Chapter 22 - Bab 22

Seandainya pagi adalah seorang kekasih

Maka kabut, embun dan dedaunan adalah kata-kata cintanya

Saling bertatapan mesra

Dengan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh seekor kupu-kupu

Yang hinggap di permukaannya

untuk meneguk setetes aroma manis

Dari apa yang disebut sebagai berburu rasa romantis

Seandainya matahari adalah lampu baca

Maka kabut, embun dan dedaunan adalah ururtan bab, pasal dan ayat

Pada halaman buku yang terbuka

Dan bercerita tentang kisah cinta

Di sebuah pagi yang raut mukanya nampak seperti

Stasiun kereta yang telah usai memberangkatkan sunyi

Seandainya beranda adalah gudang penyimpan kenangan

Maka kabut, embun dan dedaunan adalah pot-pot bunga

Yang ditumbuhi oleh warna-warna pagi dan senja

Karena hanya dari mereka berdua

Ruang-ruang memori tentang cinta

Akan menampakkan asal-usulnya

Seandainya puisi adalah prakata sederhana

Bagi menu pembuka sarapan pagi

Maka kabut, embun dan dedaunan adalah tentu saja

Secangkir kopi, sepotong roti, dan taburan gula di atasnya

Sebagai perwakilan masa silam

Bahwa mengenang sangat diperkenankan

Selama itu tidak membuat ujung benak berkelindan

Benteng Bantar Muncang. Arya Dahana mengintai dari kejauhan benteng yang besar dan megah itu. Meskipun sedang dikuasai amarah bila teringat kembali perbuatan Putri Anjani terhadap jenazah Dyah Puspita di Gua Danu Cayapata, tapi dia masih berpikir jernih untuk tidak melakukan tindakan membabi-buta. Benteng itu pasti dipenuhi dengan orang-orang sakti. Sehebat-hebatnya dia, jika sampai pada pengapesannya, bisa saja dia menemui ajal secara sia-sia.

Dia akan mengintai terlebih dahulu. Jika memungkinkan dia akan mencari cara untuk mengambil paksa Gendewa Bernyawa kembali. Putri Anjani sudah setengah kehilangan kewarasannya karena terjangan dendam yang bertubi-tubi. Senjata pusaka itu sangat mematikan dan berbahaya di tangan orang seperti Putri Anjani.

Arya Dahana memutuskan untuk menahan diri sekuatnya sambil melihat situasi. Benteng itu terlihat berbeda dengan saat dulu mereka tinggalkan setelah jatuh di tangan pasukan Lawa Agung. Ada 2 lapisan dinding yang mengelilingi komplek benteng. Di atas pagar tembok tinggi lapisan pertama dan kedua terdapat deretan menara yang pada setiap menaranya diisi oleh pasukan panah. Melihat betapa besarnya ukuran benteng, Arya Dahana memperkirakan jumlah menara penjagaan itu mungkin puluhan. Lapisan pertama tembok pelindung benteng itu dihubungkan melalui jembatan yang sewaktu-waktu bisa dinaik turunkan dengan lapisan utama dinding benteng. Celah di antara 2 lapisan tembok benteng itu adalah parit dalam yang di dasarnya dipasangi mata-mata tombak tajam yang siap merajam siapa saja yang terjatuh.

Pintu gerbangnya juga 2 lapis. Lapisan pertama adalah pnitu gerbang dari kayu yang terlihat tebal dan kokoh. Terdapat jembatan penyeberangan besar yang juga bisa dinaik-turunkan untuk mencapai pintu gerbang kedua yang terbuat dari kayu yang lebih tebal dan lebih kokoh lagi.

Arya Dahana merasa takjub melihat benteng yang luar biasa kokoh ini. Sebelumnya dia sudah sangat kagum dengan rancangan benteng-benteng yang dibangun oleh Galuh Pakuan di sepanjang jalan menuju pesisir selatan, tapi benteng yang dibangun oleh Lawa Agung ini punya rancangan luar biasa yang sulit ditembus kecuali oleh pasukan yang sangat besar atau tokoh-tokoh berkepandaian tinggi dalam jumlah banyak.

Pemuda ini membayangkan jika serangan dilakukan Galuh Pakuan tanpa perencanaan yang matang dan laporan telik sandi yang memadai, maka serangan itu sudah pasti adalah serangan bunuh diri. Diam-diam pemuda ini mempelajari dan mencari titik-titik kelemahan dari benteng ini.

