Kiara melambaikan tangan pada Cheryl dari peron kereta api. Sahabatnya itu terus-terusan menyuruhnya bersenang-senang dan berjanji akan menjemputnya di akhir pekan. Kiara harus menenangkannya dan meminta gadis itu untuk fokus pada masalahnya sendiri di London.
"Ayo Blue." Kiara memanggil Blue untuk mengikutinya setelah kereta yang di tumpangi Cheryl meninggalkan stasiun. Mereka naik ke dalam mobil yang dipinjam dari Marcella dan kembali menuju ke Dartmouth. Di samping kursi pengemudi, Blue menjulurkan kepalanya ke luar jendela dan menikmati hembusan angin menerpa wajahnya.
Kiara akhrinya mengikuti kelakuan Blue dan membuka jendelanya. Serbuan angin yang terasa menyegarkan di wajahnya. Seperti anjuran Cheryl, ia akan menikmati sisa liburannya dengan tenang. Sebelum kembali ke London dan mengguncang-guncang kepala Calvin. Imajinasinya soal itu membuat Kiara tertawa geli.
"Cuma ada kau dan aku sekarang Blue. Sepertinya aku akan benar-benar menculikmu dari majikanmu itu."
Pintu masuk rumah liburan tidak terkunci saat Kiara kembali dari mengantar Cheryl. Ia berpikir kalau mungkin Marcella datang untuk menyiapkan sarapan. Kiara membuka pintu dan memanggil nama pengurus rumah liburan itu, namun tidak ada jawaban. Tiba-tiba Blue menerobos masuk lewat cela pintu yang terbuka dan berlari ke dalam rumah.
"Blue!" Kiara berteriak khawair dan mengikuti anjing itu.
Ia baru saja sampai di ruang santai saat mendapati seseorang tengah berjongkok dan membelai-belai kepala Blue, yang mengibas-ibaskan ekornya senang. Butuh beberapa saat sebelum ia bisa melihat dengan jelas siapa sosok itu. Namun sepertinya tubuhnya lebih dulu mengetahui jawabannya. Karena jantungnya langsung berdegup dengan kencang dan kakinya seolah-olah tidak mampu menyangga tubuhnya.
"Hai." Sapa suara itu sambil melihat ke arahnya, "Apa Cheryl sudah berangkat?"
Kiara mengerjapkan matanya sementara mulutnya terbuka dan terkatup bergantian.
"Ke…kenapa kau ada di sini?" Tanya Kiara yang tanpa sadar melangkah mundur.
Pria berambut pirang madu itu bangkit berdiri dan meninggalkan Blue, lalu melangkah mendekati Kiara.
"Apa kau bermaksud menjemput Cheryl?" Kiara berusaha mengalihkan pandangannya, "Dia sudah berangkat dengan kereta, kami baru kembali dari mengantarnya." Kiara bersyukur suaranya terdengar normal walaupun debar jantungnya seakan memekakkan telinga.
Calvin berhasil menyusul Kiara dan kini berdiri tepat di hadapan gadis itu, kedua tangannya terangkat dan memegang lengan Kiara lalu menggeleng, "Aku datang untuk menghabiskan sisa liburanku."
"Calvin…apa maksud…" Kiara sudah hendak bertanya saat sebuah pikiran melintas di kepalanya. Pria itu kembali karena mengira Kiara ikut pulang bersama Cheryl. Dia pasti datang kembali untuk menggunakan rumah liburan ini dengan Bianca.
"Bianca tidak ada di sini. Aku meninggalkannya di London." Seperti bisa membaca pikiran Kiara, Calvin menjawab dengan suara tenang. "Aku kembali karena tahu kau masih ada di sini."
Wajah Kiara pasti penuh ekspresi kebingungan sekarang, "Aku tidak mengerti." Ucap Kiara pada akhirnya, ia sudah lelah berharap.
Calvin tersenyum namun raut wajahnya tampak sedih, dan entah mengapa ekspresi itu membuat napas Kiara seolah tertahan di dadanya.
"Bisa kita duduk dulu? Walau aku tahu kalau aku pasti orang terakhir yang ingin kau temui saat ini." Urat di dahi Calvin sedikit berkedut saat mengatakannya, seolah tiba-tiba merasa sakit, "Kuharap kau masih mau mendengar penjelasanku." Katanya lirih.
