Chapter 21 - Bab 21

Malam membawa gulitanya

Menghadap waktu

Meletakkan ruang-ruang gelap

Sebagai persembahan bagi orang-orang yang ingin tertidur lelap

Setelah kelelahan

Berjibaku dengan berbagai kolase kehidupan

Pagi membawa ruang terdalam

Dari keyakinan paling diam

Pergi menemui waktu

Lalu meminta burung-burung penyanyi

Untuk menembangkan alangkah damainya sunyi

Tanpa disertai kegaduhan

Ataupun rencana kericuhan

Siang yang terik

Meminta waktu

Untuk bertabik

Kepada wilayah-wilayah paling lengang

Yang kehilangan percakapan orang-orang

Setelah kosakata kehabisan perpustakaan

Senja memberikan sajian termanis

Dari jejak-jejak romantis

Kepada waktu

Kemudian menyatakan saling bersekutu

Memerangi duri-duri

Yang menancapi jantung hati

Akibat pertikaian tak kunjung usai

Dengan badai yang tak pernah selesai

Benteng Pangcalikan. Rombongan Dewi Mulia Ratri memasuki benteng raksasa di wilayah paling selatan kekuasaan Kerajaan Galuh Pakuan. Bimala Calya dan Ardi sudah mulai pulih setelah tabib istana turun tangan mengobati luka dalam mereka. Pukulan Panglima Amranutta memang dahsyat dan berbahaya. Butuh beberapa lama bagi mereka untuk benar-benar sembuh total.

Bimala Calya dan Ardi Brata tidak keberatan diajak Dewi Mulia Ratri ke garis depan Galuh Pakuan yang sedang rawan perang ini. Selain ingin membalas budi baik wanita itu dan juga Istana Galuh Pakuan, Bimala Calya merasa bahwa di benteng ini dia lebih terlindungi. Ayah angkatnya sedang mengincar Pusaka Purajit yang ada di tangannya. Terlalu berbahaya baginya jika tidak berada pada perlindungan yang semestinya.

Lagipula di sini mereka bisa berjumpa lagi dengan Ayu Wulan. Gadis itu sekarang sibuk melayani segala keperluan Pangeran Bunga yang setengah lumpuh. Menurut tabib Benteng Pangcalikan, luka parah di tulang belakang akibat pukulan Putri Aruna bisa disembuhkan. Hanya saja memerlukan waktu bertahun-tahun dan kesabaran meminum obat dan ramuan secara teratur. Pangeran Bunga nyaris putus asa mendengar penjelasan tabib. Pria hidung belang itu hampir memutuskan untuk membunuh dirinya. Selain tidak bisa apa-apa lagi, dia juga tidak sanggup bertemu dengan Ayu Wulan gadis yang dicintainya dalam kondisi lumpuh seperti itu. Tapi kenyataan mengejutkan justru didapat Pangeran Bunga. Ayu Wulan bahkan yang memberinya semangat dengan mendampinginya tiap hari. Menyiapkan obat dan ramuan yang harus diminumnya tiga kali sehari, menyuapinya makan, dan membersihkan muka dan tubuhnya pada pagi dan sore hari.

Terkadang memang sebuah peristiwa luar biasa bisa merubah sikap seseorang. Seberapapun kelam kehidupannya dahulu, dirawat dengan penuh kasih dan perhatian oleh Ayu Wulan membuat pangeran pemetik bunga itu bertekad untuk sembuh dan meninggalkan semua masa silamnya yang buruk rupa. Ayu Wulan berhasil merubah total pangeran licik dan berperangai jahat itu menjadi seorang pangeran yang lemah lembut dan berperilaku santun. Setiap hari mereka berbincang setelah sama-sama membaca buku-buku sastra dari pujangga-pujangga Galuh Pakuan.

Dewi Mulia Ratri memeriksa kesiapan Benteng Pangcalikan dari sisi pasukan. Dia menyerahkan urusan pemeriksaan persenjataan kepada Bhirawa. Tokoh muda yang sekarang menjadi wakil Panglima Candraloka.