Menyamar juga sulit. Jalan masuk satu-satunya adalah gerbang. Arya Dahana terus mengendap-endap mengelilingi benteng. Di sekitar benteng adalah hutan belantara yang sangat lebat. Pepohonan raksasa saling mengaitkan tajuk menutupi lantai hutannya yang selalu basah. Arya Dahana melompat dari tajuk ke tajuk seperti seekor kera yang sangat lincah.

Dari atas sini tetap saja benteng itu tidak terlihat dalamnya. Tinggi benteng sejajar dengan tajuk pohon tertinggi. Luar biasa!

Pandang mata Arya Dahana terantuk pada 2 titik keramaian tidak jauh di jalanan di luar Benteng Bantar Muncang. Masing-masing terpisah sejauh hanya ratusan meter. 2 buah kampung besar yang cukup ramai dengan aktifitas penghuninya. Dia tadi melewati kerimbunan hutan dan belukar sehingga tidak melewati jalanan biasa dan tidak melihat bahwa ternyata di luar benteng ada 2 kampung besar yang dulu tidak ada.

Setelah merasa percuma mencoba memasuki benteng lewat tajuk-tajuk pohon, Arya Dahana mendekati kampung besar itu dengan masih berlompatan dari pohon ke pohon. Adalah hal yang sangat aneh bila ada kampung penduduk yang terlalu dekat dengan sebuah benteng pertahanan. Tidak boleh ada kampung yang berjarak terlalu dekat dengan benteng karena dikhawatirkan jika terjadi peperangan, penduduk kampung akan menjadi korban. Itulah yang menerbitkan kecurigaan Arya Dahana. 2 kampung ini pasti bukan kampung biasa.

Kampung yang didirikan secara sengaja sebagai lapisan pertahanan paling depan. Kampung yang isinya adalah para prajurit atau orang-orang dunia persilatan. Dari dahan tinggi pohon paling dekat dengan kampung itu, Arya Dahana memperhatikan dengan teliti.

Para penduduk kampung itu sepintas memang melakukan kegiatan seperti penduduk kampung pada umumnya. Dapur-dapur yang mengepulkan asap pertanda kegiatan memasak para ibu, ramai para lelaki memanggul cangkul seolah pulang dari sawah atau ladang, dan sekumpulan bapak-bapak yang bergotong royong mendirikan rumah tinggal.

Arya Dahana langsung mengerti. Keanehan paling tidak masuk akal jika ini memang kampung yang sebenarnya adalah tidak ditemukannya anak-anak sama sekali yang berkeliaran di halaman rumah atau saling bermain di lapangan luas yang tidak jauh dari kampung tersebut. Ini kampung gadungan. Arya Dahana memutuskan.

Kampung ini berisi orang-orang dunia persilatan yang menyamarkan diri mereka sebagai penduduk kampung untuk mengelabuhi lawan. Sekaligus juga bisa memberikan pukulan mengejutkan terhadap lawan yang bisa saja tidak waspada karena melihatnya hanya sebagai kampung biasa.

Arya Dahana pergi dari tempatnya mengintai dan kembali mendekat ke arah benteng. Tidak mungkin tidak ada titik lemah dari benteng tersebut. Dia hanya harus mencari satu cara untuk masuk.

Jalan satu-satunya menuju Benteng Bantar Muncang adalah jalan besar yang melewati 2 kampung. Tidak ada jalan lain. Kecuali jika ada yang mau menerobos padatnya hutan belantara di sebelah kiri benteng dan memanjat tebing tinggi dengan batu-batu cadas yang tajam dan licin di belakang benteng. Tebing itu juga ditumbuhi oleh lebatnya pepohonan hutan.

Mudah-mudahan Galuh Pakuan tidak berpikir pendek dan memutuskan menyerang Benteng Bantar Muncang. Kecuali jika ini merupakan perang puputan dengan membawa serta puluhan ribu pasukan bersenjata lengkap berikut pelontar batu api. Masih ada peluang untuk menembus kuatnya benteng ini.

Arya Dahana yang mulai terkantuk-kantuk di atas dahan tinggi itu matanya kembali terbuka dengan sangat lebar. Jelas sekali dia melihat orang-orang sedang merayap di antara batu-batu cadas dan batang-batang pohon di bukit tinggi belakang benteng. Jumlahnya tidak banyak. Hanya puluhan orang saja. Tapi jelas mereka orang-orang yang punya kemampuan olah kanuragan.

