Chapter 19 - Bab 19

Keringat matahari

Mengucur di ketiak dedaunan

Lalu terjatuh di padang rumput

Pada sela-sela kaki cemara

Di sebuah lereng gunung yang sedang berusaha keras

Menidurkan kepundan

Karena magmanya mulai mendidih

Dan berniat memuntahkan rasa pedih

Hujan yang tiba

Mencoba mendendangkan sonata

Dengan irama bertalu-talu

Khusus mengenai rindu

Di parit-parit yang sesak oleh plastik dan tumpahan cuka

Dari sampah dan sisa-sisa berita duka

Kolase kehidupan yang disusun atas nama ingatan dan lupa

Memenuhi kolom pustaka

Dari pikiran orang-orang yang menyerupai majalah sastra

Menampilkan raut muka murung

Dari lusinan mendung yang tergantung

Di pipi langit yang basah

Atas nama keinginan tumpah ruah

Untuk kembali berdansa secara meriah

Di tengah alunan musik

Dari berita-berita fasik

Mungkin ini saatnya berhibernasi

Menghindari cuaca dingin

Yang dibawa oleh gigil angin

Dari kutub-kutub yang kehilangan gunung-gunungnya

Dan menumpahi lautan yang kelu

Lalu menggiringnya menuju masa lalu

Karena masa depan yang terpanggang

Akan menyebabkan orang-orang semakin kesakitan

Tak bisa lagi berpikir seperti sungai

Namun meniru bagaimana gerak badai

Lembah Serayu. Padepokan itu sangat besar. Arya Dahana sampai terheran-heran melihat padepokan ini bisa berdiri tanpa pengawasan dari pasukan Majapahit.

Dulu Majapahit selalu mendaftar setiap padepokan yang berada di wilayah kerajaannya. Hal ini dilakukan untuk memantau apakah padepokan tersebut bukan sebagai kedok pemberontakan atau bertujuan untuk melakukan kejahatan. Setiap bulan para petugas kerajaan akan melaporkan kepada Panglima dan Mahapatih padepokan mana yang masih berjalan sesuai trahnya dan mana yang tidak. Arya Dahana semakin yakin Majapahit memang sedang menuju titik terlemahnya. Padepokan Lembah Serayu ini jelas-jelas merupakan penjelmaan dari orang-orang yang setia kepada Malaikat Darah Baju Merah. Tokoh pemberontak besar di Gunung Semeru yang sempat membuat kerepotan kerajaan Majapahit.

Tapi ini tanpa pengawasan sama sekali. Berdasarkan cerita pria penduduk desa itu orang-orang padepokan yang mempunyai ciri khas selalu berbaju warna putih ini sudah cukup lama malang melintang melakukan kesewenangan. Arya Dahana cukup prihatin meski dia bukan seorang pembela Majapahit. Setidaknya pranata masyarakat masih punya paugeran jika diayomi oleh sebuah kerajaan.

Arya Dahana sebetulnya punya firasat tidak baik mengenai Gua Danu Cayapata. Entah mengapa setiap kali berpikir makam Dyah Puspita itu perasaannya merasa tidak enak. Sementara beberapa kejadian telah menunda perjalanannya ke sana. Pemuda itu menghela nafas berharap firasatnya salah. Paling penting adalah menghilangkan kekacauan yang sudah berada di depan matanya ini.

Tanpa ragu-ragu lagi karena semakin lama bertindak waktunya akan tersita semakin banyak. Arya Dahana melangkahkan kaki ke gapura padepokan. Beberapa orang berbaju putih nampak berjaga dengan tampang sangar dan pandangan yang selalu curiga.

"Berhenti! Kau mau kemana? Ini bukan jalan umum. Pergilah!" salah seorang di antara penjaga mencegat Arya Dahana dan memalangkan tombak.

Arya Dahana mencoba bersabar. Jelas sekali padepokan ini berisi orang-orang kurang ajar dan tak tahu adat. Pongah dan sewenang-wenang terhadap yang lemah.

"Maaf kisanak. Ijinkan aku bertemu dengan Malaikat Darah Berbaju Merah. Aku ada sedikit keperluan yang mendesak dengannya."

