Di akhir sebuah perang
Antara keyakinan yang diragukan
Dengan keraguan yang diyakinkan
Kisah air dan api adalah hikayat
Yang luput diperbincangkan
Karena semua mulut terkunci
Di kedalaman rasa sepi
Pada sebuah puputan
Antara airmata dan darah,
Palagan yang membelasah
Adalah panggung yang roboh
Setelah diinjak-injak oleh kaki sejarah
Sedangkan orang-orangnya
semua terluka
Oleh hilangnya makna
maupun habisnya tinta
Kisah ini tidak berakhir dalam sunyi
Karena diramaikan oleh badai yang berhenti
Setelah sandyakalaning bumi
Dihangatkan kembali
Oleh semai-semai matahari
Perang Puputan Benteng Pangcalikan. Keempat benteng Kerajaan Galuh Pakuan yang berada di jalur selatan sama sekali tidak tidur. Benteng Cipanas, Mandala Wangi, Situ Gunung, dalam waktu yang singkat berkemas. Saat fajar mulai tiba, ribuan pasukan mengalir seperti air bah dari ketiga benteng itu melewati jalur pinggang gunung Pangrango. Rute yang cukup sulit untuk dilalui pasukan berkuda namun sangat mungkin jika dilakukan pasukan darat. Pasukan dari Benteng Situ Gunung akan tiba terlebih dahulu. Disusul Mandala Wangi dan kemudian Cipanas. Sesuai perintah Panglima Candraloka, mereka akan bersiaga di tiga titik di hutan-hutan tidak jauh dari Benteng Bantar Muncang. Para Panglima telah menugaskan khusus beberapa prajurit untuk bergantian melihat ke arah utara menunggu perintah yang akan muncul melalui isyarat di langit.
Benteng Pangcalikan sendiri bersiaga satu. Laporan dari telik sandi yang disampaikan secara berantai sampai saat fajar mulai menjelang ke Panglima Candraloka.
Ribuan pasukan Bantar Muncang bergerak melalui jalan besar menuju utara. Gelombang pasukan besar itu diperkirakan akan tiba di Pangcalikan saat matahari telah hadir sepenggalah.
Panglima pasukan perang Galuh Pakuan itu memerintahkan kesiagaan tingkat tertinggi. Panglima Candraloka juga mengunjungi tenda Pasukan Sayap Sima untuk menemui Ki Tunggal Jiwo. Mengabarkan tentang keadaan darurat perang dan meminta pasukan Majapahit menyingkir dari halaman benteng supaya tidak menjadi korban sampingan. Jawaban Ki Tunggal Jiwo sangat mengejutkan.
"Kami tidak akan pergi dan menyingkir dari sini Panglima! Kami adalah tamu yang diterima dengan baik oleh tuan rumah yang juga baik. Kami harus menjadi tamu yang tahu adab. Biarlah mereka melewati kami terlebih dahulu sebelum tiba di gerbang benteng ini."
Panglima Candraloka tidak bisa menolak tekad Ki Tunggal Jiwo. Hal itu akan membuat Majapahit tersinggung. Panglima itu hanya menyaksikan dari menara benteng saat Pasukan Sayap Sima mengemas kembali semua tenda kemudian berbaris rapi di halaman benteng. Ki Tunggal Jiwo dan Ki Biantara berada paling depan di atas kuda.
Ratusan pasukan tombak Galuh Pakuan yang dilengkapi perisai berat dari kayu Mahoni keluar dari benteng dan membentuk barisan di depan Pasukan Sayap Sima yang semuanya merupakan pasukan berkuda. Pasukan pemanah memenuhi menara-menara benteng dengan busur dan anak panah yang tersedia di tempat-tempat terjangkau. Termasuk obor untuk menyulut anak panah berapi juga telah disiapkan di samping mereka.
Pasukan darat Galuh Pakuan berjumlah beberapa ribu bersiaga di dalam benteng. Mereka semua juga dilengkapi dengan perisai untuk persiapan seandainya Gendewa Bernyawa mulai digunakan.
Dewi Mulia Ratri, Ki Mandara, Ki Gularma, Ayu Wulan, Bimala Calya, Ardi Brata, semua keluar dari benteng dan menaiki kuda masing-masing berdiri berjajar di depan pasukan tombak Galuh Pakuan. Panglima Candraloka sendiri akan berada di menara paling depan untuk memberi perintah kepada pasukan tempur yang berjumlah ribuan. 3 orang pemegang bendera isyarat perang berada di sampingnya. Bersiap memberikan isyarat formasi dan perintah perang kepada pasukan yang berada di luar dan di salam sesuai perintah Panglima Candraloka nantinya.
