Aku hanya ingin mengirim pesan kepadamu
Dengan mengutus ilalang
Bahwa masih ada kenangan setajam lengannya
yang belum tersampaikan
Melalui bait-bait sajak sebanyak rumpun bambu
Yang telah digubah menjadi syair-syair lagu
Aku dulu lupa memberi salam
Saat matahari masih berusia muda
Dan kau seringkali hilir mudik di depan mata
Kini aku menitipkan salam itu
Kepada angin pertama yang datang bertamu
Dan mengetuk pintu jendela rumahku
Salamku bukan salam rindu
Karena di dunia ini sudah terlalu banyak berlalu lalang kerinduan
Salamku adalah salam cinta
Yang aku ambil dari nafas kisah Rahwana
Tentang kesejatian yang bertiwikrama
Terhadap rasa cinta yang paripurna
Lereng Pangrango. Arya Dahana dan Dewi Mulia Ratri berhenti berlari setelah yakin tidak ada seorangpun yang mengikuti. Mereka menjatuhkan diri duduk di banir pohon besar. Lalu berdiri kembali saat mendengar beberapa langkah kaki tersaruk-saruk mendatangi. Dewi Mulia Ratri terbelalak saat melihat lebih dari separuh anak buahnya ternyata masih hidup! Meski jelas sekali terlihat banyak sekali di antara mereka yang terluka.
Wajah murung Dewi Mulia Ratri perlahan mulai cerah berbarengan dengan cahaya pertama matahari yang jatuh di sela-sela kanopi. Tadinya dia mengira semua pasukan Garda Kujang yang ikut bersamanya telah tewas. Karena itulah dia tadi hendak nekat beradu nyawa di Benteng Bantar Muncang.
"Berapa teman kalian yang masih hidup?" Dewi Mulia Ratri melihat semua anggota pasukan sangat kelelahan setelah pertempuran dan pelarian yang mereka lakukan.
"Saya telah melakukan penghitungan Paduka Panglima. Dari 90 orang yang ikut ke sini, 10 orang tewas. Mohon maaf kami tidak sempat membawa jenazah mereka karena hanya mendapatkan kesempatan sempit untuk melarikan diri setelah beberapa tokoh berkepandaian tinggi yang menyerang kami tiba-tiba pergi." Bhirawa menjelaskan sambil menyeka darah yang masih mengucur dari bahunya yang terluka.
Dewi Mulia Ratri benar-benar sangat bersyukur. Meskipun tetap bersedih bagi mereka yang telah tewas tapi setidaknya sebagian besar masih hidup. Pemimpin Garda Kujang ini memerintahkan orang-orang yang tidak terluka untuk berjaga. Bisa saja ada pasukan yang disebar oleh Lawa Agung untuk mengejar mereka.
Beberapa orang yang memang terlatih melakukan pengobatan luka-luka akibat perang, mengobati sebisanya teman-temannya yang terluka. Tidak ada yang terluka sangat parah. Cukup dengan beristirahat sebentar mereka sudah bisa melanjutkan perjalanan kembali ke Benteng Pangcalikan.
Arya Dahana mendekati Dewi Mulia Ratri yang sibuk melihat dan memeriksa satu persatu anak buahnya.
"Ratri, kita harus segera pergi dari sini. Serangan kejutan yang kau lakukan bisa saja memicu semangat mereka untuk menyerang balik. Kau harus berada di Benteng Pangcalikan saat itu terjadi."
Dewi Mulia Ratri menatap dalam-dalam pemuda yang dilihatnya agak berubah dibanding terakhir mereka berpisah. Pemuda yang dulu dikenalnya centil dan ceriwis kini menjelma menjadi seorang yang tenang tapi dari sorot matanya menyimpan kilatan-kilatan amarah yang sewaktu-waktu siap meledak.
Panglima Garda Kujang ini tidak bisa menahan dorongan hatinya untuk memegang dengan lembut tangan Arya Dahana. Kalau dulu pemuda ini akan kikuk dan salah tingkah jika diperlakukan seperti ini. Tapi sekarang tidak sama sekali. Bahkan tanpa diduga pemuda ini merengkuh tubuh Dewi Mulia Ratri dengan pelukan erat lalu berbisik lirih di telinganya.
