Chapter 20 - Bab 20

Bumi sedang membersihkan tubuhnya

Dari segala macam kotoran

Dan berbagai muslihat yang berkelindan

Di balik pikiran orang-orang yang sedang cemas

Bahwa dunia akan berbalik beringas

Jendela dibuka selebar-lebarnya

Agar cahaya matahari masuk dengan utuh

Dan segala macam prasangka buruk lantas runtuh

Menjadi syair-syair megatruh yang luruh

Ke dalam tembang manis pelipur lara

Saat upacara demi upacara

Berlangsung dengan diam

Tanpa sepatahpun kata

Selain doa-doa yang memanjat angkasa

Seperti sulur kayu Ara

Gua Danu Cayapata. Sesosok tubuh berkelebat-kelebat seperti bayangan hantu saat menuruni tebing tinggi dengan ngarai yang jauh di bawah dan tidak kelihatan dasarnya. Bila ada orang awam yang melihat, sosok itu memang seperti iblis yang menari-nari. Melompat ke ngarai dalam lalu berjungkir balik beberapa kali sebelum mendarat di ceruk batu yang dibuatnya sebelum mendarat dengan cara memukul dinding itu dari jarak jauh. Bayangan itu mengecil dan akhirnya menghilang ditelan kabut tebal yang menyelimuti pertengahan jalan menuju ngarai.

Arya Dahana sampai di mulut gua. Perasaannya semakin tidak enak. Pemuda itu masuk ke dalam gua dengan cemas. Sampai di dalam ruangan besar matanya tertegun hebat. Apa yang menjadi firasatnya ternyata berwujud kenyataan menyakitkan.

Batu es abadi tempatnya menyimpan tubuh mendiang Dyah Puspita hancur berantakan. Tubuh itu sendiri tergeletak dengan menyedihkan tidak jauh dari situ di dekat Batu Safir Bumi dan Bunga Kecubung berada.

Arya Dahana membungkuk. Meraih tubuh yang kaku itu dengan perasaan campur aduk. Jelas sekali ada orang jahat yang menghancurkan tempat persemayaman Dyah Puspita dan sengaja meninggalkan tubuhnya di lantai gua untuk membuatnya sakit hati. Dan dia memang sangat sakit hati. Sorot matanya menyala-nyala seperti kobaran api. Belum pernah seumur hidupnya Arya Dahana semarah ini.

Dia juga sama sekali tidak kaget saat melihat Gendewa Bernyawa yang di letakkannya di sudut ruangan telah raib tak berbekas. Orang jahat itu tidak bisa mengambil Batu Safir Bumi. Mungkin tidak mampu menangkal hawa sihir sakti yang muncul di ruangan itu.

Dugaan Arya Dahana hanya tertuju kepada 1 orang. Siapa lagi kalau bukan Putri Anjani. Wanita itu sangat mendendam kepadanya karena selalu menghalangi. Terutama saat terjadi pertempuran antara Istana Timur dan Istana Barat Majapahit. Cita-citanya hancur berantakan karena Gendewa Bernyawa direbutnya secara paksa. Padahal pusaka maut itu bisa mengubah jalannya pertempuran.

"Aku akan mencarimu dan menghukummu atas apa yang telah kau perbuat kepada Puspa…"

Arya Dahana menggeretakkan giginya. Memandangi lagi tubuh Dyah Puspita yang kaku dan dingin. Meskipun tidak lagi berada di dalam batu es abadi, jenazah itu sama sekali tidak membusuk atau berbau. Arya Dahana menduga ini pasti karena pengaruh Batu Safir Bumi dan Bunga Kecubung yang tidak berhasil diambil dan tetap berada di gua ini.

Dengan berhati-hati diangkatnya jenazah Dyah Puspita. Dipandanginya wajah wanita yang sangat mengasihinya itu dengan tatap mata penuh terimakasih. Arya Dahana menunduk mencium kening dan bibir Dyah Puspita lalu meletakkannya di lantai pada ruangan yang terdapat Batu Safir Bumi dan Bunga Kecubung.

Pemuda yang sedang dikuasai puncak amarah sekaligus terbelit kenangan hebat itu menghantamkan kedua tangannya di dinding gua granit beberapa kali secara lembut. Sebuah lubang seukuran tubuh manusia tercipta di sana.