Fajar mulai menyingsing. Semburat merah dari arah timur menyiram wilayah Pangcalikan dengan warna keemasan. Embun-embun yang menempel di setiap permukaan daun perlahan-lahan menguap pergi. Tak lama lagi daun-daun itu akan lekat oleh darah yang menyiprat dan tertumpah. Angin sama sekali enggan bergerak. Setelah perang berkecamuk nanti barulah ia akan melakukan tugasnya. Menyebarkan aroma anyir dari luka dan berlepasannya nyawa kemana-mana. Untuk mengabarkan kepada manusia bahwa semulia apapun tujuan dari perang, hawa busuk dari amuk dan dengki akan tetap mengotori udara.
Jantung semua orang di Benteng Pangcalikan berdegup kencang antara semangat dan kecemasan. Semangat membela tanah tumpah darah dan penebusan serta cemas bahwa ini hari terakhir mereka hidup di alam bumi. Mereka tahu bahwa pasukan Lawa Agung menang jumlah. Karena sebagian besar dari pasukan Galuh Pakuan di wilayah selatan dari 3 benteng yang lain justru sedang bergerak diam-diam mengepung Benteng Bantar Muncang.
Namun semua prajurit percaya dengan kemampuan pertahanan benteng ini dan juga kemampuan Panglima Candraloka juga Dewi Mulia Ratri dalam memimpin pertempuran besar-besaran. Ini jelas akan menjadi perang puputan. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa kecemasan yang sama melanda para pimpinan Galuh Pakuan. Kecemasan tertinggi adalah pada hawa kematian menakutkan yang disebabkan adanya Gendewa Bernyawa di tangan Lawa Agung.
Suasana menjadi hening. Pangcalikan seolah menjadi kuburan besar yang disiapkan secara diam-diam. Tidak ada suara apapun yang terdengar. Bahkan gemerisik dedaunan dan cicit burung yang setiap pagi meramaikan hari, tidak terdengar sama sekali.
Keheningan itu akhirnya dipecahkan tak lama oleh suara kencang tambur yang ditabuh tanpa henti seolah ingin meruntuhkan semangat tempur pasukan lawan. Diikuti oleh gemuruh derap kaki kuda berjumlah ribuan. Disusul teriakan-teriakan membahana dari ribuan prajurit yang berjalan tegap sambil mengangkat pedang dan tombak yang berkilat-kilat diterpa cahaya matahari.
Dari kejauhan kerumunan pasukan Lawa Agung berseragam hijau kuning berbaris dengan rapi nampak seperti kawanan lebah yang meninggalkan sarang pada saat yang bersamaan. Siap menyerbu dan menanamkan sengatnya yang mematikan ke tubuh lawan.
Di depan pasukan yang luar biasa itu nampak berjajar menaiki kuda-kuda tinggi besar dan gagah para panglima dan tokoh-tokoh sakti. Raja Lawa Agung yang sangat tangguh berada di tengah-tengah diapit oleh Panglima Amranutta dan Panglima Karimata. Berturut-turut di sebelah mereka nampak Datuk Rajo Bumi, Putri Anjani yang telah mengeluarkan Gendewa Bernyawa, Madaharsa, Nini Cucara, Nyai Genduk Roban, Putri Aruna dan Putri Anila, Mahesa Agni, Mahesa Sura, dan Malaikat Merah Berbaju Darah.
Sorot mata mereka terlihat beringas. Terutama Panglima Kelelawar yang merasa sangat terhina Benteng Bantar Muncang diobrak-abrik oleh pasukan kecil Galuh Pakuan pimpinan Dewi Mulia Ratri. Alasan itulah yang membuat Panglima Kelelawar memutuskan untuk mendahului menyerang Benteng Pangcalikan dan berniat meratakannya dengan tanah sebagai peringatan kepada Galuh Pakuan bahwa Lawa Agung sama sekali tidak bisa diremehkan.
Rombongan pasukan Lawa Agung berhenti di ujung lapangan besar dan luas Benteng Pangcalikan. Panglima Kelelawar mengangkat tangan. Suara gaduh tambur peperangan berhenti. Raja sakti itu mengeluarkan kalimat pendek yang mengguntur dan membelah udara karena disertai oleh hawa sakti tingkat tinggi.
"Galuh Pakuan! Pagi ini, Bumi Pangcalikan menjadi saksi. Akan tumpah darah orang-orang Galuh Pakuan yang akan membanjiri tanah yang subur ini. Mayat-mayat kalian akan menjadi tanaman yang membusuk dan anyirnya akan menguar menuju Majapahit sebagai tanda bahwa Lawa Agung tidak hanya akan berhenti di sini!"
Panglima Kelelawar memberi isyarat kepada Putri Anjani. Wanita muda cantik yang rambutnya semakin banyak memutih itu maju ke depan. Gendewa Bernyawanya dipentang dan dilepaskan. Ratusan anak panah berapi meluncur seperti lidah-lidah neraka yang berburu kematian.
Pasukan tombak Galuh Pakuan bereaksi secara sigap. Semua merapat dan memasang perisai di atas kepala. Pasukan berkuda Sayap Sima yang semenjak kedatangan pasukan Lawa Agung sudah turun dari kuda dan melepaskan kuda-kuda itu di balik benteng, melakukan hal yang sama. Mereka juga selalu membawa tameng baja kemana-mana.