Kiara memutar otak untuk mencari alasan agar tidak perlu bicara dengan pria itu sekarang. Walau sudah bertekad untuk mengonfrontasi pria itu, tapi jika tiba-tiba dia dihadapkan dalam situasi seperti ini tanpa persiapan, ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi karena ia juga tidak punya alasan untuk menolak, Kiara akhirnya mengangguk dan membiarkan Calvin menuntunnya ke sofa.
Calvin mendudukkannya ke sofa panjang sebelum menarik kursi untuk dirinya sendiri dan duduk di depan Kiara. Selama melakukannya, sebelah tangan Calvin tidak melepaskan tangannya, seolah-olah takut Kiara akan melarikan diri. Setelah duduk kedua tangan pria itu menggenggam tangan Kiara, yang berada di atas pangkuan gadis itu.
Kiara melihat pria itu menarik napas dalam-dalam sebelum berkata "Pertama-tama aku minta maaf soal semua yang kukatakan malam itu, saat kau pulang larut malam. Aku belum sempat mengatakannya padamu." Mata hijau Calvin menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Aku harusnya paling tahu gadis seperti apa dirimu."
Calvin menunduk dan menghindari tatapan Kiara.
"Memikirkan bahwa kau menghabiskan waktu dengan Edward dan membayangkan segala macam hal yang bisa saja terjadi di antara kalian, sama sekali bukan pikiran yang menyenangkan." Lanjut Calvin, masih dengan menundukkan kepala, "Bahkan saat mengetahui kalau Ella jatuh cinta pada David, atau bahkan saat menghadiri acara pernikahan mereka, aku sama sekali tidak pernah merasa seperti itu."
Kali ini Calvin mengangkat wajahnya dan menatap mata cokelat Kiara, mata hijau pria itu berkilat tajam.
"Aku minta maaf karena melukai perasaanmu, dan sama sekali tidak bangga dengan sikapku yang jelas sangat kekanakan."
Kiara hanya bisa menyuruh dirinya untuk bernapas dengan tenang, karena kata-kata Calvin mulai membuat dadanya terasa sesak.
"Soal Bianca." Calvin melanjutkan dengan hati-hati saat melihat kedutan di dahi Kiara ketika dirinya menyebut nama perempuan itu, "Aku bertemu dengannya di sebuah acara fashion di Paris dua tahun lalu. Saat itu ia masih model baru yang mendapatkan kesempatan besar untuk tampil di acara itu. Salah seorang rekan kerjaku mengenalkan kami berdua."
Cerita Calvin terhenti sejenak saat Blue ikut berdiri di sebelah Calvin dan memandangnya.
"Aku sedang serius sekarang kawan." Kata Calvin pada anjingnya. Blue, "Ini bisa jadi akan berpengaruh dengan hak asuhmu kedepannya." Ujar Calvin lagi, dan seolah mengerti, Blue mundur beberapa langkah dan merebahkan diri ke atas karpet. Calvin kembali fokus pada Kiara.
"Sampai mana tadi?" Katanya sambil berpikir, "Ah…Bianca. Benar. Setelah acara itu. Dia mulai datang di pesta yang sama denganku, juga tiba-tiba secara kebetulan berada di restoran atau tempat yang sama denganku. Aku menyadari kalau dia melakukannya untuk menarik perhatianku, setelah dia tahu kalau aku adalah kepala redaksi sebuah majalah fashion terkenal. Bianca menginginkan koneksi dan kenalan yang kumiliki untuk mendongkrak karirnya, dan dia tidak menutup-nutupi soal itu."
Calvin tersenyum, lebih pada dirinya sendiri, "Saat itu, setelah mengakhiri hubungan dengan Ella. Orang-orang yang mengetahui hal itu mulai menyodorkan diri, atau keluarga mereka untuk diperkenalkan padaku. Ibuku juga terus-terusan menyuruhku untuk segera menikah seperti Ella. Karena itu, kupikir aku dan Bianca bisa saling memanfaatkan, dan aku menawarkan kesepakatan dengannya.
