya lirih.
Pak Kyai menggeleng prihatin. "Astaghfirullah...."
Sri menekuri lantai granit yang didudukinya. "Padahal bulan ini sudah saya angsur tapi mereka masih mengejar-ngejar saya. Saya mohon Pak Kyai merahasiakan ini dari siapapun."
Pak Kyai mengangguk. "Insya Allah. Sabar, Nak Sri. Mendekatlah pada Allah agar segala kesulitan hidupmu segera dimudahkan."
Sri mengangguk dalam tundukan kepalanya. "Saya minta ijin pindah tempat, Pak Kyai." Sri kembali mengingatkan tujuan awalnya.
Pak Kyai Rahman menghembuskan napas perlahan. "Kamu yakin, Sri?"
Sri mengangguk tegas. "Saya sudah mendapat kos dekat kampus."
"Alhamdulilah, semoga kamu betah, Sri." doa beliau.
"Insya Allah, terima kasih, Pak Kyai." sahut Sri
Pak Kyai mengangguk lega.
"Bolehkan jika saya membantu Bu Jamilah untuk mengurus kebersihan masjid bagian jamaah putri saat sedang tidak ada jadwal kuliah?" pinta Sri.
Seraut sumringah terbit pada paras tenang Pak Kyai. "Silahkan, Sri! Saya akan sangat berterima kasih."
"Seharusnya saya yang berterima kasih atas kemurahan hati Kyai Rahman yang telah mengijinkan saya menempati gudang dan memberi jatah tiga kali makan setiap harinya."
Pak Kyai menggeleng pelan. Beliau kembali menggeser tasbihnya. Berdzikir dalam hati.
Sri menyeret plastik hitam di atas kardusnya. Kemudian menyerahkan pada Pak Kyai.
Pak Kyai menaikkan kedua alisnya ingin tahu. Jemarinya menerima plastik hitam dari Sri.
"Ini tiga potong pakaian milik Pak Arch kenalan Pak kyai itu."
Pak Kyai memeriksanya sejenak. "Kenapa ada padamu?"
Sri memainkan dua telunjuknya. "Saya tidak sengaja mengotori tiga pakaian itu. Pak Kyai. Tapi sudah saya cuci dan strika."
"Tapi bisa banyak begini ya?"
Sri menggaruk rambut imitasinya. "Sebenarnya hanya dua. Celana Pak Arch kotor karena kemarin malam beliau terpeleset genangan air. Genangan air itu sisa teh yang saya buang."
Kyai Rahman menggeleng heran. "Astaghfirullahhaladzim. Jadi Arch kemarin malam berkunjung?"
"Benar, Pak Kyai. Apa Kyai Rahman tidak bertemu Pak Arch?"
Pak Kyai tampak menggali kembali ingatannya. "Saya tidak bertemu Arch seminggu ini."
Sri terenyak. "Tapi kemarin malam Pak Arch datang lalu masuk masjid. Pak Arch melaksanakan sholat isya seorang diri."
"Arch sholat ... Isya?" tanya Pak Kyai memastikan.
Sri mengangguk meyakinkan.
Pak Kyai mengusap telapak tangannya pada paras. Beliau tak kuasa menyembunyikan kebahagiaan. "Alhamdulillah."
Bibir Sri menganga. "Memang ada apa, Pak Kyai?"
Bibir Pak Kyai melengkung santun. Tatapan beliau melembut. "Tidak ada apa-apa, Nak Sri."
"Sebenarnya Pak Arch itu siapa, Pak Kyai? Sepertinya akrab dengan lingkungan masjid agung?" tanya Sri yang tak bisa lagi membendung keingintahuan.
"Arch itu salah satu donatur tetap masjid agung. Dia sering juga berbagi rezeki pada anak-anak yatim piatu yang tinggal di lingkungan sekitar masjid."
Sri tertegun. Dia menelan ludah kelu.
"Ternyata orang yang sering berbicara pedas itu seorang dermawan." celetuk Sri.
"Sri," panggil Pak Kyai pelan sembari menggeleng sebagai teguran halus.
Sri membekap bibirnya. "Maaf, Pak Kyai!"