Suara denting dan riuh saat ratusan anak panah itu sebagian besar menancap di perisai dan melenting setelah terkena tameng terdengar menakutkan. Beberapa orang yang tewas dan terluka segera dipinggirkan oleh teman-temannya. Pasti akan ada serangan susulan dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Putri Anjani geram. Dipentangnya lagi Gendewa Bernyawa. Kembali ratusan anak panah berapi meluncur membelah udara mengarah kepada pasukan yang semakin merapatkan diri karena tahu betapa berbahayanya anak panah mematikan itu. Terdengar suara siutan bergemuruh saat dari atas Benteng Pangcalikan, ratusan anak panah yang matanya telah disulut api dilepaskan oleh pasukan pemanah ke arah pasukan Lawa Agung yang secara serentak juga memasang perisai di atas kepala.
Jerit-jerit kesakitan mulai terdengar saat dari kedua belah pihak jatuh korban tewas dan terluka. Putri Anjani bukan lagi geram namun marah besar. Wanita itu berjongkok dan mementang gendewanya ke atas langit. Dia akan melepaskan anak panah berapi secara bertubi-tubi. Dua yang pertama tadi memang dimaksudkan hanya untuk menakut-nakuti dan menjatuhkan moral pasukan lawan saja.
Beberapa kali Putri Anjani mementang gendewa dan melepaskannya. Ribuan anak panah berapi melesat ke angkasa. Kali ini anak panah-anak panah itu tidak lagi melengkung menuju sasaran namun menghunjam dengan deras dari atas.
Suara jerit kesakitan tidak banyak terdengar kali ini. Karena puluhan orang-orang yang tewas tidak sempat lagi mengaduh atau menjerit. Anak-anak panah itu menghunjam tepat di kepala.
Dewi Mulia Ratri menjadi geram. Putri Anjani seenaknya bermain-main dengan pusaka itu. Wanita ini tahu kenapa Arya Dahana belum muncul. Sungguh tidak adil kiranya jika peperangan belum dimulai namun dia sudah merebut pusaka mengerikan itu.
Melihat korban mulai banyak berjatuhan di pihak Galuh Pakuan, Panglima Kelelawar membiarkan Putri Anjani terus menggunakan Gendewa Bernyawa. Untuk apa bertempur satu lawan satu jika sekali pentang saja puluhan nyawa bisa dibinasakan.
Putri Anjani tersenyum mengejek ke arah Dewi Mulia Ratri. Setelah sekali lagi melepaskan ratusan anak panah berapi yang mengarak ke dalam benteng, wanita itu tanpa basa basi berturut-turut mengarahkan Gendewa Bernyawa ke Dewi Mulia Ratri dan tokoh-tokoh Galuh Pakuan serta Majapahit yang berdiri berjajar di atas kuda. Semua tokoh itu masing-masing bersiap dengan ilmu pukulan maupun senjata untuk menangkis ribuan anak panah yang meluncur deras mengincar bagian mematikan dari tubuh mereka.
Sesosok bayangan berkelebat di hadapan tokoh-tokoh Galuh Pakuan. Arya Dahana yang tidak bisa menahan diri lagi melihat keganasan Putri Anjani memutuskan turut campur tangan. Pemuda sakti itu menghantamkan tangannya ke tanah. Gumpalan-gumpalan besar tanah yang membeku akibat pukulan Danu Cayapata itu menjadi tameng raksasa yang meruntuhkan ribuan anak panah berapi. Tidak satupun yang berhasil lolos dari tameng aneh itu.
Arya Dahana tidak berhenti sampai di situ. Selarik besar cahaya keperakan menyambar Putri Anjani yang langsung saja melompat tinggi menghindar. Sebuah pancingan yang memang sengaja dilakukan Arya Dahana karena saat Putri Anjani melompat itulah pemuda itu melepaskan dua pukulan Danu Cayapata yang tidak mengarah ke tubuh Putri Anjani tapi mengarah ke samping kanan kiri tubuhnya.
Saking marahnya pemuda itu muncul lagi menghalanginya sehingga membuat Putri Anjani sedikit lengah, juga karena tidak menyangka secepat itu Arya Dahana menyusulkan pukulan jarak jauh yang berhawa luar biasa dingin dan membuat tubuhnya seperti membeku saat masih melayang di udara, Putri Anjani tidak bisa menghindar sama sekali ketika Arya Dahana menyambar dan merebut Gendewa Bernyawa dari tangannya.
Putri Anjani menjerit keras dan langsung secara membabi buta menyerang Arya Dahana yang telah menyimpan Gendewa Bernyawa di punggungnya. Ini kejadian kesekian kalinya pemuda ini merebut pusaka sakti itu dari tangannya. Kemarahan Putri Anjani sudah sampai pada puncaknya. Pukulan Puncak Prahara yang dibarengi dengan Gora Waja dimainkan dengan niat membunuh Arya Dahana.