Wanita dari Sanggabuana itu diserahi wewenang untuk memimpin pasukan terbaik pengawal kerajaan Kujang Emas Garuda dan sekaligus juga Kujang Emas Elang yang dulu sekali pernah di bawah kepemimpinan Putri Anjani.

Dewi Mulia Ratri lebih banyak melakukan penempaan mental dan jiwa para prajurit pengawal khusus kerajaan Galuh Pakuan itu. Cita-cita lamanya yang ingin membuat pasukan Garda Kujang itu setara dengan Sayap Sima Majapahit mulai terlihat hasilnya.

Para prajurit hingga hulubalang Garda Kujang jauh lebih tertib dan disiplin. Berlatih tak kenal lelah karena tahu bahwa lawan-lawan Galuh Pakuan yang nanti harus mereka hadapi bukanlah lawan lemah.

Meski Majapahit sudah bukan lagi merupakan ancaman besar namun tetap saja kerajaan itu adalah kerajaan besar yang mempunyai puluhan ribu pasukan terlatih. Ditambah lagi dengan ribuan pasukan khusus Sayap Sima yang luar biasa.

Majapahit ibarat seekor banteng tua yang terluka. Perlahan-lahan menuju kematian karena usia namun tetap berbahaya dengan tanduknya yang luar biasa tajam.

Lawa Agung berbeda lagi. Kerajaan misterus dari Pulau Kabut itu sedang kuat-kuatnya. Para telik sandi terus melaporkan bahwa Benteng Bantar Muncang terus diperkuat dengan kedatangan ribuan pasukan baru yang mengalir tak putus-putus seperti hujan. Belum lagi para tokoh-tokohnya yang mempunyai kepandaian tidak lumrah dan mengerikan. Mulai dari rajanya sendiri yang sakti yaitu Panglima Kelelawar, dibantu oleh Panglima Amranutta yang punya kemampuan hanya sedikit di bawahnya, Mahesa Sura dan gurunya Mahesa Agni beserta pasukan pilihan Istana Timur yang tersisa, gerombolan Malaikat Darah yang memboyong semua anggotanya ke wilayah Bantar Muncang dan berdiam di luar benteng sebagai lapis pertama pertahanan, Panglima Karimata beserta pasukan gaibnya yang mengerikan dari Istana Laut Utara, dan tentu saja Putri Anjani yang telah memperoleh kembali pusaka idamannya, Gendewa Bernyawa.

Putri Anjani tidak akan berhasil mencapai Gua Danu Cayapata jika tidak dibantu oleh gurunya Datuk Rajo Bumi yang berhasil dibujuknya untuk meninggalkan Puncak Papandayan. Dengan bantuan gurunya yang biasa berkelana dari gunung ke gununglah Gua Danu Cayapata bisa ditemukan.

Mereka menemukan lorong gua yang tertutup batu besar, menghancurkannya, menelusurinya jauh ke dalam bumi dan akhirnya menemukan Gendewa Bernyawa tergeletak di samping sebuah batu raksasa yang secara mengejutkan di dalamnya ternyata berisi jenazah Dyah Puspita. Putri Anjani lagi-lagi meminta bantuan gurunya untuk bersama-sama menghancurkan batu yang luar biasa kerasnya itu kemudian mengeluarkan tubuh Dyah Puspita yang masih utuh dan sama sekali tidak berubah dan meletakkannya di lantai gua. Putri Anjani sengaja melampiaskan kemarahannya kepada Arya Dahana dengan berusaha keras menyiksa batinnya. Jika pemuda itu nanti ke sini dan menemukan keadaan gua yang berantakan, pemuda itu pasti akan sangat sedih. Itu pembalasan yang manis bagi semua hal yang telah dilakukan kepadanya.

