Menelusuri jejak-jejak kenangan
Yang menyerupai lengan-lengan gurita
Di ceruk benak yang terbagi dalam wilayah kekuasaan
Purbakala, sandyakala, dan purnama
Membutuhkan kekuatan
Sebesar Singa, di luasnya savana
Atau setidaknya
Kawanan Serigala, di belukar tundra
Di antara pahit, getir, dan manis yang bersemak
Masa silam adalah purbakala yang beriak dan beronak
Mengenai pengembaraan
Saat melintasi batas
Dan memberikan pengakuan bahwasanya aku adalah penyintas
Pada setiap rona waktu yang dilalui
Semenjak pagi membuka mata
Hingga sandyakala menutupi muka
Kenangan berhitung atas dirinya sendiri
Dengan mencatat dinginnya sunyi dan panasnya api
Di halaman-halaman buku
Yang hanya berisikan tentang aku
Kala cahaya purnama tepat menyinggahi ubun-ubun kepala
Rajutan memori yang mati suri kembali disinari
Di ruang-ruang otak yang tersembunyi
Meminta untuk dibaca ulang
Hingga dijumpai apa yang disebut alasan
dan yang apa dinamakan latar belakang
Mengapa kenangan tak pernah bisa hilang
Sebab di sana
Di kepala yang berisi semesta
Ada rasi-rasi bintang yang pulang
Juga peta-peta perjalanan yang tak mungkin lekang
Oleh hujan
Maupun dari lamunan yang dilanda kekeringan
Benteng Bantar Muncang. Panglima Kelelawar menggelar pertemuan penting di malam ketika Putri Aruna dan Putri Anila datang dari pengintaian ke wilayah Galuh Pakuan. Putri Aruna yang masih dalam keadaan terluka tangan kanannya diobati tabib Istana Pulau Kabut. Tabib itu menggeleng-gelengkan kepala melihat akibat pukulan Arya Dahana pada tangan tersebut. Tangan itu seperti terendam dalam air sungai yang membeku di musim dingin. Jaringannya nyaris tak bisa berfungsi lagi sehingga mau tak mau tabib tersebut meminta Putri Aruna untuk merendamnya di dalam air ramuan yang dibuatnya dan khusus dipanasi secara terus menerus di atas api.
Pertemuan diikuti oleh orang-orang penting Lawa Agung seperti Panglima Kelelawar sendiri dan Panglima Amranutta, ditambah sekutu lama dan baru yang belum lama ini tiba di Bantar Muncang. Panglima Karimata, Putri Anjani, dan Madaharsa datang hampir bersamaan dengan Putri Aruna dan Putri Anila.
Panglima Kelelawar menerima dengan sangat terbuka bantuan yang ditawarkan Panglima Karimata. Termasuk juga dengan ikut sertanya Madaharsa dalam persekutuan ini. Lawa Agung sempat beberapa kali bentrok dengan Majapahit dan Madaharsa adalah salah satu tokoh penting Sayap Sima. Namun setelah Hidung Belang Pesisir Timur itu menyampaikan bahwa dirinya sudah tidak peduli lagi dengan Majapahit dan sekarang hanya akan mencari sekutu terkuat, Panglima Kelelawar menerimanya dengan tangan terbuka.
Benteng Bantar Muncang memang terus memperkuat diri. Selain menambah ribuan pasukan yang didatangkan dari sepanjang pesisir selatan Jawa yang sebagian terdiri dari begal, rampok, dan penyamun, Lawa Agung juga mendapatkan tambahan ratusan pasukan Istana Timur yang masih tersisa dipimpin oleh seorang lelaki gagah bernama Mahesa Sura. Murid dari Mahesa Agni ini tidak terlibat saat terjadi perang besar di Istana Timur karena sedang menjalankan tugas dari gurunya untuk bertapa di Alas Purwo menyempurnakan Pukulan Bayangan Matahari.
"Coba ceritakan hasil pengintaianmu di sepanjang jalan besar menuju pusat kota Galuh Pakuan, Putri Anila?" Panglima Kelelawar bertanya sambil memperhatikan Putri Aruna yang nampak menyeringai kesakitan sambil terus merendam tangannya di ramuan mendidih tabib istana.