Tapi dia sekarang menghadapi pemuda yang juga sedang diliputi rasa sedih dan amarah yang tidak main-main karena selalu teringat pada jenazah mendiang Dyah Puspita yang sengaja ditelantarkan oleh Putri Anjani di lantai gua. Pemuda yang dulunya hampir selalu mengalah kepada siapa saja sekarang berubah menjadi singa yang terluka.
Pukulan Puncak Prahara adalah gabungan dari ilmu Pukulan Prahara Laut Selatan dan Laut Utara. Bisa dibayangkan betapa dahsyat ilmu pukulan itu apalagi dipadukan pula dengan Gora Waja, salah satu ilmu pukulan langka unsur bumi yang merupakan puncak dari ilmu kesaktian.
Rambut dan baju Arya Dahana berkibar-kibar terkena hawa pukulan Puncak Prahara yang dilepaskan oleh Putri Anjani dan sekaligus dibarenginya dengan Pukulan Gora Waja yang mengarah ke bagian dada. Dewi Mulia Ratri sampai menahan mulutnya untuk tidak memekik melihat betapa dahsyatnya pukulan yang bisa meremukkan tubuh Arya Dahana itu. Tidak ada satupun yang menerjunkan diri ke pertempuran. Ini perang terbuka dengan saksi ribuan mata. Alangkah tercemarnya nama bagi mereka yang melakukan pengeroyokan. Lagipula semua orang sedang tegang melihat pertempuran adu nyawa tingkat atas itu.
Arya Dahana yang terus terbayang tubuh tergeletak Dyah Puspita, tidak mau menghindar atau mengelak sedikitpun. Disambutnya pukulan Putri Anjani dengan Danu Cayapata yang secara aneh dialiri dengan hawa sakti Amurti Arundaya. Arya Dahana menduga tubuhnya bereaksi seperti ini karena sifat pukulan Puncak Prahara dan Gora Waja yang juga aneh dan berbahaya.
Blaaarrrr!
Hanya satu ledakan keras yang terjadi saat tangan Putri Anjani bertemu dengan tangan Arya Dahana. Namun akibatnya sungguh dahsyat. Puluhan prajurit paling depan dari Galuh Pakuan maupun Lawa Agung terpelanting tewas. Sebagian dengan tubuh terpanggang, sebagian lagi dadanya lebam membiru. Para tokoh yang semuanya berada di sekitar gelanggang pertempuran juga merasakan akibatnya secara hebat. Baju dan rambut mereka berkibar-kibar serta tubuh terguncang akibat desakan hawa pukulan dahsyat yang menyebar ke sekitar arena.
Tubuh Arya Dahana terpental keras ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik beberapa kali pemuda itu berdiri tegak kembali persis di samping Dewi Mulia Ratri.
Sedangkan Putri Anjani hanya bergoyang-goyang di tempatnya berdiri semula. Pasukan Lawa Agung bersorak sorai. Merasa bahwa wanita sakti andalan mereka itu memenangkan pertarungan seru tadi. Hanya Datuk Rajo Bumi yang terlihat mengrenyitkan dahinya dalam-dalam.
Goyangan tubuh Putri Anjani berhenti. Matanya yang terbelalak seolah tak percaya pada apa yang terjadi tidak bisa berkedip lagi. Sekujur tubuhnya membeku luar dan dalam terkena akibat hawa pukulan Danu Cayapata yang dilepaskan secara sekuat tenaga oleh hawa sakti di tubuh Arya Dahana. Putri Anjani tewas masih dengan mata terbuka dan tubuh tetap berdiri karena sebagian kakinya tertancap ke dalam tanah.
Terdengar gerungan keras saat tubuh Datuk Rajo Bumi melesat ke depan. Diperiksanya urat nadi tangan dan leher muridnya itu. Datuk itu menggeram marah lalu mencabut mayat Putri Anjani yang tertanam di tanah dan membawanya pergi ke pinggir lapangan dan membaringkannya di sana. Setelahnya, datuk sakti yang jarang menemui tandingan itu kembali ke tempatnya semula di samping Panglima Amranutta. Panglima Kelelawar memandang Datuk Rajo Bumi yang menggelengkan kepala.
Meledaklah amarah Raja Lawa Agung itu. Diangkatnya tangan kanan ke atas lalu diayunkannya ke depan. Gemuruh membahana mengiringi ribuan pasukan Lawa Agung menyerbu Benteng Pangcalikan. Disambut oleh gemuruh yang tak kalah membahana saat ribuan pasukan Galuh Pakuan membanjir keluar dari dalam benteng.
Pecahlah pertempuran dahsyat tak terkira antara pasukan Lawa Agung dan Galuh Pakuan. Pedang bertemu pedang. Tombak bertemu tombak. Kepalan bertemu kepalan. Lapangan Benteng Pangcalikan hiruk-pikuk dengan teriakan perang dan jerit kesakitan.
