Orang-orang mulai berlalu-lalang di sekitar mobil Calvin yang terparkir di tepi jalan tak jauh dari hotel tempat ia baru saja meninggalkan Bianca, setelah berbagai alasan yang berhasil ia lontarkan agar perempuan itu membiarkannya pergi.
Calvin menghubungi Danny, lalu menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobilnya sembari menunggu panggilannya dijawab.
"Halo." Suara Danny terdengar dari seberang telepon.
"Kenapa kau tidak pernah bilang padaku kalau Bianca akan datang ke sini?!" Calvin langsung menumpahkan kekesalannya pada rekan kerjanya itu.
"Wow. Wow. Tenang dulu, Boss." Danny yang terkejut mendengar nada Calvin langsung berusaha menenangkannya, "Aku sudah ingin memberitahumu saat terakhir kali kita bicara. Tapi tiba-tiba kau sendiri yang memutuskan sambungan."
Tangan Calvin mengetuk-ketukkan jarinya ke kemudi mobil dengan kesal, "Kalau begitu kenapa kau tidak mencoba menghubungiku lagi?"
Danny tertawa canggung, "Memangnya kau akan mengangkat teleponku saat sedang kesal?" Katanya balik bertanya.
"Ada yang namanya pesan singkat, kan?" Calvin menghembuskan napas berat, berusaha meringankan perasaan sesak di dadanya namun sama sekali tidak berarti.
"Jadi, apa yang terjadi dengan Bianca?" Danny kembali bertanya saat mendengar desahan lelah Calvin.
Sambil meremas-remas rambutnya dengan kesal, Calvin mulai menceritakan apa yang terjadi kemarin sejak kedatangan Bianca yang tiba-tiba muncul di rumah liburannya, hingga pagi ini saat dirinya mengantarkan perempuan itu ke hotel.
"Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Sejak pertama kali kau mulai membawanya ke pesta-pesta sebagai pendampingmu. Kalau suatu saat dia akan jadi masalah untukmu." Suara Danny terdengar ikut prihatin setelah mendengar cerita Calvin.
Calvin menekan kepalanya yang kembali terasa berdenyut-denyut, "Saat itu kukira itu hal yang masuk akal untuk dilakukan."
"Kau harusnya tahu tabiat wanita seperti Bianca," Lanjut Danny sambil ikut menghela napas, "Jadi, sekarang apa rencanamu dengannya?"
"Well," Calvin menjawab dengan sedikit menggumam tidak jelas, "Aku tidak bisa memikirkan apa-apa saat ini, fokusku sejauh ini hanya membuatnya keluar dari rumah liburan itu. Aku bahkan harus menjanjikan makan siang dengannya baru dia mau membiarkanku pergi dari hotel."
"Ya, kuharap kau bisa segera menemukan cara untuk membuatnya kembali ke London. Atau lebih baik, membuatnya tidak lagi mengganggumu." Ucap Danny sebelum mengakhiri sambungan teleponnya.
Setelah mematikan teleponnya, Calvin memikirkan apa yang harus ia jelaskan pada Kiara. Kemarin, ia sama sekali tidak punya kesempatan untuk menjelaskan apa-apa pada gadis itu. Menurutnya saat itu pun bukanlah waktu yang tepat karena Kiara jelas terlihat sangat kesal padanya. Siapa yang bisa menyalahkannya.
Pagi ini, yang bisa ia pikirkan hanya segera membawa Bianca keluar dari rumah liburannya. Ia bahkan tidak memerhatikan apapun selain itu. Apa Kiara masih marah padanya? Tentu saja. Karena itu ia harus segera memerjelas semuanya sebelum pergi makan siang dengan Bianca. Sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak ingin ia lakukan.
Calvin menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil dan langsung melajukan mobilnya kembali ke rumah liburan.
Hal pertama yang menyambut Calvin begitu masuk ke dalam rumah liburan adalah wajah masam Cheryl yang sedang bicara di telepon. Begitu melihat kakaknya itu, Cheryl langsung menyudahi teleponnya, berjalan ke ruang konservatori dan merebahkan diri ke atas sofa.
Calvin mengikutinya dan ikut menghempaskan diri ke atas kursi berlengan di seberang Cheryl, kedua tangannya tergantung di sisi-sisi kursi sementara badannya merosot hampir setengah kursi.
"Bisakah kau berhenti menatapku seperti itu?" Calvin mengeluh saat sekali lagi melihat Cheryl menatapnya dengan tatapan menghakimi.
"Kenapa kau masih kembali kemari?" Tanya adiknya dengan ketus.
Calvin mengerang kesal, "Hubunganku dengan Bianca tidak seperti yang kau bayangkan."