"Ya Paduka. Galuh Pakuan meningkatkan kekuatan secara besar-besaran di sepanjang jalan yang menghubungkan wilayah pesisir selatan ini dengan pusat kota. Mereka membangun 4 benteng baru sejak beberapa bulan lalu. Pangcalikan, Situ Gunung, Mandala Wangi, dan Cipanas. Perhatian mereka benar-benar tertuju ke selatan sekarang. Setengah kekuatan Benteng Cipamali yang berbatasan dengan Majapahit bahkan dipindahkan ke Benteng Pangcalikan yang merupakan benteng terkuat mereka." Putri Anila menjelaskan secara panjang lebar kekuatan Galuh Pakuan dari hasil pengintaian mereka yang cukup lama.
Panglima Kelelawar nampak termenung sesaat. Ini tantangan luar biasa berat bagi Lawa Agung.
"Kita perlu menambah kekuatan lagi. Aku juga memerlukan Purajit untuk memanggil bala bantuan dari hewan-hewan berbisa saat terjadi pertempuran. Sayangnya juga kau kehilangan Gendewa Bernyawa, Putri Anjani. Kedua senjata itu sangat berguna dalam pertempuran besar-besaran."
Putri Anjani mendengus marah.
"Betul paduka. Pemuda sialan itu berkali-kali menggagalkan segala upayaku termasuk merampas Gendewa Bernyawa dari tanganku."
Panglima Kelelawar memandang Panglima Karimata.
"Pemuda itu memang tangguh bukan main. Aku sendiri tidak bisa mengalahkannya. Tapi sebenarnya setelah aku perhatikan dari beberapa kali pertemuan dengannya, aku melihat dia selalu coba menghindari pertikaian dan berusaha tidak memihak. Hanya saja entah kenapa selalu ada kejadian atau alasan yang membuatnya terlibat dalam pertempuran melawan kita."
Panglima Karimata menyahut dengan suaranya yang kasar.
"Paduka benar sekali. Pemuda itu memang sakti bukan main! Aku sudah dua kali bentrok dengannya dan harus aku akui, akupun tak mampu mengalahkannya!"
Panglima Kelelawar melambaikan tangannya.
"Sudahlah! Kita singkirkan dulu masalah pemuda itu. Pada saatnya nanti, aku dan Panglima Karimata akan bersama-sama menghadapinya. Putri Anjani, di manakah gurumu berada? Bantuan darinya akan sangat berarti."
Putri Anjani menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu Paduka Raja. Semenjak dikalahkan oleh nenek tua yang sangat sakti di Istana Timur, guruku menghilang dan aku belum pernah lagi menemuinya."
Panglima Kelelawar mengangguk.
"Baiklah. Sekarang rencananya begini. Kita tahu bahwa Galuh Pakuan tidak akan sembarangan menyerang ke sini. Mereka masih buta dengan kekuatan kita. Jadi aku akan menugaskan beberapa orang untuk keluar dan melakukan tugas penting. Sangat penting!"
Semua orang menunggu apa yang akan dititahkan selanjutnya oleh Raja Lawa Agung.
"Panglima Amranutta aku tugaskan mencari Bimala Calya. Anak angkatku yang durhaka. Rebut Purajit dari tangannya. Panglima Karimata aku harap kau bersedia membantuku membebaskan Nini Cucara dari penjara Majapahit. Tentu Madaharsa akan bisa sangat membantu dalam hal ini. Dia hapal situasi di sana. Jika mungkin, bebaskan juga Nyai Genduk Roban. Meskipun tidak sepaham dengan kita, tapi nenek datuk ilmu sihir itu sangat membenci Majapahit. Aku pikir kita bisa membujuknya untuk bergabung jika kita katakan bahwa Majapahit sekarang bersekutu dengan Galuh Pakuan. Putri Anjani, ada baiknya kau mencari keberadaan gurumu. Datuk Rajo Bumi adalah bantuan tenaga yang tak terkira bagi Lawa Agung jika kau bisa meyakinkannya."
Semua orang mengangguk patuh. Rencana telah disusun dengan sempurna. Sebelum pertemuan dibubarkan, Putri Anjani buru-buru menyela.
"Paduka, aku melihat Arya Dahana tidak membawa serta Gendewa Bernyawa di tangannya. Aku yakin dia menyembunyikan pusaka itu di suatu tempat. Aku akan sekalian mencarinya. Seperti kata Paduka, senjata pusaka seperti itu bisa sangat menentukan dalam meraih kemenangan di perang besar."
Panglima Kelelawar tercenung sejenak. Mencari senjata pusaka itu pasti akan butuh waktu lama. Putri Anjani tahu apa yang dipikirkan oleh Raja Lawa Agung itu.
"Paduka jangan khawatir, aku sepertinya tahu di mana dia menyembunyikan senjata pusaka itu. Tidak akan jauh dari tempat yang istimewa baginya."