Diangkatnya lagi tubuh wanita yang berkali-kali menyelamatkan hidupnya itu. Wanita yang rela mengorbankan hidup dan nyawa baginya. Arya Dahana mencium kening dingin itu sekali lagi lalu memasukkan tubuh itu ke dalam lubang yang telah dibuatnya.

Sambil bersimpuh dan memandang wajah cantik yang mati dalam keadaan tersenyum itu, Arya Dahana menempelkan kedua telapak tangan di dinding gua. Perlahan-lahan batu itu mengepulkan uap tipis yang lama kelamaan semakin menebal serta mengeluarkan desis lembut yang makin lama juga makin keras.

Cukup lama Arya Dahana melakukan itu. Saat dia melepaskan kedua telapak tangannya dari dinding gua, batu yang keras luar biasa itu telah berubah menjadi bongkahan es padat sebening kaca. Tubuh Dyah Puspita kembali terabadikan di dalam dinding gua. Es buatan Arya Dahana itu tidak akan mencair karena aura Batu Safir Bumi dan Batu Kecubung yang menguar kuat.

Setelah sekali lagi memandang lekat kepada mendiang Dyah Puspita, Arya Dahana keluar dari ruang ajaib yang sekarang terlihat menjadi aneh tapi indah bukan main. Ruangan yang bercahaya terang dari sinar Batu Safir Bumi dengan aroma wangi luar biasa dari Batu Kecubung berhiaskan dinding es sebening kaca dengan tubuh Dyah Puspita terlihat seperti sedang tertidur di sana.

Pemuda ini bertanya-tanya dalam hati. Dari jalan mana Putri Anjani masuk ke gua ini dan mengambil Gendewa Bernyawa serta menganiaya jenazah Dyah Puspita dengan cara menghancurkan batu persemayaman terakhirnya?

Dia yakin wanita yang sangat dendam kepadanya itu tidak melalui dinding tebing seperti dirinya. Tidak ada tanda-tanda apapun di luar sana. Sebuah pikiran melintas di benak Arya Dahana. Tubuhnya melesat seperti kilat menuju jalan keluar lain berupa lorong gelap mengerikan dan tangga panjang yang tembus ke rimba belantara jauh di atas sana.

Tak berapa lama Arya Dahana sudah sampai di mulut gua. Pintu yang ditutupinya dengan batu besar yang diruntuhkan ternyata memang telah hancur berantakan. Mulut gua itu terbuka menganga.

Arya Dahana mengerahkan seluruh tenaga dalam yang berpusar hebat di dalam tubuhnya. Apalagi terdorong oleh hawa amarah yang masih berkobar hebat di dalam hatinya, pukulan Amurti Arundaya yang dilepaskan membuat mulut gua itu ambruk dengan dahsyat. Pintu gua itu sama sekali tertutup rapat dan hanya terlihat seperti longsoran besar tebing yang berantakan.

Pemuda yang sedang dilanda amarah hebat itu melesat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya hanya satu. Menuju Benteng Bantar Muncang tempat Lawa Agung memusatkan kekuatannya. Putri kurang ajar itu pasti ada di sana.

-----

Bimala Calya menggerakkan tubuhnya berlatih jurus-jurus Pena Menggores Awan bersama Ardi Brata. Sepasang muda-mudi ini sudah lama kembali ke ibukota Galuh Pakuan dari perjalanan maut ke Istana Timur. Mereka mendampingi sang guru Ki Biantara bertempur melawan pasukan Istana Timur. Pertempuran besar yang berakhir untuk kekalahan istana yang memberontak terhadap kekuasaan Majapahit itu.

Sepulang dari timur, mereka berdua mengadakan upacara pernikahan di depan pemangku adat dan agama Istana Galuh Pakuan secara diam-diam. Hanya disaksikan oleh Dewi Mulia Ratri, Ayu Wulan dan Sima Lodra. Keduanya mengikatkan diri menjadi pasangan suami istri lalu berpamit kepada Dewi Mulia Ratri untuk menetap di pinggiran kota. Tempat yang sepi untuk mereka bisa berlatih silat setiap hari secara tenang.