Kiara bisa menduga kesepakatan seperti apa yang mungkin ditawarkan Calvin, tapi ia membiarkan pria itu mengatakannya sendiri.
"Aku membantunya memerluas koneksi, membantunya mendapatkan pekerjaan-pekerjaan besar dan promotor, sementara aku bisa menghalau orang-orang yang berusaha mendekatiku dengan membuat seolah Bianca adalah pasanganku. Aku tidak pernah mengonfirmasi maupun menyangkal jika ada orang yang bertanya soal hubunganku dengan Bianca. Aku membiarkan mereka berargumen sendiri."
"Tapi dia sendiri memerkenalkan dirinya sebagai kekasihmu." Kiara tidak tahan untuk memotong kata-kata Calvin. Ingatan soal perasaannya yang sempat melambung karena ciuman Calvin dan kekecewaannya begitu mendengar ucapan Bianca hari itu kembali menghantuinya.
Seakan mengerti apa yang sedang berkecamuk di pikiran Kiara, Calvin mencondongkan badannya dan mengecup ringan pipi gadis itu. Kiara terkesiap dan sontak merona.
"Ap…" Kiara menatap Calvin sambil sebelah tangannya memegangi pipinya yang baru saja dicium oleh pria itu.
"Sampai tahun lalu." Lanjut Calvin mengacuhkan tatapan protes Kiara. "Saat itu aku mendengar bahwa Bianca mengatakan pada orang-orang kalau hubungan kami serius, dan bahwa aku sudah berniat untuk melamarnya. Dia bahkan menyebarkan info itu pada awak media. Tentu saja aku marah dan berkata sudah saatnya mengakhiri kesepakatan kami."
"Kuduga dia tidak menerima berita itu dengan baik."
Calvin menggelengkan kepalanya, "Tidak, tentu saja tidak. Kalau iya semua masalah ini tidak akan terjadi." Warna mata Calvin seakan menggelap saat mengatakannya, "Aku mulai menjaga jarak darinya. Tidak membalas pesannya. Dan pada dasarnya sudah mengakhiri hubunganku dengannya. Saat aku datang kemari, aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya selama beberapa bulan. Aku bahkan sama sekali tidak memikirkannya."
"Kalau begitu kenapa dia tiba-tiba muncul di sini?" Sanggah Kiara.
Tangan Calvin terulur dan mengusap sisi wajah Kiara dengan lembut.
"Dia sedang berusaha mendapatkan kontrak dengan seorang designer baru yang sedang naik daun karena karya-karyanya mulai dilirik banyak orang." Calvin kembali bicara, "Sepertinya designer itu tertarik untuk mengontrak Bianca karena tahu soal hubungannya denganku. Dia berharap aku bisa meliput soal dirinya di majalah kami."
"Tapi saat itu kau sudah tidak berhubungan dengan Bianca." Kiara menyimpulkan.
"Ya, dan Bianca tidak mau kehilangan kesempatan itu. Juga kemungkinan kehilangan koneksi yang ia dapat saat bersamaku." Jari-jari Calvin berpindah untuk mengaitkan rambut Kiara ke belakang telinga, dan Kiara harus berkali-kali meneriakkan perintah pada otaknya untuk fokus pada cerita pria itu.
"Aku sama terkejutnya denganmu saat melihatnya muncul hari itu." Jelas Calvin, "Kurasa saat melihat sikapmu, ia mengira kalau kau adalah alasanku mengakhiri kesepakatan kami. Karena itu dia berusaha membuat hubungan kita merenggang. Walaupun kurasa itu terjadi lebih karena sikapku daripada upaya Bianca."
"Kau pergi ke hotelnya malam itu setelah…" Kiara mengutuk diri karena sempat-sempatnya mengingat ciuman Calvin malam itu, "Setelah kita bertengkar soal Edward. Kau kembali dengannya pagi itu."
"Aku memang pergi menginap di hotel malam itu. Hotel yang berbeda. Sendirian." Jawab Calvin tegas, "Aku kembali ke sini untuk minta maaf padamu. Tapi aku melihatnya duduk di dasar tangga menungguku. Marah-marah karena aku meninggalkannya di hotel dan mengabaikannya. Berkata bahwa dirinya seribu kali lebih baik daripada dirimu, yang sudah beralih pada Edward. Karena itu aku menyeretnya masuk ke rumah untuk bicara."
