Chapter 17 - Bab 17

Soal mencari bahagia

Langit bisa menyediakan caranya

Dengan menurunkan hujan

Di tanah retak yang melolong-lolong kekeringan

Begitu rintik pertamanya memberikan sentuhan

Maka terdengarlah nyanyian merdu

Yang mengalahkan nada staccato sungai dan batu-batu

Soal merunut bahagia

Lautan bisa menuliskan rujukannya

Dengan mengirimkan gelombang tipis ke pesisir

Memberikan jalan terbaik bagi tukik-tukik di pasir

Untuk menggapai lidah pertama

Dari jilatan badai yang dipaksa moksa

Soal menyeduh rasa bahagia

Segelas kopi dan secangkir teh tawar

Di pagi yang tersudut oleh pikiran ngayawara

Memberikan contoh yang sempurna

Bagaimana sesapan pertama dan selanjutnya

Sanggup mengurai sinapsis otak yang tersandera

Oleh apa saja yang dianggap aniaya

Soal menapis romantisme demi bahagia

Bertanyalah pada kisah cinta dari para pujangga

Yang tidak berkata dari ujung mulut

Atau putaran bola mata dari makna yang tercerabut

Ia, atau mereka

Hanya mengulapkan secelup tinta

Ke dalam sajak dan surat yang berbicara secara paripurna

Benteng Pangcalikan. Arya Dahana terheran-heran kenapa Ayu Wulan bisa bersama Pangeran Pemetik Bunga itu datang ke benteng yang berada di garis depan ini? Lalu di mana Sima Lodra? Kenapa Ratri membiarkan Ayu Wulan pergi dengan Pangeran Bunga?

Deretan pertanyaan itu memenuhi benak Arya Dahana. Matanya terus mengikuti langkah Ayu Wulan yang nampak sedang bercakap-cakap ringan dengan Pangeran Bunga. Tubuh keduanya lenyap ditelan benteng raksasa itu. Arya Dahana memutuskan hendak menyelidiki dan jika mungkin bisa berbicara dengan Ayu Wulan, ketika telinganya yang tajam menangkap desir lirih di balik padatnya pepohonan hutan tak jauh dari tempatnya bersembunyi.

Tubuh pemuda itu berkelebat mencari sumber suara dengan melompat dari dahan pohon satu ke pohon lainnya tanpa menimbulkan suara. Dia yakin desir lirih tadi adalah langkah kaki orang berkemampuan tinggi. Dan itu bukan langkah kaki satu orang saja.

Benar saja. Arya Dahana berhenti di atas pohon Trembesi yang tinggi dan melihat 2 wanita muda sedang mengendap-endap melakukan pengintaian terhadap Benteng Pangcalikan. Hmm, Putri Anila dan Putri Aruna. 2 wanita tangguh dari Lawa Agung yang pernah bertempur dengannya di Gunung Raung.

Terdengar geraman pendek saat kedua wanita itu dengan sigap berbalik badan dan bersiaga terhadap serangan seekor Harimau Putih besar yang merapatkan tubuhnya ke tanah siap menerjang. Sima Lodra. Arya Dahana melayang turun.

Geraman Sima Lodra berubah menjadi auman panjang kegirangan melihat Arya Dahana ada di sini. Harimau itu tidak jadi menyerang Putri Anila dan Putri Aruna. Hewan perkasa itu menghampiri Arya Dahana dan menyentuhkan kepalanya ke tangan pemuda yang sedang menatap tajam Putri Anila dan Putri Aruna.

2 wanita sakti pembantu Ratu Laut Selatan yag tadinya terkejut dengan kedatangan Sima Lodra, kini lebih kaget lagi melihat tahu-tahu pemuda yang kesaktiannya nggegirisi ini ada juga di sini. Memandang penuh selidik kepada mereka.

Tanpa berbicara apa-apa, kedua wanita itu menerjang maju menyerang Arya Dahana dengan pukulan mematikan. Tugas mereka adalah memata-matai benteng ini sesuai perintah Panglima Amranutta. Dan sekarang mereka ketahuan oleh pemuda sakti bersama harimau raksasanya ini.