Dewi Mulia Ratri tentu saja sangat berbahagia melihat wanita yang sangat dekat dengannya selain Ayu Wulan dan mendiang Dyah Puspita itu. Wanita itu bahkan meminta kepada istana untuk menyediakan tempat terbaik di luar kota bagi mereka berdua. Istana membangunkan sebuah rumah mungil yang asri dengan halaman yang sangat luas. Pasangan itu menempati rumah tersebut tak berapa lama kemudian. Bimala Calya berpesan kepada Dewi Mulia Ratri bahwa mereka siap sedia dipanggil sewaktu-waktu jika tenaganya diperlukan oleh Galuh Pakuan.

Di sinilah mereka sekarang. Setiap pagi berlatih bersama sebelum memulai kegiatan bertani dan berkebun. Sorenya berlatih kembali bersama dan malamnya membaca berbagai macam kitab dan buku. Ardi Brata sudah beberapa lama mulai menuliskan kisah-kisah semua orang yang dikenalnya. Dyah Puspita, Arya Dahana, Dewi Mulia Ratri, mereka berdua, Ayu Wulan, Sima Lodra, kisruh antar kerajaan, peperangan, Perang Bubat dan banyak lagi hal-hal menarik yang diketahui oleh mereka berdua. Kelak saat mempunyai kesempatan, Ardi Brata akan meminta masing-masing orang bercerita secara utuh perjalanan hidupnya.

Saat tengah tekun-tekunnya berlatih, terdengar kesiur angin keras yang membawa sosok tubuh Panglima Amranutta di hadapan mereka berdua. Panglima ini menatap keduanya dengan pandang mata mengancam.

"Bimala Calya, aku mendapatkan perintah dari ayah angkatmu untuk memintamu mengembalikan benda pusaka yang kau bawa." Suara dingin panglima sakti dari Laut Selatan itu terasa mengiris jantung Bimala Calya dan Ardi Brata. Pasangan muda itu tahu bahwa tokoh sakti di depan mereka ini tidak bisa ditandingi oleh mereka berdua. Tapi keduanya sama sekali tidak takut. Bagi mereka pilihannya hanya dua, hidup berdua atau mati berdua.

"Aku tahu apa yang kau maksudkan Panglima. Tapi aku menolak dengan keras permintaan itu. Pusaka itu sangat membahayakan Galuh Pakuan yang telah berbuat baik kepada kami." Bimala Calya menjawab tak kalah dingin. Ardi Brata bersiap-siap.

"Aku tidak meminta. Aku akan merampasnya darimu!" Selesai berkata, Panglima Amranutta menggerakkan tubuh menyerang Bimala Calya dengan serangan dahsyat.

Ardi Brata maju menghadapi serangan itu diikuti oleh Bimala Calya. Keduanya memainkan jurus-jurus Pena Menggores Awan yang telah mereka latih bersama-sama beberapa saat belakangan. Ilmu pukulan andalan dari Ki Biantara itu menyambut setiap serangan Panglima Amranutta dengan tak kalah dahsyat.

Terjadilah pertempuran dua lawan satu. Bimala Calya dan Ardi Brata saling bahu membahu menahan serangan mematikan panglima sakti Lawa Agung itu. Namun lambat laun setelah beberapa jurus berlalu, keduanya mulai terdesak. Panglima Amranutta terlalu tangguh bagi mereka. Apalagi pada beberapa kesempatan, panglima sakti ini menyisipkan sihir pada setiap pukulannya.

Pasangan muda itu terdesak hebat. Sihir sama sekali tidak bisa mereka lawan. Kekuatan tubuh dan semangat mereka seperti terhisap oleh sesuatu yang kuat yang keluar dari hawa pukulan Panglima Amranutta. Jika pertempuran itu dilanjutkan, tak butuh waktu lama bagi panglima tangguh ini untuk melukai dan menewaskan mereka berdua.

Keadaan yang sangat berbahaya bagi Bimala Calya dan Ardi Brata itu menemui buktinya. Sebuah pukulan tangan mengenai bahu Bimala Calya dan pukulan tangan lainnya dari Panglima Amranutta menghantam dada Ardi Brata.

Keduanya jatuh terjengkang dalam keadaan terluka cukup parah. Panglima Amranutta menyusulkan pukulan pamungkas untuk menghabisi mereka berdua. Rencananya setelah itu dia akan menggeledah mayat mereka untuk mencari pusaka yang pasti selalu dibawa Bimala Calya.