"Baiklah. Lakukan saja Putri. Tapi seandainya itu butuh waktu yang sangat lama, aku rasa kita singkirkan saja kemungkinan itu. Purajit juga sangat mematikan. Senjata itu lebih mudah bisa ditemukan. Panglima Amranutta pasti bisa mengatasi Bimala Calya."
Pertemuan dibubarkan. Semua orang kembali ke tempatnya masing-masing. Besok semua akan berangkat menuju tujuan masing-masing yang telah digariskan.
-----
Arya Dahana duduk di pinggir sungai kecil sambil termenung. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Tujuan awalnya hendak ke ibukota Galuh Pakuan tapi ternyata kejadian demi kejadian menariknya hingga ke wilayah pantai selatan ini. Melihat situasi terkini, Arya Dahana menduga tak lama lagi peperangan besar akan pecah. Entah siapa yang memulai terlebih dahulu. Apakah Lawa Agung atau Galuh Pakuan sebenarnya tak ada bedanya. Perang, tidak akan menyisakan apa-apa kecuali kesengsaraan, sakit hati, dan dendam. Apapun alasannya, perang tidak lebih dari saling berbunuhan dan melenyapkan. Kerajaan, manusia, hewan dan lingkungan sekitarnya. Seandainya perang bisa ditentukan dengan perkelahian atau pertarungan antar para pemimpinnya saja. Arya Dahana tersenyum kecut. Para pemimpin itu malah bersembunyi di balik genangan darah dan tubuh bergelimpangan anak buah. Perang sama dahsyatnya dengan kelaparan. Sama-sama ganas dalam menghilangkan nyawa manusia. Senyum pemuda itu semakin getir.
Apakah sebaiknya dia menyepi saja di puncak sebuah gunung atau pantai yang sepi? Meninggalkan semua hiruk pikuk dunia ini? Bersama Ratri?
Ingatan ini menggugah semangat Arya Dahana untuk bangkit berdiri. Dia sudah menetapkan tekad akan pergi ke Galuh Pakuan dan menemui Dewi Mulia Ratri lalu mengajaknya menjauhi dunia yang gaduh ini.
Tapi sebelum itu dia akan singgah dulu ke Gua Danu Cayapata mengunjungi makam Dyah Puspita. Dia akan berziarah dan berdoa agar gadis itu mendapatkan tempat terbaik di sisi Sanghyang Widi sekaligus bercerita mengenai niatnya. Belum lama ini dia memang sempat mampir ke sana setelah dari Istana Timur. Menyimpan Gendewa Bernyawa di gua yang akan sangat sulit didatangi manusia kecuali dia bisa terbang atau punya kemampuan luar biasa. Gua itu hanya bisa dicapai melewati tebing batu tinggi menjulang atau lubang kecil di alas gung liwang-liwung yang telah diruntuhkannya dengan sengaja. Arya Dahana yakin tidak ada siapapun yang bisa mencapai tempat itu. Selain menutup pintu masuk lainnya, dia telah menghilangkan semua ceruk berupa tangga yang pernah dibuatnya dahulu sebelum meninggalkan tebing itu. Dia akan membuat yang baru jika ingin mendatangi gua itu kembali.
Sebenarnya Arya Dahana ingin mengubur pusaka berbahaya itu dengan meruntuhkan tebing dan gua. Hanya saja dia tidak tega. Itu adalah tempat peristirahatan terakhir Dyah Puspita. Jika sampai diruntuhkan, bagaimana dia bisa sewaktu-waktu mengunjungi wanita yang secara luar biasa melindunginya bertahun-tahun sampai mengorbankan nyawa untuk dirinya?
Secara ajaib, karena dimasukkan di dalam batu es abadi di gua yang penuh misteri itu, jenazah Dyah Puspita sama sekali tidak mengalami perubahan. Tetap seorang wanita cantik yang seolah sedang tertidur lelap. Karena itulah setiap kali mendatangi Gua Danu Cayapata, Arya Dahana selalu mengajak Dyah Puspita bercakap-cakap. Tentang apa saja. Terutama berbicara mengenai kisah-kisah perjalanan epik mereka.