Penjaga itu tercengang sejenak lalu saling pandang dengan 5 kawannya dan mereka serentak tertawa terbahak-bahak. Setelah tawa mereda penjaga yang sama membentak lebih kasar lagi.

"Anak muda kurang ajar! Tak tahu diri! Tentu saja ketua kami tidak akan mengenal siapa dirimu dan sudah pasti tidak punya urusan apa-apa denganmu. Pergilah! Sebelum kami mematahkan kakimu!"

Kembali suara tawa meledak. Penjaga itu bahkan menyorongkan ujung tombaknya secara main-main ke kaki Arya Dahana. Bermaksud menakutinya. Arya Dahana sudah tidak bisa lagi menahan diri. Tangannya bergerak. Memegang ujung tombak yang berkilat tajam dan meremasnya hingga hancur. Setelah itu ditariknya gagang tombak dengan keras sehingga penjaga itu terhuyung-huyung ke depan nyaris terjatuh. Arya Dahana menyentil dengan jarinya.

Aaaawwwhh! Sakiitttt!

Terdengar jerit kesakitan penjaga yang hidungnya langsung patah dan mengucurkan darah. Arya Dahana sengaja memberi pelajaran agar yang lain menjadi jerih dan menyingkir.

Tapi dasar gerombolan orang-orang kasar yang sama sekali tidak tahu diri. Temannya yang berjumlah 5 orang malah menerjang mau menyerang Arya Dahana dengan ganas dan mengarah ke bagian-bagian mematikan.

Arya Dahana yang sedang dalam keadaan tidak enak perasaan, tidak mau memberi hati. Setelah mengelak dari semua serangan mereka, tangan dan kakinya melakukan gerakan memukul dan menendang.

Kelima penjaga itu terpelanting ke kanan kiri dan belakang dengan masing-masing menderita patah jari tangan atau kaki. Sedikit mengherankan, Arya Dahana akhir-akhir ini selalu bertindak sedikit keras kepada orang-orang. Pemuda ini sepertinya sedang melampiaskan kekesalan yang entah karena apa. Bisa jadi karena kesewenangan dan ketidakadilan sudah tidak bisa lagi diberi hati, atau mungkin pemuda ini sedang berada pada puncak kesepian dalam kesendiriannya.

Penjaga pertama yang patah tulang hidungnya memukul kentongan besar yang ada di gapura padepokan sekeras-kerasnya. Suara titir yang kencang itu membawa puluhan orang dari dalam padepokan berlarian menuju gapura sembari menggenggam pedang, kelewang dan tombak. Titir itu sebuah pertanda ada serangan besar yang sedang terjadi.

Puluhan orang itu tertegun begitu sampai gapura. Mereka hanya melihat seorang pemuda yang berdiri di hadapan 6 penjaga yang sedang meringis-ringis kesakitan sambil memegang jari tangan atau kaki dan juga hidung.

Seorang lelaki tinggi kurus namun berperawakan tegap maju ke depan.

"Hei Bendo! Serangan besar apa yang sedang terjadi? Siapa? Pasukan Majapahit? Atau apa?"

Penjaga yang patah hidungnya sambil masih mencoba menghentikan darah yang terus mengucur hanya menjawab ah uh sembari menunjuk kepada Arya Dahana.

Lelaki tinggi kurus itu terbelalak. Dia adalah orang yang sudah matang di dunia persilatan dan merupakan anggota lama dari Perkumpulan Malaikat Darah sehingga sadar bahwa pemuda yang ditunjuk itu pasti yang telah menghajar 6 penjaga gapura.

Tanpa bertanya apa-apa, Lelaki tinggi kurus itu memberi isyarat maju kepada puluhan anggota perkumpulan yang sedang menunggu perintah. Terdengar sorak sorai membahana saat puluhan orang itu merangsek maju menyerang Arya Dahana dengan berbagai senjata dan pukulan.

Sorai sorai membahana itu digantikan teriakan marah dan lengking kesakitan di sana-sini saat Arya Dahana yang sedang suntuk hatinya itu mengibaskan kedua lengan yang berisi ilmu Pukulan Geni Sewindu. Pemuda itu tetap membatasi tenaga. Jika tidak puluhan orang pasti akan berubah menjadi tumpukan mayat.