Saat itu Datuk Rajo Bumi yang merupakan datuk sesat nomor satu di dunia persilatan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mengganggu tubuh orang mati baginya agak keterlaluan. Datuk ini sangat mencemaskan muridnya yang sengaja menantang pemuda sakti yang punya kemampuan luar biasa itu.

Kembali ke Benteng Pangcalikan yang besar dengan ribuan pasukan yang bersiaga di dalamnya. Semua keputusan untuk pergi berperang atau menunggu ada pada 2 orang. Panglima Candraloka dan Ki Mandara. Apabila keduanya memerintahkan maju berperang, maka ribuan pasukan ini bisa digerakkan dengan cepat menuju Benteng Bantar Muncang yang tidak terlalu jauh dari benteng terdepan ini.

Selama belum ada perintah apa-apa, para prajurit akan terus bersiaga dengan cara terus berlatih keras ilmu kanuragan dan taktik perang. Panglima Candraloka yang melatih para pasukan dengan taktik-taktik perang sementara olah kanuragan diawasi secara ketat oleh Dewi Mulia Ratri.

Ki Mandara menyuruh Ki Gularma untuk tidak tinggal di dalam benteng. Tokoh sesat yang punya kesetiaan tinggi terhadap Galuh Pakuan itu dibiarkan hidup di luar benteng. Ki Mandara khawatir terhadap kelakuan Ki Gularma yang nyeleneh dan cenderung tidak seperti orang kebanyakan.

Bimala Calya sudah menemui Ayu Wulan dan sering menemaninya berbincang saat Pangeran Bunga sedang tidur. Mereka saling bertukar cerita. Tentang apa saja. Termasuk kekhawatiran Bimala Calya yang telah menitipkan Pusaka Purajit kepada Dewi Mulia Ratri agar lebih terjamin keamanannya. Dia dan Ardi Brata sudah berangsur sembuh dari luka akibat pukulan Panglima Amranutta. Mereka juga ikut berlatih bersama pasukan Garda Kujang setiap hari. Tidak satupun orang yang meragukan bahwa perang besar akan terjadi tak lama lagi.

Dewi Mulia Ratri sendiri terus melakukan tugasnya menyiapkan pasukan dengan penuh semangat. Meski ada satu hal yang masih terasa kurang di hatinya. Arya Dahana sama sekali belum pernah memunculkan diri di hadapannya. Ayu Wulan telah bercerita bahwa pemuda itu berencana mengunjungi Gua Danu Cayapata sebelum pergi ke ibukota Galuh Pakuan menemui dirinya. Bisa jadi mereka berselisih jalan. Dia berangkat ke sini sementara Arya Dahana dalam perjalanan menuju ibukota Galuh Pakuan.

Biarlah dia akan menunggu di sini. Tugas dan kewajibannya terhadap negara yang sedang genting ini jauh lebih penting. Lawa Agung kerajaan kecil dengan kekuatan sangat besar. Galuh Pakuan tidak boleh lengah. Karena itu akan menjadi bumerang bagi mereka apabila sampai terjadi.

Setiap malam, Ki Mandara dan Panglima Candraloka selalu mengadakan pertemuan tertutup. Membicarakan secara detil kekuatan Lawa Agung berdasarkan keterangan dari telik sandi yang terus bergantian datang dan pergi. Mereka juga harus menyiapkan rencana yang matang jika sampai terjadi pertempuran antar tokoh-tokoh sakti.

Ki Banyu Pethak telah menyatakan akan siap menghadapi Mahesa Agni. Saudara seperguruan yang berbeda pandangan dan selalu bertolak belakang dengannya. Dewi Mulia Ratri yang paling tangguh di antara mereka akan menghadapi Raja Lawa Agung sendiri. Ki Mandara akan coba mengatasi Panglima Amranutta. Ki Gularma akan diberitahu untuk mewaspadai pergerakan Panglima Karimata.