"Well, perempuan itu tidak berperilaku seperti orang yang tidak punya hubungan apa-apa denganmu."
Tangan Calvin terangkat dan mengacak-acak rambutnya, "Kau bilang bukan padamu aku harus menjelaskan soal Bianca." Katanya lalu berdiri dan melihat ke sekeliling ruangan. "Apa Kiara masih di kamar?"
Cheryl meraih ponselnya dan mulai bermain game sebelum menjawab pertanyaan Calvin dengan acuh, "Dia sedang pergi ke luar dengan Edward. Sepertinya Edward mengajaknya naik Yacht atau apalah."
Badan Calvin langsung kaku di tempat, matanya menatap lurus ke arah Cheryl sementara lonceng peringatan seolah berdering dengan kencang di kepalanya.
"Apa?" Tanyanya tidak percaya, "Kalau begitu kenapa kau ada di sini? Kenapa tidak ikut dengan mereka?"
"Aku sudah ada rencana untuk shopping hari ini." Jawab Cheryl tanpa melirik ke arah Calvin, "Sebenarnya aku sudah hendak mengajak Kiara, tapi moodnya sedang jelek, jadi saat Edward menyarankan agar Kiara menghirup udara segar di tengah perairan, kupikir kenapa tidak."
Sekali lagi Calvin menghempaskan tubuhnya ke kursi, "Apa moodnya benar-benar sangat buruk?"
"Menurutmu?" Cheryl kini mengalihkan pandangan dari ponselnya, "Kalau kau mendapati "mantan" kekasih Kiara datang dan tidur sekamar dengan Kiara, apa moodmu bakalan baik-baik saja."
"Apa?"
"Baru saja mendengar Edward mengajaknya jalan saja wajahmu sudah seperti itu." Tambah Cheryl lalu kembali sibuk dengan gamenya.
"Tunggu." Calvin mengangkat tangannya, "Aku tidak tidur sekamar dengan Bianca. Dia tidur di ruangan di samping kamar kalian."
Adiknnya hanya mengangkat bahu dan bersikap tidak peduli, hal itu membuat Calvin benar-benar semakin frustasi.
"Tetap saja, harusnya kau tidak membiarkan Kiara pergi berdua saja dengan Edward. Kau tahu kan Edward itu playboy yang suka selingkuh sana-sini."
Ia memerhatikan saat adiknya itu memutar bola matanya dengan kesal lalu menatapnya, "Lalu menurutmu dia akan lebih baik jika bersamamu, begitu?"
"Apa?"
Cheryl kini duduk tegak, ponselnya ia biarkan tergeletak di atas sofa, sementara raut wajahnya kini sudah berubah serius, "Sebenarnya apa sih yang ada dalam pikiranmu soal Kiara? Setelah sekian lama mengacuhkan perasaannya terhadapmu? Oh jangan menatapku begitu, tentu saja aku tahu soal itu." Sela Cheryl saat melihat kakaknya mengerutkan dahi, "Selama sepuluh tahun ini kau bahkan tidak pernah menanyakan kabarnya. Lalu sekarang setelah ia kembali, kau yang tidak pernah peduli soal menjalin hubungan baru karena tidak bisa move on dari Ella, tiba-tiba sok perhatian pada Kiara."
Calvin tidak bisa menemukan kata-kata untuk menyanggah atau membalas perkataan adiknya itu. Karena itu ia hanya diam dan membiarkan Cheryl menumpahkan semua kekesalannya.
"Apa kau berpikir karena sudah tidak bisa mendapatkan Ella, dan Kiara yang dulu pernah tergila-gila padamu sudah kembali, jadi sekarang kau merasa bisa memanfaatkan perasaannya untuk mengisi kekosongan hatimu, begitu?"
Cheryl bangkit berdiri, jelas-jelas terlihat sangat emosional.
"Beberapa saat lalu aku berkata pada Kiara," Katanya sebelum menarik napas dalam-dalam dan berusaha menenangkan emosinya, "Kalau aku harus memilih antara Edward atau kau. Tentu saja aku akan memilihmu untuk Kiara. Tapi kalau akhirnya kau hanya akan memermainkan dan menyakiti perasaannya. Aku tidak tahu apa aku bisa tahan melihat bukti kesalahanku itu setiap harinya." Cheryl menyudahi kata-katanya dan berjalan menuju ke lantai dua, meninggalkan Calvin yang masih menatap lurus ke sofa yang sebelumnya di tempati Cheryl dengan wajah kaku.