Hawa pukulan panas itu menyambar setiap orang yang mencoba menyerang Arya Dahana. Dalam waktu singkat puluhan orang itu tergeletak dengan luka-luka bakar ringan di tangan, kaki, atau wajah.

Lelaki tinggi kurus yang sepertinya adalah salah satu pimpinan padepokan menggereng keras dan menerjang maju. Aneh saat terjangan tubuhnya yang kurus ternyata menimbulkan angin keras yang menderu-deru. Arya Dahana maklum ini adalah salah tokoh tingkat tinggi perkumpulan Malaikat Darah. Dia melayaninya sepenuh hati dengan gerakan-gerakan pukulan Geni Sewindu. Namun dengan tetap membatasi tenaganya.

Setelah menelan Mustika Air Naga Merapi, kadangkala Arya Dahana masih belum menyadari betapa besar dan dahsyat hawa sakti di tubuhnya. Oleh karena itu saat beberapa hari yang lalu hendak membebaskan Pangeran Bunga dari ancaman kematian Putri Aruna, dia sedikit melebihkan tenaga agar hawa pukulannya bisa menangkis pukulan tokoh Lawa Agung tersebut karena jaraknya masih cukup jauh. Arya Dahana sendiri tidak menduga bahwa hawa pukulannya itu ternyata tidak sekedar menangkis pukulan namun bahkan membuat tangan kanan Putri Aruna lumpuh dan beku akibat Danu Cayapata.

Karena itulah menghadapi orang tinggi kurus berjuluk Jari Malaikat dari perkumpulan Malaikat Darah ini Arya Dahana agak terlalu menahan tenaga saktinya. Tentu saja meskipun hendak menghukum perkumpulan pembuat onar itu, Arya Dahana sama sekali tidak berniat membunuh.

Oleh sebab itu jalannya pertarungan terlihat seru dan seimbang bagi semua orang. Hanya Jari Malaikat sendiri yang tahu bahwa Arya Dahana sedikit bermain-main dengannya. Hal yang membuatnya marah dan meningkatkan serangan secara bertubi-tubi menggunakan pukulan-pukulan mematikan. Tindakan ini menjadi sebuah bumerang bagi Jari Malaikat karena Arya Dahana langsung bangkit amarahnya melihat orang ini begitu mudahnya menjatuhkan tangan maut kepada orang yang baru dikenalnya tanpa satupun alasan yang kuat.

Arya Dahana yang sedari tadi hanya banyak mengelak atau menangkis mendadak merubah gerakannya. Kali ini pemuda itu balas menyerang dengan hebat. Akibatnya bukan main bagi Jari Malaikat karena tak sampai dua jurus kemudian tubuh kurusnya terlempar seperti layang-layang ke udara terkena kibasan angin pukulan Amurti Arundaya.

Satu hal lagi baru disadari oleh Arya Dahana belum lama ini. Tubuhnya ternyata menjadi serba otomatis. Apabila berhadapan dengan lawan yang punya jurus dan pukulan berjenis dingin, maka hawa sakti di tubuhnya langsung menyesuaikan sendiri ke dalam Amurti Arundaya. Begitu juga sebaliknya seperti saat bertarung melawan Panglima Karimata yang punya jenis pukulan berhawa panas, tanpa perlu dikerahkan lagi tubuhnya langsung bereaksi dan memainkan Danu Cayapata. Dua pukulan langka dari unsur bumi itu seolah melekat dan menjadi darah di tubuhnya semenjak dia menelan Mustika Air Naga Merapi.

Tubuh Jari Malaikat baru berhenti bergulingan ketika menabrak pinggiran gapura. Lelaki tinggi kurus ini mengrenyit kesakitan dan dari sudut mulutnya mengalir darah segar. Dia benar-benar harus mengakui pemuda yang kelihatan biasa saja itu ternyata jauh lebih tinggi kemampuannya dibanding dirinya.