"Setelah semua ini selesai, aku ingin membawamu pergi dari segala hiruk pikuk dunia persilatan dan peperangan. Aku lelah merasakan tangan yang selalu berlumuran darah dan hati yang seringkali meledakkan amarah."
Dewi Mulia Ratri tidak bisa berkata apa-apa. Pemuda ini benar-benar jauh berubah. Dia tidak peduli semua anggota Garda Kujang memandang ke arah mereka dengan mulut melongo. Jarang sekali ada lelaki boleh mendekat ke pemimpin mereka ini. Tapi pemuda itu bahkan berani memeluknya dengan begitu hangat! Yang lebih mengherankan, panglima mereka yang galak itu malah menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda itu dengan mesra.
"Aku akan ikut kemanapun kau bawa. Biarkan aku menyelesaikan semua yang sudah kumulai. Demi negara dan kerajaan yang telah memberiku tempat untuk hidup dan bernafas saat baru dilahirkan." Dewi Mulia Ratri balas berbisik dengan sangat mesra. Entah mengapa dia sepenuhnya pasrah kepada pemuda yang sudah menjatuhkan hatinya semenjak lama ini. Dulu mungkin dia akan menampar pemuda yang berani menyentuh apalagi memeluknya seperti ini. Tapi kini justru dia yang tidak mau dilepaskan dari pelukan Arya Dahana.
Arya Dahana mendorong halus tubuh Dewi Mulia Ratri. Menatapnya penuh cinta.
"Kali ini aku akan menceburkan diri dalam peperangan yang selalu aku hindari Ratri. Demi kamu. Dan demi membawamu pergi dari semua keramaian yang telah lama kehabisan percakapan."
Dewi Mulia Ratri mengangguk. Hatinya bahagia dan juga lega. Bahagia akan menghabiskan sisa usia bersama pemuda yang dicintainya ini di tempat yang tenang dan sepi. Juga lega karena Galuh Pakuan mendapatkan tambahan kekuatan yang bukan main-main. Dia tadi sempat melihat Arya Dahana mampu bertempur dengan hebat melawan Datuk Rajo Bumi sekaligus Putri Anjani dan mampu mendesak mereka berdua. Sebelum akhirnya dua panglima sakti dari laut selatan dan utara ikut campur dalam pertempuran. Diam-diam dia juga kagum bukan main bila teringat bongkahan tanah yang tercipta akibat pukulan Gempa Pralaya miliknya berubah menjadi gumpalan-gumpalan api yang berkobar dan membunuh puluhan prajurit Lawa Agung. Dewi Mulia Ratri kagum sekaligus bergidik. Pemuda ini tidak boleh lagi terjun di dunia persilatan. Tangannya dengan mudah menjadi tangan kematian.
Rombongan itu bergerak kembali ke Benteng Pangcalikan yang sebetulnya jaraknya tak lebih dari setengah hari berjalan kaki bila melewati jalan besar. Tapi karena mereka tidak mungkin melewati jalan tersebut dan memilih jalur teraman dengan menyisir lereng dan kaki Pangrango kemudian melambung ke arah Pangcalikan, perjalanan akhir memakan waktu dua kali lipat lebih lama. Hari sudah memasuki malam saat rombongan yang kelelahan ini sampai di Benteng Pancalikan dan langsung disambut oleh Panglima Candraloka beserta semua panglima dan tokoh Galuh Pakuan.
Pasukan dibiarkan beristirahat dan membersihkan diri sementara 3 tabib benteng bergantian memeriksa dan mengobati siapa saja yang terluka. Sedangkan Dewi Mulia Ratri hanya menyempatkan diri untuk mandi dan makan sebentar lalu tidak membuang waktu langsung mengadakan pertemuan dengan jajaran pimpinan Galuh Pakuan.
"Panglima Candraloka, kita tidak mungkin melakukan penyerangan ke Benteng Bantar Muncang dengan jumlah pasukan yang hanya ribuan. Benteng itu terlalu kuat. Aku tidak melihat titik lemah di manapun dari benteng itu. Kecuali jika tokoh-tokoh saktinya tidak ada barulah mungkin kita bisa meledakkan gerbangnya dan menyerbu ke dalam."