Arya Dahana mengerutkan kening melihat serangan-serangan ganas yang tertuju ke bagian mematikan dari dirinya. Dua wanita lihai Lawa Agung ini keji sekali. Tanpa bertanya apa-apa langsung saja menyerang dengan niatan membunuh. Melihat Sima Lodra hendak melompat menerjang Putri Anila dan Putri Aruna, Arya Dahana menepuk lehernya dan menyuruhnya menjauh. Sima Lodra menuruti perintah namun dari mulutnya masih terdengar geraman-geraman marah.

Arya Dahana menahan diri untuk tidak menjatuhkan tangan maut. Bagaimanapun dia sudah berniat untuk bersikap tidak memihak. Namun serangan-serangan kedua tokoh hebat Lawa Agung itu bertambah dahsyat. Jika hanya berusaha menghindar terus, maka keadaan akan cukup berbahaya baginya.

Desss! Desss!

Mau tak mau Arya Dahana menangkis pukulan Putri Anila yang mengarah ke dadanya karena serangan susulan dari Putri Aruna begitu dekat hendak menghantam lehernya.

Putri Anila terjengkang bergulingan. Tangkisan dari Arya Dahana membuat dadanya sesak. Untunglah Arya Dahana masih membatasi penggunaan hawa saktinya. Jika tidak tentu Putri Anila akan terluka parah.

Tapi rupanya kedua putri dari Istana Laut Selatan itu cukup keras kepala dan terus melancarkan serangan demi serangan. Arya Dahana menjadi gemas. Sambil menghindari sebisa mungkin serangan-serangan itu, Arya Dahana berpikir untuk mulai menjatuhkan tangan keras. Namun telinganya menangkap kesiur angin yang membawa beberapa sosok tubuh menuju tempat ini dan disusul suara gegap gempita. Mereka sudah dikepung oleh ratusan pasukan Galuh Pakuan yang keluar dari dalam Benteng Pangcalikan.

Arya Dahana melompat jauh ke belakang di samping Sima Lodra yang matanya terlihat sangat waspada. Putri Anila dan Putri Aruna juga menghentikan serangan dan bersiaga. Sudah terlambat untuk melarikan diri. Kedua wanita itu merutuki diri sendiri yang bertindak terlalu ceroboh.

Sosok-sosok itu akhirnya tiba di tempat ini. Nampak sosok Ki Mandara, Ki Gularma, Pangeran Bunga, Ayu Wulan, dan Panglima Candraloka berdiri berjajar. Ki Mandara mengangguk ke arah Arya Dahana. Tokoh tua Galuh Pakuan ini tahu siapa pemuda itu dan yakin bahwa dia bukan pengganggu. Matanya tajam menusuk ke arah Putri Anila dan Putri Aruna yang membalas dengan tatapan tak kalah sengit.

"Apa maksud kisanak berdua mengintai benteng kami? Apakah Panglima Kelelawar sudah ingin mengumumkan perang terbuka terhadap Galuh Pakuan?"

Putri Aruna melangkah maju.

"Apa maksud kami bukanlah urusanmu orang tua! Suka-suka kami hendak berbuat apa? Paduka Raja Lawa Agung tidak perlu mengumumkan perang karena sewaktu-waktu bisa saja kami menyerang benteng yang lemah ini."

Putri Anila menyahuti sambil tersenyum mengejek.

"Kami hanya ingin tahu apakah Galuh Pakuan sudah cukup kuat sehingga peperangan yang nanti terjadi bisa seimbang dan bukannya sebuah pembantaian."

Ki Gularma sedari tadi memandangi kedua wanita itu dengan tatapan menelanjangi. Tokoh sesat penyuka wanita muda namun pendukung berat Galuh Pakuan itu hendak maju namun menahan langkahnya melihat isyarat Ki Mandara.

"Kami dari Galuh Pakuan menahan diri sekian lama untuk tidak membalas apa yang telah kalian lakukan pada Benteng Bantar Muncang. Tapi rupanya Lawa Agung tidak bisa dikasih hati. Kalian harus dihukum."