Suara gemerisik lirih juga terdengar di lantai hutan di bawah dirinya mengintai. Puluhan orang lain lagi bergerak secara senyap di hutan ini. Melihat dari pakaiannya, mereka dari kelompok yang sama. Berbaju serba hijau untuk menyamarkan diri mereka di antar belukar dan pepohonan.

Arya Dahana nyaris terlompat dari dahan tempatnya bersembunyi. Dewi Mulia Ratri terlihat memimpin pergerakan diam-diam itu. Wah, wah! Tidak mungkin wanita cantik dan lihai yang dikasihinya itu begitu bodoh dan nekat hendak menyerang benteng hanya dengan pasukan yang berjumlah tidak lebih dari 100 orang.

Sampai di suatu titik kedua regu pasukan itu berhenti. Mereka yang berada di bukit dan dataran hutan sama-sama membongkar perlengkapan yang mereka bawa. 2 regu pasukan kecil itu merangkai sesuatu yang dibawa oleh masing-masing orang.

Mata Arya Dahana terbelalak. Tak berapa lama kemudian 6 buah senjata yang mirip katapel tapi berukuran besar setinggi manusia berdiri terpasang dengan kokoh karena kaki-kakinya dihunjamkan ke dalam tanah dan diikatkan pada batang-batang pohon besar. 6 buah katapel raksasa itu diarahkan semua ke dalam benteng.

Perlengkapan berikutnya dibuka. Kantong-kantong yang terbuat dari lembaran kulit domba diisi oleh cairan hitam lalu diikat kuat-kuat setelah dipasangi semacam sumbu. Arya Dahana semakin tertarik. Pasukan kecil yang dipimpin Dewi Mulia Ratri itu sepertinya tidak akan menyerang secara terang-terangan. Mereka hanya akan memberikan serangan kejutan.

Arya Dahana mengerti sekarang. Pasukan itu memecah lagi masing-masing menjadi 2 regu. 1 regu menuju samping kanan benteng yang merupakan pesisir yang banyak ditumbuhi Pohon Bakau, 1 regu pergi agak jauh ke bagian pantai yang landai, 1 regu bersiaga di seberang lapangan luas 2 kampung besar, dan 1 regu lagi memanjat puncak bukit tinggi di belakang benteng. Semua regu kembali mempersiapkan senjata mirip katapel tapi berukuran besar itu berikut dengan peluru-pelurunya yang terbuat dari kantong kulit domba berisi cairan hitam pekat.

Benteng Bantar Muncang sedang dikepung oleh 6 regu pasukan kecil Galuh Pakuan yang hendak memberikan serangan kejutan. Dewi Mulia Ratri merancang taktik serangan ini sudah jauh-jauh hari. Mempersiapkan kantong kulit domba paling kuat dan membuat cairan-cairan hitam yang dipelajarinya pada Kitab Sakti Ranu Kumbolo membutuhkan waktu lama. Dewi Mulia Ratri sudah melakukan ujicoba di tempat latihan pasukan Garda Kujang di ibukota Galuh Pakuan. Saat ini adalah saat pengujian apakah serangan kejutan ini bisa berhasil atau tidak. Paling tidak, gerakan kejutan ini akan membuat banyak kekacauan sehingga mengalihkan konsentrasi pasukan lawan.

Arya Dahana berusaha tidur sebisanya di dahan pohon itu. Dia penasaran dengan apa yang terjadi. Sengaja dia tidak menemui Dewi Mulia Ratri agar wanita itu bisa fokus terhadap apa yang dikerjakan. Dia hanya akan turun tangan jika keselamatan wanita yang dicintainya itu terancam.

Pemuda itu tertidur dengan lelap setelah menghabiskan beberapa potong buah durian hutan tempatnya bertengger di ketinggian dahannya. Tubuhnya nyaris terjungkal dari atas pohon saat siutan angin tajam diikuti sebuah ledakan keras terdengar di dalam benteng. Dinihari sudah menjelang. Dewi Mulia Ratri sudah memulai serangan kejutannya ketika orang-orang sedang berada pada puncak tidurnya. Cerdas!

Ledakan itu rupanya adalah isyarat bagi ledakan-ledakan berikutnya. Nampak lesatan-lesatan cahaya menghiasi kegelapan saat dari berbagai arah meluncur kantong-kantong kulit domba bersumbu api menuju pusat benteng, darmaga pelabuhan, dan kampung.

