Langit meruntuhi pelataran sebuah kerajaan
Mataharinya telah menjauh pergi
Rembulannya memilih mati
Sementara orang-orangnya memanah dada sendiri
Dalam keadaan patah hati
Kerajaan menghilang dengan cepat
Seperti rombongan ngengat yang tersesat
Di tengah labirin api
Hangus terbakar tanpa sempat melarikan diri
Kerajaan lama tenggelam
Bukan oleh gelombang pasang, di tengah lautan
Tapi dirajam oleh zaman
Yang tak kenal ampun
Laksana gerombolan penyamun
Kerajaan baru dilahirkan
Dari rahim peperangan
Dibesarkan oleh pertempuran
Dan didewasakan pertikaian
Sampai pada suatu ketika
Mataharinya pergi
Rembulannya mati
Dan orang-orangnya berlomba bunuh diri
Penyeberangan Cipamali. Arya Dahana memandang sungai besar yang terbentang di hadapannya sambil terkenang betapa dahulu sungai inilah yang mengantar kepergian rombongan Maharaja Galuh Pakuan dengan gegap gempita. Membawa serta mendiang Putri Dyah Pitaloka untuk bersanding dengan Maharaja Majapahit Hayam Wuruk. Tapi ternyata itu adalah penyeberangan terakhir karena Pesanggrahan Bubat menghancurkan segala niat dan hasrat kedamaian menjadi sebuah perang luar biasa dahsyat yang bertuliskan darah di buku-buku sejarah.
Para penjaga di perbatasan dari pihak Kerajaan Majapahit tidak sebanyak dulu. Bangunan-bangunan kokoh yang merupakan benteng pertahanan terlihat sama sekali tidak terawat. Jika dulu ada orang yang hendak menyeberang, pemeriksaan dilakukan secara ketat, tapi sekarang tidak. Orang-orang cukup bebas berlalu-lalang melintasi gerbang terluar Majapahit ini.
Terlihat sekali betapa menurunnya tingkat kedisiplinan para prajurit penjaga perbatasan. Majapahit yang sangat besar ini terasa perlahan-lahan menuju keruntuhannya.
Arya Dahana menyewa perahu kecil untuk menyeberang. Dari sini terlihat menara tinggi benteng pertahanan Galuh Pakuan dengan umbul dan bendera yang berkibar gagah di puncaknya. Di tempat penyeberangan Cipamali wilayah Galuh Pakuan, nampak regu penjaga berjajar memeriksa setiap orang yang hendak menyeberang. Satu demi satu orang dan barang diperiksa secara cermat.
Begitu pula siapapun yang datang dari wilayah Majapahit akan diperiksa secara ketat. Arya Dahana tidak terkecuali. Buntalan pakaiannya dibuka. Jika terdapat senjata maka nama berikut jenis dan jumlah senjata akan dicatat oleh penjaga. Pemuda ini berdecak kagum. Sangat kontras dengan apa yang ada di wilayah Majapahit tadi.
Arya Dahana melihat benteng yang menjulang tinggi itu dengan takjub. Dia sudah beberapa kali ke sini. Termasuk saat kejadian menghebohkan ketika Putri Anjani mengamuk menggunakan Gendewa Bernyawa. Benteng itu sangat terawat. Bahkan di beberapa titik menara terdapat senjata-senjata berat yang bisa melemparkan bola berapi. Sepertinya untuk mengantisipasi serangan besar-besaran.
Arya Dahana teringat Benteng Bantar Muncang. Benteng itu sangat kuat meski tidak sekuat benteng Cipamali ini. Hal ini bisa dimaklumi karena yang paling dijaga oleh Galuh Pakuan adalah serangan dari kerajaan besar Majapahit. Arya Dahana penasaran apakah benteng-benteng di wilayah selatan sekarang juga diperkuat seperti ini?
Dia yakin Galuh Pakuan mulai menggeser perhatian dan kekuatan ke selatan. Walau kecil, Lawa Agung adalah kerajaan yang kuat secara militer. Selain pasukan yang tangguh, juga banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang bergabung di sana. Selain itu, tentu saja, Ratu Laut Selatan sebagai pelindungnya tidak akan tinggal diam jika sampai ada yang menyerbu dan hendak meruntuhkan Pulau Kabut.