Dessss! Dessss!

Kedua pukulan itu terpental setelah sepasang lengan halus menangkis serangan Panglima Amranutta dengan kekuatan hebat.

Panglima dari Lawa Agung itu terheran-heran. Dia sudah menyelidiki tokoh-tokoh Galuh Pakuan. Para pesilat lihainya sedang ada di Benteng Pangcalikan semua. Tapi tangkisan yang membuat lengannya tergetar hebat tadi tentulah bukan dari orang sembarangan. Panglima Amranutta mengangkat mukanya penasaran.

Seorang wanita cantik menatap ke arahnya dengan pandangan marah. Astaga! Kenapa semakin banyak orang-orang muda tangguh luar biasa di dunia persilatan daratan Jawa ini? Pikir Panglima Amranutta yang tidak menyangka pekerjaan mudah ini menemui batu sandungan yang kelihatannya berat.

Panglima ini tidak mau hanyut dalam pikirannya sehingga tugasnya merebut kembali Pusaka Purajit terhambat. Tubuhnya melayang ringan mengirimkan pukulan bertubi-tubi disertai hawa sihir. Mungkin gadis ini tangguh dalam hal kanuragan dan tenaga dalam. Barangkali pukulan yang disertai ilmu sihir bisa menaklukkannya dengan cepat.

Keheranan Panglima Amranutta semakin menjadi-jadi. Selain bisa melayani jurus-jurus serangannya, wanita ini sama sekali tidak terpengaruh sihir penakluk yang dilepaskannya. Bahkan yang lebih mengagetkan lagi, ilmu sihirnya terpental balik menuju dirinya yang langsung turun semangat bertempurnya hingga titik terendah.

Panglima Amranutta tidak sadar dia sedang berhadapan dengan datuk nomor satu dalam hal sihir. Dewi Mulia Ratri telah menguasai semua isi Kitab Ranu Kumbolo yang berisi pelajaran sihir-sihir tingkat langit dan langka. Karena itu dengan mudah saja Dewi Mulia Ratri menahan sihir penakluk dan malah membuatnya menyerang balik si pemilik.

Panglima kedua dari Laut Selatan ini sudah sampai titik nol semangat bertempurnya. Dengan lesu tubuhnya melesat lenyap meninggalkan tempat pertarungan. Menyisakan Dewi Mulia Ratri yang tidak mau mengejarnya karena khawatir dengan keadaan Bimala Calya dan Ardi Brata.

Pasangan muda itu nampak duduk bersila dengan dahi mengrenyit kesakitan. Luka di dalam tubuh mereka cukup parah. Buru-buru Dewi Mulia Ratri memeriksa Bimala Calya. Isi dadanya terguncang oleh pukulan dahsyat Panglima Amranutta. Tidak boleh hanya sekedar bersamadi. Wanita ini perlu dibawa ke tabib kerajaan dengan segera. Giliran Ardi Brata, Dewi Mulia Ratri merutuki Panglima Amranutta. Luka pria muda ini lebih parah lagi, pukulan telak yang mengenai dada itu nyaris menghentikan denyut jantungnya. Untunglah dia datang. Niatnya semula untuk mengajak mereka berdua berkunjung ke rangkaian benteng Galuh Pakuan yang telah selesai dibangun dan diperkuat dengan persenjataan berat di wilayah selatan. Tapi ternyata malah menjumpai kejadian penyerangan ini.

Dewi Mulia Ratri bertepuk tangan. Satu regu Kujang Emas Garuda memang menunggunya di luar pagar. Wanita ini memerintahkan mereka mengangkat dan memapah tubuh Bimala Calya dan Ardi Brata ke atas kuda, mereka harus sampai ke Istana Galuh Pakuan sebelum terlambat.

----

Madaharsa menghentikan kudanya di pintu gerbang Istana Kerajaan Majapahit. Para prajurit penjaga yang semua mengenal siapa lelaki paruh baya itu membuka pintu gerbang dan memberi hormat.