Arya Dahana menggerakkan tubuhnya berlari cepat meninggalkan sungai kecil di hutan Pangcalikan. Setelah mengelus leher Simalodra dan memberi pesan agar tetap di sekitar Benteng Pangcalikan melindungi Ayu Wulan. Harimau itu menggeram lirih. Sebentar saja dia bersama tuannya yang selalu pergi itu. Tapi harimau aneh yang berasal dari Kerajaan Gaib Laut Selatan itu mengerti bahwa tugas harus dijalankan dengan baik. Suara aumannya yang dahsyat menembus tajuk-tajuk pepohonan, lembah, dan bukit di sekitar Hutan Pangcalikan. Mengiringi kepergian Arya Dahana yang sebentar saja sudah menghilang dari penciumannya yang luar biasa tajam.
Pemuda itu sengaja mengerahkan segenap kemampuan meringankan tubuhnya. Dari sini ke Gua Danu Cayapata akan memakan waktu sehari semalam jika dia terus-terusan berlari. Hanya beberapa orang saja seingatnya yang tahu di mana gua itu berada. Dyah Puspita sempat bercerita banyak dengan Dewi Mulia Ratri dan Bimala Calya saat mereka bersama-sama mendaki Merapi. Putri Anjani juga mengetahui letak gua tersebut saat masih memimpin Pasukan Kujang Emas Elang di ibukota Galuh Pakuan dan berbincang dengan Dewi Mulia Ratri.
Ingatan terakhir membuat hati Arya Dahana tercekat dan berdoa dalam hati mudah-mudahan Putri Anjani lupa di mana letak Gua Danu Cayapata atau tidak menduga jika dia menyimpan Gendewa Bernyawa di sana.
Arya Dahana harus menyeberangi Sungai Cipamali dan juga Slamaran untuk menuju tebing Gua Danu Cayapata. Hal inilah yang sedikit menghambat kecepatan perjalanannya. Setelah lewat petang, tidak ada satupun perahu yang bersedia mengantar menyeberang. Kedua sungai itu berarus deras dan sangat berbahaya jika melakukan penyeberangan malam. Karena itulah perjalanan Arya Dahana harus tertunda 2 hari karena menunggu pagi.
Setelah menyeberangi Sungai Slamaran yang juga menyimpan cerita mengejutkan karena dia harus bermusuhan dengan Ratu Gaib Laut Utara, Arya Dahana yang tak sampai setengah hari lagi sampai ke wilayah hutan di mana Gua Danu Cayapata harus tertahan lagi.
Suara gaduh di kejauhan dan ramai jeritan minta tolong membuat Arya Dahana membelokkan larinya menuju tempat kejadian. Beberapa orang nampak terduduk kesakitan di pinggiran jalan sambil mengaduh-aduh kesakitan. Di tengah jalan besar menuju ibukota Majapahit terjadi sebuah pertempuran. Orang-orang berbaju serba hitam bertempur dengan sengit melawan orang-orang berbaju putih. Rombongan berbaju hitam yang terdiri dari orang-orang muda berwajah tenang itu nampak terdesak oleh gempuran rombongan berbaju putih yang kelihatan ganas dan sangat berbahaya.
Arya Dahana tidak mau ikut campur dahulu. Dia memperhatikan orang-orang yang terluka di pinggir jalan itu sepertinya orang-orang desa yang tidak mempunyai kemampuan kanuragan. Pemuda itu mendekati salah satunya.
"Paman, ada apa? Kenapa Paman terluka dan siapa mereka yang sedang bertempur itu?"
Pria setengah baya yang terluka kena sabetan pedang itu meringis kesakitan.
"Kami penduduk desa sini anak muda. Orang-orang berbaju putih itu menyebut diri mereka Reinkarnasi Malaikat Darah. Sudah beberapa tahun terakhir ini mereka merajalela di kawasan Majapahit. Merompak, menyamun, dan menculik orang-orang desa yang tak mengerti apa-apa untuk dijadikan budak. Mereka katanya sedang membangun sebuah padepokan di Lembah Serayu dan membutuhkan banyak orang untuk pembangunannya."
Dengan agak terengah-engah karena menahan sakit, Pria itu melanjutkan penjelasannya kepada Arya Dahana.
"Sedangkan anak-anak muda berbaju hitam itu adalah anggota Padepokan Naga Wulung pimpinan Kanjeng Kyai Mustofa dari pesisir Tuban. Mereka sengaja diutus ke sini untuk membantu kami mengatasi Gerombolan Reinkarnasi Malaikat Darah. Tapi justru mereka yang sekarang terdesak tak berdaya. Kami sudah mencoba membantu semampu kami. Tapi tentu saja tidak berpengaruh apa-apa. Kasihan anak-anak muda itu."
Arya Dahana terjengit kaget. Malaikat Darah? Ingatannya langsung menuju ke Gunung Semeru. Markas besar Malaikat Darah Baju Merah dan gerombolannya yang dulu sempat mengguncang Majapahit sampai akhirnya Pasukan Sayap Sima turun tangan mengatasi mereka. Jangan-jangan…?
