Mereka melanjutkan berjalan kaki menyusuri kota, menikmati dan menjelajahi keindahan Dartmouth yang terlihat hampir di setiap jalan dan sudutnya. Bangunan-bangunan yang masih menunjukkan ciri khas bangunan Inggris, jalanan dan gang-gang kecil yang dihiasi tanaman gantung, etalase-etalase toko yang memamerkan kerajinan tangan. Tempat-tempat yang terkesan biasa saja dan bisa ditemukan di manapun, tapi bisa terasa berbeda dan menarik di kota itu.
Kiara tidak henti-hentinya mengarahkan kameranya ke sana-kemari, bahkan beberapa kali memaksa Calvin menjadi modelnya, memerintahkan pria itu mengatur posisi badan dan sudut wajahnya, lalu tersenyum puas melihat hasil jepretannya. Calvin hanya bisa menggelengkan kepala dan menurut.
"Apa kau sudah pergi ke banyak tempat di Amerika?" Calvin bertanya sambil menikmati ice cream yang baru saja ia beli dari café kecil di sudut jalan.
"Waktu kerja, ya tentu saja." Jawab Kiara yang juga tengah menikmati ice cream cokelat, "Tapi waktu kuliah aku justru lebih banyak menghabiskan waktu luangku untuk kerja sambilan di sana-sini."
"Kerja sambilan?" Calvin melirik ke arah Kiara, "Kenapa sampai perlu kerja sambilan? Bukannya kau juga dapat beasiswa di sana?"
Kiara mengangguk sambil sibuk menjilati ice creamnya, "Memang. Ayah dan ibuku juga sebenarnya keberatan aku kerja sambilan, toh mereka masih bisa membiayai kebutuhan hidupku di sana."
Calvin tanpa sadar meraih tissue di tangannya dan mengulurkannya untuk menyeka sisa ice cream di dagu Kiara. Ia baru menyadari perbuatannya saat Kiara menoleh ke arahnya dengan tatapan terkejut.
"Makanmu belepotan." Jawabnya sambil memberikan tissue itu pada Kiara.
Kiara menerimanya dan mengucapkan terima kasih, lalu cepat-cepat melanjutkan ceritanya, berusaha melupakan kalau wajahnya mulai merona, "Ak…aku bilang pada mereka kalau aku ingin mencoba hidup mandiri." Lanjutnya sedikit tergagap, "Kupikir selama ini aku terlalu manja dan bergantung pada orang tuaku. Mereka masih membantu untuk keperluan yang cukup berat dan butuh dana besar. Tapi sebagian besar kebutuhannku kubiayai dengan beasiswa dan hasil kerja sambilan."
Calvin terdiam menatap gadis yang berjalan beberapa langkah di depannya. Kiara berbalik dan meneliti ekspresi Calvin, lalu menyipitkan mata dan sedikit memberengutkan wajahnya, "Kenapa?" Tanyanya curiga, "Apa kau pikir yang kulakukan di Amerika hanya bermain-main, pergi ke sana-kemari mencari lokasi bagus untuk difoto, sembari menghambur-hamburkan uang ayahku untuk berpesta dengan anak-anak yang lain?"
Calvin mengedipkan matanya beberapa kali mendengar pertanyaan Kiara yang tepat sasaran. Ia menunduk dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dan tersenyum bersalah.
"Sorry," Katanya kemudian, "Karena itulah yang dilakukan Cheryl selama kuliah, aku jadi beranggapan kalau sebagian besar orang juga seperti itu."
"Well, Mr. Stratton. Aku bukan sebagian besar orang." Jawab Kiara dengan wajah kesal yang dibuat-buat, "Tapi aku tahu kalau kau selalu menganggapku anak kecil manja yang mengikuti Cheryl ke sana-kemari."
Kiara lalu berbalik dan kembali sibuk menikmati ice creamnya, sementara ice cream di tangan Calvin mulai meleleh. Calvin memerhatikan sosok Kiara dan mengakui bahwa untuk waktu yang lama, ia memang selalu menganggap Kiara seperti adiknya. Gadis kecil yang mengikuti apa yang dilakukan Cheryl, mengidolakan adiknya yang selalu bersikap spontan dan suka tantangan. Tapi gadis yang kini berada di hadapannya itu sudah tumbuh dewasa, dengan pemikiran dan sudut pandangnya sendiri, sebagian diri Calvin merasa kecewa karena ia tidak ada di sana saat gadis itu mulai tumbuh.
"Sudah hampir waktunya makan siang." Kata Calvin setelah memasukkan suapan terakhir ice cream ke mulutnya, "Mau pergi ke tempat yang lebih jauh?"
Kiara menoleh sambil tersenyum lebar dan mengangguk.
Sekembalinya ke tempat parkir dan mengambil mobil, mereka menaiki Lower ferry menyeberangi River Dart. Menuju Kingswear. Berada di dalam mobil sementara kapal mengarungi sungai membuat seolah mobil mereka yang sedang mengapung di atas air.