Arya Dahana terus berjalan dengan santai menuju Ibukota. Jalanan cukup ramai dengan lalu lalang orang dan kereta. Meski seperti api dalam sekam, namun perdagangan di wilayah perbatasan antara penduduk Galuh Pakuan dan Majapahit tetap berjalan seperti biasa. Tidak ada ketegangan sama sekali di antara mereka.
Begitulah memang adanya. Perang adalah kepentingan para pemimpin. Sementara rakyat sama sekali tidak punya niatan untuk saling congkrah dan bermusuhan. Bagi mereka-mereka ini, peperangan hanya menimbulkan sekian banyak kesengsaraan. Bagi siapapun. Baik yang menang maupun yang kalah. Sama-sama menderita. Sementara kemenangan hanyalah wilayah semu karena tak lama kemudian diikuti oleh balas dendam bagi yang kalah. Begitu seterusnya. Hukum sebab-akibat yang tidak ada putus-putusnya. Itulah mengapa perang selalu terjadi di mana-mana. Tidak pernah berhenti.
Suara derap kaki kuda dan kereta membuat Arya Dahana minggir. Jalanan ini besar tapi tetap saja lebih baik minggir supaya tidak terkena debu yang berterbangan. Rombongan kuda dan kereta itu itu lewat. Arya Dahana melihat itu adalah rombongan saudagar dan pedagang yang beberapa hari lalu nyaris jadi korban Panglima Karimata.
Tidak nampak lagi Madaharsa dan pasukannya mengawal rombongan ini. Mereka tidak lagi disertai regu penjaga. Tentu saja mereka tidak merasa was-was. Memasuki wilayah Galuh Pakuan keadaan jauh lebih aman. Para prajurit kerajaan banyak berjaga di tempat-tempat sepi dan rawan.
Arya Dahana menduga Madaharsa dan pasukannya bergabung dengan Istana Laut Utara. Entah apa yang direncanakannya. Madaharsa punya otak licik dan muslihat kuat. Dia pasti melihat sebuah keuntungan besar bagi dirinya melalui kerjasama dengan Permaisuri Laut Utara.
Setelah setengah harian berjalan dan kadang berlari cepat di tempat-tempat sepi, Arya Dahana kembali harus minggir karena dari kejauhan debu mengepul tinggi dan pekat. Setelah pasukan luar biasa besar itu lewat dan berbelok di simpang yang baru dilalui olehnya, Arya Dahana mengrenyitkan dahinya. Bukankah itu jalan menuju pesisir selatan?
Satu hal yang membuat Arya Dahana memutuskan untuk mengikuti rombongan besar itu sebab selain pasukan dalam jumlah ribuan, mungkin mendekati 1500 an, namun juga ada kereta-kereta yang mengangkut bahan bangunan dan persenjataan. Juga dalam jumlah sangat besar.
Pemuda itu mengikuti rombongan dari jarak yang cukup jauh. Di belakang puluhan kereta pengangkut barang itu dikawal oleh setidaknya 2 regu pasukan berjumlah puluhan orang. Bahkan jika tidak salah duga, mereka berasal dari pasukan elit Kujang Emas Elang dan Kujang Emas Garuda. Mungkin ada orang-orang penting yang ikut dalam rombongan itu.
Malam sudah tiba. Rombongan itu sama sekali tidak ada tanda-tanda berhenti. Lampu kereta dinyalakan dan pasukan berkuda juga mulai menyalakan obor. Perjalanan memang lebih lambat tapi mereka terus melanjutkan.
Arya Dahana agak lebih leluasa mengikuti dari belakang. Pasukan besar itu bahkan hanya berhenti untuk beristirahat sebentar dan memberi makan minum kuda. Mereka sendiri makan dan minum perbekalan di atas kuda dan kereta. Sepertinya tugas ini sangat penting sehingga mereka terlihat sangat terburu-buru.
Menjelang tengah malam, sesampainya di lereng gunung Gede Pangrango sebelah utara, pasukan besar berhenti di sebuah tempat yang terlihat terang benderang oleh obor-obor raksasa. Arya Dahana melihat sebuah benteng besar sedang dalam proses pembangunan dan nampaknya sudah mendekati selesai. Pantas saja kereta-kereta itu juga membawa persenjataan.
Arya Dahana takjub saat melihat pasukan besar itu bergerak kembali setelah meninggalkan beberapa kereta berisi perlengkapan dan juga pasukan sejumlah 300 orang. Luar biasa! Galuh Pakuan sedang memperkuat jalur menuju selatan. Dan penguatannya sama sekali tidak main-main. Arya Dahana yakin 300 orang itu hanya awal saja.