Meski dadanya masih terasa sakit akibat pertempuran melawan Arya Dahana beberapa waktu yang lalu, namun Madaharsa segera melanjutkan perjalanan menuju ibukota Majapahit sesuai tugas yang dibebankan kepadanya oleh Panglima Kelelawar. Dia dan Panglima Karimata memulihkan diri selama beberapa hari di Padepokan Lembah Serayu yang porak poranda oleh amukan Arya Dahana.

Luka mereka bertiga cukup parah. Arya Dahana mengerahkan segenap tenaga saat beradu pukulan. Pemuda itu sendiri tidak terluka dan langsung pergi. Seandainya pemuda itu mau, tentu saat itu Padepokan Lembah Serayu sudah rata dengan tanah dan mereka bertiga mungkin sudah tewas. Untunglah pemuda sakti itu bukan pembunuh berdarah dingin. Diam-diam ketiga tokoh hebat itu bergidik. Mereka harus melaporkan hal ini kepada Panglima Kelelawar agar bisa mengatur siasat bagaimana menanggulangi ketangguhan pemuda itu.

Madaharsa memasuki komplek istana dengan tenang. Tugasnya tidak ringan. Membebaskan dua tawanan Majapahit yang dijaga dengan sangat ketat di penjara bawah tanah dan hanya mempunyai 1 pintu keluar dan masuk. Tapi otaknya yang cerdik sudah mengatur siasat. Malam ini mereka berdua harus bisa membebaskan Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban. 2 datuk sihir itu akan bisa menambah kekuatan Lawa Agung. Meskipun masih ragu dengan pendirian Nyai Genduk Roban, namun Madaharsa akan tetap membebaskannya. Perintah Raja Lawa Agung jelas. Bebaskan kedua nenek ahli sihir itu lalu bujuk Nyai Genduk Roban untuk bergabung bersama Lawa Agung. Jika nenek dari Ayu Wulan itu tidak mau, maka perintah selanjutnya adalah melenyapkannya.

Begitu malam tiba, Salah satu petinggi Sayap Sima ini dengan mudah masuk ke penjara rahasia istana Majapahit. Tidak ada satupun penjaga yang berani mencegahnya. Selain masih punya jabatan sebagai wakil Ki Tunggal Jiwo, Madaharsa juga terkenal sebagai pimpinan bertangan besi yang tak segan-segan menghukum keras orang.

"Aku hendak memeriksa tawanan dari Istana Timur." tukas Madaharsa pendek saat seseorang berpangkat hulubalang menanyakan keperluannya datang malam-malam ke penjara rahasia.

Hulubalang itu memberi tanda agar pintu penjara dibuka. Ruang penjara yang dipergunakan untuk menawan Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban adalah ruang khusus yang oleh Ki Tunggal Jiwo diletakkan persis di bawah gudang pusaka Kerajaan Majapahit. Sihir tidak bisa dipergunakan di sini. Salah satu senjata pusaka di dalam gudang itu adalah pementah sihir.

Madaharsa melongok ke dalam ruangan. Dilihatnya 2 nenek tua datuk sihir itu sedang duduk bersila di ranjangnya masing-masing. Sudah beberapa bulan mereka disekap di sini. Perlakuan yang diterima cukup baik hanya saja memang mereka tidak kabur atau melarikan diri. Keduanya tidak punya ilmu kanuragan cukup. Sedangkan sihir yang sudah pernah mereka coba berkali-kali tidak pernah berhasil.

Nini Cucara nampak bersiaga melihat Madaharsa melangkah masuk. Sedangkan Nyai Genduk Roban memandang petinggi Sayap Sima itu dengan sorot mata penuh kebencian. Dendam tidak pernah sedikitpun menghilang di benak nenek Ayu Wulan itu. Dendam yang terpendam lama terhadap Majapahit. Dendam berdarah yang harus juga dibayar dengan tumpahnya darah.

Madaharsa meletakkan telunjuknya di mulut.

"Ssstt, jangan berbicara apa-apa. Aku akan membebaskan kalian sekarang." Madaharsa meminta kedua nenek itu mengikutinya.

Awalnya Nyai Genduk Roban ragu. Siapa tahu ini jebakan. Tapi nenek itu menepis pikirannya dengan segera. Jebakan atau bukan dia tidak mau membusuk berlama-lama di penjara yang pengap ini. Nini Cucara sendiri yang mendengar kata bebas tidak pikir panjang lagi langsung mengikuti langkah Madaharsa.