Ki Mandara menerjang maju menyerang Putri Anila sambil memberi isyarat kepada Ki Gularma yang dengan kegirangan menyerbu Putri Aruna dengan serangan-serangan yang lebih banyak genitnya.

Kedua wanita tangguh itu tahu mereka berhadapan dengan 2 datuk dunia persilatan yang salah satunya adalah satu dari tokoh Delapan Penjuru Mata Angin. Sedangkan Ki Gularma adalah tokoh sakti yang juga sulit dicari tandingan karena kemampuannya sebetulnya seimbang dengan delapan tokoh tersebut.

Terjadi pertarungan seru di 2 gelanggang terpisah. Di bawah tajuk pepohonan hutan Pangcalikan yang lebat. Putri Anila dan Putri Aruna sanggup mengimbangi kemampuan kedua tokoh Galuh Pakuan sehingga pertarungan berjalan dengan seimbang dan hebat.

Ayu Wulan menggeser tubuhnya mendekati Arya Dahana. Pemuda itu menarik Ayu Wulan sedikit menjauh dari pertempuran dahsyat yang terjadi, diikuti oleh pandangan ekor mata Pangeran Bunga yang ikut juga bergeser. Panglima Candraloka memerintahkan semua prajurit untuk siaga dan menahan serangan. Bisa-bisa hal itu malah menganggu Ki Mandara dan Ki Gularma.

"Kenapa kau berada di sini Ayu? Dan mengapa harus bersama pangeran cabul itu? Apakah Ratri tidak memberitahumu bahwa itu berbahaya bagimu?" Arya Dahana bertanya kepada Ayu Wulan namun matanya tak terlepas dari jalannya pertempuran.

Ayu Wulan tersenyum tenang.

"Kakak Ratri memang menyuruhku kesini justru untuk memata-matai pangeran ini Arya. Jangan khawatir aku bisa menjaga diriku. Aku giat berlatih di bawah ajaran Kakak Ratri selama berada di Galuh Pakuan. Lagipula si raksasa ini selalu menjagaku kemana-mana." Tangan Ayu Wulan mengelus leher Sima Lodra.

Arya Dahana mengangguk mengerti.

"Lalu di mana Ratri sekarang? Aku terkejut melihat perkembangan pertahanan Galuh Pakuan. Apa sebetulnya yang direncanakan oleh kerajaan ini?"

"Kakak Ratri masih berada di pusat kota. Dia sedang melakukan penguatan dan pelatihan pasukan di sana. Aku tidak tahu persis apa rencananya tapi aku rasa akan terjadi peperangan besar tak lama lagi."

Terdengar beberapa kali adu pukulan di gelanggang pertempuran. Namun keadaan masih tetap seimbang. Dua arena itu makin terpisah. Pertarungan Ki Gularma melawan Putri Aruna semakin mendekati arah Pangeran Bunga berada. Sedangkan Ki Mandara melawan Putri Anila semakin mendekat ke arah Arya Dahana dan Ayu Wulan berdiri.

Serasah daun dan ranting yang banyak membelasah di lantai hutan berhamburan terkena kibasan angin pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh 4 orang tersebut. Pertempuran masih berimbang. Tidak nampak ada yang terdesak maupun mendesak. Ki Mandara sendiri bisa mengerti lawannya ini sangat tangguh. Ratu Laut Selatan sendiri yang telah menggembleng mereka.

Namun Ki Gularma yang awalnya hendak mempermainkan wanita cantik yang menjadi lawannya ini terpaksa kecelik. Putri Aruna sangat bisa mengimbanginya. Pernah datuk sesat yang menggilai wanita muda ini mencoba menguatkan pukulannya dengan kekuatan sihir, tapi Putri Aruna sanggup menahan bahkan membalas dengan pukulan yang mengandung sihir yang tak kalah dahsyat.

Putri Aruna tahu, meskipun mereka berdua bisa mengimbangi kedua tokoh Galuh Pakuan ini, tapi mereka juga sadar berada dalam situasi yang sangat berbahaya. Kedua tokoh ini saja tidak bisa mereka kalahkan. Sedangkan tempat ini sudah juga dikepung oleh ratusan pasukan Benteng Pangcalikan. Apalagi pemuda tengil yang berilmu jauh lebih tinggi dari mereka itu juga masih berada di sini.