Bertubi-tubi peluru ajaib itu dilepaskan oleh regu pasukan Garda Kujang. Sebentar saja timbul kekacauan di mana-mana. Orang-orang di dalam benteng, pelabuhan dan kampung sibuk berlarian berusaha memadamkan api. Kebakaran berkobar di tiga tempat itu. Sosok-sosok bayangan berlompatan dan berkelebat keluar dari benteng dan menuju 3 titik penyerangan. Para tokoh sakti yang terdiri dari Panglima Amranutta, Malaikat Merah Berbaju Darah, Panglima Karimata, Madaharsa, Putri Aruna dan Putri Anila, berpencar berpasangan menuju sumber kekacauan. Diikuti oleh ribuan pasukan dari dalam benteng, pelabuhan dan kampung yang juga berpencar menjadi 3 regu besar melakukan pencarian letak pasukan musuh yang melakukan serangan dadakan dan mampu menimbulkan kericuhan di 3 tempat penting itu.

Arya Dahana tidak bisa melihat dengan jelas di mana Dewi Mulia Ratri berada. Tapi matanya yang tajam melihat ke arah puncak bukit di mana beberapa kali suar berwarna biru meledak di angkasa. Hmm, sepertinya wanita itu ada di sana dan memerintahkan menarik mundur pasukan. Dalam isyarat jarak jauh pasukan tempur kerajaan, suar merah adalah menyerang, biru mundur, dan hijau berarti aman.

Arya Dahana menggerakkan tubuhnya. Tubuhnya berkelebat-kelebat memeriksa beberapa tempat yang menjadi basis serangan pasukan Dewi Mulia Ratri. Di lapangan kampung, pecah pertempuran sengit antara Garda Kujang berjumlah belasan melawan puluhan penduduk kampung yang dipimpin oleh Malaikat Merah Berbaju Darah. Arya Dahana tidak mau ikut campur dan meneruskan pengintaiannya.

Pertempuran pecah di perkampungan, pelabuhan, dan bukit tinggi di belakang benteng. Regu pasukan penyerang yang semula berpisah untuk melancarkan serangan kejutan sudah berkumpul kembali dan mempertahankan diri dari serbuan pasukan Galuh Pakuan beserta tokoh-tokohnya. Mereka semua tidak sempat melarikan diri sesuai perintah Dewi Mulia Ratri. Karena itu sesuai dengan rencana, puluhan pasukan Garda Kujang itu bertempur hebat mempertahankan diri.

Arya Dahana belum menemukan Dewi Mulia Ratri di tiga gelanggang pertempuran yang ada. Kemana wanita itu? Tidak mungkin dia melarikan diri meninggalkan anak buahnya.

Ledakan paling keras dan hebat terdengar dari arah gerbang benteng. Arya Dahana mempercayai firasatnya bahwa wanita pujaannya itu ada di sana. Tubuhnya melesat seperti kilat menuju gerbang depan Benteng Bantar Muncang

Dewi Mulia benar ada di sana dan sekarang sedang bertempur dahsyat melawan Panglima Kelelawar sendiri. Wanita itu dikepung oleh ratusan pasukan yang bersiap dengan anak panah sudah terpasang di busur mereka.

Pertempuran hebat yang sangat seru itu berubah saat tiba-tiba sesosok bayangan tinggi kurus terjun masuk membantu Panglima Kelelawar yang mulai kewalahan. Mahesa Agni menyerang Dewi Mulia Ratri dengan jurus-jurus pukulan Bayangan Matahari. Dewi Mulia Ratri sudah semenjak tadi mengerahkan jurus-jurus Pukulan Gempa Pralaya saat berhasil mendesak Panglima Kelelawar dan kini tetap memainkannya dalam menghadapi keroyokan dua tokoh nomor satu dunia persilatan itu.

Wanita itu sanggup bertahan dan tidak terdesak hebat. Angin pukulan dari tiga tokoh sakti ini menderu-deru sampai mampu menerbangkan serpihan-serpihan kayu dari benteng pertama yang hancur berantakan setelah diledakkan menggunakan belasan kantong berisi cairan hitam yang dibawa Dewi Mulia Ratri.

"Keparat! Nenek sihir kau selalu menyulitkan!" terdengar bentakan kasar saat Putri Anjani muncul dan menerjang maju membantu pengeroyokan. Disusul kemudian lesatan cepat Datuk Rajo Bumi masuk ke lingkaran pertempuran. Rupanya ini memang sudah disepakati sebelumnya oleh para pimpinan Lawa Agung. Semakin cepat mereka melenyapkan tokoh-tokoh sakti Galuh Pakuan, maka akan semakin ringan tugas mereka ke depannya.