***
Sri berusaha mengatasi langkahnya yang terhuyung karena memikul banyak beban berat dalam hidupnya. Berkelana seorang diri mengais sejumput nasi. Mengemis pekerjaan. Berpindah-pindah atap perlindungan. Menjadi penunggak yang dikejar-kejar. Beban sebenarnya pun melekat di punggungnya. Tas ransel yang dihuni pakaian ganti dan peralatan mandi. Tangannya pun harus menahan tumpukan buku dalam kardus.
Sri melangkah kacau di antara mobil-mobil yang berbaris rapi di parkiran pelataran deretan toko.
Gadis yang menolak sarapan ini tak sanggup lagi menahan tubuhnya. Kakinya pun menyerah pada gravitasi bumi. Tubuhnya mengikuti gaya tarik bumi dan bertumbukan dengan sesuatu. Bukan sesuatu melainkan seseorang. Seorang berbalut jaket dan celana gelap. Rambutnya semerah api dan parasnya segarang penguasa hutan.
Pria garang itu terjerembap di atas permukaan paving dan tertindih kardus berat, tubuh Sri beserta tas punggungnya. Kaum adam itu mengaduh dalam tangisnya. Dompet dalam genggamannya terlempar acak.
Sri segera meraih rambut palsunya ketika sadar properti penyamarannya tergeletak di sebelah si pria. Dia mengenakannya tergesa.
Masyarakat datang berbondong-bondong tak lama kemudian. Mereka bergegas meringkus pria yang tergeletak dalam kesakitannya beradu dengan aspal.
Sri terduduk di atas paving mengatur napasnya.
Seorang pria dewasa setengah baya menghampiri Sri khawatir. Dia melipat lututnya agar sejajar dengan Sri. Dia telah berumur tapi ototnya kencang, kekar dan atletis. Guratan usia tak muda tergambar pada kerutan di bawah mata. Namun paras rupawannya tak pudar. Dia berbalut setelah jas yang menyelimuti kemeja polos.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanya si bapak tampan cemas.
Sri mengerjapkan matanya yang berkunang. "Sedikit pusing, Pak. Sebenarnya siapa pria tadi?"
Si bapak tampan mendesah panjang sambil mengeluarkan sesuatu. "Dia pencopet dan kamu sudah menyelamatkan dompet saya."
Sri memijit pelipisnya. "Saya tidak merasa melakukan sesuatu, Pak."
Si bapak tampan menggeleng. Dia beranjak sebelum memapah Sri menuju serambi pertokoan terdekat. Sri mendaratkan tulang duduknya pelan pada lantai serambi toko pakaian.
Si bapak tampan berkerut mengamati penampakan Sri yang pasi. "Kamu sepertinya sedang sakit. Saya belikan makan dan minum sebentar."
Sebelum Sri mampu mencegah, si bapak tampan telah berlalu dan lenyap ditelan keramaian pengunjung sebuah tempat makan cepat saji.
Si bapak tampan kembali setelah waktu menguap lima belas menit. Dia menenteng satu kantong plastik besar bercetak nama rumah makan.
Si bapak berjongkok. Lengannya terjulur. "Silahkan dimakan ya, Dek!"
Sri hanya menatap ragu.
Si bapak tampan tersenyum lembut. "Untuk kamu. Silahkan dimakan!"
Sri menerimanya dengam mata berkaca-kaca.
Si bapak tampan menyerat beberapa lembar kertas merah persegi panjang dari lekukan dompetnya.
Sekali lagi tangannya terulur. "Ini buat kamu!"
Sri menggeleng tegas. "Tidak, Pak! Saya ikhlas dan berterima kasih untuk makanan sebanyak ini."
Si bapak tampan mendesah berat. Lembaran merah kembali disembunyikan dalam sakunya. Kemudian jemarinya menyeret sesuatu lainnya.
Ketiga kalinya lengan sang bapak keren terulur ikhlas. "Silahkan, ini kartu nama perusahaan saya. Jika butuh apa-apa, silahkah datang dan saya siap membantu."
Sri menerima kartu nama perusahaan dengan ragu. Bola matanya menelusuri tiap susunan huruf yang terjalin.
"Saya Ju. Nama saya ada di bagian paling bawah."
Sri mengangguk-angguk paham ketika pandangannya bersirobok dengan tulisan sebuah nama yang singkat.
"Nama kamu?"
Sri tergagap. Kepalanya menengadah. "Saya ... Sss ... Asri, Pak!"
***