Putri Aruna berbisik menggunakan ilmu mengirimkan suara kepada Putri Anila. Disambut anggukan tegas dari Putri Anila yang tiba-tiba melompat jauh ke samping meninggalkan Ki Mandara yang bingung lawan hendak melakukan apa.

Putri Aruna melakukan hal yang sama. Da mendorongkan tenaga sepenuhnya menggunakan Pukulan Prahara Laut Selatan lalu melompat ke belakang dengan tiba-tiba dan melakukan gerakan jungkir balik yang manis dan hinggap di belakang Pangeran Bunga yang lengah dan langsung tak berkutik saat Putri Aruna menotok leher dan pangkal lengannya sementara Putri Anila menotok pahanya.

Putri Aruna meletakkan telapak tangan di leher Pangeran Bunga sedang Putri Anila bersiaga di sampingnya.

"Mundur kalian! Kalau tidak, aku akan memenggal pangeran cabul ini dalam hitungan ketiga!"

Ki Gularma tetap hendak melompat maju namun buru-buru Ki Mandara mencegah. Bisa sangat berbahaya bagi keselamatan Pangeran Bunga jika mereka sampai bertindak ceroboh. Bagaimanapun buruk perangainya, tapi Pangeran Bunga tetaplah putra mendiang Maharaja Galuh Pakuan. Mereka semua akan mendapat hukuman berat jika sampai pangeran itu celaka gara-gara kecerobohan mereka.

Pangeran Bunga sendiri menyesali kebodohannya. Dia terlalu lengah karena sedang memusatkan perhatiannya kepada percakapan antara Ayu Wulan dengan Arya Dahana. Pangeran Bunga merasa sangat cemburu melihat kedekatan antara Ayu Wulan dan Arya Dahana. Karena itulah dia berusaha mendekati mereka.

Entah mengapa kepada gadis itu perasaannya berbicara lain. Biasanya pangeran ini sangat enteng membuang gadis-gadis yang telah berhasil ditaklukkannya. Tapi kepada Ayu Wulan yang dikenalnya di istana sejak dijemput oleh Dewi Mulia Ratri dari hutan tempatnya menunggu bersama Sima Lodra, Pangeran Bunga merasa dirinya benar-benar jatuh cinta. Beberapa lama kemudian mereka saling mengenal, banyak berbincang dan sering berduaan menikmati karya sastra di perpustakaan istana. Pangeran Bunga bersedia pergi ke taman, sungai, lereng gunung untuk sekedar menunggui Ayu Wulan melukis sementara dia sendiri memainkan alat musik dan bernyanyi. Pangeran Bunga sangat yakin dia jatuh cinta. Sedangkan Ayu Wulan yang sebenarnya sudah banyak mendengar cerita tentang kelakuan bejat pangeran itu terhadap perempuan, juga sangat bahagia melakukan kegiatan bersama. Ayu Wulan tidak pernah mengatakan dia jatuh cinta tapi jelas dia sangat bahagia di samping Pangeran Bunga.

Karena itulah Pangeran Bunga meminta Ayu Wulan menemaninya dalam perjalanan ke beberapa benteng untuk membawa perlengkapan perang dan pasukan ketika dia ditugaskan oleh Ki Mandara untuk mengawal pengiriman tersebut.

Tentu saja dia meminta ijin kepada Dewi Mulia Ratri yang terheran-heran melihat pangeran itu memohon-mohon kepadanya agar Ayu Wulan diperbolehkan ikut. Ketika Dewi Mulia Ratri meneruskan permohonan itu ke Ayu Wulan, gadis yang sangat lugu itu malah tertawa girang. Berjalan-jalan membuatnya senang karena setelah beberapa lama hidup di istana, dia sudah merasa sangat bosan meski Dewi Mulia Ratri dengan senang hati mengajarinya ilmu kanuragan di sela-sela kesibukannya mempersiapkan pasukan Galuh Pakuan membantu Panglima Candraloka.