"Hmm! Kalian pengecut yang beraninya main keroyokan!" bentakan lain yang disertai hawa pukulan dahsyat Arya Dahana membuyarkan pengeroyokan itu.

Arya Dahana mengambil alih pertempuran dengan menerjang sekaligus Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani. Gelanggang pertarungan menjadi 2 tempat. Dewi Mulia Ratri tetap dikeroyok Panglima Kelelawar dan Mahesa Agni sedangkan Arya Dahana bertempur hebat melawan Datuk Rajo Bumi dan Putri Anjani.

Pertempuran dahsyat itu berlangsung beberapa lama sampai akhirnya beberapa sosok tubuh berkelebat datang dan langsung ikut terjun ke dalam pertempuran.

Panglima Amranutta dan Panglima Karimata menyerang Arya Dahana sehingga pemuda itu dikeroyok oleh 4 orang sekaligus. Sementara Putri Anila dan Putri Aruna juga terjun di pertempuran dengan menyerang habis-habisan Dewi Mulia Ratri.

Arya Dahana melihat situasi menjadi sangat gawat bagi mereka berdua. Jelas sekali dirinya dan Dewi Mulia Ratri sama-sama terdesak hebat. Satu-satunya jalan terbaik saat ini adalah pergi dari tempat ini.

Dewi Mulia Ratri yang sedang kerepotan juga berpikiran sama. Apalagi setelah melihat para tokoh yang tadi berpencaran ke titik-titik pasukan Garda Kujang sudah kembali itu hanya berarti 1 hal saja. Anggotanya sebagian atau semuanya tewas dalam pertempuran. Memikirkan ini, Dewi Mulia Ratri hendak berbuat nekat dan beradu nyawa dengan para pengeroyoknya ketika sebuah bayangan tiba-tiba berkelebat dan ada di sampingnya.

"Ratri, gunakan Gempa Pralaya pamungkasmu. Aku akan membakarnya dengan Amurti Arundaya." Arya Dahana berbisik lirih sambil terus berpunggungan dengan Dewi Mulia Ratri menghadapi gempuran bertubi-tubi tokoh-tokoh sakti itu.

Dewi Mulia Ratri mengurungkan niatnya berbuat nekat. Dia tahu maksud Arya Dahana. Dikerahkannya semua hawa sakti dalam tubuhnya sambil melayang mundur yang dibarengi oleh Arya Dahana. Mereka memunggungi gerbang benteng yang hancur berantakan di hadapan kedelapan tokoh Lawa Agung mengepungnya setengah lingkaran.

Dari mulut Dewi Mulia Ratri keluar lengkingan tinggi bersamaan dengan pukulan kedua tangannya ke tanah. Bumi berguncang hebat dan gelombang gempa dahsyat yang membawa serta gulungan besar tanah menerjang ke arah delapan tokoh yang semuanya bersiap sambil mengerahkan pukulan tertinggi masing-masing.

Melihat gelombang besar tanah itu bergerak, Arya Dahana menghantamkan kedua tangannya. Dua larik besar sinar keperakan membuat gelombang tanah yang mengerikan itu semburat kemana-mana dalam bentuk gumpalan-gumpalan api berkobar.

Kedelapan tokoh itu melompat sejauh yang mereka bisa supaya terhindar dari dua pukulan maut yang dipadukan itu. Beberapa puluh orang prajurit yang berdiri terlalu dekat dari arena pertempuran tak urung terkena percikan tanah berapi. Terdengar jerit-jerit mengerikan saat beberapa puluh orang itu langsung tewas dengan tubuh hangus tak bisa dikenali lagi.

Kesempatan itu digunakan Arya Dahana menggamit lengan Dewi Mulia Ratri dan mengajaknya pergi. Kedua tubuh pemuda dan pemudi itu melesat seperti bayangan hantu dan lenyap dari gerbang dan halaman Benteng Bantar Muncang yang porak poranda.

Tidak satupun para tokoh Lawa Agung melakukan pengejaran. Pagi memang sudah mulai menjelang, tapi sangat berbahaya mengejar dua orang sakti yang memiliki kemampuan tidak lumrah itu dalam keadaan masih gelap.

* * **