Melihat perintah perang sudah diberikan, tanpa ba bi bu lagi Datuk Rajo Bumi menerjang Arya Dahana untuk membalas kematian muridnya. Keduanya bergeser menjauh di lapangan yang lebih kecil di samping Benteng Pangcalikan. Pertarungan dahsyat terjadi. Datuk Rajo Bumi mengerahkan seluruh ilmu pukulan terbaiknya sementara Arya Dahana memainkan jurus-jurus Geni Sewindu yang diisi bergantian secara otomatis oleh hawa sakti Amurti Arundaya dan Danu Cayapata.
Dewi Mulia Ratri menyambut serangan Panglima Kelelawar yang melihat wanita inilah yang paling tangguh setelah Arya Dahana di pihak Galuh Pakuan. Pecahlah pertarungan dahsyat di gelanggang yang juga bergeser menjauh dari arena pertempuran mati-matian antar prajurit.
Gerakan menyerang yang dilakukan oleh Panglima Kelelawar langsung diikuti oleh yang lainnya. Panglima Amranutta disambut oleh Ki Tunggal Jiwo. Panglima Karimata dihadapi oleh Ki Mandara. Ki Banyu Pethak melawan Mahesa Agni. Ki Biantara berhadapan dengan Madaharsa. Putri Anila beradu serang dengan Ki Gularma. Putri Aruna dihadapi oleh Bimala Calya yang berpasangan dengan Ardi Brata. Sedangkan Malaikat Merah Berbaju Darah yang tidak menemukan lawan setanding bergerak mengobrak-abrik formasi pasukan Galuh Pakuan. Beberapa pimpinan Pasukan Sayap Sima melihat kekacauan ini. 2 orang langsung maju menghadapi wanita yang sangat ganas ini.
Nini Cucara mengangkat kedua tangan merapal mantra-mantra sihir untuk mengacaukan pandangan orang-orang Galuh Pakuan. Kabut tebal perlahan-lahan turun menutupi permukaan tanah. Anehnya kabut itu hanya muncul di pandangan mata pasukan Galuh Pakuan. Pandangan Pasukan Lawa Agung tidak terpengaruh apa-apa. Dalam keadaan seperti ini mudah saja bagi pasukan Lawa Agung untuk menjatuhkan lawan. Tapi keadaan yang membahayakan Galuh Pakuan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja angin bertiup kencang membuyarkan kabut tebal tersebut. Nini Cucara tersentak kaget. Ada ahli sihir yang bisa menandingi kemampuan sihirnya ikut campur tangan. Nini Cucara mencari-cari. Matanya beradu dengan mata Nyai Genduk Roban yang mengerahkan sihirnya mengusir kabut tebal buatannya. Nenek sihir dari Lawa Agung itu marah bukan main. Dia mengejar Nyai Genduk Roban yang pergi menjauh sambil menyerangnya dengan ilmu sihir. Kedua dedengkot sihir itu bertanding hebat jauh dari Benteng Pangcalikan.
Ayu Wulan yang ikut bertempur bersama-sama Pasukan Galuh Pakuan melihat neneknya sengaja menjauh dari gelanggang pertempuran besar karena tidak mau mengganggu jalannya pertempuran dan menjauhkan Nini Cucara dari arena.
Bumi Pangcalikan pagi ini riuh rendah oleh senjata beradu, lengan bergesekan, kepalan saling menghantam, rintih kesakitan dan mayat-mayat bergelimpangan. Matahari yang semakin meninggi menaburkan hawa panas. Angin yang mulai kencang bertiup menyebarkan aroma anyir darah dari tubuh-tubuh yang tewas bergeletakan maupun yang terluka dan bergelimpangan di mana-mana.
Korban kedua yang jatuh dari tokoh persilatan setelah tewasnya Putri Anjani adalah dua pimpinan Sayap Sima yang tewas dengan dada remuk setelah terkena pukulan telak Malaikat Merah Berbaju Darah. Wanita pemimpin Gerombolan Malaikat Darah dari Lembah Serayu ini masih terlalu tangguh bagi kedua orang yang sebenarnya berkepandaian cukup tinggi tersebut.
Malaikat Merah Berbaju Darah yang telah kehilangan lawan itu menyerbu maju ke arah Pasukan Galuh Pakuan yang tentu saja langsung bertewasan karena tidak bisa menahan kelihaian wanita sakti ini. Keadaan menjadi cukup berbahaya bagi Galuh Pakuan, karena selain Malaikat Merah Berbaju Darah, di tempat lain Mahesa Sura membunuhi pasukan Galuh Pakuan seperti mencabuti rumput karena tidak ada lawan tanding yang sepadan.