"Kita kekurangan tokoh sakti yang bisa menghadapi kelihaian Putri Anjani dan kesaktian Datuk Rajo Bumi. Belum lagi ada Malaikat Merah Berbaju Darah yang punya kemampuan setara dengan Datuk Delapan Penjuru Mata Angin. Juga Madaharsa yang jelas berada di pihak Lawa Agung." Ki Mandara menyampaikan kesimpulan sementara yang mencemaskan.

"Kau benar Ki. Putri Anjani sekarang menjelma menjadi seorang yang liar dan ganas. Apalagi semenjak kejadian di Perang Blambangan dan pertempuran di Istana Timur jelas sekali dia berubah menjadi seorang wanita yang luar biasa berbahaya. Dari sisi kemampuan, gurunya lebih berbahaya. Tapi dari segi semangat yang didorong oleh dendam yang bertumpuk-tumpuk, Putri Anjani jauh lebih berbahaya dibanding gurunya." Dewi Mulia Ratri menimpali.

"Seandainya kakak Arya Dahana bersedia di pihak kita, aku rasa kesulitan kita akan terpecahkan. Dia akan sanggup menghadapi 2 orang berbahaya itu sekaligus." Ayu Wulan menukas dengan suara pelan. Dia agak sedikit segan berpendapat.

Dewi Mulia Ratri merengkuh pundak Ayu Wulan dan memeluknya dengan hangat.

"Kau benar adikku. Arya Dahana memang bisa mengimbangi Datuk Rajo Bumi dan bahkan mengalahkannya. Aku sudah melihat beberapa kali datuk sakti itu kewalahan saat berhadapan dengan Arya Dahana. Tapi di mana dia?" Wanita cantik yang menjadi andalan Galuh Pakuan itu tercenung.

"Maksudmu pemuda lusuh dan tengil yang menguasai ilmu Pukulan Bayangan Matahari?" Ki Banyu Pethak yang jarang bersuara mengeluarkan pertanyaan. Tokoh ini bersedia membantu Lawa Agung karena satu hal saja. Dia mendengar kabar Mahesa Agni telah berada di Benteng Bantar Muncang dan bergabung dengan Lawa Agung. Dialah yang harus menghentikan tokoh dari Istana Timur itu.

Dewi Mulia Ratri mendongak memandang Ki Banyu Pethak.

"Kau mengenalnya Ki?"

Ki Banyu Pethak tertawa terkekeh.

"Tentu saja aku sangat mengenalnya. Dialah satu-satunya di zaman ini yang bisa menguasai Amurti Arundaya dan Danu Cayapata secara sempurna! Tidak akan mudah, tapi aku yakin dia bisa mengalahkan dua orang Datuk Rajo Bumi sekaligus!"

Dewi Mulia Ratri yang sudah lama tidak berjumpa dengan pemuda yang menjatuhkan hatinya itu semenjak jatuhnya Bantar Muncang kembali tercenung. Jadi dia sudah sehebat itu sekarang? Mudah-mudahan dia mencariku ke sini. Tanpa terasa pipi Dewi Mulia Ratri memerah mengetahui bahwa hatinya sangat merindukan pemuda tengil itu.

Sebuah ketukan pelan di pintu membawa seorang telik sandi yang melaporkan hasil penyelidikannya di Bantar Muncang.

"Maaf Panglima, saya berhasil mengumpulkan informasi dan bahkan melihat sendiri Panglima Karimata dan Madaharsa berhasil membebaskan Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban. Mereka sudah ada di Bantar Muncang saat ini."

Semua yang hadir tersentak. Belum terpecahkan masalah siapa yang bisa menghadapi Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani, sekarang muncul lagi berita baru yang membuat mereka semakin cemas. Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban adalah 2 nenek sihir yang sulit dicari tandingannya. Mungkin hanya Bledug Awu-awu dari Majapahit dan Dewi Mulia Ratri yang bisa menghadapi mereka. Tapi jika Dewi Mulia Ratri disibukkan dengan pertarungan sihir tingkat tinggi yang pasti menguras tenaga, bagaimana dengan Panglima Kelelawar?