Lamunan Arya Dahana dihentikan oleh teriakan-teriakan keras dari orang-orang berbaju putih yang dengan garang terus mendesak anak-anak muda berbaju hitam. Beberapa dari mereka bahkan ada yang tewas bersimbah darah. Mata Arya Dahana menyala. Tubuhnya bergerak cepat ke depan.
Terdengar suara gaduh tidak karuan saat tubuh-tubuh orang berbaju putih terpelanting kesana kemari. Arya Dahana menurunkan tangan keras meski tidak sampai membunuh. Orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini harus diberi pelajaran agar tidak seenaknya menganiaya dan memperbudak orang.
Seorang tinggi besar dengan ikat kepala merah dan berbaju putih menggeram marah melihat belasan anak buahnya bertumbangan seperti ngengat bertemu api. Tubuhnya yang tinggi besar berkacak pinggang di depan Arya Dahana yang telah menghajar dan mematahkan tulang tangan atau kaki belasan orang-orang berbaju putih itu. Sementara rombongan berbaju hitam mundur dan bersiaga di belakang sambil berusaha sebisanya mengobati teman-teman mereka yang terluka dan meminggirkan yang telah tewas.
"Hmm. Siapa kau berani mencampuri urusan Reinkarnasi Malaikat Darah, bajingan kecil? Apakah kau tidak tahu siapa kami…..?"
Heekkk…..brukkkkk!
Kalimat itu tidak sempat dilanjutkannya karena Arya Dahana yang sudah terlanjur marah mengirimkan beberapa pukulan ke pundak dan pinggang si pemimpin, membuat tubuhnya yang tinggi besar terjungkal ke belakang dengan bahu sengkleh dan perutnya sakit bukan main seperti diaduk badai.
Sambil tertatih-tatih dan dibantu oleh anak buahnya yang tidak terluka, si pemimpin tinggi besar dipapah dan dinaikkan ke atas kuda. Arya Dahana berkelebat menahan kuda itu. Si pemimpin menatap dengan wajah ketakutan. Tahu kalau dia berhadapan dengan orang dunia persilatan berkepandaian tinggi.
"Siapa nama pemimpin tertinggimu? Dan di mana markasmu?" Arya Dahana bertanya tajam. Lengannya dikebutkan ke kanan kiri saat orang-orang berbaju putih yang tersisa menyerang menggunakan golok dan pedang mereka.
Terdengar suara bak bik buk saat tubuh-tubuh itu melayang seperti laron terkena api. Tidak ada satupun orang berbaju putih yang tidak terluka sekarang. Semuanya merasakan tangan keras Arya Dahana.
Si pemimpin semakin jerih. Hanya dengan angin pukulan saja pemuda ini telah memporak-porandakan anak buahnya. Apalagi kalau sampai dia berniat membunuh? Kontan si pemimpin yang terluka ini mengangguk-angguk kepalanya minta ampun di atas kuda.
"Markas kami ada di Lembah Serayu. Pemimpin besar kami bernama Malaikat Darah Berbaju Merah. Beliau ada di sana." sambil menjawab dengan suara lirih si pemimpin tidak berani menatap Arya Dahana yang memandangnya dengan sorot mata setajam pedang.
"Kalian pulanglah. Terimakasih telah membantu penduduk desa yang tak bersalah ini. Bawalah temanmu yang terluka dan kuburkan yang tewas dengan selayaknya. Salamku Arya Dahana untuk Kyai Mustofa. Biar aku yang urus gerombolan pengacau tak berhati ini. Aku akan mendatangi mereka ke Lembah Serayu."
Setelah berkata seperti itu kepada orang-orang berbaju hitam yang manggut-manggut mengerti, Arya Dahana menepuk pantat kuda si pemimpin. Kuda itu meringkik keras lalu melaju kencang meninggalkan tempat ini. Diikuti secara berduyun-duyun oleh orang-orang berbaju putih lainnya yang juga menggunakan kuda-kuda yang ditambat tak jauh dari tempat pertempuran.
Begitu rombongan Reinkarnasi Malaikat Darah pergi, Arya Dahana berkelebat lenyap dari tempat itu menuju Lembah Serayu. Majapahit sedang mengalami penurunan cepat sehingga gerombolan itu tidak ada yang mengusik dan mencegah kesewenangan yang mereka lakukan. Dialah yang harus menghentikan mereka.
* ********