Wajah Calvin berubah suram, "Melihatmu sedang tertawa bersama Edward hari itu membuat suasana hatiku yang sudah buruk jadi mengerikan. Sepertinya aku menumpahkan semua itu pada Bianca."
"Wajahmu bahkan sudah mengerikan saat aku melihatmu hari itu."
Raut wajah Calvin kelihatan bersalah, ia tiba-tiba mendekatkan wajahnya lagi dan mengecup bibir Kiara sekilas. Kali ini bukan hanya membuatnya terkejut, ciuman Calvin membuat semua usaha Kiara untuk fokus buyar seketika.
"Maaf sudah menakutimu."
Kiara bisa merasakan wajahnya yang sudah kembali normal kembali memerah dan memanas dengan cepat, ia mencoba sebisanya untuk tidak memandang mata hijau Calvin yang menatap ke arahnya dengan kilatan jahil.
Kiara berdeham beberapa kali berusaha menutupi kegugupannya, "Ta…tapi hari itu kau kembali ke London bersamanya. Aku melihat dia menciummu."
Calvin mengerang frustasi, ia bangkit dari kursinya dan pindah ke samping Kiara, lalu tanpa diduga menarik Kiara dalam pelukannya. Kiara tidak tahu apa detak jantungnya yang ia dengar berdebar dengan cepat atau debaran jantung Calvin yang ia dengar karena telinganya yang kini menempel erat di dada pria itu.
"Kau melihatnya?" Tanya Calvin dengan suara yang dipenuhi dengan emosi.
"A…aku tidak bermaksud melihatnya." Protes Kiara.
"Dia pasti tahu kalau kau sedang melihat ke arah kami dan memutuskan melakukannya untuk pembalasan terakhir."
"Jadi? Kenapa kau kembali ke London?"
"Kupikir aku tidak akan bisa menyelesaikan masalah kalau Bianca masih ada di sana. Jadi aku kembali ke London dan menjanjikan kalau aku akan bekerja sama dengan designer itu di liputan terbaru kami. Mengenalkannya ke salah seorang promotor model dan menjadi penjaminnya. Mereka menandatangani kontrak besar untuk beberapa tahun ke depan." Calvin menarik napas dan mengeratkan pelukannya, "Harusnya sudah kulakukan sejak dulu. Jadi sebagai gantinya, aku membuatnya menandatangani perjanjian agar dia tidak lagi menggangguku dan membahas masalah-masalah pribadi denganku, jika tidak…semua kontraknya akan dibatalkan."
"Apa kau tidak masalah dengan menjadi penjaminnya?"
"Bianca model yang cukup mumpuni, bakatnya luar biasa. Dia hanya tidak pandai memilih koneksi dan terkadang percaya pada orang yang salah. Kurasa untuk bisnis dia investasi yang sangat baik."
Setelah merasa tidak tahan lagi berada di dalam pelukan Calvin yang memabukkannya, Kiara mendorong dada pria itu dan membebaskan diri.
"Well, terima kasih sudah menjelaskannya padaku." Kiara merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, "Tapi kau tidak perlu sampai datang kemari untuk melakukannya."
Calvin menangkupkan kedua tangannya ke wajah Kiara dan membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
"Aku berniat langsung kembali kemari setelah semua masalah selesai kemarin. Tapi tertahan karena tiba-tiba ada masalah di kantor. Karena itu semalam aku menghubungi Cheryl dan memintanya untuk memberiku kesempatan berdua denganmu. Tentu saja dia menceramahiku panjang lebar." Calvin tersenyum pasrah, "Tapi akhirnya dia setuju untuk memberiku kesempatan."
"Kalian merencanakan semua ini berdua?" Kiara melotot tidak percaya, "Jadi tidak ada masalah dengan persiapan pernikahannya?"
"Persiapannya selancar yang bisa diharapkan." Calvin menjawab, "Pagi-pagi sekali aku segera mengendarai mobilku ke sini. Tapi bukan hanya untuk menjelaskan soal Bianca."