Tak berapa lama terdengar lagi ketukan di pintu yang membawa telik sandi berikutnya. Panglima Candraloka memang menempatkan banyak telik sandi di sekitar wilayah Bantar Muncang untuk selalu mengetahui situasi terkini kekuatan yang dihimpun oleh Lawa Agung.

"Maaf, Panglima. Datuk Rajo Bumi sudah terlihat memasuki wilayah Bantar Muncang bersama Putri Anjani. Mereka hanya berdua saja. Tapi sesuai pesan paduka Panglima Garda Kujang, Putri Anjani terlihat menggendong sebuah gendewa di punggungnya."

Laporan itu seperti ledakan petir di telinga Dewi Mulia Ratri dan Panglima Candraloka yang langsung bisa menduga Putri Anjani sudah mendapatkan kembali senjata pusakanya yang mengerikan itu. Gendewa Bernyawa. Mereka berdua tahu persis betapa berbahaya senjata pusaka itu jika digunakan dalam pertempuran besar-besaran. Mereka juga mendengar kabar Istana Barat bisa menaklukkan Istana Timur karena Gendewa Bernyawa tidak bisa dipergunakan setelah berhasil direbut oleh Arya Dahana. Tapi kenapa tiba-tiba Putri Anjani bisa memperoleh senjata mautnya itu kembali?

Dewi Mulia Ratri menghela nafas panjang.

"Masalah kita bertambah Panglima Candraloka. Gendewa Bernyawa senjata yang sangat mematikan bagi sebuah pasukan dalam jumlah besar. Kita harus memikirkan cara agar Putri Anjani jangan sampai menggunakan gendewa itu."

Panglima Candraloka yang pernah melihat kehebatan senjata itu langsung di depan matanya di Benteng Cipamali, termenung sesaat.

"Salah satu cara terbaik saat ini adalah membekali pasukan dengan perisai tahan api. Dan kita harus mulai melatih taktik ini besok pagi."

Semuanya menganggukkan kepala. Itu mungkin jalan satu-satunya saat ini. Kecuali jika tiba-tiba saja Arya Dahana kembali memunculkan diri membantu mereka. Dewi Mulia Ratri menjadi cerah raut mukanya dengan pikiran itu.

"Biarlah Putri Anjani memiliki dan menggunakan senjata maut itu. Arya Dahana pasti akan ikut campur jika sampai itu terjadi. Kalian ingat cerita Bimala Calya dan Ardi Brata saat terjadi pertempuran di Istana Timur? Arya Dahana langsung turun tangan begitu Putri Anjani mulai menggunakan pusaka mengerikan itu. Bukankah begitu Mala?" Dewi menoleh kepada Bimala Calya yang turut hadir dan hanya menyimak saja sedari tadi. Bagaimanapun ini rencana peperangan melawan ayah angkatnya. Meski dia sekarang berseberangan dengannya.

Bimala Calya mengangguk tegas.

"Benar Kakak Ratri. Arya Dahana juga yang menyelamatkan banyak prajurit dengan membuat tameng raksasa dari tanah yang dibekukan untuk menahan ratusan panah berapi dari Gendewa Bernyawa."

"Tapi apakah kau yakin Arya Dahana akan datang Dewi?" Ki Mandara bertanya.

Ayu Wulanlah yang justru menjawab pertanyaan tersebut.

"Tentu saja dia akan datang. Pasti datang. Demi kakakku yang cantik ini." Ayu Wulan memeluk Dewi Mulia Ratri yang tersenyum samar dengan wajah bersemu dadu.

"Aku tidak tahu Ki. Mungkin saja dia akan datang mungkin juga tidak. Kita tidak tahu pendirian orang yang tidak pernah ikut campur dalam urusan kerajaan itu. Aku jadi ingat satu hal yang bisa jadi juga akan membantu kita secara tidak langsung. Apabila terjadi sebuah peristiwa besar, biasanya murid Si Bungkuk Misteri yang bernama Arawinda akan hadir untuk menjaga keseimbangan seperti pesan guru kami itu. Aku yakin gadis itu akan datang. Dia sangat lihai karena mendapatkan pelatihan langsung dari Si Bungkuk Misteri yang mewariskan Ilmu Pukulan langka Aguru Bayanaka. Kemampuan gadis itu bahkan mungkin sekarang bisa mengimbangi Panglima Kelelawar."