Dewi Mulia Ratri kemudian menceritakan semuanya secara panjang lebar. Termasuk bagaimana dia berusaha membuat kekacauan dengan meledakkan gerbang raksasa benteng itu. Membutuhkan belasan kantung yang berisi cairan hitam agar gerbang benteng itu hancur berantakan. Seandainya para tokohnya tidak berdatangan menyerang barangkali dia bisa meledakkan gerbang utama yang bahkan jauh lebih kuat lagi karena terbuat dari kayu paling keras yang hanya terdapat di daratan Jawa.
Panglima cantik pemimpin Garda Kujang itu sama sekali tidak mau menyinggung tentang Arya Dahana yang memang telah berpesan kepadanya agar jejaknya dirahasiakan sebelum mereka berpisah di luar Benteng Pangcalikan. Entah maksud Arya Dahana apa dengan menyembunyikan diri seperti itu tapi Dewi Mulia Ratri mengiyakan saja. Baginya pesan dari pemuda itu adalah perintah. Dan dia tidak berani sedikitpun melanggarnya. Bukan karena takut akan kehebatan ilmu pemuda itu, tapi takut kehilangan bahagia yang terus terpancar dari mata mereka berdua saat melakukan perjalanan bersama hingga Pangcalikan.
"Jadi menurutmu apa yang harus kita lakukan Dewi?" Ki Mandara yang tekun menyimak akhirnya bertanya.
"Tidak ada Ki. Menurutku kita hanya harus bersiaga penuh di sini. Aku yakin tak lama lagi mereka akan melakukan penyerangan dengan kekuatan penuh ke Benteng Pangcalikan."
Panglima Candraloka mendadak tersenyum lebar. Wajahnya nampak berseri-seri.
"Bagus! Bagus kalau mereka menyerang ke sini terlebih dahulu. Kita akan menyusun pertahanan paling kuat yang bisa kita lakukan. Aku akan meminta Benteng Cipanas, Mandala Wangi dan Situ Gunung untuk mengosongkan benteng dan mengerahkan pasukan yang akan kita gerakkan mengambil alih Bantar Muncang saat mereka menyerbu Pangcalikan."
Semua orang mengangguk setuju. Sekali tepuk dua lalat mati.
"Lalu tokoh-tokoh Lawa Agung itu? Bagaimana kita menghadapi semuanya? Jelas kita kurang kekuatan untuk menghadapi mereka. Apalagi Gendewa Bernyawa itu sangat mengerikan!" Bimala Calya berkata sambil bergidik.
Dewi Mulia Ratri menepuk hangat bahu sahabatnya itu.
"Jangan khawatir. Aku sudah punya satu cara untuk menghadapi mereka. Meskipun cara ini belum tentu berhasil, tapi setidaknya kita masih punya harapan."
Terdengar derap kaki berlarian di luar ruang pertemuan. Suara ketukan di pintu yang tergopoh-gopoh membuat orang-orang di dalam ruangan mendadak was-was. Ada laporan apalagi ini?
Pimpinan regu jaga memberi hormat kepada Panglima Candraloka.
"Mohon maaf Paduka Panglima. Ada rombongan pasukan Majapahit di luar benteng yang memaksa untuk berbicara dengan Paduka Panglima Candraloka dan juga Paduka Panglima Dewi Mulia Ratri."
Pasukan Majapahit? Serentak semua orang saling berpandangan. Tanpa membuang waktu Panglima Candraloka dan Dewi Mulia Ratri bergegas keluar. Ki Mandara meminta yang lain untuk diam di tempat. Tidak ada perlunya mereka ikut keluar. Kedua orang itu bisa mengatasi persoalan dengan Majapahit.
Dewi Mulia Ratri keluar dari gerbang benteng dan berdiri bertolak pinggang di hadapan Ki Tunggal Jiwo setelah memberi hormat dengan khidmat kepada Ki Biantara, gurunya semasa kecil.