***
Perahu layar berwarna putih itu tertambat di tengah River Dart, terapung-apung ringan mengikuti gelombang dan ombak. Edward menyerahkan segelas champagne pada Kiara lalu duduk di sebelah gadis itu. Kiara menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
"Apa suasana hatimu sudah baikan?" Edward bertanya sambil meneguk champagnenya sendiri.
Kiara menarik napas dalam-dalam dan membiarkan udara segar memenuhi paru-parunya hingga terasa menyesakkan, lalu menghembuskannya dengan keras.
"Ya, jauh lebih baik." Jawabnya sambil tersenyum, "Kurasa udara segar memang membantu."
"Menurutku siapa saja yang membuatmu sampai seperti ini seharusnya menderita juga." Edward berkata sambil menatap lurus ke arah perairan, beberapa kapal berukuran kecil melintas di sekitar perahu mereka. "Kalau aku…aku tidak akan pernah membuatmu bersedih atau murung seperti ini."
Kiara tertawa dan menyingkirkan rambutnya yang menutupi wajah, "Pasti sudah banyak wanita yang jatuh hati karena kata-katamu itu."
Pria yang duduk di sebelahnya itu ikut tergelak, "Well, aku tidak bisa menyangkal kalau aku memang sering merayu wanita. Kau bisa membaca soal itu di banyak majalah dan internet."
"Kau beruntung karena aku jarang membaca majalah gossip." Kiara menggoyang-goyangkan telunjuknya ke arah Edward.
"Kalau yang kukatakan barusan, itu bukan rayuan."
Kiara meneguk champagnenya untuk mengalihkan perhatiannya dari Edward, "Kenapa aku dapat perlakuan berbeda?"
Edward meletakkan gelasnya ke atas geladak dan menatap ke langit.
"Kau…kau tahu, ini pertama kalinya ada orang yang berteman denganku tanpa memandang kalau aku adalah Edward Jones, sang aktor teater."
"Hmm?" Kiara menoleh dan melihat Edward yang tersenyum sinis.
"Para gadis yang mendekatiku. Mereka ingin berkencan dengan Edward Jones sang aktor, bukan dengan seorang pria bernama Edward Jones. Mengerti kan maksudku?"
Kiara mengangguk saat Edward bertanya sambil menoleh ke arahnya.
"Karena itulah aku merasa harus memenuhi ekspektasi mereka." Edward melanjutkan, "Aku harus bersikap sesuai dengan apa yang mereka harapkan akan dilakukan oleh Edward sang aktor. Baru kali ini aku bisa menghabiskan waktu dan mengobrol dengan nyaman dan menyenangkan seperti ini."
"Well, senang bisa jadi teman yang baik." Kata Kiara sambil tersenyum.
"Walau kau bilang jarang baca majalah gossip, kau pasti sudah tahu cerita tentangku dengan beberapa wanita. Aku tidak akan menyangkal soal itu. Walau ada bagian-bagian yang dibesar-besarkan." Edward tertawa canggung, "Bukan sesuatu yang kubanggakan. Tapi kau memerlakukanku selama ini dengan biasa dan tidak pernah menghakimiku. Setelah bertemu denganmu, aku mulai berpikir kalau aku mungkin bisa jadi pria yang lebih baik."
Kiara masih menatap Edward, namun pikirannya masih saja dipenuhi oleh Calvin. Pikiran-pikiran tentang bagaimana jika saat ini Calvin yang ada di sampingnya, dan bagaimana jika Calvinlah yang mengatakan semua itu padanya. Kiara tahu ia bodoh karena masih saja mengharapkan hal-hal seperti itu akan dilakukan oleh Calvin.
Kiara terkesiap saat merasaan sesuatu menyentuh pipinya, dan dengan refleks mendorong Edward yang ternyata baru saja mengecup pipinya.
Kiara mendongak menatap Edward yang kelihatan sama terkejutnya, lebih pada apa yang baru saja ia lakukan dibandingkan kenyataan bahwa Kiara mendorongnya menjauh.
"Maaf." Katanya cepat sementara pandangannya tidak terfokus pada Kiara, "Tiba-tiba kau terlihat murung lagi, dan tahu-tahu aku…"
"Tidak apa." Jawab Kiara singkat.
Keheningan turun di antara mereka untuk beberapa saat, sampai akhirnya Edward bangkit berdiri dan berjalan menjauh.
"Pengurus vilaku sudah menyiapkan makanan piknik untuk kita." Katanya sembari turun ke dek bawah kapal untuk mengambil keranjang piknik yang dimaksud.
Kiara menghembuskan napas dan berusaha menenangkan diri. Ia berusaha mengalihkan pikirannya dengan menaruh perhatian pada perahu-perahu lain yang mulai memenuhi perairan di sekeliling mereka.