Kiara benar-benar tidak berani berharap sekarang, ia diam dan menunggu Calvin kembali bicara, yang rasanya begitu lama.
Calvin menurunkan tangannya dari wajah Kiara dan mengalihkan pandangannya, melihat ke kejauhan seolah sedang mengingat semua yang sudah terjadi, "Sepuluh tahun lalu…aku merasa kau sudah seperti adikku sendiri, dan saat itu aku juga masih berada dalam kurungan ide bahwa hubunganku dan Ella adalah sesuatu yang memang seharusnya terjadi. Aku menganggap bahwa perhatianku padamu, alasan-alasan kenapa aku bersedia meluangkan waktuku dengan bicara denganmu, atau kenapa aku merasa senang saat menghabiskan waktu denganmu, adalah karena aku melihatmu sama seperti aku melihat Cheryl." Pria itu tersenyum simpul, "Aku pernah bilang padamu bahwa ide soal cinta romantasi dipaksakan padaku. Jadi kurasa aku tidak pernah benar-benar mengerti seperti apa rasanya jatuh cinta dan mencintai seseorang. Tapi jika sekarang kuingat lagi, hari itu saat aku mengetahui kau memutuskan pindah ke Amerika, entah kenapa aku merasa begitu sedih. Bahkan saat Ella memutuskan hubungan kami aku tidak merasa sesedih saat itu."
"Cal…" Kiara berkata lirih seiring dengan harapan yang sedikit demi sedikit kembali menyusupi hatinya saat mendnegar kata-kata Calvin.
"Hari itu saat menjemputmu," Calvin mengerutkan dahi dan tersenyum mengejek, "Aku bahkan tidak bisa berhenti mencuri pandang ke arahmu dari kaca tengah mobil."
"Apa?" Kiara bertanya tidak percaya.
Calvin menoleh dan tersenyum, "Aku bersyukur aku mengenakan kaca mata hitamku hari itu. Kalau tidak kau pasti sudah menyadarinya."
Kiara mengingat hari itu, bahkan ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Calvin. Apa Calvin menyadari kalau dirinya juga mencuri pandang ke arah pria itu? Membayangkan itu membuat Kiara ingin membenamkan diri dan bersembunyi.
"Aku tidak senang saat Cheryl mengatakan bahwa Edward mungkin menaruh perhatian padamu. Aku terus kepikiran soal itu dalam perjalanan pulang keesokan harinya, terlalu kepikiran sampai-sampai rekan kerjaku menyuruhku mengambil sisa liburanku dan kembali kemari. Terlalu tidak senang dengan kedekatan kalian berdua sampai-sampai aku melakukan dan mengatakan hal-hal yang justru melukaimu." Calvin menyisir rambutnya dengan jari dan menarik napas dalam-dalam, "Bahkan sampai seperti itu pun aku selalu beralasan kalau aku melakukannya karena kau adalah "adik" berharga yang harus aku lindungi."
Calvin menoleh pada Kiara, "Bahkan aku tidak bersikap sejauh itu saat Cheryl memerkenalkan pacar-pacarnya padaku. Butuh waktu lama sampai aku sadar…" Calvin berhenti sejenak lalu menggelangkan kepala dan mengoreksi kata-katanya, "Sampai aku mengakui bahwa aku sebenarnya merasa cemburu, dan ternyata cemburu itu menakutkan."
Selama sedetik Kiara yakin dunia di sekitarnya berhenti bergerak saat mendengar kata-kata Calvin. Apa ia tidak salah dengar? Apa semua ini hanya halusinasi dari keinginannya? Pria itu baru saja mengakui kalau dirinya merasa cemburu.
"Kau…cemburu?" Kiara bertanya dengan suara bergetar.
Calvin menatap Kiara dan tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, sebelum kemudian mengangkat sebelah tangannya dan mengusap lembut sisi wajah Kiara.
"Kupikir perasaanku padamu sepuluh tahun lalu jauh berbeda dengan apa yang kupikir aku rasakan. Tapi aku terlalu bodoh dan tidak peka untuk menyadarinya."