"Ada apa kisanak datang ke benteng Galuh Pakuan dan bahkan membawa serta ratusan pasukan Sayap Sima?" Dewi Mulia Ratri berkata ketus. Bagaimanapun peristiwa Pesanggrahan Bubat sulit sekali hilang dari ingatan.
Ki Tunggal Jiwo tersenyum kecut. Perang Bubat memang merupakan noda sejarah yang tak mudah untuk dilupakan. Peristiwa luar biasa tragis yang menyedihkan sekaligus mengakarkan dendam. Buktinya ada di hadapannya sekarang. Panglima cantik yang sangat lihai itu memandangnya dengan tatapan menyala.
"Maaf aku tidak bermaksud untuk mengejutkan Galuh Pakuan, Panglima Garda Kujang. Kami hanya ingin memberitahukan bahwa kami sedang mengejar pengkhianat Majapahit yang dari jejaknya melarikan diri ke arah pesisir selatan. Aku tahu kau ada di benteng ini. Karena itulah kami mohon ijin lewat dan sedikit air minum untuk pasukan dan kuda-kuda kami jika kalian berkenan."
Dewi Mulia Ratri menghela nafas. Dadanya masih sesak jika teringat peristiwa Bubat. Dia menoleh kepada Panglima Candraloka dan menyerahkan urusan kepadanya. Panglima Candraloka yang tentu jauh lebih bijak dan bisa menyembunyikan perasaan bertanya dengan suara tenang.
"Atas nama kemanusiaan tentu kami bisa menyediakan air minum untuk kuda dan pasukan Majapahit yang kau pimpin Ki. Tapi untuk ijin lewat kau harus menjelaskan secara gamblang apa maksud dari pernyataanmu tentang memburu pengkhianat dan bagaimana caramu memburunya? Kalian berada di wilayah Galuh Pakuan sehingga kami berhak untuk tahu." Panglima Candraloka memberi isyarat kepada regu penjaga untuk menyiapkan air minum dalam jumlah besar di gerbang benteng.
Ki Tunggal Jiwo manggut-manggut maklum.
"Kami paham dengan aturan itu Panglima. Orang yang kami buru bernama Madaharsa. Dulu dia juga salah satu pimpinan Sayap Sima. Dia telah melarikan tawanan kami. Nini Cucara dan Nyai Genduk Roban dari penjara Majapahit. Kami akan mengejar dan menangkapnya untuk diadili. Sekaligus menangkap kembali tawanan kami yang dilarikan olehnya. Cara kami tentu hanya ada 2 Panglima. Cara prajurit dan cara dunia persilatan."
Panglima Candraloka gantian mengangguk. Galuh Pakuan dan Majapahit tidak dalam situasi berperang. Akan aneh kiranya kalau dia menghalangi niat Ki Tunggal Jiwo. Apalagi dengan diburunya Madaharsa, berkurang satu tokoh hebat yang harus dihadapi oleh Galuh Pakuan pada peperangan yang semakin mendekat.
Ki Tunggal Jiwo melanjutkan perkataannya dengan berhati-hati.
"Begini saja Panglima. Jika diijinkan, biarlah kami berkemah di lapangan luas depan benteng kalian malam ini. Besok aku dan Ki Biantara akan melanjutkan perjalanan berdua saja untuk memburu Madaharsa. Pasukan Sayap Sima aku tinggalkan di sini sebagai jaminan bahwa kami berniat damai dan kalian bisa leluasa mengawasi mereka. Tentu kau bisa melihat bahwa pasukan kami hanya berjumlah seratusan orang. Sangat tidak sebanding dengan pasukan benteng ini yang berjumlah ribuan. Tidak ada yang bisa kami lakukan untuk membuat kekacauan di wilayah Galuh Pakuan, dan kami memang tidak berniat sama sekali untuk membuat kegaduhan."
Panglima Candraloka termenung sejenak. Usulan yang masuk akal.
"Baiklah Ki. Kalian boleh mendirikan tenda di halaman benteng. Kalian juga bebas mengambil air minum yang akan kami sediakan di samping gerbang. Besok kau boleh pergi berdua bersama Ki Biantara melanjutkan perburuan. Usulan untuk meninggalkan Sayap Sima di sini juga tidak masalah bagiku. Anggap saja ini itikad baik dari Galuh Pakuan bahwa sesungguhnya kerajaan kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun asalkan kami tidak diganggu."