Sesosok bayangan berkelebat dan langsung menahan serangan wanita beringas dari Lembah Serayu itu. Arawinda yang sejak tadi menyaksikan dari kejauhan langsung turun tangan menahan serangan-serangan ganas Malaikat Merah Berbaju Darah. Keadaan kembali berimbang kecuali di arena tempat Mahesa Sura dengan seenaknya membunuhi orang.
Arya Dahana juga melihat ketidakseimbangan sekaligus kemunculan Arawinda yang langsung mendesak hebat Malaikat Merah Berbaju Darah menggunakan Tarian Astadewi. Pemuda yang agak sulit mengendalikan amarah ini sudah menghabiskan puluhan jurus melawan Datuk Rajo Bumi. Ketika Arya Dahana memutuskan tak mau lagi bertempur lama-lama dan berniat menyudahi pertarungan dengan adu pukulan, tiba-tiba sebuah bayangan hitam menggeram keras menerjang Arya Dahana. Harimau hitam raksasa peliharaan Datuk Rajo Bumi datang membantu tuannya. Arya Dahana sejenak terkaget-kaget melihat kedatangan harimau hitam yang perkasa ini. Namun pemuda itu kembali bisa memusatkan perhatiannya kepada Datuk Rajo Bumi yang terus menyerangnya dengan hebat karena entah muncul darimana, Sima Lodra mengambil alih pertarungan melawan harimau hitam. Kedua harimau yang kontras warnanya itu mengaum, mencakar dan saling memburu dengan sengit. Hanya sebentar saja kedua harimau aneh ini bertarung di lapangan karena Sima Lodra sudah melesat cepat menuju hutan dan langsung dikejar oleh harimau hitam. Sima Lodra sengaja menjauh agar bisa leluasa bertarung dan tidak membahayakan para prajurit yang sedang bertempur mempertaruhkan nyawa.
Dalam satu gerakan lambat, Arya Dahana menyambut pukulan Datuk Rajo Bumi. Keras lawan keras. Pukulan terdahsyat Datuk Rajo Bumi bertemu dengan gabungan Amurti Arundaya dan Danu Cayapata yang secara otomatis diatur oleh tubuh Arya Dahana. Ledakan dahsyat kedua kalinya terjadi setelah adu pukulan Arya Dahana dengan mendiang Putri Anjani tadi pagi. Tubuh Arya Dahana terhuyung-huyung dan terjajar ke belakang beberapa langkah. Dadanya sedikit sesak namun dia baik-baik saja. Berbeda dengan keadaan Datuk Rajo Bumi yang terpental jauh bergulingan hingga ke pinggir lapangan dan hanya berhenti setelah tubuhnya menabrak dinding benteng dengan nafas yang telah meninggalkan tubuhnya.
Arya Dahana berkelebat seperti kilat ke arah Mahesa Sura yang semakin jumawa menghabisi prajurit Galuh Pakuan. Pemuda ini melakukan tangkisan dengan mengerahkan tenaga saat Mahesa Sura untuk kesekian kalinya hendak memukul pecah kepala seorang prajurit yang sudah terluka terkena tombak di bahunya.
Desssss! Brukkkkkk!
Tubuh Mahesa Sura terpelanting keras dan jatuh dalam posisi terlentang dalam keadaan tak bernyawa. Kembali Arya Dahana berkelebat dan mengambil alih pertempuran antara Bimala Calya dan Ardi Brata yang terlihat sangat kewalahan melawan Putri Aruna. Pemuda yang matanya berkilat-kilat karena ledakan amarah ini menyerang Putri Aruna dengan dahsyat. Tak butuh waktu lama bagi Putri Aruna yang terguling pingsan setelah terkena serempet pukulan Arya Dahana. Putri Anila yang melihat kejadian itu meski sedang bertempur dengan Ki Gularma, menjerit keras dan secara membabi buta menyerang Ki Gularma yang sedari tadi sudah terdesak. Tokoh sesat pembela Galuh Pakuan itu melolong kesakitan saat pukulan Putri Anila telak menghantam dadanya. Ki Gularma tewas dengan dada remuk. Putri Anila melompat tinggi dan menyambar tubuh Putri Aruna yang pingsan untuk dibawanya ke pinggiran palagan.
Pertempuran antara Dewi Mulia Ratri melawan Panglima Kelelawar mendekati akhir setelah beberapa puluh jurus berlalu. Panglima Kelelawar yang melihat pihaknya mulai tertekan setelah kematian Putri Anjani, Datuk Rajo Bumi dan Mahesa Sura, apalagi Putri Aruna juga sudah berhasil dilumpuhkan sedangkan Putri Anila sedang berusaha keras menyelamatkan nyawanya, memutuskan untuk mengakhiri pertarungan dengan wanita yang luar biasa tangguh dan sanggup mendesaknya. Panglima sakti ini menyalurkan seluruh hawa pukulan di kedua lengannya dan melepaskan Amurti Arundaya sekuat tenaga. Panglima ini juga menyertakan hawa sihir Laut Selatan untuk memperlemah tenaga lawannya. Dewi Mulia Ratri menyambut dengan gagah berani. Pukulan Gempa Pralaya dihantamkan ke tanah yang khusus ditujukan untuk menangkis serangan Amurti Arundaya berhawa sihir kuat itu. Gempa Pralaya yang dilepaskannya juga dipenuhi kekuatan sihir Ranu Kumbolo.