Kalau tadi ia merasa semuanya berhenti, termasuk detak jantungnya. Kini debaran di dadanya berpacu dengan kecepatan yang menakutkan, sampai-sampai Kiara mengira dadanya akan meledak.
"Kumohon," kata Kiara pelan sambil menyentuh tangan Calvin yang masih ada di wajahnya, "Jangan membuatku berharap."
"Kiara?" Calvin terlihat khawatir saat mendengar kata-kata Kiara.
"Kau selalu seperti ini." Kiara berusaha membuat suaranya setenang mungkin, "Selama sesaat kau membuatku berpikir kalau mungkin kau juga menyukaiku. Sebelum kemudian membuyarkan harapanku dan melukaiku. Kau tahu, aku sudah lelah…"
Belum sempat Kiara menyelesaikan kata-katanya, Calvin meraih Kiara dan menciumnya. Ciuman yang membuat Kiara menyadari soal perasaan pria itu padanya. Ciuman yang seolah menjawab semua pertanyaannya dan menghapus semua keraguan yang tersisa di hatinya.
Saat akhirnya Calvin menjauhkan bibirnya dari Kiara, pria itu menatap mata Kiara sungguh-sungguh dan berkata, "Aku masih tidak mengerti bagaimana kau bisa terus mencintai pria bodoh sepertiku, yang hanya bisa membuatmu terluka dari hari ke hari." Calvin menyentuhkan dahinya ke dahi Kiara, "Aku datang kemari bukan hanya untuk menjelaskan tentang Bianca, aku datang kemari untuk memberitahunu bahwa butuh waktu lama bagiku untuk berani mengakui soal perasaanku padamu. Tapi aku takut aku terlalu terlambat dan kau sudah memutuskan bahwa aku sudah tidak pantas lagi untukmu."
Calvin menarik napas dalam-dalam, "Karena itu Kiara, jika kau masih punya sedikit sisa perasaan suka yang kau miliki padaku sepuluh tahun lalu, apa kau masih bersedia memberiku kesempatan untuk membalasnya sekarang?"
Kiara menghembuskan napas yang tanpa ia sadari ia tahan sedari tadi. Jika tadi ia tidak berani berharap, kini rasanya seluruh tubuhnya dipenuhi dengan harapan. Pria di hadapannya ini baru saja mengatakan semua hal yang selama ini ingin Kiara dengarkan.
"Maksudmu…" Kiara menelan ludah karena suaranya terdengar serak, "Apa kau baru saja mengatakan kalau kau me…mencintaiku?"
"Mencintaimu, memujamu, tidak bisa hidup tanpamu, dan ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu." Jawab pria itu yakin, "Kalau kau bersedia."
"Tunggu." Kiara mundur, "Apa aku baru saja mendengar kau melamarku?"
"Apa menurutmu terlalu cepat?" Calvin kelihatan khawatir, "Atau sudah terlambat?"
Kiara tidak bisa lagi menahan emosinya dan senyuman lebar terbentuk di wajahnya.
Ia menggelengkan kepala, "Perasaanku tidak pernah bisa hilang berapa kalipun aku mencoba melakukannya. Kurasa aku masih seperti anak remaja yang terus mabuk cinta padamu."
Pria itu sekali lagi membawanya ke dalam pelukannya, lalu menundukkan kepala dan mencium Kiara dengan begitu hangat. Kali ini, Kiara membiarkan dirinya larut dalam ciuman Calvin. Merasakannya dengan seluruh indranya dan membiarkan perasaan bahagia itu memenuhi dirinya.
Calvin menghentikan ciuman mereka dan menatap lurus ke mata cokelat Kiara sementara mata hijaunya sendiri terlihat bersinar.
"Apa itu artinya kau menerima lamaranku?"
Kiara tertawa lepas, "Kurasa kita harus membicrarakan soal pernikahan setelah pesta Cheryl." Tangan Kiara terangkat dan menyusuri rahang Calvin, "Dia tidak akan suka kalau ada yang membuat perhatian orang-orang beralih dari hari bahagianya."
Calvin ikut tertawa dan mengangguk setuju, "Well, kalau kau bisa menunungguku selama sepuluh tahun. Kurasa menunggu beberapa bulan tidak masalah buatmu."
TAMAT