Ki Tunggal Jiwo membungkukkan tubuh sambil mengucapkan terimakasih. Tokoh tua yang sakti itu memerintahkan pasukan Sayap Sima untuk mendirikan tenda. Sebelum membalikkan tubuh masuk kembali ke dalam benteng, Panglima Candraloka kembali berbicara.
"Ki Tunggal Jiwo dan Ki Biantara, ada satu hal yang perlu kalian ketahui. Kami sedang dalam keadaan siaga perang melawan Kerajaan Lawa Agung. Aku harap kalian segera menyingkir jika sampai pertempuran itu berlangsung di benteng ini."
Ki Tunggal Jiwo nampak kaget. Begitu pula Ki Biantara. Kekagetan mereka terputus oleh perkataan Dewi Mulia Ratri.
"Guru, aku berharap Guru mau bermalam di dalam benteng sebagai tamuku. Aku akan menjadi muridmu yang paling kurang ajar jika sampai Guru tidur di tenda yang dingin sementara aku punya perapian di dalam. Ki Tunggal Jiwo boleh ikut ke dalam. Untuk sementara kita tinggalkan sikap bermusuhan karena bagaimanapun kita sedang tidak berperang."
Ki Biantara tersenyum sabar. Muridnya ini telah menjelma menjadi wanita sakti yang jauh melampaui kepandaiannya sekarang. Dia sangat senang ternyata Dewi Mulia Ratri sama sekali tidak lupa dengan tata cara dan sopan santun. Ki Biantara mengangguk.
"Terimakasih muridku. Aku sangat menghargai tawaranmu. Tapi jika Ki Tunggal Jiwo tidur di luar, maka akupun akan tidur di luar."
Ki Tunggal Jiwo membungkukkan tubuhnya yang kurus ke arah Dewi Mulia Ratri dan Panglima Candraloka.
"Sekali lagi terimakasihku kepada dua Panglima. Aku akan tidur di luar menemani pasukanku sekaligus memberikan pesan kepada mereka tentang aturan dari Galuh Pakuan yang telah kau sampaikan tadi."
Dewi Mulia Ratri mengangguk lalu membungkukkan tubuh memberi hormat kepada gurunya. Setelah itu masuk ke dalam benteng dan memberi perintah kepada koki benteng untuk menyiapkan makanan untuk gurunya dan juga bagi pasukan Sayap Sima yang sedang sibuk mendirikan tenda-tenda di halaman Benteng Pangcalikan.
Panglima Candraloka kembali ke ruang pertemuan dan menceritakan semua kepada yang hadir di sana. Ayu Wulan nampak terlonjak gembira saat mendengar neneknya telah terbebas dari penjara Majapahit namun kembali beraut muka sedih ketika mendengar lanjutan cerita bahwa Nyai Genduk Roban juga sedang berada di Benteng Bantar Muncang.
Panglima Candraloka mengirimkan pesan berantai kepada Benteng Cipanas, Mandala Wangi dan Situ Gunung untuk mengumpulkan semua pasukan dan diperintahkan bergerak malam ini juga ke Bantar Muncang melalui jalur gunung. Mereka tidak diperbolehkan membawa pasukan berkuda. Hanya membawa perbekalan secukupnya dan perlengkapan tempur. Semua panglima pemimpin pasukan dari tiga benteng itu harus selalu memperhatikan arah utara saat sudah melakukan pengepungan benteng itu. Isyarat perang akan muncul di angkasa melalui suar besar yang berbentuk kepala naga. Apabila suar yang muncul ternyata berkepala kuda, maka pasukan dari ketiga benteng itu harus cepat kembali ke Benteng Pangcalikan.
Dewi Mulia Ratri akan membuat sebuah ramuan sihir yang bisa menimbulkan asap ledakan di angkasa dengan berbagai bentuk yang dikehendaki. Kitab Ranu Kumbolo yang hanya bisa dibaca olehnya menyediakan semua hal aneh dan ajaib itu.
* * ***