Calvin mengamati Kiara yang hanya mengenakan celana jeans pendek di atas lutut, kaus tanpa lengan dan kemeja tipis, sementara angin di perairan bertiup cukup kencang. Ia meraih jaketnya yang tersampir di kursi belakang dan menyodorkannya pada Kiara.
"Ini."
Kiara yang sedang memejamkan mata sambil menikmati terpaan angin menoleh ke arah Calvin, melihat jaket yang disodorkan padanya dan menelengkan kepalanya, bertanya.
"Anginnya cukup kencang." Jawab Calvin sambil menunjuk baju yang dikenakan Kiara.
"Oh, ok." Jawab Kiara menerima jaket Calvin, "Thanks." Katanya sambil menjadikan jaket Calvin seperti selimut, jaket pria itu cukup besar untuk menutupi bagian depan tubuh Kiara.
Seketika itu juga pikiran Kiara terbagi antara menyesali keputusannya menerima jaket itu atau justru bersyukur ia sudah melakukannya. Karena begitu ia mengenakan jaket Calvin, indra penciumannya dipenuhi aroma parfum dan aftershave pria itu. Seolah Calvin saat ini sedang memeluknya, bahkan hanya dengan itu saja sudah membuat jantung Kiara berdegup tak keruan, dan dengan cepat ia melupakan dinginnya angin yang berhembus.
Perjalanan singkat setelah mereka tiba di Kingswear dan berkendara ke tempat tujuan mereka terasa begitu lama bagi Kiara. Ia bahkan mengabaikan pemandangan lahan-lahan hijau dan pepohonan di sisi-sisi jalan karena sibuk menenangkan otaknya yang dipenuhi berbagai macam pikiran. Saat akhirnya Calvin menghentikan mobilnya, Kiara sudah merasa otaknya mendidih karena semua pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Siapa sangka ia bisa memikirkan begitu banyak hal sekaligus dalam waktu yang begitu singkat.
"Tempat ini benar-benar indah." Kata Kiara sembari merenggangkan tubuhnya. Mereka sudah menghabiskan sebagian besar waktu di sana mengelilingi taman dan perbukitan. Kini mereka duduk di gazebo berdinding batu yang menampilkan pemandangan lautan biru dari taman komplek Coleton Fishcare. Rumah yang dibangun sepasang suami istri di tahun 1926, yang pada akhirnya menjadi salah satu tempat yang dilestarikan di Inggris.
"Rasanya aku seperti kembali ke pedesaan Inggris di masa lalu." Tambah Kiara sambil menyandarkan tangan dan dagunya ke pagar kayu. "Aku bisa paham kenapa mereka membangun rumah di sini. Aku sendiri nggak akan keberatan tinggal di tempat seperti ini."
"Semua orang juga pasti bilang begitu kalau mereka punya rumah sebesar ini." Calvin menjawab sambil menggelengkan kepalanya.
Mereka berdua memalingkan wajah bersamaan saat mendengar gonggongan anjing yang berlari melewati tempat mereka duduk.
"Oh, Blue pasti senang kalau di ajak kemari." Ucap Kiara sementara pandangannya mengikuti anjing-anjing itu hingga mereka hilang dari pandangan.
"Apa kau pernah berpikir untuk tinggal di pedesaan seperti ini?" Kiara bertanya pada Calvin sambil menyandarkan punggungnya ke pagar.
Calvin berpikir sejenak sebelum menjawab, "Dulu…mungkin. Sekarang…aku tidak terlalu memikirkannya."
"Mungkin besok kalau aku sudah menikah, aku akan memilih tinggal di tempat seperti ini. Jauh dari kebisingan kota." Celetuk Kiara, "Dengan halaman luas tempat anak-anak bisa bermain. Juga Blue berlarian ke sana-kemari."
Calvin merasakan jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik sebelum kembali berdegup dua kali lebih cepat. Apa Kiara baru saja memasukkan Blue dalam keluarga bayangannya? Ia bahkan bisa langsung ikut membayangkan dirinya juga berada di sana, dan dua anak kecil yang sangat mirip dengan Kiara sedang bermain bersama dengan gadis itu, sementara Blue berlarian senang sambil mengibas-ibaskan ekornya.
"Apa kau berencana menculik anjingku?" Calvin berhasil membuat suaranya terdengar biasa saja.
"Apa?" Kiara menoleh dan bertanya tidak mengerti.