Arya Dahana tidak mempedulikan tatapan jerih dari semua orang-orang berbaju putih yang ada di situ. Dia melangkah dengan pasti menuju bangunan besar padepokan yang sudah dipagari oleh setidaknya puluhan orang berbaju putih lagi yang dipimpin seorang tua berjanggut panjang dengan rambut digelung tinggi.

Jika lelaki tinggi kurus tadi bergelar Jari Malaikat, pria tua di depannya yang merupakan orang nomor dua setelah Malaikat Darah Berbaju Merah ini mempunyai julukan Tangan Malaikat.

"Kenapa kau membuat rusuh di padepokan kami anak muda? Apakah di masa lalu ada dari padepokan yang telah menimbulkan dendam di hatimu?"

Arya Dahana nyaris terkecoh oleh gaya bahasa Tangan Malaikat yang bertanya secara lembut. Kemarahannya yang turun seketika melihat sikap ramah tokoh ini, meninggi kembali ketika menyadari dari sorot mata dan gerakan tangan yang memegang tongkat panjang berkepala naga, orang tua itu melancarkan serangan sihir hebat. Hmm, orang-orang perkumpulan Malaikat Darah memang semenjak dahulu licik dan penuh muslihat.

Arya Dahana menentang tatapan mata orang tua itu tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Tangan Malaikat mengira sihirnya berhasil. Pemuda ini dilihatnya sangat lihai secara ilmu kanuragan namun tidak punya kekuatan batin yang kuat. Pria tua itu tersenyum mengejek lalu mengangkat tongkat dan memutarnya ke udara dalam bentuk lingkaran.

"Bersembah sujudlah kepada kami dan akui semua kesalahan yang kau lakukan karena telah berani memusuhi kami. Katakan bahwa Perkumpulan Malaikat Darah adalah junjunganmu!"

Arya Dahana semakin marah. Perkumpulan ini jelas memperbolehkan segala macam cara untuk mencapai tujuannya. Saking marahnya pemuda ini ingin balas mengejek. Dengan tenang Arya Dahana ini menyahut.

"Aku, Arya Dahana dengan ini menyatakan bahwa semenjak dahulu, Perkumpulan Malaikat Darah adalah perkumpulan bejat yang khianat dan sudah seharusnya orang-orangnya bersujud di tanah menyatakan penyesalannya."

Arya Dahana sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu sihir jenis apapun. Meskipun berdarah Blambangan yang terkenal dengan kemampuan sihir dan teluh, tapi semenjak kecil dia tidak diasuh oleh orang-orang yang berkemampuan sihir. Bahkan dia tidak punya guru langsung sama sekali! Semua ilmu dipelajarinya dari buku. Hanya berkat hawa beracun dua pukulan yang bertentangan sajalah yang membuatnya kebal terhadap segala macam racun dan sihir.

Tapi apa yang dilihatnya sekarang membuat Arya Dahana sendiri tertegun dan melongo. Puluhan orang berbaju putih termasuk Tangan Malaikat menjatuhkan diri berlutut dan membentur-benturkan dahi mereka ke tanah. Berulang-ulang seolah sedang menyatakan penyesalan yang begitu dalam.

Giliran Arya Dahana yang kebingungan. Dia paham ternyata serangan sihir yang dilancarkan oleh pria tua di depannya ini berbalik menyerang mereka semua dengan kekuatan berkali lipat dari semula. Satu hal yang baru kali ini disadari lagi oleh Arya Dahana. Kalau dulu sebelum menelan Mustika Air Naga Merapi, dia hanya tidak mempan disihir atau diteluh. Tapi rupanya hawa sakti yang bercampur seimbang dari Mustika Air dan Mustika Api di dalam tubuhnya tidak hanya menolak sihir tapi juga mampu membalikkan serangan sihir itu hingga berlipat ganda. Yang membuat Arya Dahana bingung adalah bagaimana menghentikan pengaruh sihir yang membalik itu. Karena dilihatnya semua orang masih membentur-benturkan dahinya ke tanah berulang-ulang. Tanpa berhenti. Mungkin harus dengan cara membalik perkataannya tadi. Arya Dahana coba-coba. Tidak tega melihat peristiwa aneh ini.

"Setelah kalian menyadari kesalahan kalian, bangunlah!"