Perjalanan dilanjutkan kembali. Arya Dahana semakin penasaran kemana lagi rombongan yang masih luar biasa besar itu meski sudah meninggalkan ratusan orang dan banyak perlengkapan di benteng yang sempat dibaca oleh Arya Dahana sebagai Benteng Cipanas.
Menjelang dinihari, rombongan berhenti. Arya Dahana menelan ludah melihat betapa kokohnya benteng tempat orang-orang membongkar perlengkapan dan meninggalkan prajurit sebanyak 300 orang lagi. Benteng ini lebih besar dari Benteng Cipanas. Mungkin nyaris dua kali lipatnya. Benteng ini juga hampir selesai. Hanya tinggal merapikan di sana sini saja. Termasuk memasang pelontar bola api yang sekarang sedang dibawa masuk ke dalam benteng menggunakan peralatan besar.
Rombongan yang mulai mengecil tapi masih saja berjumlah besar itu bergerak lagi. Arya Dahana kagum dengan keuletan dan tekad pasukan Galuh Pakuan ini. Mereka seolah tak kenal lelah. Mungkin saja keadaan memang sudah sangat berbahaya. Ancaman dari Lawa Agung barangkali sudah semakin dekat.
Saat diam-diam terus mengikuti pasukan itu, Arya Dahana membaca huruf-huruf besar yang terpahat di dinding benteng. Benteng Mandala Wangi.
Jalanan semakin sempit sehingga pasukan besar itu melambat. Matahari sudah naik tinggi saat mereka tiba di lereng Pangrango bagian selatan. Arya Dahana yang mengikuti dengan cara bersembunyi di balik pohon dan terkadang menerobos belukar melihat sebuah tulisan besar di pintu masuk benteng besarnya kurang lebih Benteng Cipanas ini. Benteng Situ Gunung.
Kembali beberapa kereta berikut kudanya dibawa masuk ke dalam benteng yang sudah jadi dan sepertinya sudah beberapa lama dipergunakan karena terdengar riuh rendah suara pasukan di dalam menyambut kedatangan pasukan baru sebanyak 300 orang itu.
Setelah beberapa lama beristirahat untuk makan siang dan merebahkan badan, pasukan yang tersisa namun masih berjumlah lebih dari 500 orang itu berangkat lagi. Arya Dahana sempat makan dengan memetik beberapa buah hutan yang banyak terdapat di sekitar benteng tersebut.
Mungkin mereka menuju benteng terakhir di bagian selatan yang mendekati laut selatan. Karena setahu Arya Dahana, Benteng Bantar Muncang yang telah direbut pasukan Lawa Agung berada di hutan dekat pesisir laut selatan. Jalan ini akan tembus hingga ke sana. Tidak ada jalan lain lagi kecuali memanjat Gunung Gede Pangrango dengan kelerengan yang tinggi. Dan itu tidak mungkin dilakukan pasukan dengan persenjataan berat dan berjumlah besar.
Dugaan Arya Dahana benar. Menjelang sore, pasukan itu berhenti di benteng paling besar dibanding 3 benteng sebelumnya. Dinding yang melingkupi benteng itu sangat tinggi dengan menara-menara pengintai sekaligus tempat pelempar bola api dan para pemanah. Luas benteng ini nyaris dua kali lipat Benteng Mandalawangi yang sudah membuat takjub Arya Dahana.
Benteng Pangcalikan. Arya Dahana membaca nama benteng itu dengan tatapan masih takjub. Galuh Pakuan membangun benteng terdepan di wilayah selatan dengan ukuran luar biasa. Mungkin Pemangku Kerajaan dan Panglima Candraloka menyadari bahwa ancaman dari Lawa Agung sangat besar sehingga untuk membendung pergerakan pasukan dari Pulau Kabut itu diperlukan beberapa lapis benteng yang kuat. Mereka sudah belajar dari kesalahan jatuhnya Benteng Bantar Muncang.
Semua perlengkapan yang dibawa kereta dan pasukan sejumlah 500 orang lebih masuk ke dalam benteng. Disusul kemudian dengan beberapa orang yang turun dari kereta besar dan masuk dengan berjalan kaki. Arya Dahana mengenali 2 di antaranya.
Ayu Wulan dan Pangeran Bunga!
* ******