Setelah menaiki tangga menuju ruang depan markas Sayap Sima yang besar ini, mereka bertiga menjumpai semua penjaga telah bergeletakan pingsan. Sesosok tubuh tinggi besar menunggu mereka di serambi markas. Panglima Karimata menggunakan sihir lalu membuat para penjaga pingsan semua dengan totokan di leher dan lengan.

Setelah memastikan keadaan aman, Madaharsa mengajak ketiga orang itu mengendap-endap menuju halaman belakang istana yang sangat luas itu. Dia tahu sebuah jalan pintas di pintu belakang kompleks istana. Penjagaan di situ tidak terlalu ketat.

Mereka sampai di sudut halaman belakang di mana terdapat pintu kecil keluar dari kompleks istana. Hanya ada 2 penjaga di situ. Madaharsa tersenyum dan memberi tanda kepada Panglima Karimata agar melumpuhkan mereka.

Namun sebelum Panglima Karimata bergerak, terdengar sebuah suara mengejutkan yang sangat dikenal oleh Madaharsa.

"Kau mau bawa kemana tawanan kerajaan itu Madaharsa?"

Ki Tunggal Jiwo menghadang di depan mereka dengan 2 regu pasukan pilihan. Ki Biantara dan seorang kakek tua renta yang entah siapa namun kelihatan berilmu tinggi juga ada di antara mereka.

Madaharsa mendadak gugup. Rencananya bisa berantakan. Ki Tunggal Jiwo mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari dirinya. Belum lagi Ki Biantara yang setara ilmunya dengannya juga ada di sini. Jika mereka menggunakan kekekerasan, meski tahu Panglima Karimata mempunyai ilmu kanuragan yang sangat tinggi, tapi Madaharsa yakin tak lama lagi tempat ini sudah dikepung ribuan pasukan Majapahit dan mereka akan mati sia-sia di sini. Dia juga tidak bisa melakukan muslihat. Ki Tunggal Jiwo hafal sifatnya luar dalam. Satu-satunya cara melarikan diri adalah dengan menggunakan keahlian 2 nenek ahli sihir ini.

Tiba-tiba saja mendung gelap dan pekat menyelimuti seluruh halaman belakang istana. Kabut yang sangat tebal dengan cepat turun membuat jarak pandang tak lebih dari 2 depa. Lamat-lamat suara gemuruh dari guruh mulai terdengar.

Rupanya Madaharsa tidak perlu lagi memerintahkan kedua nenek sihir melakukan keahliannya.

Ki Tunggal Jiwo terperangah kaget. Merasa sangat kehilangan Bledug Awu-awu yang tewas saat pertempuran di Istana Timur. Majapahit memang memiliki beberapa tokoh yang punya kemampuan sihir. Tapi tak satupun yang bisa menyamai keahlian Nini Cucara maupun Nyai Genduk Roban. Pimpinan tertinggi Sayap Sima ini menoleh kepada Ki Banyu Pethak dan Ki Biantara. Keduanya menggelengkan kepala menyatakan tak sanggup menghilangkan sihir tingkat tinggi ini.

Ki Tunggal Jiwo hanya bisa berteriak memperingatkan semua orang untuk waspada. Khawatir jika tiba-tiba ada serangan mendadak dari balik kabut tebal yang perlahan-lahan berangsur menghilang.

Ki Tunggal Jiwo mengira ada tokoh sihir yang membantu mereka melenyapkan sihir itu. Begitu kabut benar-benar menghilang diikuti langit yang kembali bersih dipenuhi bintang-bintang, Ki Tunggal Jiwo hanya terpana saat melihat keempat orang itu sudah tidak ada di mana-mana.

Rupanya Madaharsa memanfaatkan keadaan tadi untuk pergi melarikan diri bersama Panglima Karimata, Nini Cucara, dan Nyai Genduk Roban.

Menyadari para penyusup itu sudah pergi diam-diam, Ki Tunggal Jiwo berteriak kepada salah satu panglima dari pasukan Sayap Sima yang mulai berdatangan dari segala penjuru istana.

"Siapkan pasukan Sayap Sima! Kita akan berburu pengkhianat itu. Aku yakin dia sudah bergabung dengan Lawa Agung!"

* *