Serentak puluhan orang itu bangkit berdiri dan tersadar dengan apa yang telah mereka lakukan. Beberapa bahkan meringis kesakitan karena dahinya benjol sebesar telur ayam.

Tangan Malaikat sendiri menjadi ketakutan bukan main. Dia tadi bermaksud mempermainkan pemuda lihai yang dikiranya tidak punya kemampuan sihir ini. Tapi tak tahunya malah dia dan seluruh anak buahnya yang terkena akibatnya. Pria tua itu meraba keningnya yang memerah.

Suasana hening membuat tempat itu sesepi kuburan. Tangan Malaikat sebagai pemimpin tertinggi di padepokan ketika Malaikat Merah Berbaju Darah tidak ada di tempat, tidak tahu harus berbuat apa. Kalau dia memaksa semua anak buahnya menyerang pemuda itu, tidak akan ada gunanya. Menyerang lagi menggunakan sihir, bisa-bisa mereka akan semakin dipermalukan. Tangan Malaikat sangat berharap ketuanya hadir saat ini juga di sini.

Harapan yang sama sekali tidak sia-sia karena mendadak terdengar kesiur angin hebat yang membawa 3 sosok manusia berdiri di sampingnya dan berhadapan dengan Arya Dahana. Tangan Malaikat gembira bukan main melihat Malaikat Merah Berbaju Darah tiba. Dia tidak mengenal siapa lelaki tinggi besar menakutkan dan lelaki paruh baya yang tampan di sebelah ketua perkumpulan. Baginya yang penting pemuda itu sekarang menemui batunya.

Malaikat Merah Berbaju Darah ternyata sama sekali bukan seorang pria menyeramkan seperti julukannya. Arya Dahana sendiri terheran-heran melihat wanita cantik berbaju merah yang terlihat lemah lembut itu adalah ketua perkumpulan yang menggegerkan itu. Lebih terheran lagi saat dilihatnya wanita berumur empat puluhan itu datang bersama-sama dengan Panglima Karimata dan Madaharsa. Luar biasa cepat sekali perubahan di dunia persilatan ini.

"Anak muda! Kau telah membuat kegaduhan di padepokan kami. Apa maksud semua ini? Apakah kita pernah mempunyai bibit perseteruan sebelum ini?" suara Malaikat Merah Berbaju Darah lembut. Namun mengandung kekuatan yang sangat nggegirisi. Arya Dahana kembali mengerutkan keningnya. Pantas saja anggota perkumpulan ini sangat jumawa dan bersikap sewenang-wenang kepada sesama. Ketuanya saja begitu berhadapan dengannya menyerang dengan kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi melalui tangannya yang digerakkan saat berbicara. Dan lagi-lagi terkandung hawa sihir dalam serangan wanita ini.

Arya Dahana tidak mau bermain-main lagi. Orang-orang ini kemungkinan besar telah bergabung dengan kekuatan Lawa Agung dan mempunyai sebuah rencana besar sehingga mereka melakukan perjalanan bersama-sama.

"Aku tidak menanam bibit permusuhan dengan siapapun dari dulu hingga sekarang jika orang itu tidak bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuatannya terhadap orang lain."

Arya Dahana tidak meniru ucapan wanita itu yang pasti membalikkan serangan sihirnya. Namun menyertakan kekuatan hawa sakti di dalam tubuhnya saat berkata untuk menangkis serangan diam-diam wanita itu melalui gerakan tangannya.

Malaikat Merah Berbaju Darah terhuyung mundur beberapa langkah. Wanita itu memegangi dadanya yang terasa sesak setelah hawa pukulan Arya Dahana itu berhasil menahan serangannya sekaligus memukul balik dirinya. Untunglah dia tidak terluka.