Blaaarrr! Blaaarr! Blaaarrr!
Untuk ketiga kalinya ledakan keras terjadi. Bahkan ini mungkin ledakan terhebat yang terjadi hari ini. Dewi Mulia Ratri nyaris jatuh terguling jika saja tubuhnya tidak disambar Arya Dahana. Wanita tangguh itu terluka dalam tapi tidak terlalu parah karena kemudian memaksakan tubuhnya berdiri dan meraih sesuatu dari kantong bajunya. Sambil mengerahkan kekuatan sihir dengan segenap kekuatan, Dewi Mulia Ratri melepaskan suar ke angkasa. Ledakan keras kembali terjadi. Asap tebal yang bergulung-gulung dari suar itu secara ajaib berubah menyerupai kepala naga raksasa.
Sementara itu Panglima Kelelawar terjengkang jatuh dan memuntahkan darah berkali-kali sebelum akhirnya terguling dalam keadaan tewas. Meskipun pertempuran masih berlangsung, sorai sorai luar biasa membahana keluar dari pasukan Galuh Pakuan yang sempat menyaksikan panglima mereka berhasil menewaskan Raja Lawa Agung yang sangat sakti itu. Berkebalikan dengan pasukan Lawa Agung yang semangatnya langsung runtuh melihat junjungan mereka tergeletak di palagan perang dalam kondisi tidak beryawa lagi.
Bersamaan dengan itu di gelanggang lain, Panglima Amranutta terluka parah setelah beradu pukulan dengan Ki Tunggal Jiwo yang juga mengalami luka yang kurang lebih sama. Panglima Karimata berhasil memenangkan pertarungannya melawan Ki Mandara yang gugur dengan gagah berani persis di depan gerbang Benteng Pangcalikan. Mahesa Agni yang telah bertempur ratusan jurus tanpa berkesudahan melawan Ki Banyu Pethak tidak terlihat lagi bertempur di arena sekitar benteng. Kedua tokoh itu memilih pertarungan terakhir mereka dilakukan di tengah hutan tidak jauh dari tempat Sima Lodra bertarung mati-matian melawan harimau hitam yang tangguh itu.
Arawinda yang menjelma menjadi wanita sakti tanpa tandingan semenjak menguasai Tarian Astadewi tentu saja bukan lawan seimbang bagi Malaikat Merah Berbaju Darah. Setelah belasan jurus berlalu, wanita beringas dari Lembah Serayu itu sudah tergeletak pingsan terkena pukulan Astadewi yang mengenai perutnya. Malaikat Merah Berbaju Darah segera saja dilarikan oleh Gerombolan Malaikat Darah pergi dari tempat yang mengerikan itu.
Panglima Karimata tidak melihat jalan lain selain menyambar tubuh Panglima Amranutta yang terluka sambil memberi tanda kepada Putri Anila agar membawa tubuh Putri Aruna yang masih pingsan untuk pergi mengikutinya.
Madaharsa sudah semenjak Panglima Kelelawar kalah dari Dewi Mulia Ratri tadi, telah meninggalkan gelanggang pertempuran melawan Ki Biantara yang membiarkannya pergi. Sedangkan di sudut lapangan dekat hutan nampak Ayu Wulan menangis terguguk sambil memangku tubuh Nyai Genduk Roban yang sampyuh saat bertarung sihir tingkat tinggi melawan Nini Cucara yang jenazahnya tergeletak tidak jauh dari sana.
Melihat semua pimpinannya melarikan diri atau mati. Pasukan Lawa Agung yang masih berjumlah ribuan itu membuang senjata dan bersama-sama berlutut menyerah. Panglima Candraloka memerintahkan para tawanan itu dikumpulkan di lapangan lalu menugaskan prajurit yang terlihat masih bugar untuk mendata satu persatu asalnya dari mana. Panglima ini tahu bahwa sebagian dari pasukan Lawa Agung direkrut secara paksa di pesisir selatan maupun utara. Kecuali gerombolan Malaikat Darah yang telah pergi dengan membawa pemimpinnya dan rombongan pasukan istana timur pimpinan Mahesa Sura yang juga sudah tercerai berai melarikan diri begitu melihat pemimpinnya tewas di tangan Arya Dahana.
Panglima Candraloka akan memulangkan pasukan Lawa Agung hasil rekrutan paksa ke rumahnya masing-masing dan menawan pasukan yang memang merupakan pasukan inti Lawa Agung.