Dewi Mulia Ratri mengijinkan Ayu Wulan ikut menemani Pangeran Bunga dengan syarat tidak boleh satu kereta dan memberi pesan khusus kepada Ayu Wulan untuk sangat berhati-hati terhadap rayuan Pangeran Bunga. Begitulah akhirnya mereka sampai di Benteng Pangcalikan dan dilihat oleh Arya Dahana.

Dan kini dia menjadi sandera dari 2 orang wanita yang luar biasa tangguh dari Lawa Agung ini.

Keadaan menjadi sangat tegang. Apalagi ketika Putri Aruna berteriak kencang mulai menghitung melihat kepungan masih belum ditarik.

"Satu!"

Ki Mandara memandang Panglima Candraloka meminta keputusan. Bagaimanapun Panglima Candraloka adalah pimpinan tertinggi semua pasukan Galuh Pakuan.

Panglima Candraloka mengangkat tangannya. Ratusan pasukan yang terdiri dari pasukan pemanah dan pasukan tombak menyibak. Terbukalah satu ruang terbuka di belakang Putri Aruna dan Putri Anila. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh dua wanita dari Lawa Agung itu dengan berjalan mundur melalui celah yang terbuka tersebut.

"Kami akan pergi! Pangeran ini akan kami bawa sampai hutan bambu di depan sana. Jangan sampai ada yang berani mengikuti! Ingat, nyawa pangeran ini taruhannya."

Ayu Wulan yang merasa cemas terhadap keselamatan pangeran yang selalu bersikap baik kepadanya itu memandang ke arah Arya Dahana. Jelas sekali dari sorot matanya kalau gadis ini mohon pertolongan.

Arya Dahana mengerti. Kedua wanita itu belum tentu bisa dipercaya. Bisa saja mereka membunuh Pangeran Bunga lalu melarikan diri. Tentu mereka tidak akan mau repot-repot membawa sandera. Pemuda ini menunggu kesempatan.

Putri Aruna yang terus menyeret Pangeran Bunga dengan Putri Anila berjalan mundur di belakangnya sampai di hutan bambu yang ditunjuknya tadi. Sementara pasukan Galuh Pakuan dan semua tokohnya terus mengikuti namun dari jarak yang agak jauh karena khawatir terhadap ancaman Putri Aruna.

Putri Aruna menggerakkan tangannya memukul belakang leher Pangeran Bunga dengan tujuan membuat leher itu patah. Dia sengaja berbuat itu untuk membuat Galuh Pakuan marah. Kemarahan akan membuat mereka kehilangan akal sehat lalu menyerang dengan membabi buta. Lawa Agung telah lama bersiap-siap terutama di Benteng Bantar Muncang.

Desss!

Pukulan itu meleset dan hanya mengenai punggung Pangeran Bunga karena sebuah angin pukulan dahsyat menangkis tangannya dari jarak yang agak jauh.

Pangeran Bunga yang masih dalam keadaan tertotok langsung menggelosoh pingsan. Meskipun pukulan itu tidak membunuhnya, tapi tetap saja tulang belakangnya remuk.

Putri Aruna yang berbuat keji itu merasakan tangannya lumpuh terkena pukulan jarak jauh terukur Danu Cayapata yang dilepaskan Arya Dahana. Merasa tidak mungkin bisa menandingi pemuda sakti itu, Putri Anila menotok tangan Putri Aruna yang lumpuh agar tidak terasa sakit lalu menggamit lengannya dan melesat pergi.

Arya Dahana bisa saja melakukan pengejaran. Tapi tidak dilakukannya. Terlalu jauh dia mencampuri urusan kerajaan kalau itu dia lakukan. Pemuda itu hanya menyaksikan Ayu Wulan menangis mengguguk sambil memangku tubuh Pangeran Bunga yang lemas tak berdaya. Tubuh itu menjadi setengah lumpuh akibat pukulan ke tulang belakangnya.

Arya Dahana menggeleng-gelengkan kepala sambil berkelebat pergi. Cinta memang tidak bermata. Tapi sangat mudah bisa meruntuhkan airmata.

* *******