Panglima Karimata menggeram marah. Dia tahu terjadi saling serang diam-diam dan melihat sekutu terbaru Lawa Agung itu terjajar mundur. Panglima Laut Utara yang berangasan ini mengayunkan kedua lengan besarnya ke arah Arya Dahana. Dia tahu pemuda itu tangguh bukan main dan pernah dua kali mengalahkannya. Itulah yang membuatnya penasaran. Kali ini Panglima Karimata melepas pukulan Prahara Laut Utara dengan puncak kekuatan. Orang- orang yang tidak punya kekuatan cukup langsung terkena akibat hawa pukulan yang menciptakan badai itu. Belasan orang terlempar seperti daun kering dan jatuh bergulingan. Beberapa yang terlalu dekat bahkan terluka dan memuntahkan darah.

Arya Dahana menyambut pukulan itu dan membiarkan hawa sakti di tubuhnya bereaksi mengeluarkan hawa sakti apa. Seluruh tubuhnya terbungkus cahaya berkilauan. Dari kedua lengannya menderu keluar selarik besar cahaya menyilaukan Amurti Arundaya yang langsung bertemu dengan pukulan Prahara Laut Utara.

Blaaarrrr! Blaaarrr! Blaaarr!

Beberapa kali ledakan keras mengguncang Padepokan Lembah Serayu. Tubuh Panglima Karimata terjengkang hebat ke belakang. Sedangkan Arya Dahana tetap berdiri tegak di tempatnya dan hanya sedikit bergoyang-goyang. Panglima berangasan itu dengan cepat bangkit berdiri dan menyusulkan kembali pukulan maut berbarengan dengan Madaharsa yang melepas Pukulan Bayu Lesus dan Malaikat Merah Berbaju Darah yang juga melancarkan serangan dahsyat.

Arya Dahana merasakan hawa panas dan dingin bergantian berputar di dalam tubuhnya. Pemuda itu sengaja membiarkan tubuhnya yang memutuskan hawa sakti mana yang hendak dikerahkan untuk menangkal tiga serangan luar biasa hebat tersebut.

Pukulan Panglima Karimata jelas berhawa dingin. Begitu pula dengan Bayu Lesus Madaharsa. Sementara jika melihat uap yang mengepul dari lengan Malaikat Merah Berbaju Darah, nampak kalau hawa pukulannya panas luar biasa.

Arya Dahana merasa hawa sakti di tubuhnya berpusar dan berpusat di kedua lengannya. Orang-orang melihat dengan takjub betapa tubuh pemuda itu terbelah menjadi dua. Sebelah kanan berkilau keperakan dan sebelah kiri membiru pekat. Arya Dahana mengayunkan kedua lengan menangkis ketiga pukulan lawan secara bersamaan. Amurti Arundaya dan Danu Cayapata melesat keluar menahan tiga pukulan berbahaya.

Blaaarrrr! Blaaarrr! Blaaarr! Blaaarrrr! Blaaarrr! Blaaarr!

Benturan pukulan itu menimbulkan ledakan yang tidak hanya membuat tanah padepokan terguncang namun juga mengakibatkan pendopo padepokan yang megah itu langsung hancur berantakan. Tanah yang berada di antara Arya Dahana dan ketiga lawannya terbelah dan menciptakan lubang besar yang meninggalkan asap tebal.

Arya Dahana melompat tinggi jauh ke belakang lalu berjungkir balik beberapa kali dan mendarat dengan tubuh tegak. Malaikat Merah Berbaju Darah jatuh terduduk dengan darah segar muncrat dari mulut dan hidungnya. Madaharsa lebih parah. Tubuhnya tergeletak miring dalam keadaan pingsan dan terluka. Sedangkan Panglima Karimata kembali terjengkang ke belakang dan jatuh bergulingan. Tubuhnya baru berhenti bergulingan saat menabrak potongan besar bangunan pendopo yang ambruk.

Orang-orang yang terlalu dekat menyaksikan, beberapa tewas dengan tubuh terpanggang atau beku dengan muka membiru. Sementara yang jaraknya jauh semuanya tergeletak pingsan. Tidak terkecuali Tangan Malaikat dan Jari Malaikat.

Arya Dahana merasa sudah cukup memberi pelajaran pada padepokan brutal Lembah Serayu. Tubuhnya berkelebat lenyap dari tempat itu. Firasatnya semakin tidak enak. Ada sebuah kejadian buruk yang sedang terjadi. Entah di mana. Tapi yang pasti itu berhubungan dengan dirinya.

* *********