"Kau tadi menyebut Blue. Apa kau sedang berniat membawa lari anjingku?" Ulangnya
"Ah…" Kiara menyadari kalau ia memasukkan Blue dalam rumah impiannya. Wajahnya sontak merona merah dan ia berusaha keras menenangkan diri, "Well, kurasa aku sudah terlalu terikat dengan Blue. Apa menurutmu aku bisa dapat hak asuhnya? Atau kita bisa berbagi hak asuh, jadi dia bisa bersamaku sepanjang minggu dan bersamamu di akhir pekan?" Kiara tertawa canggung berusaha mencairkan suasana
Entah bagaimana menatap senyuman di bibir gadis itu dan mata cokelatnya yang bersinar membuat Calvin tidak bisa mengalihkan pandangannya. Semua banyangan yang tadi melintas di kepalanya terasa begitu wajar dan menyenangkan. Seolah ide menjalani hidup bersama gadis itu bukan lagi hal tidak masuk akal dan aneh untuk dipikirkan olehnya. Sejak kapan keberadaan gadis itu jadi sesuatu yang lebih baginya? Apa karena gadis itu jadi lebih cantik? Apa karena gadis itu sudah tumbuh menjadi gadis dewasa? Apa karena sekarang ia sudah tidak bersama Ella dan gadis di sampingnya saat ini pernah punya perasaan padanya? Atau karena sekarang ada pria lain yang mulai tertarik pada Kiara dan membuatnya beranggapan kalau gadis itu mulai berhenti menyukainya?
Jika harus memilih satu alasan, ia tidak akan pernah bisa menemukannya. Mungkin jawabannya adalah semua pertanyaan yang sedang berkecamuk di kepalanya. Dan lagi, apa benar-benar ada satu alasan spesifik saat seseorang bilang ia menyukai seseorang? Menyukai seseorang. Apa itu artinya ia menyukai Kiara? Dengan Ella ia tidak pernah memertanyakan banyak hal, tapi sekali lagi, ia juga tidak yakin ia benar-benar mencintai Ella. Ia bahkan tidak yakin ia pernah benar-benar jatuh cinta pada seseorang.
Kiara menatap Calvin yang kelihatan sedang memikirkan banyak hal sekaligus. Apa pria itu tidak suka dengan kata-katanya. Apa pria itu berpikir Kiara sudah kelewatan?
"Mmm…apa berbagi hak asuh denganku terlalu berat untuk dilakukan?" Ucapnya mencoba menarik perhatian Calvin.
Mata hijaunya bertemu dengan mata cokelat Kiara yang menatapnya dengan semburat ketidakyakinan dan tanda tanya. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa ia seharusnya tidak membiarkan gadis di depannya itu menjauh darinya.
Dengan suara sedikit serak Calvin akhirnya bicara, "Kau tahu, soal Blue…kau hanya bisa mendapatkannya sepaket denganku."
Mata cokelat itu melebar dan Calvin melihat semburat warna merah menjalari wajah Kiara saat gadis itu mulai memahami perkataan Calvin.
"Apa…" Gadis itu mulai bicara namun Calvin dengan cepat menghentikannya.
Kata-kata Kiara terhenti di tenggorokannya saat ia mendapati wajah Calvin yang semakin mendekat, diikuti sensasi hangat yang menyentuh bibirnya. Butuh beberapa detik hingga otaknya bekerja dan menyadari bahwa Calvin baru saja menciumnya. Tapi menyadarinya sama sekali tidak mengubah kenyataan bahwa tubuhnya sekarang seolah meleleh karena sentuhan pria itu. Jantungnya berdebar cepat dan mantap, bahkan ia bisa mendengar dentumannya di telinga. Jika otaknya bekerja dengan benar, seharusnya ia mendorong Calvin menjauh, tapi logikanya yang buntu justru mendapati dirinya memejamkan mata dan membalas ciuman pria itu.
"Lihat bu, mereka sedang berciuman." Suara seorang anak menyadarkan mereka berdua, dan secara bersamaan mereka menjauhkan diri satu sama lain.
Satu keluarga tengah lewat di dekat tempat mereka berada, kelihatan saling berbisik dan memercepat langkah mereka meninggalkan Kiara dan Calvin sendiri.
Calvin berdeham keras-keras dan kelihatan canggung. Ia membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, namun sedetik kemudian mengatupkan bibirnya karena ia tidak berhasil menemukan kata-kata untuk diucapkan.
"Ku…kurasa sudah waktunya kita kembali." Kiara menyampirkan tali tas kameranya, berdiri dan sambil terus menghindari menatap Calvin.
"Ya…benar juga." Balas Calvin dan mulai berjalan mengikuti Kiara.
Sepanjang perjalanan kembali ke Dartmouth hingga sampai ke rumah liburan, Calvin dan Kiara sama sekali tidak bicara. Keduanya sibuk dengan pertanyaan dan pikiran masing-masing.
Kiara terlebih dahulu menaiki tangga menuju ke rumah liburan sementara Calvin memarkir mobilnya. Namun ia dengan cepat menyusul Kiara saat gadis itu hampir mencapai pintu masuk.
"Kiara…" Calvin meraih pergelangan tangan Kiara dan membuat gadis itu berbalik menatapnya, "Dengar aku…" Ia sudah hendak bicara saat tiba-tiba pintu rumah liburannya terbuka dan seseorang meneriakkan nama Calvin.
Calvin mendongak dan langsung mendapati sosok itu menyerbu dirinya dan melingkarkan lengannya ke leher Calvin, tubuhnya yang tersentak ke belakang membuat genggamannya di lengan Kiara terlepas, dan dengan refleks ia menahan tubuh orang yang sedang memeluknya itu.
"Bianca?"