Di tengah-tengah kegaduhan, muncullah suara derap kaki kuda mendekat. Seorang utusan dari Benteng Mandala Wangi yang ikut bertempur menyerang Benteng Bantar Muncang menghadap Panglima Candraloka. Mengabarkan bahwa tidak banyak perlawanan berarti dari pasukan yang masih disisakan oleh mendiang Panglima Kelelawar untuk menjaga benteng. Saat ini pasukan gabungan dari Mandala Wangi, Situ Gunung, dan Cipanas sudah menguasai sepenuhnya Benteng Bantar Muncang dan menunggu perintah selanjutnya dari Panglima Candraloka.
Dengan perasaan gembira yang meluap-luap karena kemenangan besar ini Panglima Candraloka juga harus dihadapkan dengan kesedihan saat prajurit melaporkan bahwa mereka menemukan jenazah Ki Mandara dan Ki Gularma di medan pertempuran yang dipenuhi tumpukan mayat. Panglima Candraloka memerintahkan upacara pembakaran jenazah kedua pahlawan Galuh Pakuan itu untuk diadakan pada malam hari nanti setelah jenazah dibersihkan secara layak. Galuh Pakuan kehilangan banyak pasukan dan juga tokoh-tokohnya, tapi kerajaan besar itu berhasil menegakkan dirinya sebagai kerajaan yang pantang menyerah dan tidak mudah kalah.
Panglima yang gagah ini juga memerintahkan agar semua mayat baik itu prajurit Galuh Pakuan, Majapahit maupun Lawa Agung untuk dikumpulkan di satu tempat di lapangan Benteng Pangcalikan. Malam ini akan ada upacara besar-besaran pembakaran mayat dengan disertai doa-doa agar peperangan yang menyedihkan seperti ini tidak terulang lagi.
Arya Dahana memandang kosong pada tumpukan ratusan bahkan mungkin ribuan mayat di tengah lapangan. Hatinya seperti jatuh ke lembah tidak berdasar. Merasa pedih dan merana karena dia juga menjadi bagian dari peperangan yang menyedihkan ini. Dia juga menjadi pembunuh yang brutal hari ini. Beberapa orang mati di tangannya. Tangannya berlumuran darah manusia meski dia tahu mereka memang layak untuk dihapus keberadaannya di muka bumi karena jika tidak maka akan lebih banyak lagi manusia yang mati di tangan mereka. Tetap saja, penyesalan yang begitu dalam hinggap di hati pemuda yang sekarang kobaran api di matanya sudah benar-benar padam.
Arya Dahana mendongak menatap angkasa. Dari mulutnya keluar rintihan yang mirip dengan gerungan hebat. Semua orang harus menutupi gendang telinga dan mendekap dada karena rintihan itu berakibat dahsyat bagi pendengaran dan detak jantung mereka.
Suara gerungan dahsyat itu ditimpali dengan auman yang tak kalah dahsyatnya pula. Sima Lodra berjalan terpincang-pincang menghampiri Arya Dahana dan duduk dengan tenang di samping kaki pemuda itu. Matanya yang hijau berkilauan namun muram. Seolah juga ikut menyesal telah menyayat mati leher harimau hitam peliharaan Datuk Rajo Bumi pada pertarungan mereka tadi.
Dewi Mulia Ratri yang hanya terluka ringan buru-buru memeluk kuat-kuat pemuda yang sedang jatuh dalam penyesalan itu. Bibirnya berbisik.
"Cepat bawa aku pergi dari sini. Akupun sedih sepertimu melihat akibat dari peperangan ini. Tenangkan dirimu. Kalau tidak, orang-orang yang tidak kuat itu bisa mati atau pecah gendang telinganya akibat suara dahsyatmu."
Arya Dahana mendadak tersadar. Dipandangnya wanita yang memeluknya erat itu dengan pandangan penuh harapan dan juga cinta. Ya. Mereka berdua harus menyingkir cepat-cepat dari sini. Karena kalau tidak, dia khawatir untuk tidak bisa menahan diri saat upacara kematian malam nanti. Dewi Mulia menggenggam tangannya dengan erat dan hangat.
"Kau berjanji untuk membawaku ke tempat paling sepi. Tunjukkan padaku sekarang."
Arya Dahana memandang berkeliling dan berkata sebelum tubuhnya menyambar Dewi Mulia Ratri dan keduanya lenyap dari tempat itu. Disusul oleh tubuh raksasa Sima Lodra yang juga melompat tinggi dan berlari cepat mengikuti tuannya meski kakinya agak terpincang. Diikuti oleh pandangan takjub ribuan orang yang ada di palagan puputan berdarah-darah itu.
"Kami pamit Panglima dan andika sekalian. Mohon maaf. Kami akan pergi selamanya dari kegaduhan perang dan pertempuran. Jangan pernah mencari kami."
Suara itu masih bergema dengan kuat di sekitar Benteng Pangcalikan meski tubuh kedua orang yang saling mencinta itu telah jauh pergi dengan kecepatan tinggi dan tidak lumrah manusia menuju Gua Danu Cayapata.
* * **** T A M A T * * ****