Kecemasan mulai memudar di seisi ruangan pertemuan. Ternyata banyak kesulitan yang bisa dipecahkan. Tinggal satu hal saja yang mereka harapkan benar-benar terjadi jika peperangan sampai meletus. Kedatangan Arya Dahana dan Arawinda yang berada di pihak Galuh Pakuan.

"Paduka Panglima sebaiknya memutuskan bersama Ki Mandara apa rencana besar pasukan kita? Apakah kita akan terus menunggu Lawa Agung datang menyerang? Atau mengejutkan mereka dengan serangan dadakan ke Bantar Muncang?" Dewi Mulia Ratri memandang Panglima Candraloka dan Ki Mandara secara bergantian.

Ki Mandara saling berpandangan dengan Panglima Candraloka. Ini keputusan berat. Tapi benar apa yang dikatakan Dewi Mulia Ratri. Menunggu akan cukup berbahaya karena seperti memberikan waktu bagi Lawa Agung untuk terus memperkuat diri. Sementara menyerang duluan juga beresiko meski mereka sekarang tahu persis seperti apa kekuatan Lawa Agung.

Ki Mandara dan Panglima Candraloka sudah lama bekerja bersama sehingga dari tatapan mata saja mereka sudah tahu harus memutuskan apa.

"Kita akan kejutkan mereka. Tapi tidak dengan kekuatan penuh. Dewi maukah kau memimpin Garda Kujang dan beberapa tokoh Galuh Pakuan memberikan kejutan pahit bagi Bantar Muncang. Tapi ingat! Ini hanya serangan kejutan dan bukan bunuh diri. Aku hanya berharap mereka berpikir ulang mengenai kekuatan Galuh Pakuan dan tidak melanjutkan peperangan yang bisa menerbitkan kesengsaraan bagi banyak orang" Ki Mandara memandang Dewi Mulia Ratri. Ini permintaan berat jadi dia tidak bisa memaksa wanita cantik dari Sanggabuana untuk melakukannya jika tidak bersedia. Meski sebenarnya Ki Mandara sudah tahu apa jawabannya.

Dewi Mulia Ratri mengedikkan kepalanya.

"Tentu saja Ki. Aku akan memimpin beberapa puluh orang terpilih untuk mengejutkan Bantar Muncang. Karena ini serangan kejutan, aku hanya minta ditemani oleh Bhirawa."

Panglima Candraloka mengepalkan tangan untuk menyalakan semangat.

"Ajaklah juga Ki Gularma jika kau mau Dewi. Aku akan mengirim utusan ke Benteng Mandalawangi dan Cipanas untuk mengirimkan separuh pasukan mereka ke Benteng Pangcalikan sehingga kekuatan kita tetap utuh sementara kau membawa sebagian pasukan dari benteng ini."

Dewi Mulia Ratri berdiri dan ikut mengepalkan tangan.

"Tidak Panglima. Aku tidak mau Ki Gularma ikut karena benteng ini harus dijaga banyak tokoh berkepandaian tinggi. Waspada jika mereka melakukan serangan balik dengan cepat sementara kami masih berada di sana. Aku akan berangkat besok malam dengan membawa tak lebih dari seratus pasukan pilihan Garda Kujang bersama Bhirawa."

Pertemuan ditutup karena semua rencana dianggap sudah matang. Dewi Mulia Ratri berbincang dengan Bhirawa untuk merencanakan strategi dan taktik serangan kejutan yang akan mereka lakukan ke Benteng Bantar Muncang. Orang-orang yang akan ikut harus benar-benar pilihan dan berani mati. Belum tentu mereka bisa kembali.

* *-*